Wednesday, January 2, 2019

MULTIKULTURALISME YANG TERPOJOK OLEH PLURALISME


Kota Yogyakarta dikenal sebagai city of tolerance. Masyarakatnya bisa menghidupi pluralisme dengan baik, maka toleransi lantas menjadi sebuah kebudayaan yang tumbuh mengiringi pluralisme itu. Demikiankah adanya? Imam Subkhan dalam penelitian kecilnya tentang pluralisme di Yogyakarta menyangsingkan hal itu. Penelitian lewat  Prorgram Fellowship yang dilakukan oleh Impulse (Institute for Multiculturalism and Pluralism) tersebut, tentu saja ingin mewujudkan impian Impulse sebagai NGO. Impulse dalam misinya menginginkan adanya sebuah perkembangan wacana dan aktivitas yang mendukung penghormatan, pengertian, toleransi, dan pemahaman terhadap perwujudan kemanusiaan yang beradab. Dengan mengambil arah bidikannya dalam kajian multikulturalisme dan pluralisme, Impulse berasumsi bahwa masih ada persoalan besar di bangsa ini terkait dengan tema itu. Jika dua persoalan itu tidak dikaji dengan baik, bangsa ini akan terjadi penghancuran terhadap “kemanusiaan yang beradab” karena tidak terjadinya penghormatan, pengertian dan toleransi pemahaman dalam relasi sosial masyarakat.
            Tentu saja Imam Subkhan dalam melakukan riset kecilnya di Yogyakarta, bergerak dalam koridor misi Impulse sebagai lembaga non pemerintah tersebut. Hasil riset yang sudah menjadi buku dengan judul “Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya”, justru menunjukkan bahwa praktek pluralisme yang terjadi di Yogya menyembunyikan selubung gelap akan terjadinya penghancuran kemanusiaan yang beradab itu. Imam Subkhan mengatakan bahwa pluralisme yang terjadi di Yogya sebenarnya adalah sebuah penghayatan terhadap pluralisme semu, karena beragam kelompok entah dalam kategori etnis, budaya, dan terutama agama, yang mewujud dalam beragam gerakan sosial, akhirnya hanya sibuk membangun bentengnya sendiri-sendiri tanpa mau berkomunikasi. Dengan mengambil contoh dua gerakan sosial yaitu, Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) dan Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI), Subkhan justru sampai pada kesimpulan yang pesimis terhadap pluralisme. Demikian tulisnya, “Saya tidak terlalu ingin berandai-andai bahwa FUI dan FPUB akan melakukan kolaborasi gerakan bersama-sama yang berbasis pada persoalan kemanusiaan, tanpa harus dibebani oleh perbedaan simbol, terma, dan atribut agama. Menuju ke sana memang sebuah ideal, namun tidak mudah mempersiapkan prasyarat menuju ke arah itu. Ada dua agenda besar yang perlu dilakukan sebelum beranjak ke sana, yaitu membuka selubung prasangka dan membangun dialog semesta. Dua kelompok ini memiliki prasangka besar satu terhadap yang lain yang terkadang tidak sepenuhnya benar.” (Subkhan, Imam, 2007. hal. 136)
            Itu adalah persoalan besar dalam pluralisme, dan Subkhan bertambah pesimis kalau persoalan itu harus diberikan kepada negara. Ia tahu bahwa negara dengan hukum positifnya bisa menjamin hak warga negara untuk bebas beribadah, beribadat, dan berkumpul, namun aparat penegak hukum itu sendiri terlalu lemah. Maka, atas dua pesimisme yang lahir dari hiruk pikuk pluralisme di Yogya, Subkhan malah sangat yakin kalau toleransi dan praktek pluralisme itu bisa dihayati dalam praksis keseharian. Kembali ke narasi kecil dan bukan ke narasi besar. Baginya, FPUB dan FUI itu adalah narasi besar, sedangkan narasi kecil adalah wacana kemanusiaan sehari-hari yang dianggap remeh. Namun ia sangat yakin bahwa dalam narasi kecilah malah terjadi relasi sosial yang lentur, yang mampu menumbuhkan kultur toleransi dalam pluralisme di Yogyakarta. (Subkhan, Imam, 2007.hal.137)
            Wacana yang dibangun Subkhan atas “hiruk pikuk pluralisme” di Yogya, mungkin saja betul, namun bisa saja ada konsep-konsep yang “mrucut” (lepas) dari pegangan Subkhan sehingga ia menambah deru dari hiruk pikuk wacana pluralisme itu sendiri. Deru wacana itu justru akan menambah betapa kalang kabutnya pemahaman itu dalam masyarakat kita, dan mungkin juga terjadi di Impulse tempat Subkhan menjalankan riset kecilnya tentang praktek pluralisme di Yogyakarta.

