Kota Yogyakarta dikenal sebagai city of tolerance. Masyarakatnya bisa
menghidupi pluralisme dengan baik, maka toleransi lantas menjadi sebuah
kebudayaan yang tumbuh mengiringi pluralisme itu. Demikiankah adanya? Imam
Subkhan dalam penelitian kecilnya tentang pluralisme di Yogyakarta
menyangsingkan hal itu. Penelitian lewat
Prorgram Fellowship yang
dilakukan oleh Impulse (Institute for
Multiculturalism and Pluralism) tersebut, tentu saja ingin mewujudkan impian
Impulse sebagai NGO. Impulse dalam misinya menginginkan adanya sebuah
perkembangan wacana dan aktivitas yang mendukung penghormatan, pengertian,
toleransi, dan pemahaman terhadap perwujudan kemanusiaan yang beradab. Dengan
mengambil arah bidikannya dalam kajian multikulturalisme dan pluralisme,
Impulse berasumsi bahwa masih ada persoalan besar di bangsa ini terkait dengan
tema itu. Jika dua persoalan itu tidak dikaji dengan baik, bangsa ini akan
terjadi penghancuran terhadap “kemanusiaan yang beradab” karena tidak
terjadinya penghormatan, pengertian dan toleransi pemahaman dalam relasi sosial
masyarakat.
Tentu
saja Imam Subkhan dalam melakukan riset kecilnya di Yogyakarta, bergerak dalam
koridor misi Impulse sebagai lembaga non pemerintah tersebut. Hasil riset yang
sudah menjadi buku dengan judul “Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya”,
justru menunjukkan bahwa praktek pluralisme yang terjadi di Yogya
menyembunyikan selubung gelap akan terjadinya penghancuran kemanusiaan yang
beradab itu. Imam Subkhan mengatakan bahwa pluralisme yang terjadi di Yogya
sebenarnya adalah sebuah penghayatan terhadap pluralisme semu, karena beragam
kelompok entah dalam kategori etnis, budaya, dan terutama agama, yang mewujud
dalam beragam gerakan sosial, akhirnya hanya sibuk membangun bentengnya
sendiri-sendiri tanpa mau berkomunikasi. Dengan mengambil contoh dua gerakan
sosial yaitu, Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) dan Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI), Subkhan justru
sampai pada kesimpulan yang pesimis terhadap pluralisme. Demikian tulisnya,
“Saya tidak terlalu ingin berandai-andai bahwa FUI dan FPUB akan melakukan
kolaborasi gerakan bersama-sama yang berbasis pada persoalan kemanusiaan, tanpa
harus dibebani oleh perbedaan simbol, terma, dan atribut agama. Menuju ke sana
memang sebuah ideal, namun tidak mudah mempersiapkan prasyarat menuju ke arah
itu. Ada dua agenda besar yang perlu dilakukan sebelum beranjak ke sana, yaitu
membuka selubung prasangka dan membangun dialog semesta. Dua kelompok ini
memiliki prasangka besar satu terhadap yang lain yang terkadang tidak
sepenuhnya benar.” (Subkhan, Imam, 2007. hal. 136)
Itu
adalah persoalan besar dalam pluralisme, dan Subkhan bertambah pesimis kalau
persoalan itu harus diberikan kepada negara. Ia tahu bahwa negara dengan hukum
positifnya bisa menjamin hak warga negara untuk bebas beribadah, beribadat, dan
berkumpul, namun aparat penegak hukum itu sendiri terlalu lemah. Maka, atas dua
pesimisme yang lahir dari hiruk pikuk pluralisme di Yogya, Subkhan malah sangat
yakin kalau toleransi dan praktek pluralisme itu bisa dihayati dalam praksis
keseharian. Kembali ke narasi kecil dan bukan ke narasi besar. Baginya, FPUB
dan FUI itu adalah narasi besar, sedangkan narasi kecil adalah wacana
kemanusiaan sehari-hari yang dianggap remeh. Namun ia sangat yakin bahwa dalam
narasi kecilah malah terjadi relasi sosial yang lentur, yang mampu menumbuhkan
kultur toleransi dalam pluralisme di Yogyakarta. (Subkhan, Imam, 2007.hal.137)
Wacana
yang dibangun Subkhan atas “hiruk pikuk pluralisme” di Yogya, mungkin saja
betul, namun bisa saja ada konsep-konsep yang “mrucut” (lepas) dari pegangan
Subkhan sehingga ia menambah deru dari hiruk pikuk wacana pluralisme itu
sendiri. Deru wacana itu justru akan menambah betapa kalang kabutnya pemahaman
itu dalam masyarakat kita, dan mungkin juga terjadi di Impulse tempat Subkhan
menjalankan riset kecilnya tentang praktek pluralisme di Yogyakarta.
