(Reportase ini dimuat di Koran Suara dan Hong Kong News)
Ada ungkapan menarik dari John Green seorang pengarang
Belanda demikian tulisnya, “Beberapa turis berpikir Amsterdam adalah sebuah
kota dosa, tetapi tepatnya adalah sebuah kota kebebasan. Dan di dalam
kebebasan, hampir semua orang menemukan dosa.” Apakah Macau juga bisa disebut
sebagai
“kota dosa”-nya Asia? Kebanyakan orang lebih menyamakan
Macau dengan “Las Vegas” Asia dan bukan “Amsterdam”, karena orang pergi ke
Macau bebas untuk berjudi dan bukan untuk berbuat dosa. Namun, seolah identitas
sebagai “Las Vegas” bisa diterima
sebagai kewajaran daripada “Amsterdam” yang disebut sebagai “kota dosa”.
Macau Kota “Judi”
Tidak tahu mengapa ungkapan John Green itu demikian kuat
mengunci pikiran saya saat mengikuti wisata rohani bersama Komunitas Katolik
Indonesia Hong Kong (KKIHK). Meskipun konon bahwa perputaran uang sebagai hasil
berjudi di Macau tujuh (7) kali lipat besarnya dibandingkan dari Las Vegas
sendiri. Mungkin karena sejak Casino dibuka di Macau para penjudi besar senang
menaruh uangnya di meja-meja Casino di Macau. Paling tidak ada lima Casino
terkenal di Macau, sebutlah Venetian Casino Resort, City of Dreams Macau, The
Sands Macau, Wyn Macau dan Grands Lisboa Macau.
Terlepas dari identitas yang mau disematkan kepada Macau,
kota ini juga sangat “asyik” untuk berwisata rohani. Sebelum “berziarah rohani”
ke Macau ada seoarang teman berseloroh, apakah sebaiknya sebelum kita berdoa di
Gereja Katedral, kita mengunjungi salah satu Casino? Saya menjawabnya dengan
senyuman, karena seolah di Macau-lah legalitas berjudi bisa hidup bersanding
harmonis dengan berdoa. Kegiatan berjudi tentu saja tidak berdiri sendiri,
biasanya akan ada pelengkap kenikmatan yang lain, misalnya sex, obat bius dan
minuman keras. Macau tampaknya memang
kota yang tepat bagi para pemuja “hidonisme.”
Katedral Macau
Namun di Macau pula masih terselip tempat dengan “aura
rohani” yang menarik untuk dikunjungi, baik sebagai turis pribadi atau dalam
kelompok. Gereja Katedral Macau adalah salah satunya. Katedral ini lebih
dikenal dengan The Cathedral of the
Nativity of Our Lady atau Se Catedral
da Natividade de Nossa Senhora dalam bahasa Portugis. Gereja Katedral
dibangun pada tahun 1576 sebagai salah satu monumen historis peninggalan masa
kolonial Portugis. Katedral ini dibangun untuk menggantikan gereja yang lebih
tua yaitu Gereja St. Paul yang tinggal puing-puing karena terbakar. Kita juga
bisa meihat Gereja St. Paul dan melakukan swafoto di sana.
Bentuk
gedung dan ornamen Gereja Katedral Macau mengingatkan kita pada model gereja di
Timor-Leste. Kedua wilayah tersebut memang bekas koloni Portugis. Sesuai dengan
namanya, Katedral Macau ini dipersembahkan kepada Bunda Maria, Ibunda Yesus
Kristus. Ketenangan sangat penting dijaga di dalam Katedral, karena kalau kita
ramai atau mau berswafoto di dalam Katedral, kita bisa kena tegur “satpam”
dengan memasang wajah serius. Jika Anda seorang penganut Katolik, lebih baik
meluangkan waktu untuk berdoa rosario di dalam Katedral atau berdevosi kepada
para kudus yang ruangnya terletak di kanan dan kiri Katedral.