I. Toleransi dan Rasa Takut

Yogyakarta adalah kota yang bisa memberi ruang pada tumbuhnya pluralisme. Hal itu disebabkan karena adanya paham Jawa yang kuat memberi aura pada kehidupan masyarakat Yogya. Paham Jawa itu terpusat pada usaha untuk menjunjung tinggi nilai harmonisasi atau keselarasan. Menurut Subkhan, paham itu sangat kuat berakar pada tradisi Keraton Yogyakarta. Dengan sedikit mengacu pada sejarah berdirinya keraton Yogyakarta, Subkhan menunjukkan bahwa masyarakat plural itu sudah ada terkait dengan perkembangan masyarakat Yogyakarta dengan sentrumnya adalah keraton. Kenyataan masyrakat pluralis yang ada di Yogya, itu ditunjukkan oleh Subkhan dengan adanya data penduduk di Yogyakarta 1920-1930, yang menyebutkan adanya beberapa golongan penduduk, yakni warga Bumiputra, Eropa, Cina dan Asia lainnya.(Subkhan, ibid. hal. 57)
Subkhan juga menunjukkan komposisi penduduk berdasarkan agama, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan lainnya. Semua data itu mau digunakan oleh Subkhan untuk mempertegas bahwa masyarakat Yogya memang pluralis. Ia juga menambahkan adanya banyak pusat pendidikan dengan banyak Universitas di Yogyakarta menjadi penambah betapa Yogyakarta adalah kota plural. (Subkhan, ibid. hal. 58-59). Banyak mahasiswa/mahasiswi dari luar daerah Yogyakarta, bahkan dari banyak daerah di Indonesia ini melanjutkan pendidikannya di Yogyakarta. Kenyataan ini juga ditegaskan oleh Mohtar Mas’oed, S. Rizal Panggabean, dan Muhammad Najib Azca, dalam artikelnya yang berjudul Social Resources for Civility and Participation, The Case of Yogyakarta, Indonesia. (Hefner.2001.hal.125-126). Artikel yang ditulis bersama ini menandaskan bahwa pluralisme di Yogyakarta semakin menjadi kentara dengan banyaknya mahasiswa pendatang yang dikenal sebagai kota pelajar ini. Mereka hidup dengan membuat asrama berdasarkan asal daerah mereka, misalnya asrama mahasiswa Aceh, asrama mahasiswa Papua, asrama mahasiswa Makasar, dan sebagainya.
            Masyarakat plural dipahami seperti yang dikatakan oleh Robert W. Hefner dengan mengutip J.S. Furnivall demikian, “two or more elements or social orders which live side by side, yet without mingling, in one political unit.”(Hefner. Ibid. hal.4). Pengertian tersebut tentu saja terjadi di Yogyakarta. Namun, pembicaraan soal pluralisme di Yogyakarta, dan pada umumnya di Indonesia, akhirnya akan terseret ke dalam wacana pluralisme keagamaan. Ini juga yang dilakukan oleh Subkhan, wacana pluralisme yang dia jadikan fokus kajian adalah pluralisme yang hanya mengambil “two elements”, yaitu hubungan Kristen dan Muslim. Jadi, menurutnya wacana pluralisme di Yogyakarta sangat ditentukan oleh relasi antara dua elemen agama tersebut. Maka, untuk menguatkan asumsinya, ia menambahkan adanya data tentang konflik kekerasan yang terkait dengan relasi dua agama tersebut. Ia menunjukkan dari tanggal 16 November 1997 sampai dengan 4 Oktober 2006, ada 11 kasus kekerasan terkait dengan hubungan Kristen dan Muslim di Yogyakarta.(Subkhan, ibid. hal. 62-63). Kasus itu kebanyakan adalah pengurasakan Gereja dan Masjid. Kasus kekerasan berbau agama ini tentu saja tidak sebesar yang terjadi di Maluku atau di Poso. Namun, tidak ditutupi bahwa potensi tegangannya antara kelompok Kristen dan Muslim di Yogyakarta tetaplah ada.