I.
Toleransi dan Rasa Takut
Yogyakarta adalah kota yang
bisa memberi ruang pada tumbuhnya pluralisme. Hal itu disebabkan karena adanya
paham Jawa yang kuat memberi aura pada kehidupan masyarakat Yogya. Paham Jawa
itu terpusat pada usaha untuk menjunjung tinggi nilai harmonisasi atau
keselarasan. Menurut Subkhan, paham itu sangat kuat berakar pada tradisi Keraton
Yogyakarta. Dengan sedikit mengacu pada sejarah berdirinya keraton Yogyakarta,
Subkhan menunjukkan bahwa masyarakat plural itu sudah ada terkait dengan
perkembangan masyarakat Yogyakarta dengan sentrumnya adalah keraton. Kenyataan
masyrakat pluralis yang ada di Yogya, itu ditunjukkan oleh Subkhan dengan
adanya data penduduk di Yogyakarta 1920-1930, yang menyebutkan adanya beberapa
golongan penduduk, yakni warga Bumiputra, Eropa, Cina dan Asia lainnya.(Subkhan,
ibid. hal. 57)
Subkhan juga menunjukkan
komposisi penduduk berdasarkan agama, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu,
Budha dan lainnya. Semua data itu mau digunakan oleh Subkhan untuk mempertegas
bahwa masyarakat Yogya memang pluralis. Ia juga menambahkan adanya banyak pusat
pendidikan dengan banyak Universitas di Yogyakarta menjadi penambah betapa
Yogyakarta adalah kota plural. (Subkhan, ibid. hal. 58-59). Banyak
mahasiswa/mahasiswi dari luar daerah Yogyakarta, bahkan dari banyak daerah di
Indonesia ini melanjutkan pendidikannya di Yogyakarta. Kenyataan ini juga
ditegaskan oleh Mohtar Mas’oed, S. Rizal Panggabean, dan Muhammad Najib Azca,
dalam artikelnya yang berjudul Social
Resources for Civility and Participation, The Case of Yogyakarta, Indonesia.
(Hefner.2001.hal.125-126). Artikel yang ditulis bersama ini menandaskan bahwa
pluralisme di Yogyakarta semakin menjadi kentara dengan banyaknya mahasiswa
pendatang yang dikenal sebagai kota pelajar ini. Mereka hidup dengan membuat
asrama berdasarkan asal daerah mereka, misalnya asrama mahasiswa Aceh, asrama
mahasiswa Papua, asrama mahasiswa Makasar, dan sebagainya.
Masyarakat
plural dipahami seperti yang dikatakan oleh Robert W. Hefner dengan mengutip
J.S. Furnivall demikian, “two or more
elements or social orders which live side by side, yet without mingling, in one
political unit.”(Hefner. Ibid. hal.4). Pengertian tersebut tentu saja
terjadi di Yogyakarta. Namun, pembicaraan soal pluralisme di Yogyakarta, dan
pada umumnya di Indonesia, akhirnya akan terseret ke dalam wacana pluralisme
keagamaan. Ini juga yang dilakukan oleh Subkhan, wacana pluralisme yang dia
jadikan fokus kajian adalah pluralisme yang hanya mengambil “two elements”, yaitu hubungan Kristen
dan Muslim. Jadi, menurutnya wacana pluralisme di Yogyakarta sangat ditentukan
oleh relasi antara dua elemen agama tersebut. Maka, untuk menguatkan asumsinya,
ia menambahkan adanya data tentang konflik kekerasan yang terkait dengan relasi
dua agama tersebut. Ia menunjukkan dari tanggal 16 November 1997 sampai dengan
4 Oktober 2006, ada 11 kasus kekerasan terkait dengan hubungan Kristen dan
Muslim di Yogyakarta.(Subkhan, ibid. hal. 62-63). Kasus itu kebanyakan adalah
pengurasakan Gereja dan Masjid. Kasus kekerasan berbau agama ini tentu saja
tidak sebesar yang terjadi di Maluku atau di Poso. Namun, tidak ditutupi bahwa
potensi tegangannya antara kelompok Kristen dan Muslim di Yogyakarta tetaplah
ada.
