Tuesday, May 7, 2019

MAY DAY 2019: KAMI PEKERJA, KAMI BUKAN BUDAK!!!


(feature ini sudah dimuat d Koran Suara Hong Kong 7/5/2019)

Lima perempuan mengenakan pakaian hitam dan matanya ditutup dengan kain kasa putih. Bibirnya dibuat pucat dan ditubuh mereka menggendong sebuah slogan yang keras, “We are workers, Not Slave” (Kami Pekerja, Kami Bukan Budak). Slogan itu ditulis di semacam piring dari styrofoam yang ditempel di kardus dan diikat dengan tali plastik. Tulisan itu menjadi penanda paling keras dalam peringatan hari Buruh Internasional 1 Mei yang dilakukan oleh berbagai kelompok gerakan solidaritas buruh di Hong Kong, Rabu 1 Mei 2019.

Isu Perbudakan Moderen

Lantas mengapa isu tentang “perbudakan” masih begitu kuat disuarakan oleh gerakan buruh migran Indonesia di Hong Kong? Jawabannya ada di belakang kelima perempuan itu. Di belakang punggung mereka tertulis berbagai masalah yang sampai sekarang masih menjerat leher para BMI yaitu: Low Wage, Over Charging, Fee Agency, 6 Months Deduction, High Living Cost in Hong Kong, Must Be Happy Face, Overtime, Not Allowed To Be Tired, Sleep in The Living Room, Sleep in The Toilet, Sleep in The Storage, Sleep in The Cabinet, Sex Abuse, Death Row, Human Trafficking dan lain sebagainya. Isu itu bukanlah bualan, namun realitas keseharian yang masih banyak dialami oleh BMI di Hong Kong.

Ada sebuah Novel yang ditulis ole George Orwell yang berjudul 1984. Novel itu ditulis untuk melawan situasi ketertindasan. Ada satu kutipan yang menarik yang ditulis oleh Winston, tokoh utama dalam novel tersebut demikian,” Sebelum mereka menjadi sadar, mereka tidak akan pernah berontak; dan sebelum mereka berontak mereka tidak pernah menjadi sadar.”

Berbagai slogan yang tertulis, teriakan dan seruan, dan juga berbagai nyanyian yang dilakukan oleh para BMI yang ikut serta dalam peringatan May Day menyiratkan bahwa mereka sudah diambang sadar karena mereka berontak terhadap situasi yang saat ini sedang menjerat mereka sebagai BMI. Kesadaran terhadap sistem yang menindas dan seruan untuk menggalang solidaritas atas sistem tersebut sudah dilakukan oleh gerakan buruh dalam kurun waktu yang lama. Menarik bahwa di zaman ini masih ada seruan tentang  penghapusan perbudakan.

Apa yang dimaksud dengan perbudakan? Konvensi Perbudakan tahun 1926 merumuskan perbudakan adalah sebuah keadaan di mana seseorang menggunakan kekuatan untuk menjadikan seseorang objek pembelian; menggunakan seseorang atau pekerjaannya secara substansial tidak dibatasi; mengontrol atau membatasi pergerakan seseorang; dan menggunakan layanan seseorang tanpa kompensasi yang sepadan.

Rumusan Konvensi Perbudakan tahun 1926 tersebut masih ada sampai dengan sekarang dalam bentuk yang lebih canggih. Kelima gadis berpakaian hitam melukiskan bahwa praktik perbudakan moderen masih terjadi BMI di Hong Kong. Dalam peringatan May Day 2019 seruan untuk mengakhiri praktik perbudakan moderen itu juga menjadi isu utama. Dengan begitu yakin, seorang aktivis PILAR memegang sebuah kertas yang bertuliskan “End Modern Day Slavery in HK!” Slogan ini salah satu kesadaran yang muncul akibat “memberontak” terhadap situasi perbudakan di kalangan buruh migran di zaman sekarang.