            Hubungan kedua agama itu menjadi semakin tegang dengan munculnya fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme dan juga kembali mendongkraknya isu tentang formalisasi Syariat Islam. (Subkhan, ibid.hal. 30-37). Ini membuat banyak peraturan daerah mencoba memasukan paham-paham Islam untuk mengatur tingkah laku warganya. Dalam catatan Subkhan paling tidak sudah ada 36 daerah di Indonesia yang sudah memasukan Syariat Islam dalam peraturan daerah secara eksplisit. (Subkhan, ibid. hal. 38-42). Persoalan tentang Syariat Islam dan fatwa MUI tersebut menjadi arah bagi Subkhan untuk mendudukan bagaimana wacana pluralisme keagamaan tersebut dijangkarkan dalam konteks Yogyakarta.
            Dalam risetnya, Subkhan berhasil memaparkan fenomena persoalan dari relasi antara Kristen dan Muslim, dalam bingkai hubungan mayoritas dan minoritas. Namun bagaimana relasi antara mayoritas dan minoritas itu bisa menimbulkan masalah belumlah banyak dikupas. Fenomena yang terjadi antara Kristen dan Muslim di Yogyakarta, akhirnya jatuh pada apa yang saya sebut malu untuk mengungkapkan “rasa takut.” Kecurigaan yang timbul dikalangan Muslim (diwakili oleh FUI bukan Muslim pada umumnya) terhadap ancaman kristenisasi, adalah perasaan takut akan adanya jumlah angka pada penganut Muslim. Pengurangan jumlah angka (baca:pengikut) itu terjadi apabila ada migrasi dari orang muslim menjadi Kristen. Oleh karena itu FUI sangat antusias mendukung adanya SKB dua menteri dan munculnya UU Sisdiknas yang mengatur setiap sekolah untuk mewajibkan siswanya memperoleh pendidikan agama dan menjalankan ibadat di sekolah seturut agamanya masing-masing. Di balik itu ada asumsi bahwa sekolah non-muslim mempraktekan adanya kristenisasi dalam proses pendidikannya di sekolah. Tekanan pihak Muslim dengan perasaan curiga yang berlebihan akan adanya kristenisasi, terutama lewat bidang pendidikan, membuat kaum Kristen minoritas juga terancam. Mereka melawan tidak dengan sebuah opini, selebaran apalagi dengan kekerasan seperti kelompok Muslim, namun dengan semakin membuka jalan lewat jalur dialog untuk menumbuhkan budaya toleransi.
            Maka dari itu dengan adanya Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB), menjadi tempat berlindung (baca: bersembunyi) bagi golongan minoritas, termasuk kelompok Kristen. Mengapa ini menjadi tempat yang nyaman? Karena dengan perwakilan dari kelompok Muslim (merepresentasikan mayoritas), dalam FPUB maka itu bisa dijadikan strategi untuk memperkuat bahwa tidak ada proses kristenisasi. FPUB dengan para pendukungnya akhirnya menjadi tempat untuk melihat sebuah aneka ekspresi keagamaan tanpa harus kehilangan identitasnya. Dengan demikian identitas minoritas bisa nyaman berlindung pada payung forum tersebut. Namun, tidakkah sebenarnya motivasi banyak kelompok minoritas yang berminat untuk ikut dalam FPUB juga menyembunyikan rasa takut itu? Rasa takut terhadap mayoritas yang sewaktu-waktu bisa melumat identitasnya, tidak saja lewat jalur dakwah yang santun, bahkan bisa jadi lewat jalur kekerasan yang memaksa.
