Wednesday, January 9, 2019

Koeksistensi Penyelesaian Masa Lalu di Timor- Leste: Kebenaran, Keadilan dan Rekonsiliasi


Lepasnya Timor-Leste dari wilayah Indonesia lewat proses jajak pendapat banyak meninggalkan persoalan HAM dan kejahatan kemanusiaan berat yang sampai sekarang belum jelas pertanggungjawabannya. Semestinya tanggung jawab terhadap pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat di Timor-Leste berada di pundak aparat negara Indonesia, terutama dari kalangan polisi dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Mengapa? Karena semasa invasi Indonesia terhadap Timor-Leste (1974-1999), banyak tindakan kekerasan dilakukan oleh polisi dan tentara terhadap masyarakat Timor-Leste dengan dukungan resmi negara Indonesia. Pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat itu berupa pembunuhan tidak sah, penghilangan paksa, penyiksaan, penganiyaan, penahanan sewenang-wenang, berbagai kekerasan seksual yang dilakukan kepada perempuan Timor- Leste dan lain sebagainya.

Pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat di Timor-Leste tersebut dilakukan secara kolektif oleh aparatur negara Indonesia. Karenanya, tanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan tersebut harus dilakukan lewat keadilan formal yang transparan karena negara secara resmi memberikan legitimasi terhadap semua pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat tersebut. Penyelesaiannya tidak bisa sebatas melakukan rekonsiliasi antara kedua negara tanpa pertanggungjawaban yang adil dengan dilandasi pengungkapan kebenaran. Pembentukan Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) antara Timor-Leste dan Indonesia merupakan salah satu upaya untuk melakukan rekonsiliasi dan mengungkapkan kebenaran. Namun sayang, KKP tidak sampai mendorong pengungkapan kebenaran itu dipertanggungjawabkan di depan pengadilan.

Rekonsiliasi antara Timor-Leste dan Indonesia yang sudah diupayakan lewat pembentukan KKP belum bisa sepenuhnya memberikan jawaban atas tuntutan rasa keadilan yang diminta
oleh para korban dan keluarganya. Pengungkapan kebenaran tanpa disertai pertaggungjawaban yang adil hanya akan membuat upaya rekonsiliasi tak ubahnya manipulasi politik dihadapan para korban pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan. Meskipun demikian, rekonsiliasi tetap penting dilakukan di tengah masyarakat Timor-Leste itu sendiri pasca pengalaman kekerasan yang telah memecah rekatan sosial mereka sebagai kelompok pro-integrasi dan pro-kemerdekaan. Rekonsiliasi yang dilakukan barulah menyentuh masyarakat akar rumput dan belum bagi para pelaku utamanya, yang dikategorikan sebagai pelaku pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat. Namun demikian rekonsiliasi akar rumput tersebut sangat penting artinya sebagai proses awal pemulihan kehidupan pasca tragedi kemanusiaan politik di Timor-Leste yang memuncak pada tahun 1999.

Berdasarkan pengalaman dalam menyelesaikan berbagai persoalan kekerasan di Timor- Leste, tulisan ini menawarkan sebuah pandangan bahwa penyelesaian pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan masa lalu tidak cukup dengan melakukan proses rekonsiliasi. Rekonsiliasi harus disertai atau diikuti oleh dua prinsip pokok yang tidak bisa diabaikan yaitu kebenaran dan keadilan. Pertanyaan yang mendesak untuk dijawab adalah: apakah rekonsiliasi bisa atau baik dilakukan untuk para pelaku kekerasan yang berakibat pada pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat? Bagaimana kita akan menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat yang secara kolektif dilakukan oleh aparatur negara? Dua pertanyaan pokok ini akan dijawab dalam tulisan ini dengan melihat konteks persoalan di Timor-Leste pasca Jajak Pendapat 1999.

Berawal dari pengalaman Proses Rekonsiliasi Komunitas (PRK) yang dilakukan di Timor- Leste, tulisan ini mau membidik persoalan dasar yang selalu “meleset” untuk disentuh dalam penyelesaian pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat masa lalu. Dalam tingkat akar rumput, rekonsiliasi tampak menjawab kebutuhan praktis agar masyarakat yang baru saja mengalami konflik kekerasan bisa segera menata hubungan sosial mereka. Proses rekonsiliasi bisa diterima dan dilakukan oleh masyarakat tanpa meninggalkan prinsip kebenaran dan keadilan. Hal itu bisa lebih cepat dilakukan di kalangan masyarakat akar rumput karena pelanggaran yang mau diselesaikan lewat proses rekonsiliasi bukanlah pelangaran HAM atau kejahatan kemanusiaan berat. Sebuah kenyataan yang sangat problematis kalau praktik rekonsiliasi tersebut diperuntukkan bagi para pelaku pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat. Para pelaku lebih senang memilih rekonsiliasikarena bisa mengabaikan kedua prinsip fundamental yang lain yaitu kebenaran dan keadilan.

Proses Rekonsiliasi Komunitas (PRK) di Timor-Leste

Program rekonsiliasi akar rumput bagi masyarakat Timor-Leste yang terbelah dalam dua kelompok besar pro-integrasi dan pro-kemerdekaan secara resmi dilakukan oleh Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi (CAVR/Comissão de Acolhimento, Verdade e Reconciliação). CAVR telah merampungkan mandatnya untuk mengungkapkan kebenaran masa lalu tentang berbagai pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan di Timor-Leste dari rentang tahun 1974-1999, baik yang dilakukan oleh gerakan pembebasan Timor-Leste dan terutama oleh aparatur negara Indonesia. Hasil kerja tersebut secara lengkap telah dituliskan dalam laporan Chega!

Dalam laporan Chega! dijelaskan bahwa pada bulan Oktober 1999, sekitar 180.000 pengungsi di Timor Barat sudah kembali ke Timor-Leste (Chega!, Volume IV, 2010: 2703). Para pengungsi yang masih memutuskan untuk tinggal di Indonesia adalah para komandan milisi, orang Timor anggota TNI, pejabat sipil, dan politikus pro-otonomi yang ditengarai bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat pada 1999. Hal ini terjadi karena Pasukan Internasional di Timor-Leste (Interfet) dan juga UNTAET menyatakan bahwa jika ada orang-orang yang dicurigai melakukan kejahatan berat kembali ke Timor- Leste, mereka akan ditangkap dan diadili.

Selain itu, banyak di antara para pengungsi memang berperan relatif kecil dalam kekerasan dan penghancuran. Ribuan orang Timor-Leste yang bergabung dengan kelompok milisi, termasuk di antaranya yang dipaksa untuk ikut bergabung dengan kelompok tersebut. Mereka ini kebanyakan ikut bergabung dan melakukan tindakan kekerasan, seperti melakukan pembakaran rumah, pemukulan, intimidasi, dan penjarahan. Sebagian pengungsi adalah mereka yang sebenarnya tidak melakukan tindakan kekerasan, namun menjadi bagian dari anggota keluarga dari orang-orang Timor-Leste yang melakukan tindak kejahatan atau para pendukung integrasi. Untuk menyelesaikan “pelanggaran HAM tidak berat” ini, CAVR melakukan Proses Rekonsiliasi Komunitas (PRK) (Chega!, Volume IV, 2010: 2703)

PRK ini sangat penting dilakukan bagi warga Timor-Leste. Mengapa? Karena warga Timor-Leste yang melakukan pelanggaran HAM dan tindakan kejahatan, namun dikategorikan sebagai “kejahatan tidak berat”, tetap membutuhkan proses pengadilan. Akan tetapi, menjadi persoalan di sini, bagaimana sistem dan mekanisme untuk mengadili ribuan orang dalam waktu yang bersamaan? Selain itu, ada desakan bahwa kembalinya para pengungsi dan orang-orang yang terlibat dalam kekerasan pasca Jajak Pendapat 1999 harus cepat diintegrasikan ke dalam sistem sosial masyakat Timor-Leste agar kehidupan bisa segera berjalan (agak) normal. Maka dari itu, demi alasan praktis dan pragmatis bahwa kehidupan harus mulai berjalan (agak) normal, ditempuhlah Proses Rekonsiliasi Komunitas (Chega!,Volume IV, 2010: 2701). CAVR merancang PRK sebagai upaya untuk memajukan rekonsiliasi akar rumput di antara sesama warga Timor-Leste karena hubungan mereka jelas telah hancur berantakan oleh konflik kekerasan.

Rekonsiliasi komunitas akar rumput ini sudah dimulai sejak para pengungsi dan orang- orang Timor-Leste yang melakukan kejahatan kemanusiaan tidak berat berada di kamp- kamp pengungsi Timor Barat. Banyak lembaga kemanusiaan, salah satunya Jesuit Refugee Service Indonesia, sangat terlibat aktif dalam mengawali program rekonsiliasi komunitas tersebut. PRK menjadi salah satu bentuk “uji coba,” karena belum pernah dilakukan sebelumnya. Paradigma yang mendasari PRK adalah keadilan retributif. Keadilan retributif ini dilakukan di kalangan warga Timor-Leste untuk mulai mengintegrasikan orang-orang yang terkucil dari komunitasnya sendiri karena mereka pernah melakukan pelanggaran “kurang berat” yang terkait dengan konflik-konflik politik di Timor-Leste. Proses rekonsiliasi ini menekankan bahwa orang-orang yang melakukan pelanggaran tidak berat telah siap melakukan proses rekonsiliasi bersama. Karenanya, dalam praktiknya proses rekonsiliasi ini sangat menekankan mekanisme partisipatif di tingkat desa-desa. PRK mencoba menggabungkan praktik keadilan tradisional, arbitrase, mediasi, aspek hukum pidana dan perdata (Chega!, Volume IV, 2010: 2701-2702).

PRK menjadi salah satu solusi yang mendesak, namun tidak mengabaikan prinsip keadilan dan kebenaran dalam tingkat komunitas. Selain itu, sangat menarik bahwa PRK mengangkat kembali fungsi hukum lisan yang mengacu pada keadilan tradisional. Hukum atau peradilan lisan ini mendesak untuk dihidupkan kembali karena selama proses pendudukan Indonesia, baik hukum lisan dan formal tidak lebih sebagai alat penindasan dan bukan alat untuk melindungi rakyat. Hukum lisan ini juga dihancurkan dan digunakan sebagai alat manipulasi yang dilakukan oleh TNI dan aparatur negara Indonesia lainnya untuk mengadu domba sesama warga Timor-Leste sendiri. Maka dari itu, PRK mencoba mengangkat kembali kekuatan hukum lisan ini di tengah warga Timor-Leste. Hukum lisan ini memang memiliki akar pada tradisi dan budaya Timor-Leste dan memang terbukti efektif untuk melakukan proses penyelesaian pelanggaran atau kejahatan tidak berat pasca Jajak Pendapat 1999.

Dalam praktiknya PRK tidak dilepaskan dari prosedur hukum formal. Karenanya, dalam pelaksanaannya diawasi oleh Panel Kejahatan Biasa di Pengadilan Distrik di Dili. Panel ini memiliki wewenang untuk menangani tindak kejahatan baru, tetapi juga berbagai tindak kejahatan “kurang berat” yang terjadi selama masa konflik politik. Haruslah diakui, setelah Timor-Leste merdeka, negara baru ini belum memiliki hakim, jaksa dan pengacara yang berpengalaman dalam bidang hukum. Hal ini menjadi kelemahan hukum formal yang baru dibentuk, meskipun dengan segala keterbatasannya para profesional hukum dan petugas administrasi pengadilan sudah berusaha untuk bekerja dengan baik.

Akan tetapi hukum formal jelas tidak bisa mengakomodasi berbagai kasus berat dan kasus- kasus baru yang muncul. Apalagi sistem hukum Timor-Leste harus segera menangani dan menyelesaikan berbagai bentuk kejahatan “kurang berat” yang menumpuk sebagai akibat pelanggaran HAM dan tindak kejahatan pada masa lalu. Jelas bahwa tindak kejahatan dan pelanggaran HAM “kurang berat” ini kalau dibiarkan akan menjadi impunitas total. Jika ini terjadi maka akan menghambat upaya penghormatan pada kekuasaan hukum di negara baru ini. Selain itu, impunitas total di tengah warga Timor-Leste akan menimbulkan dorongan untuk main hakim sendiri dan balas dendam yang dengan mudah akan menyulut emosi warga Timor-Leste serta akan menimbulkan gelombang kekerasan baru (Chega!, Volume IV, 2010: 2704-2705).

Keadilan tradisional ini mengacu pada praktik penyelesaian tradisional di Timor-Leste yang dikenal dalam bahasa Tetun sebagai upacara nahe biti boot yang artinya “menggelar tikar bersama.” Upacara ini dipimpin oleh pemimpin spiritual yang disebut lia nain. Lewat upacara inilah warga Timor-Leste sering menyelesaikan perselisihan yang terjadi antar mereka. Tikar besar tidak boleh dilipat sebelum tercapai penyelesaian. Dalam peradilan tradisional, lia nain memainkan peran penting sebagai fasilitator dan hakim. Meskipun prosedur lisan ini berbeda-beda di setiap daerah, namun pada umumnya nahe biti boot ini memiliki prinsip yang sama di seluruh pelosok Timor-Leste. Maka dari itu, proses rekonsiliasi yang dilakukan di Timor-Leste pasca Jajak Pendapat 1999 mengambil sistem peradilan tradisional untuk mencari pemecahan terhadap perselisihan antara korban dan pelaku. Peradilan tradisional ini tidak mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan pengungkapan kebenaran.