Melawan Lewat Lagu

Bentuk perlawanan selalu memunculkan kreatifitas, entah lewat parodi atau mengubah syair lagu. Demikian juga di kalangan aktivis buruh migran di Hong Kong. Salah seorang aktivis yang tergabung dalam JBMI (Jaringan Buruh Migran Indonesia) dengan penuh semangat memimpin kawan-kawannya untuk meneriakan yel-yel dan menyanyikan lagu. Salah satu lagu yang digubah syairnya adalah lagu Kolam Susu menjadi Kolam Susah:

Bukan lautan hanya kolam susah
Buruh migran selalu diupah murah
Tiada jaminan tiada perlindungan
Masuk PT jadi korban pemerasan

Orang bilang kami pahlawan devisa
Tapi nasibnya diabaikan negara
Kami juga disebut sbagai pekerja
Tapi kami tak merasakan merdeka

Bukan lautan hanya Kolam Susah
Upah dirampas tanah juga dijarah
Tuntut hak katanya rusak citra negara
PT, agen jahat pemerintah diam saja

Orang bilang tanah kita tanah surga
Hasil alamnya lari entah ke mana
Buruh Migran ada di mana-mana
Karna kemiskinan semakin marajalela.....Hoiii...!!!

Lagu-lagu perlawanan ini dinyanyikan sepanjang jalan dari Victoria Park menuju Gedung Legislative Council di Central. Selain menyanyikan lagu, kelompok-kelompok organisasi buruh migran juga meneriakan yel-yel yang sama yaitu, “Long Live International Solidarity”. Yel-yel ini diserukan dalam berbagai bahasa, baik bahasa Indonesia, Inggris, Cantonese dan Tagalog. Semuanya seolah disatukan dalam sebuah ikatan yang sama yaitu perjuangan membangun solidaritas.

“Saya ikut aksi May Day ini untuk memperjuangkan nasib saya dan teman-teman. Kita tidak ingin lagi dijerat oleh overcharging dan kasus-kasus pelecehan seksual yang menimpa teman-teman,” demikian tegas Lenny salah satu aktivis PILAR. Solidaritas dalam situasi tertindas adalah kunci untuk memperjuangkan penghapusan praktik-praktik yang tidak adil dalam sistem pengaturan ketenagakerjaan di Hong Kong. Rupanya, situasi ini juga didukung oleh berbagai kalangan. Terbukti bahwa kelompok yang tergabung dalam peringatan May Day di Hong Kong juga didukung oleh kalangan mahasiswa dan juga difabel. Bahkan, ada seorang ibu tua dengan memakai “caping” dengan tenang ikut berjalan dari Victoria Park dengan penuh semangat. Caping itu dituis dengan huruf Cantonese, namun artinya tentu tidak jauh dari seruan tentang membangun solidaritas untuk sebuah sistem yang adil.

Sepanjang siang itu, aksi damai peringatan May Day berjalan dengan tertib, dan menarik perhatian banyak orang di sepanjang jalan dari Causeway Bay sampai dengan Central.  Sesampainya di Gedung Legislative Council, sudah ada panggung yang disiapkan dan penampilan musik yang dibuat oleh kelompok pergerakan buruh di Hong Kong.

Satu lagu yang tentu sangat mengena bagi para pejuang gerakan buruh adalah Internationale. Syairnya dibuat dalam bahasa Cantonese, tetapi bagi mereka yang pernah belajar atau paling tidak pernah mendengar lagu ini, pasti tidak asing di telinga. Lagu Internationale adalah lagu bagi kelompok pejuang sosialisme untuk menyerukan solidaritas tanpa henti.

“Hidup internasional solidaritas, berjuang sampai menang”, demikian teriak koordinator lapangan aksi May Day yang menghapus dahaga bagi mereka yang merindukan penghapusan perbudakan moderen di peringatan May Day 2019.*

MAY DAY 2019: KAMI PEKERJA, KAMI BUKAN BUDAK!!!

(feature ini sudah dimuat d Koran Suara Hong Kong 7/5/2019) Lima perempuan mengenakan pakaian hitam dan matanya ditutup dengan kain ka...