            Aras dasar inilah yang kurang dilihat oleh Subkhan, sehingga menyandingkan FPUB dan FUI dalam konteks wacana pluralisme membuat dia jatuh pada sikap pesimis. Tentu saja, siapa saja yang melihat relasi dua agama tersebut di Indonesia akan bersikap yang sama dengan Subkhan. Di sinilah letak pemahaman yang selalu “mrucut” (baca:lepas) untuk dipegang dalam pemahaman kita, jika kita mulai membicarakan pluralisme dalam konteks relasi mayoritas dan minoritas. Apa yang secara umum dipahami sebagai toleransi sebagai wujud dari praktek penghayatan pluralisme, ternyata tidak bisa secara tuntas mengatasi rasa takut tersebut. Rasa takut yang terus ada, tentu saja akan memupuk rasa curiga, prasangka dan bahkan anti pati yang berkepanjangan. Situasi ini terjadi karena pluralisme dalam relasi mayoritas dan minoritas selalu dipahami secara dangkal. Maka, pluralisme pun akhirnya hanya akan memproduksi konsep the other (sang liyan). Konsep yang selalu melihat kelompok yang tidak satu paham dan aliran, terutama dalam hal agama,  dianggap sebagai ancaman.
            Kedangkalan memahami pluralisme justru menciptakan sang liyan. Sebenarnya dengan munculnya pemahaman atau teori tentang multikulturalisme, paham ini mau mengatasi persoalan yang beku dalam kenyataan pluralisme tersebut. Namun sayang, dalam penelitian Subkhan konsep multikulturalisme itu secara sambil lalu disebut begitu saja, tanpa dijabarkan secara lebih utuh dan komprehensif. Bahkan tampak menyamakan ide multikulturalisme dengan pluralisme. Subkhan akhirya jatuh seperti apa yang dia katakan sendiri, menggunakan konsep multikulturalisme dan pluralisme tidak lebih sebagai komoditas. Atau bahkan multikulturalisme sudah dipojokan oleh pluralisme.
            Pemojokan paham multikultural dalam membaca masyarakat yang plural, itu sama halnya menempatkan interkasi masyarakat plural dalam sebuah pasar. Di dalam pasar tidak ada kontrol moral yang kuat untuk bisa mengatur begitu banyak dan beragamnya orang. Maka, bisa jadi lantas persainganlah yang menjadi acuan nilai sebagai fungsi kontrol sosial. Selama persaingan yang menjadi nilai, relasi mayoritas dan minoritas akan tetap dalam prasangka dan curiga. Relasi hubungan Muslim dan Kristen tetap saja terus dibayangi oleh rasa takut. Rasa takut dikuasai oleh kelompok yang lainnya. Untuk mengatasi hal itu, Gurpeet Mahajan dalam kajiannya menempatkan paham tentang perbedaan dan heteroginitas sebagai unsur yang enensial dalam memahami keberagaman. Dengan demikian, unsur-unsur yang berbeda dan heterogen dalam masyarakat yang plural, juga dalam konteks relasi Muslim dan Kristen, bisa menghasilkan sebuah kesetaraan dan bukannya persaingan. Maka dari itu, konsep multikulturalisme membantu pluralisme, yang di dalamnya diandaikan adanya banyak dan beragaman elemen yang hidup dalam masyarakat, dengan menempatkan kesetaraan (equality) dalam seluruh bangunan tata masyarakat plural.
            Pemahaman seperti itulah yang “mrucut” dari pengamatan Subkhan, sehingga paparannya seperti menempatkan paham multikulturalisme dalam pojokan pluralisme. Itu membuat praktek pluralisme hanya menghasilkan pesisme dan bahkan kelompok-kelompok yang mengusung paham pluralisme itu sendiri hanya seperti membangun benteng untuk kelompok mereka sendiri.