Nilai dasar dalam peradilan tradisional yang sudah berurat dan berakar dalam budaya Timor-Leste digunakan untuk menyelesaikan persoalan masa lalu antara korban dan pelaku di tengah komunitas warga Timor-Leste. Sistem hukum tradisional yang menggunakan budaya lisan ini dalam praktiknya diteguhkan juga dengan regulasi tertulis. PRK ditetapkan lewat Regulasi 10/2001 yang disahkan oleh Dewan Nasional pada 13 Juni 2001. Pelaksanaan PRK itu sendiri memakai prinsip-prinsip berikut (Chega!, Volume IV, 2010: 2721):
  1. Membantu rekonsiliasi antara pelaku, korban dan komunitasnya.
  2. Mengandalkan partisipasi sukarela dari semua pihak.
  3. Memfasilitasi tercapainya kesepakatan dengan pelaku, dengan partisipasi korban dan keluarga mereka, pemimpin komunitas, serta masyarakat luas. 
  4. Korban dan pihak-pihak berkepentingan lainnya harus mendapatkan kesempatan bicara.  
  5. Semua pihak harus mendapatkan kesempatan menyaksikan pengakuan pelaku.  
  6. Pertemuan harus bersifat antikekerasan dan dalam mempersiapkan pertemuan langkah-langkah pengamanan harus dilakukan untuk menghindari konflik fisik.  
  7. Pertemuan harus bebas dari alkohol untuk mencegah emosi menjadi tidak terkontrol  
  8. Proses PRK harus mengakui bahwa pemahaman tentang konteks politik yang melatarbelakangi kejahatan yang dilakukan si pelaku mempunyai potensi untuk penyembuhan.
Menarik di sini bahwa keadilan tradisional yang berdasarkan tradisi lisan di Timor-Leste digunakan sebagai pilihan untuk membuat pengungkapan kebenaran sekaligus pencapaian keadilan dalam konteks komunitas akar rumput dan warga di desa-desa yang tersebar di seluruh pelosok Timor-Leste. CAVR mencatat bahwa PRK merupakan program yang cukup efektif untuk mengadili dan memberi sangsi bagi para pelaku tindakan pelanggaran HAM dan kejahatan dalam kategori tidak berat, yaitu mereka yang melakukan pencurian, penyerangan ringan, pembakaran, intimidasi, merusak fasilitas umum, pemukulan, pembunuhan hewan ternak, dan lain sebagainya. Para pelaku kejahatan tidak berat (deponen) ini menjadi subyek utama dalam pelaksanaan rekonsiliasi. Mereka diharuskan untuk memberikan kesaksian dan pengakuan atas tindak kejahatannya di masa lalu di hadapan para korban.

Maka dari itu, dalam prosedur pelaksanaan PRK sendiri kesaksian deponen dan kemudian tanggapan dari para korban menjadi unsur yang paling utama dan fundamental. Deponen menyampaikan secara lisan tindakan-tindakan yang ia mohon untuk dijadikan bahan untuk rekonsiliasi. Deponen kemudian diminta untuk memberikan kesaksian selengkap mungkin atas apa yang dia lakukan. Setelah itu ada proses klarifikasi dari panel. Panel kemudian membuat pertanyaan-pertanyaan klarifikasi, bisa lisan atau tertulis. Pertanyaan bisa sampai pada penggalian informasi dan motivasi para deponen mengapa melakukan tindak kejahatan. Selanjutnya klarifikasi dari para korban yang namanya disebut dan menanyakan kepada deponen akan apa yang dia lakukan di masa lalu terhadap para korban. Inilah kali pertama, para korban bisa menceritakan kisah mereka dan mengkonfrontasikan dengan pelaku tentang kejahatan yang sudah mereka lakukan terhadap korban. Proses masih terus dilanjutkan dengan rekonsiliasi antara anggota komunitas. Rekonsiliasi ini dipimpin oleh panel. Setelahnya, anggota komunitas secara bersama-sama membuat deklarasi tindakan rekonsiliasi, permintaan maaf atau sumpah dari para deponen, penandatanganan kesepakatan rekonsiliasi dan diakhiri dengan penutupan (Chega!, Volume IV, 2010: 2722- 2725).

CAVR melaporkan bahwa program PRK ini sangat efektif, karena selama pelaksanaannya program PRK sudah menerima 1.541 dari deponen yang menyatakan keinginannya untuk mengikuti PRK. Realisasinya ada 1.371 kasus yang berhasil diselesaikan melalui proses PRK. Namun demikian, PRK tidak menggantikan pengadilan atau hukum formal. Kasus- kasus pelanggaran HAM dan kejahatan berat tetap ditangani oleh Kejaksaan Agung. Berdasarkan regulasi yang sudah ditentukan, Kejaksaan Agung membuat keputusan apakah suatu kasus dapat ditangani dalam PRK atau tidak. Atau sebaliknya, dalam pelaksanaannya PRK bisa merekomendasikan bahwa kasus ini tidak bisa diputuskan oleh PRK. Dalam banyak hal, PRK juga membantu pengungkapan kebenaran terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM dan kejahatan berat di masa lalu. Dalam hal ini panel harus membawa kasus itu ke Kejaksaan Agung.

Data yang dipaparkan oleh CAVR menyebutkan bahwa Kejaksaan Agung tidak mengizinkan 85 kasus diselesaikan melalui proses PRK dan harus ditangani oleh Kejaksaan Agung. Sedangkan 32 kasus harus ditangguhkan penanganannya karena masuknya informasi tambahan yang menengarai deponen terlibat dalam “tindak kejahatan berat” atau masyarakat menolak kesaksian deponen (Chega!, Volume IV, 2010: 2736-2737). Lepas dari segala keterbatasannya, PRK telah menorehkan sejarah bagi penyelesaian masa lalu bagi warga Timor-Leste dalam tingkat akar rumput. Karena lewat PRK, terjadi proses pengungkapan kebenaran dan tidak membiarkan impunitas.

Selain itu, PRK memang didasarkan pada prinsip keadilan retributif yang akhirnya sedikit diselesaikan dengan keadilan restoratif. Korban bisa mendapatkan pemulihannya, meskipun belum mencakup sesuatu yang mendasar, namun pemberlakuan sistem ganti rugi oleh pelaku terhadap korban sudah sedikit membuka jalan bagi penyelesaian dalam bingkai keadilan. Para pelaku kejahatan ringan yang sudah terbukti bersalah dihukum atau membayar ganti rugi, misalnya dengan memperbaiki rumah korban yang dulu dirusak, melakukan kerja bakti untuk membangun desa, atau menukar barang-barang yang dulu mereka jarah dari para korban. Bahkan, seperti dilaporkan CAVR, korban dan deponen sama-sama menanggung hukuman, misalnya melakukan kerja bakti bersama untuk membangun kampung atau mengumpulkan uang bersama untuk mengganti barang-barang yang dijarah atau dirusak oleh deponen.

Oposisi Biner dalam Persoalan Masa Lalu

Sekali lagi, meskipun tidak bisa menuntaskan semua persoalan masa lalu, PRK sudah menjadi simbol bagi berakhirnya konflik dalam tingkat komunitas. PRK menjadi ruang untuk mencairkan trauma lewat proses transference dalam lingkup komunitas atau masyarakat akar rumput. Gagasan transference dikembangkan kembali oleh Dominick LaCapra dalam usahanya menulis kembali sejarah holocaust di Jerman dengan menggunakan perspektif psikoanalisa Freudian. Transference dalam pengertian dasar yang dikembangkan oleh Freud adalah tindakan melakukan repetisi terhadap pengalaman masa lalu. Tindakan repetisi ini membawa serta hal yang paling rumit yakni relasi Oedipus. Dalam pengertian yang dikembangkan oleh Freud, relasi Oedipus ini biasa digambarkan sebagai hubungan antara orang tua dan anak yang tidak cocok atau timpang. Model hubungan tersebut bisa dipakai dalam konteks yang lebih luas, misalnya dalam hubungan antara guru dan murid, dokter dan pasien, dan seterusnya (LaCapra, 2001:142). Dalam konteks kekerasan politik seperti di Timor-Leste, hubungan itu bisa juga diberlakukan dalam hubungan antara pelaku dan korban. Relasi yang tidak cocok atau timpang terjadi karena dalam prosesnya terjadi “mistifikasi” dalam komunikasi antar mereka. Komunikasi tidak menemukan titik temu karena di dalamnya masih disembunyikannya kepentingan untuk menguasai, menindas, dan bahkan meniadakan otonomi atau kebebasan yang lain.

Maka, bagi LaCapra transference merupakan usaha untuk mencari celah interpretasi terhadap peristiwa kekerasan masa lalu. Mistifikasi” tersebut harus dapat diatasi dalam proses transference. Karenanya, transference selalu membawa problem etis dan politis karena dalam tindakan repetisi tersebut termuat ingatan traumatis akan peristiwa kekerasan masa lalu. Repetisi tersebut selain dimengerti sebagai peristiwa mental-individual, namun juga bisa dilihat dalam konteks hubungan masyarakat yang lebih luas. Masyarakat yang pernah mengalami konflik kekerasan pasti tidak bisa melepaskan ingatan mereka terhadap pengalaman trauma masa lalunya. Repetisi terhadap pengalaman masa lalu itu selalu mengandung dua unsur dasar yang melekat di dalamnya, yakni “acting-out” dan “working through” (LaCapra, 2001: 142). Dua konsep dasar itu juga merupakan konsep kunci dalam psikoanalisa Freud. LaCapra menggunakan dua pendekatan psikoanalisa tersebut lebih dalam pengertian politis dan etis untuk memahami trauma masa lalu akibat dari kekerasan yang terjadi.

LaCapra menekankan bahwa tindakan repetisi tidak bisa lepas baik dari “acting out” atau “working through”. Namun, keduanya memiliki pengertian dan dampak yang sangat berbeda satu dengan yang lainnya. “Acting-out” merupakan tindakan repetisi yang masih dilekati oleh emosi yang kental terhadap masa lalu. Letupan emosi menyelimuti tindakan repetisi dan masih membawa “beban” pengalaman traumatis yang wujud representasinya berupa rasa marah, dendam, kebencian, dan segala bentuk produksi tindakan yang akan menimbulkan kekerasan berulang. Sedangkan “working through” merupakan tindakan repetisi yang mampu membuat “jarak secara kritis” terhadap pengaruh kekerasan. Pengalaman traumatis masa lalu bukan merupakan kumpulan emosi, namun berhasil disikapi secara rasional untuk mengambil jarak terhadap letupan-letupan yang akan mereproduksi kekerasan. Namun dalam proses melakukan repetisi, dua aspek tindakan itu bisa saja hadir secara bersamaan. Maka dari itu, proses PRK merupakan transference karena memuat dua tindakan repetisi, baik “acting-out” dan “working through”.

Transference selalu memuat baik tindakan dalam kategori “acting-out” dan “working through”. Maka dari itu proses transference belum mampu melepaskan diri dari persoalan oposisi biner. CAVR memberikan sebuah gambaran yang sangat menarik bagaimana oposisi biner dalam PRK di Timor-Leste terjadi. Oposisi biner yang sangat mencolok terjadi dalam tegangan dalam penggunaan tradisi lisan dan tertulis (regulasi). Saat regulasi tertulis mampat untuk mencari celah bagi penyelesaian masa lalu yang terjadi di tengah masyarakat pasca konflik kekerasan yang brutal, tradisi lisan bisa memberikan jalan alternatif untuk menyelesaikannya. Di saat tradisi lisan tidak lagi cukup untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran atau kejahatan berat, tradisi tertulis seolah diminta dengan otoritasnya untuk menuntut tanggung jawab atas perbuatan itu.

Oposisi biner terus terjadi di sini, yaitu lisan dan tertulis, hukum tradisional dan hukum formal, pelanggaran berat dan pelanggaran tidak berat, pelaku dan korban, masa lalu dan masa sekarang dan seterusnya. Karenanya, oposisi biner ini jika tidak mendapat representasi baru atas simbol-simbol yang mampu menciptakan ruang semiosis akan terus melanggengkan mekanisme “kambing hitam.Kalau salah satu dari yang lainnya lebih kuat posisinya, komposisi relasi akan berjalan timpang sehingga ketidakadilan akan terus berjalan. Dalil atau interpretasinya pasti akan berbunyi: yang satu akan menyalahkan (mengalahkan) yang lainnya, dan yang lainnya akan terus-menerus menuntut kepada yang memiliki kekuatan untuk meminta pertanggungjawaban dalam posisi sebagai korban. Namun kebanyakan fakta yang seringkali terjadi bahwa yang kuatmampu menundukkan tuntutan yang lemah. Situasi seperti inilah yang dapat dipahami sebagai komunikasi yang terus dibayangi oleh tindakan “mistifikasi” dalam relasi Oedipus. Jika tidak teratasi situasi tersebut akan mereproduksi kekerasan yang akan meletup di tengah masyarakat Timor- Leste.

Oleh karena itu, selalu saja ditemukan bahwa setiap pembahasan mengenai persoalan pelanggaran HAM dan kejahatan masa lalu akan membawa kita dalam delima etis yang tidak selalu mudah ditemukan jalan keluarnya. Delima etis tersebut akan sangat kuat tergambarkan lewat ketegangan antara “batasan-batasan normatif(normative limits) dan “akibat yang melampaui batasan-batasan normatif” (excess) dari pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan di masa lalu. Delima etis tersebut bisa dipahami lewat penjelasan La Capra (2001: 153-154) demikian,

"Saya setuju tentang sesuatu yang sangat penting seperti pernah dikatakan oleh Benjamin sebagai “kelemahan nilai-nilai mesianik”, dan saya harus mencoba untuk melihat hal tersebut dalam pengertian etika, keduanya memiliki arti yang lebih luas dan juga sangat khusus. Salah satu masalah yang mendesak tentang etika adalah kaitan antara batasan-batasan normatif dan bagaimana kita mampu melampaui atau mengatasi batasan-batasan yang ada. Kamu juga harus melihatnya lewat jalan lain di mana hubungan tersebut mampu dikembangkan dalam wilayah kehidupan yang berbeda: sebuah hubungan antara batasan-batasan normatif yang ingin kamu tegaskan dan sebuah kemungkinan tentang melampaui batasan-batasan tesebut, di mana hubungan tersebut adalah satu-satunya jalan yang ingin kamu kaji sebagai tatanan normatif yang lebih baru. Ada beberapa bentuk tatanan normatif yang mungkin ingin kamu pertanyakan, beberapa di antara kamu mungkin juga ingin merombaknya, dan yang lainnya mungkin ingin mengujinya secara kiritis dan mungkin juga ada yang ingin mensahkannya. Akan tetapi sebuah hubungan antara batasan-batasan dan usaha untuk melampaui batasan- batasan tersebut merupakan masalah yang sangat mendasar. Sekali lagi, salah satu hambatan dalam cara berpikir kontemporer, postmoderen, poststruktural adalah bagaimana memperhatikan atau bahkan menegaskan berbagai usaha untuk mengatasi batasan-batasan tersebut tanpa cukup memberikan perhatian pada masalah-masalah aktual dan hubungan yang dapat dikehendaki antara usaha untuk melampauinya dan batasan-batasan itu sendiri (atau sebuah hiperbola dan kerangka pemahahaman)."