Hubungan
kedua agama itu menjadi semakin tegang dengan munculnya fatwa MUI yang
mengharamkan pluralisme dan juga kembali mendongkraknya isu tentang formalisasi
Syariat Islam. (Subkhan, ibid.hal. 30-37). Ini membuat banyak peraturan daerah
mencoba memasukan paham-paham Islam untuk mengatur tingkah laku warganya. Dalam
catatan Subkhan paling tidak sudah ada 36 daerah di Indonesia yang sudah
memasukan Syariat Islam dalam peraturan daerah secara eksplisit. (Subkhan,
ibid. hal. 38-42). Persoalan tentang Syariat Islam dan fatwa MUI tersebut
menjadi arah bagi Subkhan untuk mendudukan bagaimana wacana pluralisme
keagamaan tersebut dijangkarkan dalam konteks Yogyakarta.
Dalam
risetnya, Subkhan berhasil memaparkan fenomena persoalan dari relasi antara
Kristen dan Muslim, dalam bingkai hubungan mayoritas dan minoritas. Namun
bagaimana relasi antara mayoritas dan minoritas itu bisa menimbulkan masalah
belumlah banyak dikupas. Fenomena yang terjadi antara Kristen dan Muslim di
Yogyakarta, akhirnya jatuh pada apa yang saya sebut malu untuk mengungkapkan
“rasa takut.” Kecurigaan yang timbul dikalangan Muslim (diwakili oleh FUI bukan
Muslim pada umumnya) terhadap ancaman kristenisasi, adalah perasaan takut akan
adanya jumlah angka pada penganut Muslim. Pengurangan jumlah angka
(baca:pengikut) itu terjadi apabila ada migrasi dari orang muslim menjadi
Kristen. Oleh karena itu FUI sangat antusias mendukung adanya SKB dua menteri
dan munculnya UU Sisdiknas yang mengatur setiap sekolah untuk mewajibkan
siswanya memperoleh pendidikan agama dan menjalankan ibadat di sekolah seturut
agamanya masing-masing. Di balik itu ada asumsi bahwa sekolah non-muslim
mempraktekan adanya kristenisasi dalam proses pendidikannya di sekolah. Tekanan
pihak Muslim dengan perasaan curiga yang berlebihan akan adanya kristenisasi,
terutama lewat bidang pendidikan, membuat kaum Kristen minoritas juga terancam.
Mereka melawan tidak dengan sebuah opini, selebaran apalagi dengan kekerasan
seperti kelompok Muslim, namun dengan semakin membuka jalan lewat jalur dialog
untuk menumbuhkan budaya toleransi.
Maka
dari itu dengan adanya Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB), menjadi tempat
berlindung (baca: bersembunyi) bagi golongan minoritas, termasuk kelompok
Kristen. Mengapa ini menjadi tempat yang nyaman? Karena dengan perwakilan dari
kelompok Muslim (merepresentasikan mayoritas), dalam FPUB maka itu bisa
dijadikan strategi untuk memperkuat bahwa tidak ada proses kristenisasi. FPUB
dengan para pendukungnya akhirnya menjadi tempat untuk melihat sebuah aneka
ekspresi keagamaan tanpa harus kehilangan identitasnya. Dengan demikian
identitas minoritas bisa nyaman berlindung pada payung forum tersebut. Namun,
tidakkah sebenarnya motivasi banyak kelompok minoritas yang berminat untuk ikut
dalam FPUB juga menyembunyikan rasa takut itu? Rasa takut terhadap mayoritas
yang sewaktu-waktu bisa melumat identitasnya, tidak saja lewat jalur dakwah
yang santun, bahkan bisa jadi lewat jalur kekerasan yang memaksa.
Aras
dasar inilah yang kurang dilihat oleh Subkhan, sehingga menyandingkan FPUB dan
FUI dalam konteks wacana pluralisme membuat dia jatuh pada sikap pesimis. Tentu
saja, siapa saja yang melihat relasi dua agama tersebut di Indonesia akan
bersikap yang sama dengan Subkhan. Di sinilah letak pemahaman yang selalu
“mrucut” (baca:lepas) untuk dipegang dalam pemahaman kita, jika kita mulai
membicarakan pluralisme dalam konteks relasi mayoritas dan minoritas. Apa yang
secara umum dipahami sebagai toleransi sebagai wujud dari praktek penghayatan
pluralisme, ternyata tidak bisa secara tuntas mengatasi rasa takut tersebut. Rasa
takut yang terus ada, tentu saja akan memupuk rasa curiga, prasangka dan bahkan
anti pati yang berkepanjangan. Situasi ini terjadi karena pluralisme dalam
relasi mayoritas dan minoritas selalu dipahami secara dangkal. Maka, pluralisme
pun akhirnya hanya akan memproduksi konsep the
other (sang liyan). Konsep yang selalu melihat kelompok yang tidak satu
paham dan aliran, terutama dalam hal agama,
dianggap sebagai ancaman.