II. Ruang publik dan ruang privat

            Namun konsep tentang kesetaraan belumlah cukup untuk bisa mengatasi persoalan yang ada di dalam masyarakat plural. Itu juga belum cukup untuk memberi tempat bagaimana toleransi dan dialog agama antara Kristen dan Muslim bisa berjalan tanpa harus dibalut oleh perasaan takut. Pesimisme Subkhan terhadap wacana pluralisme di Yogyakarta tidak menempatkan hal itu sebagai faktor penentu. Di samping itu, pandangannya terlampau primordial, dalam arti hanya melihat toleransi dalam masyarakat plural sebagai urusan bagi kelompok, atau agama yang bersangkutan. Artinya, agama itu sendirilah yang harus memberikan solusi terhadap persoalan sosial yang terjadi akibat ketegangan yang tejadi dalam relasi di antara kelompok agama tersebut.
            Itu sama artinya membiarkan pluralitas sebagai alat produksi disintegrasi sosial. Siapapun orangnya, sebenarnya tidak menyukai disintegrasi. Bahkan perjuangan FUI untuk menyatukan berbagai ormas Islam, datang dari keyakinan bahwa integrasi itu sebuah nilai yang baik bagi manusia. Meskipun dalam catatan Subkhan cita-cita FUI itu akhirnya kandas.  Integrasi sosial itu tidak mudah dicapai, apalagi dalam masyarakat plural. Untuk sampai pada integrasi sosial, itu John Rex mengusulkan paham multikultural yang bisa memisahkan ruang publik dan ruang privat. Ia mengatakan demikan, “If we are to maintain the model of the multicultural society it must clearly be distinguished from that suggested by Furnivall and Smith. This can best be done by drawing a distinction between the public and the private domain.”(Guibernau, Montserrat dan Rex, John. 1997.hal. 207-208)
            Bagi Rex, menelaah paham multikultural haruslah ditempatkan dalam konsep negara moderen, yang dengan jelas membedakan ruang publik dan ruang privat. Itu artinya memisahkan persoalan moralitas dari komunitas atau kelompok (dan juga agama) dan juga memisahkan persoalan privat dan kelompok dari pasar. Dengan demikian diharapkan akan hanya ada satu acuan, baik dari segi moral, hukum, politik dan ekonomi, di dalam ruang publik yang dianut oleh beragam kelompok, aliran, termasuk agama. Ia menuliskan, “One might envisage a society which is unitary in the public domain but which encourages diversity in what are thought of as private or communal matters.” (Guibernau, ibid. hal. 208). Pemahaman tersebut juga tidak tampak dalam riset yang dibuat oleh Subkhan. Saat Subkhan mengangkat banyaknya kasus formulasi Syariat Islam dalam banyak peratuan daerah, kasus itu dibiarkan mengambang tanpa diberi analisa kritis. Mencuatnya kepentingan kelompok Muslim untuk menempatkan Syariat Islam dalam konteks publik sebenarnya adalah kecenderungan untuk membawa konsep privat ke ruang publik. Moralitas Islam ingin didesakan ke ruang publik sebagai pengatur masyarakat. Kecenderungan itu tampak dari sepak terjang FUI yang tidak saja menentang adanya kristenisasi, namun oleh Subkhan dikatakan sebagai “penjaga syariat dan penghadang maksiat di Yogyakarta.”
            Kecenderungan sebuah agama yang dianut oleh mayoritas penduduknya, ia akan merasa dituntut untuk menjadikan “moralitas dan hukum” agamanya menjadi dasar hidup dalam tata sosial dan politik masyarakat umum. Dorongan ini sangat berlawanan dengan apa yang berkembang dalam paham negara moderen. Dan itu tidak sejalan dengan proses demokratisasi. Bagi Rex, demokratisasi hanya bisa dicapai kalau ada pembedaan ruang publik dan ruang privat, di mana acuan, moral, hukum dan tata sosial lainnya, hanya ada satu dan itu dipegang oleh negara. Maka, kasus munculnya berbagai peraturan daerah yang mengadopsi hukum Islam, sebenarnya menjadi preseden bagi Indonesia untuk membangun sistem demokratisasi. Kiranya, jika agama Kristen juga menjadi mayoritas di Indonesia, hal serupa juga akan dilakukan oleh orang-orang Kristen, yaitu memaksakan sebuah moralitas dan hukum agama, yang semestinya ada di ruang privat, untuk dijadikan acuan dalam ruang publik.
            Oleh karena itu, bagi saya toleransi tidak pernah menjadi sebuah wacana yang cukup untuk mengatasi persoalan yang muncul dalam masyarakat yang plural, terutama dalam relasi agama di Yogyakarta. Tidak cukup bagi masyarakat Yogyakarta yang bangga mendapat predikat sebagai city of tolerance, sebelum kota ini juga menjai city of multicultural yang mampu memisahkan ruang publik dan ruang privat. Lalu, apa yang bisa membuat ruang publik dan ruang privat dipisah dalam sebuah masyarakat yang plural? Bagaimana hubungan yang mayoritas dengan yang minoritas yang selalu tegang karena adanya faktor ancaman dan rasa takut bisa diatasi? Toleransi tidaklah cukup untuk menghilangkan ancaman dan perasaan takut. Maka ia butuh yang saya sebut sebagai “rasionalisasi emosional.” Proses rasionalisasi terhadap emosi bisa dipahami sebagai proses pelepasan ikatan-ikatan emosi primodial dan kemudian ditarik ke ranah nalar.