Penjelasan La Capra tersebut menegaskan bahwa rekonsiliasi sebagai tindakan normatif untuk menyelesaikan persoalan masa lalu banyak memiliki keterbatasan secara normatif. Rekonsiliasi belum mampu keluar untuk menemukan jalan baru sebagai usaha untuk melampaui batasan-batasan normatif yang sudah ada. Rekonsiliasi mungkin saja akan terus mengidap semacam sindrom “kelemahan nilai-nilai mesianik” (weak messianic values). Sindrom tersebut akan terus menguat jika rekonsiliasi diminta sebagai satu-satunya cara untuk menyelesaikan seluruh “akibat yang melampaui batasan-batasan normatif” (excess) yang diakibatkan oleh pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat. Rekonsiliasi bisa menyelesaikan pelanggaran dan kejahatan tidak berat, namun tidak bisa menuntaskan persoalan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat yang sebenarnya menjadi kunci mengapa masyarakat Timor-Leste mengalami kehancuran dan ketiadaan total dalam kehidupan mereka bersama pasca konflik kekerasan yang diciptakan oleh permainan politik yang menggunakan prinsip-prinsip supra individual.

Para pelaku pelanggaran HAM dan kejahatan berat selalu menggunakan prinsip-prinsip supra individual untuk melakukan mistifikasi dalam proses rekonsiliasi. Istilah supra individual ini digunakan oleh Umberto Eco untuk menjelaskan bahwa nilai-nilai dan norma dalam kebudayaan yang menguasai tingkah laku manusia. Otonomi individual, dalam hal ini kemampuan untuk menafsirkan realitas, direbut atau bahkan ditundukkan oleh prinsip- prinsip supra individual tersebut (Hoed, Benny H, 2011:91). Permainan politik supra individual selalu dilakukan oleh para pelaku pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat untuk mematikan proses semiosis terhadap penyelesaian kekerasan masa lalu. Para pelaku pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat akan memilih penyelesaian lewat proses rekonsiliasi, namun akan terus menghindar dari tuntutan prinsip keadilan dan pengungkapan kebenaran.

Dari sinilah kita bisa mengerti mengapa para pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat bisa “lepas” dari jerat hukum karena para pelaku selalu berhasil merebut ruang semiosis terhadap dua prinsip dasar yaitu kebenaran dan keadilan. Para pelaku bisa keluar dari “batasan-batasan normatif” yang sudah ada dan mampu membangun posisi yang kuat untuk tidak terjerat dalam tuntutan normatif. Bahkan situasinya justru sebaliknya, batasan-batasan normatif tersebut bisa mereka jungkirbalikkan untuk merebut ruang semiosis yang dilakukan oleh para korban. Posisi para pelaku seolah selalu bisa “malampaui batasan-batasan normatif” yang sudah ada. Ironisnya, batasan-batasan normatif tersebut sebenarnya mengikat mereka sebagai bagian dari kewajiban yang harus dijalankan dan dipenuhi sebagai aparatur negara. Inilah mengapa penyelesaian masa lalu dalam kasus Timor-Leste selalu berujung pada impunitas.

Selain itu, prinsip-prinsip supra individual tersebut akan selalu digunakan untuk mematikan kemampuan para korban dalam merebut ruang tafsir masa lalu. Maka, dalam konteks tersebut, para pelaku pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat akan terus berusaha untuk melakukan mistifikasi kebenaran dan menghindar dari tuntutan keadilan dari para korban. Praktik rekonsiliasi bisa menjadi ruang yang sangat “nyaman dan aman” untuk melakukan mistifikasi. Dalam proses rekonsiliasi tersebut prinsip-prinsip supra individual akan dipraktikkan oleh para pelaku pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat untuk membungkam ruang semiosis para korban yang menuntut pengungkapan kebenaran dan pemenuhan keadilan. 

Karenanya, para korban selalu kehilangan otonomi-individual mereka karena simbol komunikasi selalu bisa ditundukkan oleh para pelaku pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat. Kondisi seperti ini, secara implisit, merupakan tujuan dari pembentukan Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) HAM antara Indonesia dan Timor-Leste. Seperti pernah saya ungkapkan demikian (Kristanto, 2012: 4),

"Memang demikianlah apa yang juga kita saksikan dalam pembentukan berbagai komisi dan pengadilan untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM dan kejahatan masa lalu. Tidak jauh bersingsut dari tampilan teatrikal, KKP HAM juga telah mempertontonkan secara sempurna dan sangat menawan akhir sebuah cerita dari remuknya keadilan bagi para korban dalam judul besar rekonsiliasi dan persahabatan. Dalam panggung KKP HAM, kita bisa melihat bagaimana “act” diperankan dengan sangat baik oleh para pemimpin kedua negara, baik oleh Xanana Gusmao sebagai presiden Timor-Leste dan Megawati Soekarno Putri sebagai presiden Indonesia. Sebuah “stage” yang meyakinkan untuk memberikan amnesti tanpa akuntalibilitas kepada para pelaku dilakoni dengan sangat bagus juga oleh Marty Natalegawa sebagai juru bicara Departemen Luar Negeri (Deplu). Dia mengatakan bahwa penyelesaian masa lalu antara Indonesia dan Timor-Leste, termasuk dalam proses pelanggaran HAM yang berat, hanya akan menggunakan KKP, dan komisi ini dibentuk untuk mendapatkan kebenaran sekaligus mendorong rekonsiliasi antara rakyat dan pemerintah kedua negara. Maka Komisi menampik kehadiran Komisi Ahli (Commission of Experts) dari PBB untuk mengawasi kinerja KKP HAM."

Itulah mengapa proses rekonsiliasi bisa tepat dan efektif dilakukan untuk masyarakat akar rumput untuk kasus-kasus pelanggaran HAM dalam kategori tidak berat. Namun, tidak bisa dilakukan bagi para pelaku pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat. Mengapa rekonsilliasi mudah dilakukan bagi komunitas atau masyarakat akar rumput? Karena “batasan-batasan normatif” yang dilakukan oleh pelaku pelanggaran HAM tidak diinterpretasikan sebagai tindak pelanggaran berat dalam kehidupan mereka. Dari pelaksanaan PRK, kita menjadi tahu bahwa rekonsiliasi tepat dan efektif dilakukan dalam tingkat komunitas akar rumput karena prinsip-prinsip supra individual tidak berperan secara dominan dalam hubungan antarwarga Timor-Leste yang tercerai berai oleh konflik kekerasan politik. Dalam arti lain, tidak terlalu banyak mistifikasi komunikasi dan proses semiosis terhadap masa lalu yang ditundukkan oleh pelaku politik supra individual. Deponen dan korban masih memiliki otonomi-individual untuk melakukan tafsir atas realitas masa lalu dalam kaca mata masing-masing. Rekonsiliasi yang dilakukan lewat program PRK persis menjadi perwujudan dari apa yang dijelaskan oleh Louis Kriesberg (2001: 48) demikian,

"Rekonsiliasi mengacu pada proses di mana pihak-pihak yang telah mengalami hubungan yang sangat menindas atau konflik yang destruktif kemudian secara bersama bergerak ke wilayah lain untuk mendapatkan atau mengubah hubungan yang mereka percayai bisa diterima secara minimal oleh semua pihak. Inilah jalan, sesuatu yang pasti, memajukan perdamaian dan, secara optimal, juga keadilan. Rekonsiliasi juga dimengerti sebagai sebuah aspek kehadiran hubungan yang ditandai oleh berbagai tingkatan untuk saling menerima satu sama lain. Dalam pengertian ini, rekonsiliasi diharapkan bisa membangun perdamaian di masa depan dan hubungan yang lebih pasti."

Melihat kenyataan adanya oposisi biner yang masih terus berjalan, terutama dalam kategori pelanggaran HAM berat dan tidak berat, haruslah diakui bahwa PRK belum memiliki daya kekuatan untuk menggempur kejahatan besar dan impunitas dalam tingkat pelaku politik supra individual. Maka dari itu, proses rekonsiliasi yang dilakukan oleh warga Timor-Leste dalam tingkat akar rumput masih merupakan pemenuhan “minimal” dari apa yang disebutkan sebagai tuntutan atas keadilan dan kebenaran pada masa lalu karena belum secara total memupus impunitas yang dilakukan oleh para pelaku politik supra individual sabagai pelaku pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat. Meskipun demikian, proses PRK sendiri menjadi bagian vital sebagai upaya untuk mematahkan impunitas di tengah komunitas atau masyarakat akar rumput di Timor-Leste. Itu berarti bahwa dalam tingkat komunitas atau masyarakat akar rumput, mekanisme untuk menyelesaikan pelanggaran HAM dan kejahatan masa lalu dalam kategori tidak berat bisa cepat dilakukan karena tindakan semiosis tidak terlalu banyak terjadi mistifikasi. Dalam arti ini, apa yang dikatakan oleh La Capra mendapatkan penegasan bahwa prinsip-prinsip nilai atau norma untuk penyelesaian kekerasan masa lalu sangat tergantung dari intepretasi atas “batasan- batasan normatif” atas kejahatan dan pelanggaran HAM yang dilakukan pada masa lalu.

Dalam kasus Timor-Leste, para pelaku pelanggaran HAM dan kejahatan berat belum pernah diminta tanggung jawab seperti halnya para pelaku dalam tingkat akar rumput. Apakah benar para pelaku kejahatan berat memang mengalami perasaan yang lebih berat dalam menanggung “beban normatif” atau dampak dari tindakkan mereka, sehingga memperlambat, menghambat dan mempersulit diri mereka untuk melakukan “pengakuan” atas kejahatan yang sudah mereka lakukan di masa lalu? Kenyataan yang ironislah yang terjadi. Fakta secara fisik para pelaku pelanggaran HAM berat tersebut tidak mengalami tekanan penderitaan yang luar biasa. Kebanyakan para pelaku tersebut masih hidup lebih nyaman dan aman, tetap sebagai orang terhormat, mendapatkan fasilitas politik sebagai layaknya orang yang masih sangat berjasa di masa lalu. Bahkan di antara pelaku memiliki keyakinan sebagai orang yang pantas untuk dipilih sebagai presiden negara Indonesia, salah duanya yaitu Prabowo Subianto dan Wiranto. Jika ditilik dari sisi fakta fisik-material, para pelaku pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat justru bukan orang yang menderita dibandingkan sebagian besar para pelaku di tingkat akar rumput. Karenanya, berbicara soal penyelesaian masa lalu, keadilan normatif akan terus menyisakan pertanyaan atas persoalan mendasar yang tidak bisa tuntas diberikan. Hal ini juga dikatakan oleh Kriesberg (2001: 48) demikian,

"Keadilan di sini mangacu pada beraneka ragam segi, bisa dimengerti sebagai seperangkat sistem yang masih terus berjalan dalam proses hubungan-hubungan sosial yang bergerak maju, dan situasi tersebut dilihat sebagai sesuatu yang pantas untuk orang-orang yang terlibat di dalamnya. Keadilan tidak pernah terwujud secara utuh, dan itu biasanya menampilkan berbagai kualitas-kualitas yang saling bertentangan dan merubah standar hubungan yang sudah ada. Kita hampir pasti selalu memperhatikan berbagai tingkatan keadilan yang ada diantara pihak-pihak dalam hubungan sosial, seperti yang ditafsirkan oleh setiap anggota dari pihak-pihak itu sendiri."

Penjelasan Kriesberg menunjukkan bahwa ada lapis-lapis atau tingkatan-tingkatan keadilan yang harus dipenuhi dalam relasi sosial pasca konflik kekerasan. Kita tidak bisa langsung mengatakan bahwa keadilan tradisional yang diusahakan oleh masyarakat Timor-Leste sendiri sudah mencukupi untuk menyelesaikan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat masa lalu. Hal ini tidak bisa diterima, karena sebagian besar masyarakat di tingkat akar rumput, baik itu pelaku dan korban, adalah mereka semua yang dikategorikan sebagai “komunitas atau masyarakat korban” dari tindakan kejahatan dan pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh pelaku politik supra individual. Para pelaku politik supra individual inilah yang harus bertanggungjawab terhadap seluruh penghancuran tata sosial, ekonomi, hukum, budaya, dan kemanusiaan warga Timor-Leste secara luas dan menyeluruh.

