Thursday, April 4, 2019

WISATA ROHANI DI “KOTA JUDI” MACAU


(Reportase ini dimuat di Koran Suara dan Hong Kong News)
 
Ada ungkapan menarik dari John Green seorang pengarang Belanda demikian tulisnya, “Beberapa turis berpikir Amsterdam adalah sebuah kota dosa, tetapi tepatnya adalah sebuah kota kebebasan. Dan di dalam kebebasan, hampir semua orang menemukan dosa.” Apakah Macau juga bisa disebut sebagai
“kota dosa”-nya Asia? Kebanyakan orang lebih menyamakan Macau dengan “Las Vegas” Asia dan bukan “Amsterdam”, karena orang pergi ke Macau bebas untuk berjudi dan bukan untuk berbuat dosa. Namun, seolah identitas sebagai “Las Vegas” bisa diterima  sebagai kewajaran daripada “Amsterdam” yang disebut sebagai “kota dosa”.  

Macau Kota “Judi”

Tidak tahu mengapa ungkapan John Green itu demikian kuat mengunci pikiran saya saat mengikuti wisata rohani bersama Komunitas Katolik Indonesia Hong Kong (KKIHK). Meskipun konon bahwa perputaran uang sebagai hasil berjudi di Macau tujuh (7) kali lipat besarnya dibandingkan dari Las Vegas sendiri. Mungkin karena sejak Casino dibuka di Macau para penjudi besar senang menaruh uangnya di meja-meja Casino di Macau. Paling tidak ada lima Casino terkenal di Macau, sebutlah Venetian Casino Resort, City of Dreams Macau, The Sands Macau, Wyn Macau dan Grands Lisboa Macau.

Terlepas dari identitas yang mau disematkan kepada Macau, kota ini juga sangat “asyik” untuk berwisata rohani. Sebelum “berziarah rohani” ke Macau ada seoarang teman berseloroh, apakah sebaiknya sebelum kita berdoa di Gereja Katedral, kita mengunjungi salah satu Casino? Saya menjawabnya dengan senyuman, karena seolah di Macau-lah legalitas berjudi bisa hidup bersanding harmonis dengan berdoa. Kegiatan berjudi tentu saja tidak berdiri sendiri, biasanya akan ada pelengkap kenikmatan yang lain, misalnya sex, obat bius dan minuman keras. Macau tampaknya memang  kota yang tepat bagi para pemuja “hidonisme.”

Katedral Macau

Namun di Macau pula masih terselip tempat dengan “aura rohani” yang menarik untuk dikunjungi, baik sebagai turis pribadi atau dalam kelompok. Gereja Katedral Macau adalah salah satunya. Katedral ini lebih dikenal dengan The Cathedral of the Nativity of Our Lady atau Se Catedral da Natividade de Nossa Senhora dalam bahasa Portugis. Gereja Katedral dibangun pada tahun 1576 sebagai salah satu monumen historis peninggalan masa kolonial Portugis. Katedral ini dibangun untuk menggantikan gereja yang lebih tua yaitu Gereja St. Paul yang tinggal puing-puing karena terbakar. Kita juga bisa meihat Gereja St. Paul dan melakukan swafoto di sana.

Bentuk gedung dan ornamen Gereja Katedral Macau mengingatkan kita pada model gereja di Timor-Leste. Kedua wilayah tersebut memang bekas koloni Portugis. Sesuai dengan namanya, Katedral Macau ini dipersembahkan kepada Bunda Maria, Ibunda Yesus Kristus. Ketenangan sangat penting dijaga di dalam Katedral, karena kalau kita ramai atau mau berswafoto di dalam Katedral, kita bisa kena tegur “satpam” dengan memasang wajah serius. Jika Anda seorang penganut Katolik, lebih baik meluangkan waktu untuk berdoa rosario di dalam Katedral atau berdevosi kepada para kudus yang ruangnya terletak di kanan dan kiri Katedral.