            Emosi adalah dasar yang sangat kuat mengikat hubugan primodial. Emosi yang hidup dalam masyarakat plural, seperti Yogyakarta, adalah emosi yang diwariskan oleh sistem “colonial capitalism” memakai konsep Furnivall. Hasil  dari kapitalisme kolonial ini menyisakan emosi yang negatif. Kita tidak bisa menutup mata bahwa perkembangan agama Kristen di Indonesia sejalan dengan kolonialisasi itu. Dan sistem ekonomi kolonial ternyata banyak menyumbang pada berjalannya penyebaran agama Kristen. Agama Islam yang sudah dahulu ada sebelum masa kekristenan terjadi di Indonesia, tentu saja melihat proses itu. Bayangan tentang “penjajahan” tentu saja masih mengendap dalam benak kelompok Islam dalam melihat agama Kristen. Di lain sisi, agama Kristen juga belum bisa melepaskan diri dari stigma agama penjajah. Namun kedua-duanya memberikan sebuah ikatan emosi dalam penafsiran identitas keagamaan, baik bagi Kristen dan Islam. Inilah yang menurut saya memunculkan dorongan yang kuat bagi masing-masing agama untuk bertahan terhadap ikatan emosi itu. Tentu saja emosi yang didasarkan pada proses stigmatisasi ini tidak akan sehat dalam proses pembangunan identitas dari masing-masing agama.
            Amy Gutmann dalam kata pengantar buku Multiculturalism, menuliskan demikan, “If human identity is diaologically created and constituted, then public recognition of our identity requires a politics that leaves room for us to deliberate publicly about those aspects of our identities that we share, or potentially share, with other citizens.” (Taylor, Charles. 1994. hal. 7). Dalam pernyataan itu ada dua hal yang penting yaitu “politik identitas” dan “politik pengakuan.” Identitas seseorang bisa dibagikan kalau identitasi itu diakui dalam ruang publik. Itu sama saja bahwa identitas seorang Muslim dan identitas seorang  Kristen bisa dibagikan kepada seluruh warga, selama identitas itu diakui dalam ruang publik. Namun, untuk sampai bisa “share”, identitas itu harus bisa lepas dulu dari ikatan emosi masa lalu yang dibebani oleh sejarah “capitalism colonial.” Proses pelepasan ikatan emosi primodial ini hanya bisa dijalankan jika ada proses rasionalisasi terhadap identitasi itu sendiri dan juga bagaimana rasionalisasi itu bisa hidup dalam sebuah relasi saling mengakui yang sehat.
            Maka, kalau di Yogyakarta bisa muncul sebuah gerakan untuk menumbuhkan “politik identitas” dan “politik pengakuan” yang sehat antar kelompok, terutama dalam relasi agama Kristen dan Muslim, itu bukanlah jasa dari paham Jawa tentang keselarasan atau harmonisasi yang menjadi hasil dari filosofi Keraton Yogyakarta, namun itu hasil dari proses rasionalisasi masyarakatnya. Rasionalisasi dalam masyarkat hanya bisa tumbuh kalau didukung instrumen utama yaitu, pendidikan. Maka, menurut saya yang menyebabkan budaya toleransi tumbuh secara baik di Yogyakarta bukanlah keberadaan Keraton Yogyakarta, namun keberadaan banyak Universitas dan pusat-pusat penelitian di Yogyakarta. Rasionalisasi hanya terjadi di ruang-ruang akademis. Sejauh pusat-pusat pendidikan yang banyak di Yogyakarta bisa melepaskan diri dari emosi primodial, tentu saja itu akan menyumbang bagi munculnya pemahaman yang lurus dan sehat terhadap tumbuhnya politik identitas dan pengakuan bagi masyarakat Yogyakarta yang sangat plural.
            Oleh karena itu, pemisahan ruang publik dengan ruang privat bisa dilakukan, sejauh ada proses rasionalisasi terhadap emosi primodial warisan kapitalisme kolonial. Mendengungkan toleransi tanpa menginjak akar persoalan dalam pluralisme keagamaan, antara Kristen dan Islam, sama artinya hanya mengusung sebuah toleransi semu. Itulah yang disebut oleh Subkhan sebagai komodifikasi toleransi. Toleransi yang semu terjadi, karena praktek pluralisme yang ada belum bisa membedakan mana yang ruang publik dan ruang privat. Mencampuradukan keduanya dalam memahami pluralisme sama artinya memberi ruang pada banalisasi politik identitas dan pengakuan. Akhirnya proses itu akan menumbuhkan disintegrasi sosial. The other (sang liyan) semakin berkembang untuk membangun benteng-bentengnya sendiri. Masyarakat tampak hidup saling menghargai dan toleran, namun menyimpan amunisi yang siap diledakan kapanpun. Itulah sebenarnya yang menjadi kekhawatiran Subkhan dan pusat pesimismenya.