Koeksistensi Penyelesaian Masa Lalu

Dilihat dari sisi para pelaku politik supra individual, kita akan menemui kenyataan yang sangat sulit dan rumit yakni memahami kemahiran mereka dalam melampaui dua batasan normatif yang fundamental, yakni kebenaran dan keadilan. Para pelaku ini sebenarnya memiliki tanggung jawab untuk “meneggakkan” batasan-batasan normatif tersebut, namun akhirnya gagal dalam praktiknya. Inilah yang menyebabkan impunitas selalu menjadi soal dalam penyelesaian pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat masa lalu. Tentu saja dalam bingkai rasionalitas, sulitlah kita menerima “bagaimana tindakan” kejam yang dilakukan oleh aparatur negara Indonesia secara kolektif ternyata tidak mendapatkan hukuman apa pun. Bahkan (re)interpretasi atas tindakan para pelaku tersebut mendapatkan pujian sebagai sebuah “jasa” yang patut dihargai lebih tinggi dari pada korban-korban yang telah menderita karena perilaku politik mereka. Maka dari itu, penyelesaian masa lalu tidak cukup sepatah-sepatah dikatakan atau disimbolkan lewat proses rekonsiliasi saja, melainkan harus disertai dengan pengungkapan kebenaran atau pemenuhan keadilan.

Dalam penyelesaian pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan masa lalu, baik rekonsiliasi, pengungkapan kebenaran dan perwujudan keadilan haruslah dipenuhi bersama (koeksistensi) dan tidak bisa secara sepotong-sepotong dilakukan dalam prosesnya. Pengertian koeksistensi itu sendiri diungkapkan oleh Kriesberg (2001: 48) demikian,

"Koeksistensi secara umum mengacu pada sebuah sikap menerima antara anggota-anggota komunitas yang berbeda atau negara-negara yang saling bermusuhan untuk hidup bersama kembali tanpa satu unsur dalam kolektivitas tersebut untuk mencoba lagi untuk saling menghancurkan atau merusak secara serius terhadap yang lainnya.....meskipun demikian, adalah sering hal itu dipahami sebagai sesuatu yang bergerak melampaui tingkat minimal, yakni untuk melibatkan sebuah pemahaman tentang toleransi satu sama lain dan bahkan menghargainya. Juga, hal itu kadang-kadang dipahami sebagai usaha untuk membawa persamaan hak yang relatif dalam posisi ekonomi dan kekuasaan politis. Perbedaan besar dalam kondisi-konsisi ekonomi dan kekuasaan mungkin sekali dipandang sebagai dominasi dari salah satu pihak kepada pihak yang lainnya dan sikap penerimaannya tidak simetris. Sikap penerimaan yang ditandai oleh situasi tidak simetris yang besar dan pembebanan unilateral selalu dipandang sebagai tidak adil dan hanya memuaskan salah satu pihak saja dalam hubungan koeksistensi."

Penyelesaian terhadap pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat dalam kasus Timor-Leste, harus mencakup prasyarat koeksistensi tersebut. Mengapa? Karena jika penyelesaian itu hanya menekankan hanya rekonsiliasi, pengungkapan kebenaran atau pemenuhan keadilan saja, maka akan terus melanggengkan struktur asimetris dan unilateral dari berbagai dominasi kekuatan yang terus ada. Tidak mungkin keseimbangan yang diharapkan dalam memenuhi tuntutan-tuntutan normatif tersebut, baik mencakup wilayah kekuatan ekonomi dan politik, bisa diperoleh kalau penyelesaian itu hanya mengacu pada satu aspek saja. Namun demikian, pencapaian ideal itu tidaklah mudah, bahkan realitasnya seringkali mengecewakan dan jauh dari bayangan yang diharapkan. 

Belajar dari banyak kasus penyelesaian pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat, para pelaku kejahatan berat lebih suka memilih penyelesaian lewat pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi daripada lewat hukum dan peradilan formal. Mengapa? Karena pembuatan komisi kebenaran dan rekonsiliasi biasanya tidak memiliki wewenang atau otoritas yang kuat untuk sampai pada tindakan memberikan hukuman yang setimpal bagi para pelaku kejahatan atau aktor-aktor politik supra individual. Maka dari itu, pilihan untuk melakukan rekonsiliasi merupakan pilihan yang jauh lebih “aman dan nyaman” bagi para pelaku kejahatan berat untuk bisa segera bersembunyi dari jeratan hukum positif.

Selain itu, biasanya hukum positif juga sudah hancur dan tidak lagi mampu untuk mengatasi pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat tersebut. Misalnya saja, pembentukan Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) antara Indonesia dan Timor- Leste, tidak lebih dari sebuah model komisi untuk melakukan kompromi politik. Benarlah bahwa KKP sudah melakukan pengungkapan kebenaran, namun tidak ada sedikitpun kemauan politik dari masing-masing negara, terutama dari pihak Indonesia, untuk menyelesaikannya dengan memenuhi prinsip keadilan. Alih-alih keadilan, komisi itu tidak lebih sebagai alat bagi kekuatan politik Indonesia untuk segera “cuci tangan” dari seluruh jerat hukum bagi bekas dan pejabat (militer) atau sipil Indonesia yang terlibat dalam pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat di Timor-Leste.

Karena itu, rekonsiliasi untuk penyelesaian masa lalu masih mengandung bahaya laten yang akan digunakan dan dimanfaatkan oleh para pelaku pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat untuk menghindar dari tanggung jawab mereka terhadap masa lalu. Lebih lanjut, gagasan-gagasan penyelesaian masa lalu yang hanya menitikberatkan pada rekonsiliasi sebenarnya tidak ubahnya melanggengkan impunitas. Rekonsiliasi hanya cocok dan bermanfaat untuk penyelesaian masa lalu di tingkat komunitas akar rumput, namun tidak bisa digunakan untuk tingkat yang lebih tinggi, misalnya di tingkat pejabat tinggi dan struktural negara. Bahkan dalam penyelesain kasus Timor-Leste, tanggung jawab terhadap masa lalu tidak saja terletak di pundak Indonesia, namun dunia internasional, terutama Amerika Serikat, Portugal, Australia dan juga PBB.

Negara-negara tersebut dan juga badan dunia itu, jelas telah gagal menjaga ditegakkannya prinsip-prinsip kemanusiaan di Timor-Leste, bahkan sampai sekarang mendukung the crime of silence. PBB sebagai badan dunia yang paling bertanggungjawab atas penyelidikan masa lalu Timor-Leste bahkan menguburkan dokumen penting tentang Timor-Leste yang dibuatnya sendiri. Dokumen tentang penyelidikan kejahatan kemanusiaan di Timor-Leste 1999 yang menjadi pesanan dari OHCHR (Office of the High Commissioner of Human Rights atau Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia) di PBB yang disusun oleh Geoffrey Robinson, ternyata sampai sekarang tidak ditindaklanjuti dengan pembuatan pengadilan internasional untuk para pelaku pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat di Timor-Leste 1999. 

Secara khusus untuk pemerintah Indonesia sendiri, kecenderungan untuk menguburkan dan melupakan tanggung jawab masa lalu untuk Timor-Leste sangatlah besar. Jelas sikap ini tidak akan pernah membuat Indonesia menjadi bersih dan dewasa dalam bersikap terhadap masa lalunya. Apalagi kasus pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat di Timor-Leste menjadi sangat unik, karena sebagian besar pelaku berada di Indonesia yang bukan wilayah yurisdiksi negara Timor-Leste. Itu berarti bahwa para pelaku pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat yang sebagian besar berkewarganegaraan Indonesia hanya menyisakan satu kemungkinan, yakni harus diseret ke pengadilan lewat pengadilan internasional. Syaratnya, ada niatan politik dari PBB untuk membuka kasus itu kembali dan tidak menguburkannya.

Jika pembiaran atau impunitas tersebut terus terjadi, hal ini menjadi preseden buruk bagi lembaga PBB dan terlebih bagi masyarakat Indonesia. Mengapa? Karena potensi kekerasan negara (state violence) terhadap masyarakat Indonesia masih mungkin dilakukan dan diulangi lagi di masa yang akan datang. Ini jelas situasi yang sangat tidak menguntungkan dan berbahaya bagi masyarakat Indonesia sendiri. Karena itu, tragedi kemanusiaan Timor- Leste tetap menjadi sejarah yang tidak bisa dikuburkan dan dilupakan oleh masyarakat Indonesia.

Shared History dan Rekonsiliasi
 
Sejarah masyarakat Timor-Leste akan ikut andil dalam interpretasi dan reinterpretasi terhadap sejarah masyarakat Indonesia meskipun di dalamnya tersimpan berbagai narasi antagonistik yang pasti tidak mudah untuk masyarakat Indonesia. Hal ini juga ditegaskan oleh Kriesberg (2001: 62) demikian,

"Sejarah dan realitas dari hubungan antara pihak-pihak yang saling berlawanan sangat mempengaruhi wacana perubahan dalam bentuk koeksistensi dan juga memungkinkan terbentuknya aturan main baru yang lahir dari aspek-aspek rekonsiliasi yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan-perubahan tersebut. Mengembangkan sebuah berbagi sejarah bersama, atau setidaknya sebuah pengetahuan yang saling mengisi satu sama lain, telah mengubah sejarah sebagai salah satu aspek yang sangat penting bagi rekonsiliasi."

Berbagi sejarah bersama (shared history) bisa dilakukan antara masyarakat Indonesia dan Timor-Leste untuk memahami relasi antagonistik yang terjadi dalam sejarah hubungan kedua negeri ini di masa lalu. Sungguh hal ini tidak bisa dikuburkan dan dilupakan, maka testimoni dan kesaksian para penyintas (survivors) tragedi kemanusiaan di Timor-Leste 1999 menjadi salah satu model yang bisa dikembangkan untuk melakukan “shared history” dan “shared narrative” terhadap peristiwa sejarah masa lalu. Untuk saat ini, hal itu tidak mungkin diharapkan datang dari otoritas resmi negara Indonesia. Jika ada niatan baik dari pemerintah Indonesia untuk melakukan “shared history” tentang kasus Timor- Leste terhadap masyarakat Indonesia, pastilah itu sebuah langkah maju. Tetapi hal itu masih jauh dari harapan, karena sampai sekarang pemerintah Indonesia masih merasa bahwa pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat di Timor-Leste sebagai beban tanggung jawab yang berat dan sulit untuk diungkapkan secara terbuka. Selain itu, masih banyaknya (bekas) pejabat militer atau sipil Indonesia yang masih berpengaruh pada kekuasan politik Indonesia sampai pada Orde Reformasi yang terlibat dalam berbagai pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat masa lalu, belum memungkinkan sejarah kelam Timor-Leste bisa dijadikan wacana terbuka dan kritis, misalnya dalam pelajaran sejarah atau ilmu-ilmu sosial di sekolah-sekolah di Indonesia.

Testimoni dan kesaksian para penyintas bukanlah senjata ampuh yang langsung bisa menghancurkan kekuatan dan kekuasaan politik supra individual, namun jelas menjadi signifiant (penanda) sejarah atau model historiografi yang fundamental untuk terus mengingatkan negara akan tanggung jawabnya untuk mengingat (state’s duty to remember) atas kelakuan dan perilakunya di masa lalu. Selain itu, pentinglah bahwa testimoni dan kesaksian para penyintas di Timor-Leste tersebut menjadi bagian paling fundamental dari ingatan masyarakat Indonesia untuk melakukan tanggung jawab etis terhadap masa lalunya terhadap masyarakat Timor-Leste. Melakukan transference terhadap pengalaman sejarah Timor-Leste sebenarnya merupakan tindakan positif untuk kesehatan mental sosial bagi masyarakat Indonesia itu sendiri. Hal ini seperti dikatakan oleh La Capra (2001: 178) demikian,

"Saya akan mengatakan bahwa bagian sejarah dan pemahaman sejarah termasuk di dalamnya melakukan penelitian, akan tetapi tidak dibatasi hanya tentang hal itu, terkait dengan masalah-masalah pencerahan dan rasionalitas yang mendasar. Salah satu tujuan dari historiografi (termasuk historiografi sebagai working through) adalah sebuah usaha untuk memulihkan kehidupan para korban, sejauh memungkinkan, martabat mereka yang telah diambil oleh para penindas. Hal ini merupakan unsur yang paling penting dalam pemahaman sejarah: sebuah usaha, secara simbolis, untuk mengganti kerugian bagi hal-hal yang sudah pasti yang tidak akan pernah bisa tergantikan sepenuhnya. Seseorang harus melihat pemahaman sejarah sebagi bagian dari proses keterlibatan untuk working through dalam pengertian yang lebih luas (bisa juga dikatakan, kerterlibatan dalam sebuah wacana yang juga menjadi sebuah wacana ratapan dan juga segenap kritiknya kritik adalah salah satu bentuk lain dari working through)."

Pemahaman yang baik atas sejarah Timor-Leste, termasuk niatan untuk terlibat dalam wacana ratapannya, merupakan sebuah tindakan yang sangat baik untuk mengembalikan martabat para korban. Meskipun bukanlah pemulihan secara total, masyarakat yang mengingat pun akan memulihkan martabat diri mereka sendiri. Melakukan ratapan terhadap masa lalu, dengan kembali pada seluruh kompleksitas tragedi kemanusiaan yang terjadi, menjadi simbol-simbol yang bisa membantu untuk membangun subtansi akal sehat kita sebagai manusia dengan segala nilai-nilai kemanusiaannya. Dimensi inilah yang menjadi penting dalam pemahaman sejarah dengan menitik beratkan pada pengalaman para korban, yakni pemahaman sejarah yang dilambari semangat working through. Sejarah yang dikembangkan dan ditafsirkan bukan dari sudut pelaku politik supra individual, namun sejarah yang memberikan ruang gerak bagi semua individu untuk melakukan semiosis terhadap masa lalunya yang dipenuhi oleh tragedi yang kelam akibat pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat. Sejarah yang didasarkan niat untuk melakukan working through merupakan sejarah yang terbuka terhadap kritik dan bukan anti terhadap segala kritik.