Kedangkalan
memahami pluralisme justru menciptakan sang liyan. Sebenarnya dengan munculnya
pemahaman atau teori tentang multikulturalisme, paham ini mau mengatasi
persoalan yang beku dalam kenyataan pluralisme tersebut. Namun sayang, dalam
penelitian Subkhan konsep multikulturalisme itu secara sambil lalu disebut
begitu saja, tanpa dijabarkan secara lebih utuh dan komprehensif. Bahkan tampak
menyamakan ide multikulturalisme dengan pluralisme. Subkhan akhirya jatuh
seperti apa yang dia katakan sendiri, menggunakan konsep multikulturalisme dan
pluralisme tidak lebih sebagai komoditas. Atau bahkan multikulturalisme sudah
dipojokan oleh pluralisme.
Pemojokan
paham multikultural dalam membaca masyarakat yang plural, itu sama halnya
menempatkan interkasi masyarakat plural dalam sebuah pasar. Di dalam pasar
tidak ada kontrol moral yang kuat untuk bisa mengatur begitu banyak dan
beragamnya orang. Maka, bisa jadi lantas persainganlah yang menjadi acuan nilai
sebagai fungsi kontrol sosial. Selama persaingan yang menjadi nilai, relasi
mayoritas dan minoritas akan tetap dalam prasangka dan curiga. Relasi hubungan
Muslim dan Kristen tetap saja terus dibayangi oleh rasa takut. Rasa takut
dikuasai oleh kelompok yang lainnya. Untuk mengatasi hal itu, Gurpeet Mahajan
dalam kajiannya menempatkan paham tentang perbedaan dan heteroginitas sebagai
unsur yang enensial dalam memahami keberagaman. Dengan demikian, unsur-unsur
yang berbeda dan heterogen dalam masyarakat yang plural, juga dalam konteks
relasi Muslim dan Kristen, bisa menghasilkan sebuah kesetaraan dan bukannya
persaingan. Maka dari itu, konsep multikulturalisme membantu pluralisme, yang
di dalamnya diandaikan adanya banyak dan beragaman elemen yang hidup dalam
masyarakat, dengan menempatkan kesetaraan (equality) dalam seluruh bangunan
tata masyarakat plural.
Pemahaman
seperti itulah yang “mrucut” dari pengamatan Subkhan, sehingga paparannya
seperti menempatkan paham multikulturalisme dalam pojokan pluralisme. Itu
membuat praktek pluralisme hanya menghasilkan pesisme dan bahkan
kelompok-kelompok yang mengusung paham pluralisme itu sendiri hanya seperti
membangun benteng untuk kelompok mereka sendiri.
II.
Ruang publik dan ruang privat
Namun
konsep tentang kesetaraan belumlah cukup untuk bisa mengatasi persoalan yang
ada di dalam masyarakat plural. Itu juga belum cukup untuk memberi tempat
bagaimana toleransi dan dialog agama antara Kristen dan Muslim bisa berjalan
tanpa harus dibalut oleh perasaan takut. Pesimisme Subkhan terhadap wacana
pluralisme di Yogyakarta tidak menempatkan hal itu sebagai faktor penentu. Di
samping itu, pandangannya terlampau primordial, dalam arti hanya melihat
toleransi dalam masyarakat plural sebagai urusan bagi kelompok, atau agama yang
bersangkutan. Artinya, agama itu sendirilah yang harus memberikan solusi
terhadap persoalan sosial yang terjadi akibat ketegangan yang tejadi dalam
relasi di antara kelompok agama tersebut.
Itu
sama artinya membiarkan pluralitas sebagai alat produksi disintegrasi sosial.