III. Pesimisme dan Optimisme

            Dalam risetnya, Subkhan pesimis dengan dua hal yaitu bahwa organisasi sosial baik yang pro-pluralisme (FPUB) dan yang anti-pluralisme (FUI), akhirnya tidak bisa diharapkan untuk membangun hubungan yang harmonis dalam masyarakat plural di Yogyakarta. Kedua kelompok itu masih menyimpan prasangka dan curiga. Maka, pluralisme yang dibangun atas prasangka dan curiga tidak pernah menghasilkan relasi sosial yang sehat. Ia juga tidak menaruh harapan tinggi terhadap peran negara (pemerintah), kerena aparat penegak hukum sangat lemah. Kedua aspek tersebut yang disebutnya sebagai narasi besar. Ia lebih percaya pada narasi kecil, yakni relasi yang lentur di dalam hubungan kemanusiaan sehari-hari yang terjadi di dalam masyarakat Yogyakarta. Namun, tentu saja hubungan kemanusiaan itu tidak akan terjadi sebaik yang Subkhan yakini, jika tidak ada proses rasionalisasi antara ruang publik dan ruang privat.
            Pesimisme Subkhan itu juga terjadi karena ia telah memojokan konsep multikulturalisme dalam mengkaji persoalan pluralisme. Sehingga ada dasar pemahaman yang sebenarnya penting, namun menghilang dalam seluruh rangkaian argumentasinya. Ia juga tidak mengkaji lebih dalam persoalan Syariat Islam dalam konteks masyarakat moderen yang lahir dalam tata kelola negara moderen. Tidak seperti Subkhan, Mas’oed dan kawan-kawan jauh lebih optimis dalam melihat prkatek pluralisme di Yogyakarta. Mereka melihat pluralisme dalam empat ruang penting, yaitu: (1) Dalam ruang religius yang dikaitkan dengan keberadaan universitas dan lembaga non-pemerintah yang berafiliasi pada agama tertentu. Ini membuka ruang dialog yang lebih rasional. Dalam ruang ini tentu ada sebuah perdebatan karena berbeda pendapat, namun wacana akademis tentu saja bisa memberi ruang untuk memberi rasionalisasi atas perbedaan itu; (2). Dalam ruang gerakan warga dan dikaitkan dengan munculnya banyak organisasi perempuan yang memiliki orientasi penyadaran akan pentingnya kesetaraan gender. Ini akan memberikan wacana yang lebih luas terhadap pentingnya membangun kesetaraan dalam sistem sosial. Tidak saja dalam konteks isu gender, namun meluas dalam tata sosial yang lain. (3); Ruang politik yang dikaitkan dengan munculnya berbagai macam konsep baru dalam bidang politik. Tentu saja, wacana universitas sangat berperan di sini. Kota Yogyakarta sangat berpeluang memberikan sumbangan pada pendombrakan politik yang konvensional pada umumnya; (4) Ruang ekonomi dan dikaitkan dengan adanya kesempatan untuk membangun relasi antar kelompok (etnis, agama dan ras). Yogyakarta tidak bisa dipungkiri semakin terjangkiti oleh sistem ekonomi moderen (baca:kapitalisme). Dalam ranah ini, bisa jadi sekat-sekat sosial yang muncul akibat dari emosi primodial yang masih mengendap dan kemudian mencair. Ranah ekonomi adalah ranah yang paling efektif untuk membuka sekat itu, karena ekonomi membuntuhkan sebuah jaringan “bisnis” yang bisa saling menguntungkan. Selain tentu saja ada dampak negatif yang dihasilkan dari ranah ini. (Hefner, ibid. hal. 128-135)
            Optimisme itu juga semakin menguat, kalau berbagai macam elemen yang membuat masyarakat Yogyakarta itu menjadi plural, diteropong dengan paham multikultural. Para pengusung paham multikultural sangat optimis bahwa pluralisme bisa mendorong proses demokratisasi, asal saja dalam pluralisme itu ditumbuhkan konsep pangkuan akan hak yang setara. Demokrasi masih diakui sebagai jembatan yang baik untuk mengatur sebuah masyarakat, apalagi masyarakat yang sangat plural. Maka, saat multikultural menekankan adanya penghargaan akan adanya kesetaraan bagi masyarakat plural, ia juga menjunjung pentingnya politik identitas dan pengakuan yang sehat. Oleh karena itu, paham multikultural sangat menghargai peran penting negara. Seburuk apa pun sistem yang ada di dalam negara itu, komponen ini tetaplah menjadi unsur yang legitim untuk mengatur masyarakat. Maka dari itu, paham multikultural sebenarnya menempatkan pentingnya kesetaraan dalam hubungan mayoritas dan minoritas agar tidak terjadi diskriminasi dalam bingkai wewenang negara.
            Diskriminasi hanya bisa dibuka kalau negara diberi peran dalam mengambil kebijakan publiknya. Negara harus didukung untuk terus menerus memberikan ruang yang baik bagi masyarakat untuk terus menerus menciptakan dialog akar rumput. Maka, peran FPUB dalam konteks ini masih tetap relevan. Ia membantu negara untuk menempatkan betapa pentingnya dialog. Oleh karena itu, multikulturalisme tidak bisa dilepaskan untuk mengkaji masyarakat yang plural. Dengan melepaskan paham ini, maka pluralisme akan menjadi “hantu” sosial yang menakutkan dalam membangun masyarakat yang lebih kuat dan demokratis.
            Di Yogyakarta, diharapkan hantu sosial itu bisa semakin dimusnahkan dan kalau bisa memberikan optimisme tumbuhnya paham multikultural yang sehat di tengah masyarakat Yogyakarta, untuk menyertai konsep toleransi dan praktek pluralisme yang oleh Subkhan dipandangnya terlanjur menjadi “hiruk pikuk.” Semoga tulisan ini, bisa mencari celah-celah kecil bagaimana wacana pluralisme tidak dipahami secara latah dan banal untuk tidak menambah hiruk pikunya wacana pluralsme itu sendiri.