Maka dari itu, para penyintas harus tetap didorong untuk menarasikan pengalaman mereka tentang pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan di Timor-Leste 1999. Tindakan ini bukan sekedar untuk melakukan proses rekonsiliasi terhadap masa lalu, namun “teriakan” untuk tidak membiarkan impunitas. Ingatan akan pengalaman traumatis menjadi simbol terhadap keperpihakan pada para korban dan dengan demikian mau menempatkan sejarah masa lalu dalam kerangka yang lebih “masuk akal” dan berjarak dengan segala kompleksitas emosional yang menyertainya. Dengan demikian, testimoni dan kesaksian para penyintas pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat di Timor-Leste sebenarnya merupakan dasar yang sangat penting bagi pembangunan epistemologi sosial yang sangat berharga dan mendasar bagi masyarakat Indonesia. Karena di sanalah sebenarnya akal sehat mulai dihargai kembali dan bukan sebuah tindakan primitif yang brutal seperti yang dilakukan oleh para pelaku politik supra individual yang tercermin dalam perilaku (bekas) pejabat militer dan sipil negara Indonesia yang melakukan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat di Timor-Leste.

Kesimpulan

Rekonsiliasi tanpa disertai oleh pengungkapan kebenaran dan pemenuhan keadilan dalam penyelesaian pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat masa lalu akan berakhir pada impunitas. Berdasarkan pengalaman masyarakat Timor-Leste pasca konflik kekerasan tahun 1999 yang melakukan Proses Rekonsiliasi Komunitas (PRK), saya menegaskan bahwa rekonsiliasi hanya cocok, efektif, dan tepat dilakukan untuk penyelesaian pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan dalam kategori tidak berat yang terjadi di tengah komunitas akar rumput. Namun praktik rekonsiliasi seperti itu sering juga dicomot begitu saja oleh aparatur negara dalam tataran pengambil keputusan. Pembentukan Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KPP) HAM antara pemerintah Indonesia dan Timor-Leste, misalnya, jelas memakai paradigma rekonsiliasi untuk menyelesaikan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat yang terjadi di Timor-Leste.

Rekonsiliasi seperti itu bisa dilakukan antara kedua negara, namun pada praktinya mengabaikan hal yang mendasar yakni pemenuhan keadilan. KPP HAM telah mencoba mengungkap kebenaran (meskipun tampak tidak secara utuh), namun kemudian menolak secara tegas temuan-temuan yang terjadi di masa lalu untuk dibawa ke dalam proses pengadilan. Ini menjadi jelas bahwa pembentukan komisi tersebut lebih menekankan rekonsiliasi atas masa lalu yang dibebani oleh tragedi kemanusiaan yang berat, tanpa mau melihat lebih jauh aspek paling mendasar dalam pemenuhan rasa keadilan bagi para korban dan keluarga korban. Karenanya, KPP HAM antara Indonesia dan Timor-Leste berusaha menggunakan rekonsiliasi agar bisa terjalin kembali persahabatan antara kedua negara, namun telah menguburkan hal paling mendasar dari penyelesaian masa lalu yakni pemenuhan keadilan. Maka, rekonsiliasi selalu mengandung bahaya “mistifikasi” karena menjadi ruang yang “aman dan nyaman” bagi para pelaku pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan untuk mempraktikkan prinsip-prinsip supra invididual. Itu berarti tidak ada ruang semiosis bagi para korban (survivors) untuk merebut ruang tafsir yang adil bagi sejarah masa lalu.

Dengan demikian, rekonsiliasi sebagai salah cara untuk penyelesaian masa lalu tidak bisa dipraktikkan bagi kasus-kasus pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat di masa lalu. Selain itu, rekonsiliasi yang dilakukan dalam tingkat pengambil keputusan atau otoritas negara, seperti halnya yang dialakukan oleh Indonesia dan Timor-Leste, akhirnya hanya akan membawa cerita “kemenangan” bagi para pelaku, yakni (mantan) pejabat tentara dan sipil Indonesia yang terlibat dalam pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat di Timor-Leste. Itu berarti impunitas kembali menjadi signifie (petanda) sejarah yang kuat bagi masyarakat Indonesia. Shared history dan shared narrative yang bertolak dari testimoni dan kesaksian korban kekerasan politik di Timor-Leste menjadi penting untuk membongkar signifie (petanda) sejarah tersebut. Maka, testimoni dan kesaksian para korban menjadi dasar yang fundamental untuk terus mengingatkan negara akan tanggung jawabnya untuk mengingat (state’s duty to remember) atas kelakuan dan perilakunya di masa lalu.

Daftar Pustaka

Hoed, Benny H,. (2011) Semiotik & Dinamika Sosial Budaya.(Edisi Kedua), Jakarta: Komunitas Bambu.

Kriesberg, L (2001) Changing Forms of Coexistence dalam Mohammed Abu-Nimer (ed.),  
Reconciliation, Justice and Coexistence, Theory & Practice, New York: Lexington Books.

Kristanto, Dedy (2012) Tidak Ada Hukum(an) Bagi Pelanggar(an) HAM di Timor-Leste? Persepektif Sejarah dan Ingatan, makalah untuk Konferensi dan Diaolog Nasional dalam Rangka Satu Dasawarsa Amandemen UUD 1945: Negara Hukum Indonesia Ke Mana Akan Melangkah?, Jakarta, 9-10 Oktober 2012.

LaCapra, Dominick. (2001) Writing History, Writing Trauma, Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press.

Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor-Leste. (2010) Per Memoriam Ad Spem. Dilengkapi dengan Laporan Konsultan, Jakarta: ELSAM.

Laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi Timor-Leste (CAVR). (2010) Chega!. Volume IV, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Nevins, Joseph. (2008) Pembantaian Timor Timur, Horror Masyarakat Internasional. Tr. Nugroho Kacasungkono, Yogyakarta: Galang Press.

REKONSILIASI, KEBUDAYAAN DAN KEBENARAN


REKONSILIASI, KEBUDAYAAN DAN KEBENARAN
Oleh Dedy Kristanto*


“Truth is the way to reconciliation,” demikian tulis Tuomas Forsberg dalam artikelnya yang berjudul The Philosophy and Practice of Dealing with the Past: Some Conceptual and Normative Issues (Georgetown University Press, Washington, D.C, 2007). Artikel ini menarik untuk membingkai film dokumenter yang diberi judul “Kapal-Kapal Pengharapan, Sebuah Perjalanan Menuju Perdamaian di Kesui.” Film dokumenter ini sebagai salah satu cara bagi Jesuit Refugee Service Indonesia untuk merekam proses pendampingan rekonsiliasi masyarakat Kesui dan sebagai alat untuk “mengenang” betapa proses rekonsiliasi antar manusia yang pernah mengalami konflik kekerasan bisa dilakukan, meskipun harus melalui jalan sulit, penuh onak duri dan perasaan pesimis yang pada mulanya terus menguntit di belakang kesadaran.
Namun, dalam konteks rekonsiliasi di Kesui, kebenaran seperti apa yang sebenarnya mendorong terjadinya rekonsiliasi? Secara konseptual, kebenaran dipahami sebagai satu titik untuk membuka tabir gelap masyarakat yang mengalami konflik kekerasan. Meskipun dalam prakteknya, membuka kebenaran bagi masyarakat yang mengalami konflik, sebenarnya tidaklah mudah. Karena dalam setiap konflik kekerasan akan selalu menimbulkan dua oposisi sikap yang berseberangan. Terjadinya dua oposisi ini, akan membuat dua penafsiran dan pemahaman tentang kebenaran yang berbeda pula. Kebenaran bagi korban akan berbeda dengan kebenaran mereka yang dituduh sebagai aktor konflik. Kebenaran secara komunal akan lain dengan kebenaran setiap individu yang terkena dampak konflik tersebut. Jadi kebenaran akan menjadi multi-tafsir bagi masyarakat paska konflik, termasuk masyarakat Kesui.
Selain adanya dua kubu penafsir kebenaran tersebut, masih ada pandangan lain yang juga akan memperpanjang disputasi bagaimana kebenaran itu mau dikaitkan dengan keadilan  di hadapan masyarakat yang bertikai dan mengalami konflik kekerasan. Pendekatan yang satu berkata bahwa menekankan keadilan restributif dan restoratif lebih berorientasi ke depan (future-oriented) dan pada korban kekerasan itu sendiri (victim-centered). Sedangkan model pendekatan dengan menggunakan hukuman (punishment), lebih berorientasi ke belakang (back-ward looking) dan terpusat pada kepentingan negara (state centered). Dua pendekatan ini sebenarnya akan berakibat pada bagaimana kebenaran akan ditempatkan. Dalam konteks rekonsiliasi setelah konflik kekerasan terjadi, kebenaran akan selalu diikuti dengan bagaimana keadilan mau dirumuskan secara bersama-sama. Maka, kebenaran akan selalu menempel secara ketat terhadap bagaimana proses keadilan itu dicapai.
Kenyataan inilah yang sebenarnya sedikit hilang dari proses rekonsiliasi di Kesui, yaitu kebenaran dan keadilan belum secara jelas dirumuskan bersama-sama antara warga penerima (receiving community) yang sebagian besar adalah warga Muslim dengan para pengungsi yang ingin pulang ke Kesui yang sebagian besar adalah warga Katolik/Kristen.   Padahal kebenaran dan keadilan, secara teoritis, menjadi bagian yang integral dalam seluruh proses rekonsiliasi yang dilakukan.  Namun demikian, toh rekonsiliasi bisa berjalan dan dilakukan di antara masyarakat Kesui. Inilah yang sangat menakjubkan dari proses rekonsiliasi Kesui. Dalam film dokumenter tersebut, faktor kuat yang muncul adalah tumbuhnya pengharapan di antara pengungsi untuk bisa bertemu dengan para saudaranya di Kesui. Dan ternyata, harapan yang sama mulai muncul di kalangan warga penerima, agar saudara-saudara mereka bisa segera pulang ke Kesui. Harapan ini selalu ditegaskan dan diulang-ulang oleh para basudara Kesui, bahwa mereka adalah satu saudara dan satu adat istiadat.
Saya berpendapat disinilah sebenarnya letak kebenaran yang sempat dirumuskan oleh warga Kesui untuk menemukan jalan menuju rekonsiliasi. Ketika semua saluran untuk menemukan kebenaran itu mampat, mungkin karena lemahnya aparatur negara, kendala geografis yang sulit, minimnya lembaga-lembaga yang mendampingi mereka, hukum yang tidak jelas dan sebagainya, maka cara lain untuk menembus kemampatan komunikasi tersebut adalah lewat jalan adat istiadat (baca: kebudayaaan). Kenangan sebagai satu saudara dalam satu akar nenek moyang, meskipun berbeda agama dan pernah berkonflik, membuat mereka diyakinkan disitulah jalan bagi mereka untuk menumbuhkan “ingatan kolektif” yang akan memberi roh pada harapan akan rekonsiliasi antar mereka. Tentu saja, ingatan itu tidak sekedar berhenti di situ, namun ingatan itu memiliki sederet pemahaman akan sebuah masa lalu yang harmonis. Mereka dulu adalah saudara bertetangga yang bisa hidup berdampingan dengan harmonis dan saling membutuhkan satu sama lain. Maka, meskipun mereka pernah berkonflik dan saling mencurigai, ingatan akan satu nenek moyang, satu adat istiadat, dan tentu saja satu tanah untuk hidup bersama, membuat mereka terdorong untuk mewujudkan ingatan itu dalam bentuk rekonsiliasi. Sebuah pertemuan untuk memudarkan semua curiga, dendam, rasa sakit, dimusuhi dan memusuhi, dan sebagainya akhirnya bisa dibuat.
Tentu saja, semua dampak konflik kekerasan yang berupa dendam, sakit hati, dan seluruh kompleks oposisi di antara mereka masih saja ada, dan tidak langsung bisa sirna. Namun, diharapkan setelah mereka bisa bersatu dalam satu wilayah, komunikasi di antara mereka dalam kehidupan sehari-hari akan melunturkan akar konflik secara alami. Mengapa secara alami ini penting? Karena sejauh aparatur negara, pemerintah lokal, lembaga lokal dan bahkan masyarakat sendiri belum bisa merumuskan secara pasti  “kebenaran dan keadilan” untuk masyarakat Kesui, potensi untuk muncul konflik masih akan terjadi. Maka, proses alamiah sebagai manusia menjadi andalan satu-satunya untuk bisa menjaga bagaimana rekonsiliasi dan perdamaian yang abadi tetap bisa mereka pertahankan dalam hidup keseharian mereka.
Faktor alamiah itu akan semakin menguatkan perdamaian akar rumput, kalau di antara masyarakat Kesui akan semakin mendukung dalam membangun sistem ekonomi yang selama ini hilang akibat konflik dan pengungsian. Ekonomi adalah salah satu alat yang paling efektif untuk kembali menemukan akar-akar kebudayaan mereka yang pernah mereka rintis secara bersama-sama. Akan tetapi, ekonomi juga bisa menjadi salah satu pemicu konflik, kalau di antara masyarakat Kesui sendiri tidak bisa menumbuhkan budaya ekonomi yang adil. Maka dari itu, kuncinya adalah apakah kebudayaan mereka yang harmonis, bisa juga terwujud dalam membangun budaya ekondomi yang adil dan sungguh mendukung di antara warga Muslim dan Kristen Kesui. Semoga apa yang baik ditumbuhkan di antara warga Kesui akan tetap baik di dalam mereka membangun hidup bersama di masa depan.

*Dedy Kristanto, pekerja kemanusiaan JRS Indonesia, sedang belajar di Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Wednesday, January 2, 2019

KONSEP UPAH DALAM MORAL EKONOMI PETANI: PERBENTURAN ANTARA RASIONALITAS PASAR BEBAS DENGAN RASIONALITAS KULTURAL DALAM MASYARAKAT PETANI DI GUNUNGKIDUL


Kebudayaan kaum tani seringkali mendapat predikat sebagai kebudayaan terbelakang, tidak moderen dan bahkan sangat konservatif. Para petani sering dipinggirkan sebagai kelompok manusia yang “primitif” dibandingkan dengan manusia yang hidup dalam dunia industri dengan teknologi canggih. Pendek kata, dunia pertanian bukanlah lambang dari supremasi masyarakat maju sedangkan dunia industri menjadi salah satu patokan untuk melihat apakah kebudayaan sebuah masyarakat sudah maju atau belum. Agar predikat terbelakang dan tradisional itu segera ditinggalkan, maka saat rezim Orde Baru berkuasa sektor industri berskala luas dijadikan “idola” dan dirayakan oleh semua pihak dengan gegap gempita.