Biara Trapistin “Gedono” di
Macau
Selesai
berdoa atau sekedar menikmati keteduhan Katedral Macau, kita bisa melanjutkan
“peziarahan” menuju Komunitas Para Rubiah Trapistin. Waktu tempuh dari Gereja
Katedral sekitar lima (5) menit kalau menggunakan kendaraan, namun jika
berjalan kaki bisa lebih dari tiga puluh (30) menit. Komunitas Rubiah Trapistin
ini merupakan “cabang” dari Rubiah Trapistin Gedono, Salatiga. Biara Trapistin Macau ini diberinama Our Lady Star of Hope atau Bunda Maria
Bintang Pengharapan. Saat rombongan kami sampai di Biara Trapistin, kami langsung
disambut oleh para rubiah dengan sangat ramah. Mereka menawarkan kue-kue dalam
wadah kecil yang cantik. Kue-kue ini merupakan hasil “kerja” para suster dan
kita bisa membelinya. Rasanya sangat enak memakan kue-kue tersebut sambil
melihat pemandangan kota Macau dari biara Trapistin.
Biara
Trapistin ini dibuka bagi para pengunjung dari jam 9 am sampai dengan 6 pm. Jika
waktunya tepat, para wisatawan boleh mengikuti Ibadat Harian para rubiah di
kapel. Ibadat itu biasa dilakukan selama lima kali, mulai dari pagi sampai
dengan sore. Beruntung bahwa kita berkesempatan untuk mengikuti Ibadat Siang. Memasuki
kapel yang teduh dan adem memaksa kita untuk duduk diam. Doa-doa para rubiah
biasanya dilakukan dengan menyanyikan mazmur diiringi dengan petikan Guzheng
atau kecapi tradisional Tiongkok. Pendarasan mazmur dibuat dalam bahasa
Mandarin. Meskipun tidak memahami bahasanya, namun perasaan serasa mendapatkan
tetes-tetes embun. Pikiran menjadi demikian tenang dan damai dalam alunan suara
para rubiah yang mengalun lembut.
Setelah
ibadat selesai, Sr. Emanuella OCSO, salah satu rubiah, menceritakan sedikit
sejarah keberadaan biara Trapistin di Macau. “Hasil rapat pimpinan OCSO di
Itali berkeinginan untuk mengembangkan misi ke Indonesia bagian timur. Kita
sudah mengajukan diri kepada Mgr. Suharyo, namun katanya tidak dibutuhkan biara
monastik di sana. Lalu kami mencoba untuk menawarkan diri masuk ke Tiongkok.
Namun karena tidak mudah masuk ke Tiongkok maka kami menawarkan diri ke Hong
Kong, Tanggapan justru datang dari Bapak Uskup Macau. Penyelenggaraan Ilahi
kadang tidak bisa diduga,” demikian penjelasan Sr. Emanuella OCSO yang ahli
bermain Guzheng tersebut.
“Bapak
Uskup Macau (Mgr. Jose Lai), waktu itu bahkan mengatakan agar para suster harus
cepat-cepat datang ke Macau,” lanjut Sr. Emanuella dengan wajah gembira. Mgr.
Jose Lai berkehendak agar para rubiah Gedono ini bisa ditarik untuk membawa
kehidupan monastik ke dalam budaya Macau yang didominasi dengan kasino. Dia begitu
yakin bahwa ada banyak makna hidup sebagai manusia dan kebahagiaan yang dapat
ditemukan di tengah dunia perjudian dan semua yang menyertainya. Kehadiran para
rubiah Trapistin bisa memperkenalkan kehidupan kontemplatif kepada masyarakat
Macau yang menjalani hidup sangat materialistis.
Kenyataannya
memang banyak wisatawan dan masyarakat Macau yang sering ikut dalam ibadat
harian para rubiah. Mereka hanya duduk dan diam saja mengikuti ibadat. “Saya
tidak tahu apakah mereka paham atau bisa mengerti kehidupan doa kami, semuanya
kami serahkan kepada Tuhan. Biar Tuhan yang akan memberikan pemahaman kepada
mereka semua,” tandas Sr. Emanuella meyakinkan kami para peziarah.
Di
tengah kehidupan Macau yang sangat materialistik, kita masih menemukan
kebeningan rohani dan bukan kebisingan
materialistik. Karenanya, Macau memang belum bisa dijuluki “kota dosa”
seperti Amsterdam.
No comments:
Post a Comment