Biara Trapistin “Gedono” di Macau

Selesai berdoa atau sekedar menikmati keteduhan Katedral Macau, kita bisa melanjutkan “peziarahan” menuju Komunitas Para Rubiah Trapistin. Waktu tempuh dari Gereja Katedral sekitar lima (5) menit kalau menggunakan kendaraan, namun jika berjalan kaki bisa lebih dari tiga puluh (30) menit. Komunitas Rubiah Trapistin ini merupakan “cabang” dari Rubiah Trapistin Gedono, Salatiga.  Biara Trapistin Macau ini diberinama Our Lady Star of Hope atau Bunda Maria Bintang Pengharapan. Saat rombongan kami sampai di Biara Trapistin, kami langsung disambut oleh para rubiah dengan sangat ramah. Mereka menawarkan kue-kue dalam wadah kecil yang cantik. Kue-kue ini merupakan hasil “kerja” para suster dan kita bisa membelinya. Rasanya sangat enak memakan kue-kue tersebut sambil melihat pemandangan kota Macau dari biara Trapistin.

Biara Trapistin ini dibuka bagi para pengunjung dari jam 9 am sampai dengan 6 pm. Jika waktunya tepat, para wisatawan boleh mengikuti Ibadat Harian para rubiah di kapel. Ibadat itu biasa dilakukan selama lima kali, mulai dari pagi sampai dengan sore. Beruntung bahwa kita berkesempatan untuk mengikuti Ibadat Siang. Memasuki kapel yang teduh dan adem memaksa kita untuk duduk diam. Doa-doa para rubiah biasanya dilakukan dengan menyanyikan mazmur diiringi dengan petikan Guzheng atau kecapi tradisional Tiongkok. Pendarasan mazmur dibuat dalam bahasa Mandarin. Meskipun tidak memahami bahasanya, namun perasaan serasa mendapatkan tetes-tetes embun. Pikiran menjadi demikian tenang dan damai dalam alunan suara para rubiah yang mengalun lembut.

Setelah ibadat selesai, Sr. Emanuella OCSO, salah satu rubiah, menceritakan sedikit sejarah keberadaan biara Trapistin di Macau. “Hasil rapat pimpinan OCSO di Itali berkeinginan untuk mengembangkan misi ke Indonesia bagian timur. Kita sudah mengajukan diri kepada Mgr. Suharyo, namun katanya tidak dibutuhkan biara monastik di sana. Lalu kami mencoba untuk menawarkan diri masuk ke Tiongkok. Namun karena tidak mudah masuk ke Tiongkok maka kami menawarkan diri ke Hong Kong, Tanggapan justru datang dari Bapak Uskup Macau. Penyelenggaraan Ilahi kadang tidak bisa diduga,” demikian penjelasan Sr. Emanuella OCSO yang ahli bermain Guzheng tersebut.

“Bapak Uskup Macau (Mgr. Jose Lai), waktu itu bahkan mengatakan agar para suster harus cepat-cepat datang ke Macau,” lanjut Sr. Emanuella dengan wajah gembira. Mgr. Jose Lai berkehendak agar para rubiah Gedono ini bisa ditarik untuk membawa kehidupan monastik ke dalam budaya Macau yang didominasi dengan kasino. Dia begitu yakin bahwa ada banyak makna hidup sebagai manusia dan kebahagiaan yang dapat ditemukan di tengah dunia perjudian dan semua yang menyertainya. Kehadiran para rubiah Trapistin bisa memperkenalkan kehidupan kontemplatif kepada masyarakat Macau yang menjalani hidup sangat materialistis.

Kenyataannya memang banyak wisatawan dan masyarakat Macau yang sering ikut dalam ibadat harian para rubiah. Mereka hanya duduk dan diam saja mengikuti ibadat. “Saya tidak tahu apakah mereka paham atau bisa mengerti kehidupan doa kami, semuanya kami serahkan kepada Tuhan. Biar Tuhan yang akan memberikan pemahaman kepada mereka semua,” tandas Sr. Emanuella meyakinkan kami para peziarah.

Di tengah kehidupan Macau yang sangat materialistik, kita masih menemukan kebeningan rohani dan bukan kebisingan  materialistik. Karenanya, Macau memang belum bisa dijuluki “kota dosa” seperti Amsterdam.


No comments:

Post a Comment

MAY DAY 2019: KAMI PEKERJA, KAMI BUKAN BUDAK!!!

(feature ini sudah dimuat d Koran Suara Hong Kong 7/5/2019) Lima perempuan mengenakan pakaian hitam dan matanya ditutup dengan kain ka...