Maka dirubahlah strategi pembangunan, yaitu dari strategi industri berbasis pertanian langsung melompat ke industri berspektrum luas (broad base industry strategy) dan industri canggih (hi-tech industry) (lihat JA Noertjahyo, 2005:5). Namun, kita semua lupa bahwa hampir sebagian besar dari masyarakat Indonesia sebenarnya tinggal di desa- desa yang hidupnya ditopang dari bercocok tanam. Pengakuan diri sebagai negara agraris, hanya berhenti di slogan dan wacana sejarah masa lalu. Pengakuan identitas Indonesia sebagai negara agraris menguap di kalangan teknokrat Orde Baru yang sudah tergila-gila dan terlena oleh “bujuk rayu” para penggagas modernisasi pembangunan. Mereka dengan penuh semangat membara mempromosikan gagasan modernisasi pembangunan tersebut di ruang-ruang kuliah dan sekolah.

Setelah Orde Baru tumbang dan reformasi bergulir di negara ini, identitas diri sebagai negara industri berbasiskan teknologi canggih ternyata masih jauh dari harapan, namun sebagai negara agraris yang mengandalkan hidup dari sektor pertanian pun tidak terpatri dalam identitas bangsa Indonesia. Hasilnya, Indonesia menjadi negara “setengah matang” identitasnya. Ia belum menjadi negara industri moderen yang maju, namun tidak juga menjadi negara agraris. Padahal, dari sisi potensi alam, Indonesia sebenarnya mampu menjadi negara yang maju dengan mengandalkan sektor pertanian. Namun sayang bahwa obsesi untuk segera dikatakan sebagai “negara industri moderen” dan tidak mau dikatakan negara terbelakang karena belum memiliki industri super canggih, seperti pesawat, mobil, elektronik dan lain sebagainya, telah membuat penguasa negeri ini teridap penyakit lupa diri. Akhirnya, bangsa ini sudah terlanjur meninggalkan sektor pertanian dan ingin buru-buru tinggal landas menjadi negara industri maju.

Namun, sebagai negara industri pun ternyata Indonesia hanya menjadi salah satu jajahan empuk dari investor atau penanam modal asing, karena mereka melihat bahwa Indonesia masih tersedia jutaan manusia yang mau diupah secara murah. Selain itu, proses untuk mendirikan industri dalam skala besar masih dimungkinkan, dengan berbagai alasan, misalnya ketersediaan lahan, pajak mungkin masih murah, bahan baku murah masih mudah didapatkan, dan letak Indonesia yang secara geografis sangat strategis untuk memasarkan produk, baik ke dalam dan ke luar dari Indonesia. Ini semua membuat para investor belum meninggalkan Indonesia, meskipun saat krisis finansial pada tahun 1997 dan kemudian diikuti oleh gonjang-ganjing “kekuasaan” akibat krisis sosial-politik yang terjadi dari tahun 1998 2002, ditandai dengan banyaknya konflik di berbagai daerah, hampir membuat negeri ini hancur dan bangkrut. Namun, toh negeri ini masih ada dan hebatnya lagi para petani masih tetap pergi ke ladang dan bercocok tanam.

Tetapi, nasib petani baik sejak Orde Baru berkuasa sampai dengan tumbangnya dan tampuk kekuasaan negeri ini sudah berganti dari Habibie, Gus Dur, Megawati sampai dengan SBY, ternyata belumlah berubah. Mereka masih tetap menderita dan terpinggirkan dari seluruh aspek kebijakan negeri ini. Kapitalisme global yang dikendarai oleh para pengusung paham neo-liberalisme, segera saja menyusup ke sektor pertanian dengan program Revolusi Hijau. Karena menurut sebagian pakar, Revolusi Hijau hanya salah satu cara bagaimana pasar bebas masuk ke sektor industri pangan. Hal ini membuat para petani semakin sulit nasibnya. Dari sinilah, ketertarikan saya untuk mempersoalkan kehidupan para petani dengan ekonomi pasar bebas menjadi satu topik yang sangat perlu untuk diteliti. Titik tolaknya terletak pada bagaimana petani bersiasat di tengah ekonomi pasar bebas yang semakin tidak menguntungkan mereka, namun sekaligus menjadi salah satu peluang bagi para petani untuk melihat sektor lain dalam dinamika ekonomi yang mau tidak mau harus mereka terima menjadi bagian dari kehidupan mereka.

 A. Persoalan Dasar: Pasar Bebas vs Kebudayaan Lokal

Hipotesa dasar yang saya ajukan adalah proses transformasi dari masyarakat petani ke dunia industri tidak bisa dilakukan secara tiba-tiba. Kultur agraris tidak dengan sendirinya bisa berubah menjadi kultur industri kapitalis. Namun, para petani yang hidup dari kultur agraris tidak menutup mata untuk menerima peluang dari hadirnya sistem ekonomi pasar bebas. Hanya saja, kultur agraris akan menjadi alat resistensi bagi petani untuk memasukan ekonomi pasar itu ke dalam kehidupan mereka. Namun, karena kekuatan ekonomi pasar begitu besar, kemungkinan besar kekuatan ini bisa menggeser pola hidup petani dari agraris ke “ambang” sistem ekonomi kapitalis. Tidak semuanya bisa dihilangkan dari kehidupan petani, maka usaha mereka untuk tetap mempertahankan identitas kultural mereka masih tetap ada.

Penelitian ini dilakukan untuk menjawab hipotesa dasar tersebut, yakni seberapa jauh konsep upah dalam moral ekonomi petani mampu tergeser oleh logika pasar bebas. Selain itu, apakah logika pasar memang menjadi faktor kunci dalam proses transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat “pos-agraris.” Dari persoalan itu bisa diperinci dalam tiga pertanyaan dasar yaitu:
  1. Seberapa kuat konsep upah dalam moral ekonomi petani berperan dalam menentukan ikatan kultural di antara para petani di Gunungkidul?
  2. Seberapa kuat logika pasar memberikan pemahaman lain dalam menggeser ikatan kultural yang sudah terbangun di kalangan petani Gunungkidul yang akhirnya memilih terlibat dalam dunia industri penambangan batu kapur, baik sebagai penambang tradisional atau buruh giling di industri pengolahan batu kapur?
  3. Seberapa kuat logika pasar bebas menentukan proses transformasi dari masyarakat agraris ke pos-agraris?

B. Petani Gunung Kidul dan Pasar Bebas

Ada banyak penjelasan tentang ekonomi pasar bebas yang bergerak di berbagai bidang kehidupan dan kajian yang telah mengupas persoalan tersebut dari berbagai macam perspektif juga sudah banyak dilakukan. Selain itu juga, sudah banyak pakar yang menguraikan apa itu neoliberalisme, globalisasi ekonomi, dan segala dinamika yang ditimbulkan dari fenomena tersebut di tengah kehidupan manusia paling mutakhir sekarang ini, namun dalam penelitian ini saya membatasi diri untuk melihat persoalan pasar bebas ini dari sudut “moral ekonomi petani.”

Kajian tersebut saya mulai dari tanggal 9 September 2007. Pada tanggal itulah dibuka sebuah pabrik penggilingan batu kapur di Dusun Ploso, Sumberwungu, Tepus, Gunungkidul. Dusun Ploso sendiri terletak agak terpencil dari kota Wonosari, kurang lebih dua jam perjalanan dari Yogyakarta. Kalau kita naik kendaraan sampai di kota Wonosari, kita harus mengambil arah ke Kecamatan Semanu. Arahnya menuju pantai Rongkop atau Baron, sesampainya di Semanu kita harus mengambil arah kanan untuk menuju desa Sumberwungu. Setelah perjalanan agak berkelak-kelok, melalui jalan aspal yang lumayan licin, maka kita akan sampai di Dusun Ploso. Di situlah, sebuah pabrik penggilingan batu kapur yang bernama PT. Dewata Sari Prima telah didirikan oleh seorang investor dari Jakarta. Pabrik ini didirikan di tengah sebuah kawasan pertanian dan bukan di sebuah kawasan industri seperti Bekasi, Tangerang, atau Kaligawe di Semarang.

PT. Dewata Sari Prima sendiri adalah anak cabang dari PT. Dewata di Jakarta, sebuah perusahaan tambang yang berkantor di Jakarta. Bidang gerak pokok dari PT. Dewata sendiri adalah pertambangan. Perusahaan ini pula yang memulai gagasan untuk mendirikan sebuah tambang batu kapur di Dusun Ploso. Sudah lebih dari satu tahun PT. Dewata menjalankan usaha pertambangan kapurnya di Ploso dan dalam waktu satu tahun itu mulai ada geliat perubahan bagi masyarakat Dusun Ploso sendiri untuk terlibat dalam pengolahan industri batu kapur. Orang sering menyangka bahwa batu kapur hanya bisa digunakan untuk bahan bangunan saja. Namun, ternyata batu kapur ini memiliki peluang bisnis yang cukup besar. Batu kapur ini memiliki nama kimia Calcium Carbonate (CaCo3) dan merek dagangnya lebih sering disebut sebagai Calcite. Jenis batuan ini memang memiliki banyak kegunaan. Dari Calcite inilah bisa diciptakan bahan baku untuk cat, sabun, kertas, tinta, pupuk, makanan ternak, keramik, kayu lapis, pipa, dan termasuk untuk bahan bangunan.

Dengan melihat peluang kegunaan itu, maka PT. Dewata ikut bermain dalam dunia bisnis Calcite baik dalam tingkat domestik dan internasional. Dia ingin menjadi pesaing pengolahan batu kapur yang sudah ada di Gunugkidul. Ada sekitar 10 perusahaan pengolahan batu kapur yang sudah merajai pasaran. Ada dua perusahaan besar yang sudah bergerak lebih dahulu yaitu PT. Supersonics dengan kemampuan produksi 270 ton per hari dan PT. Sugih Alamnugroho dengan kemampuan produksi 192 ton per hari. Kedua perusahaan itu memiliki kemampuan penguasaan pasar yang kuat, karena didukung oleh pabrik dan mesin produksi yang berkapasitas besar. Dari data yang didapat masih ada perusahaan-perusahaan batu kapur lainnya yang dimiliki oleh pemodal dalam tingkat medium yang kapasitas produksinya antara 30 70 ton per hari, yaitu PT. Gunung Makmur, PB. Pulung Jaya, PB. Sumber Makmur, PB. Kembang, PT. Kalindo, dan PT. Gunung Gede. Selain itu ada kelompok pengolahan batu kapur yang dimiliki dan dikelola secara tradisional oleh masyarakat Gunungkidul, namun karena faktor modal maka kapasitas produksinya tidak terlalu besar, misalnya saja mereka hanya mampu memproduksi sekitar 7 20 ton per hari untuk memasok kebutuhan pasar. Perusahaan- perusahaan ini umumnya dimiliki oleh penduduk lokal yang lokasinya tersebar di hampir seluruh wilayah Gunungkidul.

Geliat penambangan batu kapur di Gunungkidul, menjadi bagian dari dinamika sosial dan ekonomi yang mewarnai masyarakat Gunungkidul. Di wilayah yang terkenal tandus karena hampir seluruh wilayah hamparannya dipenuhi oleh batu itu, ternyata mengandung potensi maha besar untuk dijadikan wilayah industri pertambangan batu kapur. Tentu saja, kenyataan ini menjadi salah satu incaran para pemodal untuk menanamkan uangnya di Gunungkidul. Salah satu faktor yang menyebabkan para pemiliki modal mengincar Gunungkidul untuk mendirikan usaha pengolahan batu kapur karena harga tanah yang relatif murah dan sampai sekarang sumber alam yang bisa ditambang di Gunungkidul sendiri masih sangat melimpah. 

Oleh karena itu, banyak pemodal mulai melihat potensi Gunungkidul sebagai area untuk menanamkan investasinya. Tentu saja investasi itu disertai harapan agar mereka bisa melipatgandakan keuntungan atas modal mereka. Batu kapur ternyata hanya salah satu potensi alam saja yang bisa dikuras dari bumi Gunungkidul. Ternyata para pemain batu kapur, baik perorangan atau perusahaan, tidak saja menjadi penambang batu kapur. Mereka juga menjadi penambang berbagai macam batuan, misalnya saja batu fosfat, zeolite, kaolin, manghan, dan lain sebagainya. Maka dari itu, para penambang tradisional yang bergerak di Gunungkidul umumnya juga menjadi para penambang berbagai macam jenis batuan tersebut. Industri penggilingan pun juga mencakup berbagai macam jenis tambang batuan tersebut. Hal yang menjadi menarik untuk dikaji adalah posisi para petani yang juga merangkap sebagai penambang tradisional dan juga buruh penggiling di industri tambang tersebut. 

Namun, di tengah gemuruh pertambangan dan industri pengolahan hasil tambang tersebut, apakah sektor industri tambang ini telah mengubah corak hidup dan sistem ekonomi masyarakat Gunungkidul sendiri? Apakah mereka lantas “diam” saja saat daerah mereka mulai dikuasi oleh para pemilik modal? Masyarakat Gunungkidul sendiri pasti bereaksi atas maraknya industri tambang yang mulai membanjiri kawasan mereka. Menjadi sebuah fenomena sosial yang menarik untuk diteliti, bahwa masyarakat Gunungkidul yang sebagian besar hidup dalam kultur agraris yang sangat kuat, sekarang mulai hidup di tengah dunia industri yang memiliki perbedaan yang cukup tajam dengan kultur petani. Kajian atas perbenturan dua kultur ini tidak dilihat secara hitam putih, namun ingin dilihat dan dikaji secara lebih mendalam, yakni bagaimana relasi antara dua kultur itu saling bertumpang tindih untuk mendesakkan sebuah perubahan yang mendasar dalam seluruh bangunan sistem sosial, politik dan ekonomi yang ada di tengah masyarakat Gunungkidul.