IV. Kepustakaan
Subkhan, Imam. 2007. Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya. Yogyakarta:Kanisius
Guibernau, Montserrat and Rex, John. 1997. The Ethnicity Reader, Nationalism, Multiculturalism, and Migration. Cambrige: Polity Press.
Hefner. W Robert. (editor). 2001. The Politics of Multiculturalism, Pluralism and Citizenship in Malaysia, Singapore, and Indoneisa. Honolulu: University of Hawai’i Press.
Taylor, Charles (edited and introduced by Amy Gutmann).1994. Multicultralism. New Jersey: Princeton University Press.
            Coward, Harold. 1989. Pluralisme Tantangan Bagi Agama-agama. Yogyakarta: Kanisius.

ooOOoo

2 comments:

  1. Tulisan yang sangat bagus Mas. Tulisan ini dapat menjadi dokumen rujukan bagi siapapun yang ingin mengetahui kualitas kehidupan bersama masyarakat Yogya secara kritis. Matur nuwun ya Mas Dedy atas tulisannya ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih tanggapannya Mas Paulus Heru Wibowo atas tulisan saya.

      Delete

MAY DAY 2019: KAMI PEKERJA, KAMI BUKAN BUDAK!!!

(feature ini sudah dimuat d Koran Suara Hong Kong 7/5/2019) Lima perempuan mengenakan pakaian hitam dan matanya ditutup dengan kain ka...