Ada usaha yang cukup kuat di kalangan masyarakat Gunungkidul sendiri untuk tidak kehilangan identitas diri mereka sendiri. Mereka ingin tetap menunjukkan bahwa mereka adalah masyarakat Gunungkidul yang masih berpegang pada tradisi agrarisnya, misalnya saat musim tanam tiba, hampir sebagian warga pergi ke sawah dan ladang untuk bercocok tanam dan saat musim panen tiba mereka juga pergi ke ladang secara bersama- sama. Pola kerja mereka masih menunjukkan bahwa sistem kekerabatan masih sangat kental dalam tata hubungan keseharian mereka. Hubungan ini menjadi sangat khas sebagai warisan kultur petani, yang masih menjunjung tinggi kebersamaan sebagai upaya untuk bertahan dari himpitan ekonomi yang sulit. 

Umumnya, para petani bisa hidup karena di dalam sistem sosial mereka masih mengandalkan kebersamaan untuk mempertahankan peluang-peluang ekonomi yang mungkin masih bisa mereka dapatkan. Itu berarti bahwa para petani di Ploso pun sebenarnya masih tetap mencari celah untuk terhindar dari krisis subsistensi. Kebutuhan subsistensi bagi para petani adalah ketersediaan jaminan pangan dan juga ekonomi secara minimal sebatas itu tidak keluar dari perhitungan yang tersisa dari pendapatan mereka. Artinya, jaminan subsistensi adalah jaminan yang harus mereka cari agar mereka tidak jatuh ke dalam krisis ekonomi dan pangan yang bisa menggoncang kehidupan keluarga mereka. Keluar dari batas subsistensi berarti mereka harus menurunkan standar makan mereka atau bahkan bisa kekurangan makanan.

Cerita tentang keluarga petani yang kelaparan akibat tidak ada jaminan subsistensi memang tidak ditemukan, namun bahwa mereka kekurangan uang sehingga harus berhutang untuk hidup satu bulan banyak ditemukan. Seorang bapak petani pernah mengatakan, bahwa uang gaji bulanan yang dia dapatkan langsung habis dalam satu atau dua hari setelah gaji diterima. Jika dihitung dengan teliti, uang yang dia dapatkan dari hasil menjadi buruh giling, tidak cukup untuk menghidupi satu isteri dan satu anak. Maka dari itu, keluarga ini menginduk ke salah satu keluarga petani yang dipandang cukup mampu. Istri petani itu bekerja di keluarga patron untuk menjadi tukang masak yang secara kebetulan keluarga itu juga menjadi penyedia makanan bagi karyawan pabrik penggilingan batu kapur. Keluarga petani yang mampu ini sekaligus menjadi patron dari keluarga bapak petani itu. Pola patron-klien masih ada, tentu untuk menjamin kehidupan keluarga petani tersebut dan juga menjaga kekerabatan agar mereka tidak jatuh pada krisis subsistensi.

Di dusun Ploso, orang masih memiliki kekerabatan yang didasarkan pada pola hidup kultur petani tersebut. Lekatnya kekerabatan antar mereka kemudian menjadi tata moral yang banyak melatarbelakangi keputusan-keputusan sosial dan politik antar mereka. Kekerabatan itu menjadi tampak dalam tindakan suka rela untuk berbagi. Itu artinya mereka lebih mudah untuk berbelas kasih, tidak tega untuk merugikan pihak lain, mudah memaafkan hal-hal yang sebenarnya dalam kalkulasi bisnis sebenarnya rugi, namun demi menjaga kekerabatan, kerugian itu dipandang sebagai biaya sosial yang harus diberikan agar kekerabatan tidak retak.

Namun demikian, sistem ekonomi kapitalis moderen tetaplah menjadi daya tarik tersendiri. Tidak sedikit di antara para petani yang menjadi panambang tradisional atau buruh giling tertarik untuk mengajukan kredit ke bank atau pun mengambil kendaraan bermotor secara kredit. Adanya industri tambang, membuat mereka lantas memberanikan diri untuk meminjam bank atau langsung kepada lembaga keuangan pemberi kredit. Kebanyakan adalah kendaraan roda dua. Hal ini sulit terjadi di kalangan petani, kalau mereka tidak memiliki keterjaminan upah yang bisa mereka terima setiap minggu atau bahkan bulanan. Karenanya, mereka memang memiliki harapan besar untuk menggantungkan kehidupan ekonomi mereka pada pabrik pengolah aneka tambang batu tersebut.

Para petani, biasanya akan mendapatkan uang dari menjual hasil panen mereka. Hasil itu sangat tergantung dari apakah hasil panen mereka berhasil atau tidak. Saat hasil panen mereka gagal, mereka masih memiliki harapan pada ternak mereka. Namun, batas keterjaminan dari dua sumber ekonomi itu masih sangat rentan untuk hilang dari hidup mereka. Karenanya mereka juga butuh keterjaminan dari faktor lain yaitu menjadi buruh upahan di sektor lain, misalnya menjadi buruh bangunan di proyek-proyek bangunan, menjadi buruh serabutan di pabrik-pabrik, dan lain sebagainya. Adanya industri pertambangan menjadi alternatif pilihan bagi masyarakat Gunungkidul untuk mendapatkan upah. Maka kasus ini menjadi sangat menarik untuk dilihat secara lebih kritis. Apakah sebuah pabrik dengan pola industri bisa menggeser pola bertani yang sudah lama hidup di tengah masyarakat Gunungkidul?

Upah menjadi bagian kunci dalam relasi kerja. Dalam dunia industri, upah menjadi penentu atas semua unsur penting dalam relasi antara buruh dan majikan. Tetapi tidak sekedar relasi antara buruh dan majikan, upah akhirnya menjadi salah satu indikator kunci dalam perkembangan logika pasar. Upah menjadi salah satu pertaruhan dalam menentukan apakah seseorang itu masih bisa berharga atau tidak? Atau apakah upah itu masih bisa menghargai orang sebagai balas jasa yang diberikan atas tenaga yang diberikan atau tidak? Pasar bebas telah menyulap ekonomi menjadi bidang paling kejam untuk menyingkirkan kelompok-kelompok lemah. Petani adalah salah satu kelompok paling mudah tergilas oleh arus perkembangan pasar bebas. Tetapi dalam banyak studi tentang kelompok petani, mereka ini paling banyak melakukan perlawanan dalam segala regulasi yang akan menghapus identitas mereka. Kultur petani yang melekat pada diri mereka, tidak serta merta bisa ikut dalam pusaran permainan logika pasar, karena mereka masih terikat oleh kultur petani yang sangat kuat di antara mereka sendiri.

Fakta sosial yang terjadi di Ploso pun demikian, mereka tidak serta merta lantas meninggalkan acara-acara kekeluargaan, misalnya rasulan, pernikahan, khitanan, atau acara desa lainnya hanya demi upah sebagai penambang tradisional dan buruh giling di pabrik pengolahan batu. Dan tentu saja, mereka juga tidak bisa meninggalkan pola hidup bertani mereka. Meskipun mereka mengakui bahwa jaminan ekonomi dari bertani tidak langsung bisa diandalkan, mereka tetap saja menyediakan waktu luang untuk pergi ke ladang. Bahkan, banyak dijumpai, saat musim tanam atau panen tiba, banyak penambang tradisional dan juga para buruh giling menghentikan aktivitiasnya di pabrik dan kemudian pergi ke sawah untuk mengurus tanaman mereka. Tentu saja, dalam pola industri, acara-acara itu menghambat produktivitas dan tidak efisien, namun pada kenyataannya, para penambang dan buruh giling itu lebih memilih untuk menghadiri acara-acara itu daripada untuk mendapatkan upah dari hasil kerja mereka di sektor industri tambang.

Masyarakat Gunungkidul sebenarnya sedang mengalami pergeseran sistem sosial, akibat maraknya kegiatan penambangan di wilayah ini. Pergeseran pola sosial itu akan sangat ditentukan dari kedatangan para pemodal untuk mendirikan berbagai macam pabrik di Gunungkidul, salah satunya adalah pabrik pengolahan batu kapur. Menjadi pertanyaan kunci yang bisa diajukan sebagai anak panah untuk membongkar persoalan dasar yang ada: apakah transformasi kultur agraris ke “pos-agraris” bisa terjadi akibat perbenturan antara rasionalitas agraris ke industri yang lebih mengutamakan kebebasan individu daripada kebersamaan antar manusia? Apakah masyarakat “pos agraris” bisa terbentuk oleh dinamika industri yang ujung tombaknya adalah sistem ekonomi pasar? Jika pasar bebas memang menjadi satu-satunya kebenaran yang menentukan seluruh relasi manusia, apakah moral ekonomi petani yang memunculkan kultur komunal dan masih sangat menjunjung tinggi kekerabatan dan kebersamaan bisa tergeser dengan mudah saat rasionalitas pasar bebas lewat dunia industri masuk ke tengah kehidupan para petani?


C. Budaya Petani dalam Kapitalisme Global

Sejak Revolusi Hijau diyakini bisa menyulap dunia petani dari pola bercocok tanam secara tradisional ke pola bertani secara industrial, dimulailah cara baru untuk melecut industri pertanian di Indonesia. Namun demikian nasib para petani menjadi semakin tidak jelas. Hal itu ditegaskan oleh Francis Wahono demikian:

“Dengan Revolusi Hijau para petani harus membayar hampir semua asupan kecuali tenaga sendiri. Asupan produksi yang berupa bibit unggul, pupuk buatan, insektisida, pestisida harus mereka beli dari toko-toko yang merupakan outlet dari perusahaan besar. Kredit Usaha Tani sebagai modal untuk pembelian asupan harus disewa oleh petani, entah dengan sewa tahunan atau bagi hasil dari para pemilik tanah. Di beberapa tempat penggunaan air irigasi harus mereka bayar berupa dana tirta (untuk perbaikan selokan dan upah bagi tenaga pengatur irigasi.)” (Francis Wahono, 2003:230)

Kapitalisme global yang dikendarai oleh para pengusung paham neoliberalisme, segera saja menyusup ke sektor pertanian dengan program Revolusi Hijau tersebut. Karena menurut sebagian pakar, Revolusi Hijau hanya salah satu cara bagaimana pasar bebas masuk ke sektor industri pangan. Pada dekade tertentu Revolusi Hijau dianggap sukses dalam menjamin ketersediaan pangan. Namun dalam perkembangan waktu, Revolusi Hijau tidak lagi mampu menjawab desakan kebutuhan pangan yang semakin luas. Industri pertanian dianggap tidak lagi cukup efisien untuk mencukupi kebutuhan pangan dunia. Maka, kaum neoliberalisme mencari cara untuk memecahkan masalah efisiensi di sektor indutri pangan yang sangat kompleks tersebut. Kunci dari pemecahan yang diajukan adalah “liberalisasi” secara menyeluruh di industri pangan, terutama di negara-negara sedang berkembang. Dasarnya adalah teori ekonomi neoklasik yang mengatakan bahwa “efficiency is quated with liberalization” (= efisiensi adalah sama dengan liberalisasi). Keyakinan ini hampir tak terbantahkan sampai hari ini. (P. Wiryono, 2003:195).

Hal ini membuat para petani semakin sulit nasibnya. Dari sinilah, akar persoalan lantas mengemuka secara kuat. Hukum ekonomi neoklasik tidak mudah untuk diterima dan diterapkan dalam kultur petani. Hal itu ditegaskan oleh James C. Scott lewat penelitian dan pengamatan yang cukup mendalam terhadap dunia petani yang akhirnya memunculkan teori moral ekonomi petani. Scott menandaskan argumentasi dasarnya demikian:

“Gagagasan dasar dari argumen saya itu adalah sederhana tapi, saya kira, juga sangat kuat. Ia muncul dari dilema ekonomi sentral yang dihadapi oleh kebanyakan rumahtangga petani. Oleh karena mereka hidup begitu dekat dengan batas subsistensi dan menjadi sasaran permainan cuaca serta tuntutan-tuntutan dari pihak luar, maka rumah tangga petani tidak mempunyai banyak peluang untuk menerapkan ilmu hitung ekonomi neoklasik yang tradisional. Satu hal yang khas adalah bahwa yang dilakukan oleh petani yang bercocok tanam itu adalah berusaha menghindari kegagalan yang akan menghancurkan kehidupannya dan bukan burusaha memperoleh keuntungan besar dengan mengambil risiko. Dalam bahasa pembuatan-keputusan, tingkah lakunya itu disebut enggan-risiko (risk-averse); ia meminimumkan kemungkinan subyektif dari kerugian maksimum.” (James C. Scott, 1981:7)

Dari situ Scott menegaskan bahwa prinsip “safety-first” atau dahulukan selamat sangat dominan dalam melatarbelakangi tindakan petani dalam pengaturan teknis, sosial dan moral dalam satu tatanan agraris pra-kapitalis. Karenanya, dalam penelitian Scott, kita diperlihatkan karakter khas petani yang konservatif, cenderung untuk membentuk komunitas yang tertutup dan sangat hati-hati dengan perubahan-perubahan baru dari luar diri mereka. Oleh karena itu, petani adalah komunitas manusia yang sangat sulit untuk menerima sistem ekonomi terbuka yang terjadi dalam pasar bebas.
Pendapat Scott tersebut kemudian mendapat sebuah anti-tesis dari penelitian Samuel L. Popkin yang meneliti dari perspektif politik ekonomi. 

Bagi Popkin petani itu kelompok manusia yang rasional dalam keputusan kehidupan harian mereka. Jika Scott melihat pola keputusan petani dari aspek kolektivitasnya, maka Popkin lebih mendasarkan pola analisanya pada individu petani saat mengambil keputusan. Seperti diungkapkannya demikian:

“My analysis of peasant society begins with a focus on individual decision making and an expand conception of the role of the village in peasant economic life. Modifying the (implicit) assumptions of moral economist, I shall consider gambles as well as risks, apply investment logic to villages and patron-client relations as well as to markets, and look at the conflics and tradeoffs between private and collective benefits involved in both village management and the life of the peasant.” (Samuel L. Popkins, 1979: 17-18).

Paparan Popkin menjelaskan aspek lain dari karakter petani. Dalam konteks individu, petani bisa saja melakukan investasi jangka pendek dan juga jangka panjang untuk menjamin kehidupannya. Seperti kebanyakan investasi, selalu ada resikonya. Menurut Popkin, petani bisa saja menghadapi resiko tersebut. Itu berarti bahwa petani juga bisa terbuka terhadap mekanisme pasar yang sangat terbuka. Argumentasi Scott dan Popkin jelas berseberangan. Namun, kedua argumentasi itu menjadi bahan dasar untuk dikaji lebih jauh lagi dalam konteks petani yang berbeda. Bisa saja, memang kedua karakter petani, baik dalam sudut pandang Scott maupun Popkin, bisa hidup secara bersamaan dalam kehidupan petani.

Teori Scott tentang moral ekonomi petani akan menjadi bahan kajian dasar untuk dibenturkan dengan realitas terkini kehidupan para petani yang bisa jadi telah terbuka terhadap perspektif ekonomi pasar. Artinya, petani bisa juga mau beresiko terhadap ekonomi pasar yang terbuka seperti diuraikan oleh Popkin. Karenanya, menjadi sangat menarik untuk dikaji, apakah proses ekonomi pra-kapitalis itu masih terus saja menjadi model kehidupan petani, saat di tengah kehidupan mereka secara jelas dibangun berbagai macam industri yang menerapkan model atau sistem ekonomi kapitalis.
Ada semacam gejala sosial yang tidak langsung bisa dipahami, bahwa saat logika kapitalisme menyorongkan sebuah mental industri, di mana uang bisa diandalkan untuk mendapatkan segalanya. 

Namun, para penambang tradisional dan buruh giling di Ploso, dan juga di sentra-sentra industri tambang, tidak serta merta menerima kenyataan itu sebagai bagian yang paling penting bagi kehidupan mereka. Ada sebuah pertanyaan yang kemudian mengemuka, apakah kultur petani sebenarnya selalu berlawanan dengan logika pasar bebas? Pasar bebas diwartakan oleh para penganut neoliberalisme. Paham dasar neoliberalisme diterangkan oleh Herry Priyono sebagai berikut:

“Cara-cara kita bertransaksi dalam kegiatan ekonomi bukanlah satu dari berbagai model hubungan antar manusia, melainkan satu-satunya model yang mendasari semua tindakan dan relasi antar manusia, baik itu persahabatan, keluarga, hukum, tata-negara, maupun hubungan internasional. Dengan kata lain, tindakan dan hubungan antar pribadi kita maupun tindakan dan hubungan legal, sosial dan politis kita hanyalah ungkapan dari model hubungan menurut kalkulasi untung-rugi individual yang terjadi dalam transaksi ekonomi.” (Herry Priyono, 2003: 54)

Itu berarti bahwa pasar bebas bisa terjadi saat terjadi liberalisasi peran individu dan tidak ada intervensi dari lembaga apa pun bahkan termasuk negara. Karenanya pasar bebas sangat menghargai insentif individu sebagai satu-satunya faktor yang menggerakan ekonomi. Demikian prinsip yang dianjurkan oleh Milton Friedman: “Ada satu, dan hanya satu, tanggungjawab sosial bisnis, yaitu menggunakan seluruh sumber-dayanya untuk aktivitas yang mengabdi akumulasi laba...” (dalam Herry Priyono, 2003:53). Jika neoliberalisme menekankan sebuah persaingan terbuka antar individu untuk mencapai keuntungan sebesar-besarnya, kultur petani di Ploso tidak demikian adanya. Kekerabatan dan kebersamaan masih menjadi satu pedoman untuk menopang ekonomi mereka.

Dan pada umumnya, di Gunungkidul ada sebuah gejala lain, mereka tidak peduli apakah kebutuhan individu mereka sudah terpenuhi atau belum, yang penting mereka harus mendahulukan kebutuhan bersama dengan tetangga dan sanak keluarga mereka. Fakta ini tidak menghilangkan kenyataan bahwa mereka tetap memikirkan kebutuhan ekonomi, namun menjadi peristiwa menarik untuk dipelajari lebih lanjut bagaimana mereka melakukan siasat untuk tetap mempertahankan identitas mereka di tengah hukum kekerabatan yang kental dan tetap mendapatkan upah untuk kebutuhan hidup mereka. Ini menjadi salah satu cerita yang bisa dilihat dalam sistem sosial masyarakat Ploso, Tepus Gunungkidul. Tentu masyarakat petani di Ploso akhirnya juga tidak bisa lepas secara total dari ekonomi moderen yang terkena imbas logika pasar. Yang menjadi persoalan penting yang harus dilihat adalah bagaimana siasat untuk mendapatkan upah tersebut harus dihidupi di antara dua sistem yang berbeda yaitu, logika pasar bebas dan logika yang berbasiskan kultur agraris.

D. Upah dan Moral Ekonomi Petani

Upah biasanya menjadi bagian yang sentral dalam relasi ekonomi. Lembaga ekonomi moderen meletakkan sistem yang cukup kuat dalam bentuk nilai uang. Upahpun secara sederhana bisa dikalkulasi dalam bentuk berapa uang yang diterima dalam setiap transaksi usaha atau pun jasa. Konsep upah bukanlah hal baru dalam teori-teori ekonomi, sosial dan politik. Karl Marx sudah membahasnya dalam Naskah-naskah Ekonomi dan Filsafat tahun 1844. Sedangkan peletak dasar teori ekonomi Adam Smith juga sudah begitu luas dan dalam membahas soal upah sebelum Karl Marx mengupasnya.

Tentu saja teori tentang upah semakin berkembang seiring majunya dalil-dalil ekonomi moderen. Namun, secara singkat konsep upah menurut Smith bisa dirumuskan demikan, “Naik dan turunnya keuntungan modal bergantung pada hal-hal sama yang menyebabkan naik dan turunnya upah, yaitu pada naik turunnya keadaan kemakmuran masyarakat.” (Sony Keraf, 1996: 238). Ini mau menegaskan bahwa sangat sulit untuk menentukan tingkat rata-rata baik upah dan keuntungan, karena keduanya sangat berfluktuasi. Lebih lanjut, Smith menegaskan kembali bahwa “Seseorang harus hidup dari kerjanya, dan upahnya harus paling kurang cukup untuk mempertahankan hidupnya.” (kutipan dalam Sony Keraf, 1996:238). Secara singkat bisa dijelaskan bahwa dalam teori ekonomi moderen, tenaga manusia akhirnya menjadi komoditas saat tenaga kerja manusia diukur berdasarkan nilai dan hasil kerja yang dilakukannya.

Komodifikasi nilai kerja yang dilakukan oleh manusia itu menjadi semakin berkembang luas dan rumit seiring kemajuan interaksi-interaksi manusia dalam konteks sosial, ekonomi dan politik yang melingkupinya. Upah dalam dunia sekarang, menjadi jelas dalam dalil-dalil ekonomi yang semakin bervariasi. Dalam konteks masyarakat petani yang sudah dikaji oleh James C. Scott, ukuran nilai kerja sehingga petani mendapatkan upah menjadi sangat konservatif, bahkan sistem upah dalam pendapat Scott sangat ditentukan oleh etika subsistensi. Pengaturan pendapat dalam koridor etika subsistensi itu ditentukan atas dasar apakah seorang petani bisa mendapatkan sisa dari hasil usahanya atau tidak. Batasannya dari apa yang minimum bisa dipertahankan. Usaha petani adalah untuk selalu menghindari resiko agar sisa dari pendapatannya tersebut tidak hilang atau goncang oleh berbagai faktor luar. Karena keluar dari batas itu, berarti mereka akan berhadap dengan krisis berkepanjangan.
Ini berbeda dengan pendapat Popkin. 

Petani memiliki rasionalitas untuk selalu bisa berhadapan dengan situasi krisis, dan bahkan petani bisa berani mengambil resiko dengan membuat investasi di sebuah ekonomi pasar yang terbuka. Karenanya, petani secara individual bisa saja ikut terlibat dalam ekonomi kapitalis dengan pertimbangan- pertimbangan khusus. Kedua pendapat ini menjadi sebuah acuan dalam penelitian ini untuk melihat sejauh mana keberadaan petani bisa bergeser dari kondisi yang konservatif akibat kultur agraris dan lebih terbuka dan berani mengambil resiko akibat desakan- desakan dari pasar bebas yang disodorkan oleh para pengusung neoliberalisme.

Rasionalitas pasar bebas yang diagung-agunkan oleh para penganut neoliberalisme mengatakan bahwa satu-satunya kebenaran dalam tata relasi manusia adalah saat untung-rugi secara individual diberi ruang untuk bergerak bebas tanpa dibatasi oleh regulasi apa pun, bahkan dari otoritas tertinggi yaitu negara. Itu berarti bahwa institusi komunal yang secara tradisional dimiliki oleh para petani sebagai wujud dari tindakan-tindakan moral ekonomi dalam konsep Scott akan mendapat sanggahan yang sangat kuat. Karena dalam hukum pasar bebas, siapa bisa menjadi semakin efisien, dia akan menjadi jawara dalam mendapatkan keuntungan. Keuntungan sebesar-besarnya hanya bisa didapatkan jika manusia bisa semakin efisien. Manusia petani dalam konsep Scott bukanlah manusia yang efisien, karena sistem kekerabatan dan patron-klien yang muncul dalam kultur petani mengharuskan mereka berani mengorbankan sesuatu hal yang berharga demi menjaga relasi di dalam komunitas internal mereka.

Namun demikian, tidak serta merta bahwa masyarakat petani akan langsung menerima hukum-hukum ekonomi pasar bebas. Itu artinya bisa jadi ada sebuah usaha untuk bekelit dari situasi desakan ekonomi pasar bebas dan tetap bertahan dalam posisi yang konservatif sejauh itu bisa menjadikan kehidupan mereka tetap aman dari terjangan krisis. Tetapi bisa juga petani mengambil posisi sebaliknya, bahwa mereka ikut dalam arus ekonomi pasar bebas sejauh itu juga memberikan jaminan pada keamanan secara ekonomis dan politis. Hal itulah yang dipertahankan oleh Samuel Popkin dalam penelitiannya tentang petani sebagai manusia rasional.

Jika pertarungan kekuatan itu terjadi dalam kehidupan masyarakat petani, mungkinkan sebuah masyarakat pos-agraris itu muncul? Saya tidak mendefinisikan bahwa masyarakat pos-agraris itu sebagai masyarakat industri berbasiskan teknologi maju. Masyarakat pos-agraris bisa jadi tetap hidup dari kultur agraris, tetapi karena desakan realitas ekonomi pasar yang muncul dari sistem industrialisasi moderen, masyarakat “terpaksa” harus beradaptasi dengan desakan itu namun tanpa kehilangan identitasnya sebagai masyarakat agraris. Mereka tidak hidup secara penuh dalam sistem industri kapitalis, namun hidup diambang industri kapitalis namun karena “enggan” untuk meninggalkan kultur agraris yang terlanjur melekat, maka apa yang baik dari warisan kultur agraris tersebut tetap mereka pertahankan. Jika, neoliberalisme akan mencetak manusia-manusia individual dalam sebuah pasar bebas yang terbuka, masyarakat “pos-agraris” ini tidak menjadi individualistik, namun tetap bertahan dalam kolektivitas mereka yang dihidupi dalam sebuah sistem ekonomi pasar bebas.

E. Kepustakaan

Scott, C., James, Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subistensi di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1981).

Scott, C., James, Domination and the Arts of Resistance, Hidden Manuscripts, (Yale University Press, 1990).

Popkin, P., Samuel, The Rational Peasant, The Political Economy of Rural Society in Vietnam, (California: University of California Press, 1979).

Polanyi, Karl, The Great Transformation, The Political and Economic Origins of Our Time, (Boston: Beacon Press, 2001).

Keraf, Sonny, Pasar Bebas Keadilan dan Peran Pemerintah, Telaah Atas Etika Politik Ekonomi Adam Smith, (Yogyakarta: Kanisius, 1996).

Held, David; Mc Grew, Anthony; Goldblatt, David; and Perraton, Jonathan, Global Transformations, Politics, Economics and Cuture, (Cambridge: Polity Press, 2000).

Waters, Malcolm, Globalzation, (London: Routledge, 1995).
 

Aart Scholte, Jan, Globalization, a critical introduction, (Macmillan Press LTD, 2000)

Wibowo, I dan Wahono, Francis (Editor), Neoliberalisme, (Yogyakarta: Penerbit Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003).

Wibowo, I dan Priyono, Herry (Editor), Sesudah Filsafat, Esai-esai untuk Franz Magnis- Suseno, (Yogyakarta: Kanisius, 2006)

Shanin, Teodor (Editor), Peasants and Peasant Societies, (Penguin book LTD, 1971). 16 

MAY DAY 2019: KAMI PEKERJA, KAMI BUKAN BUDAK!!!

(feature ini sudah dimuat d Koran Suara Hong Kong 7/5/2019) Lima perempuan mengenakan pakaian hitam dan matanya ditutup dengan kain ka...