Siapapun orangnya, sebenarnya tidak menyukai disintegrasi. Bahkan perjuangan
FUI untuk menyatukan berbagai ormas Islam, datang dari keyakinan bahwa
integrasi itu sebuah nilai yang baik bagi manusia. Meskipun dalam catatan
Subkhan cita-cita FUI itu akhirnya kandas. Integrasi sosial itu tidak mudah dicapai,
apalagi dalam masyarakat plural. Untuk sampai pada integrasi sosial, itu John
Rex mengusulkan paham multikultural yang bisa memisahkan ruang publik dan ruang
privat. Ia mengatakan demikan, “If we are
to maintain the model of the multicultural society it must clearly be distinguished
from that suggested by Furnivall and Smith. This can best be done by drawing a
distinction between the public and the private domain.”(Guibernau,
Montserrat dan Rex, John. 1997.hal. 207-208)
Bagi
Rex, menelaah paham multikultural haruslah ditempatkan dalam konsep negara
moderen, yang dengan jelas membedakan ruang publik dan ruang privat. Itu
artinya memisahkan persoalan moralitas dari komunitas atau kelompok (dan juga agama)
dan juga memisahkan persoalan privat dan kelompok dari pasar. Dengan demikian
diharapkan akan hanya ada satu acuan, baik dari segi moral, hukum, politik dan
ekonomi, di dalam ruang publik yang dianut oleh beragam kelompok, aliran,
termasuk agama. Ia menuliskan, “One might
envisage a society which is unitary in the public domain but which encourages
diversity in what are thought of as private or communal matters.”
(Guibernau, ibid. hal. 208). Pemahaman tersebut juga tidak tampak dalam riset
yang dibuat oleh Subkhan. Saat Subkhan mengangkat banyaknya kasus formulasi
Syariat Islam dalam banyak peratuan daerah, kasus itu dibiarkan mengambang
tanpa diberi analisa kritis. Mencuatnya kepentingan kelompok Muslim untuk
menempatkan Syariat Islam dalam konteks publik sebenarnya adalah kecenderungan
untuk membawa konsep privat ke ruang publik. Moralitas Islam ingin didesakan ke
ruang publik sebagai pengatur masyarakat. Kecenderungan itu tampak dari sepak
terjang FUI yang tidak saja menentang adanya kristenisasi, namun oleh Subkhan
dikatakan sebagai “penjaga syariat dan penghadang maksiat di Yogyakarta.”
Kecenderungan
sebuah agama yang dianut oleh mayoritas penduduknya, ia akan merasa dituntut
untuk menjadikan “moralitas dan hukum” agamanya menjadi dasar hidup dalam tata
sosial dan politik masyarakat umum. Dorongan ini sangat berlawanan dengan apa
yang berkembang dalam paham negara moderen. Dan itu tidak sejalan dengan proses
demokratisasi. Bagi Rex, demokratisasi hanya bisa dicapai kalau ada pembedaan
ruang publik dan ruang privat, di mana acuan, moral, hukum dan tata sosial
lainnya, hanya ada satu dan itu dipegang oleh negara. Maka, kasus munculnya
berbagai peraturan daerah yang mengadopsi hukum Islam, sebenarnya menjadi
preseden bagi Indonesia untuk membangun sistem demokratisasi. Kiranya, jika
agama Kristen juga menjadi mayoritas di Indonesia, hal serupa juga akan
dilakukan oleh orang-orang Kristen, yaitu memaksakan sebuah moralitas dan hukum
agama, yang semestinya ada di ruang privat, untuk dijadikan acuan dalam ruang
publik.
Oleh
karena itu, bagi saya toleransi tidak pernah menjadi sebuah wacana yang cukup
untuk mengatasi persoalan yang muncul dalam masyarakat yang plural, terutama
dalam relasi agama di Yogyakarta. Tidak cukup bagi masyarakat Yogyakarta yang
bangga mendapat predikat sebagai city of
tolerance, sebelum kota ini juga menjai city
of multicultural yang mampu memisahkan ruang publik dan ruang privat. Lalu,
apa yang bisa membuat ruang publik dan ruang privat dipisah dalam sebuah
masyarakat yang plural? Bagaimana hubungan yang mayoritas dengan yang minoritas
yang selalu tegang karena adanya faktor ancaman dan rasa takut bisa diatasi? Toleransi
tidaklah cukup untuk menghilangkan ancaman dan perasaan takut. Maka ia butuh
yang saya sebut sebagai “rasionalisasi emosional.” Proses rasionalisasi
terhadap emosi bisa dipahami sebagai proses pelepasan ikatan-ikatan emosi
primodial dan kemudian ditarik ke ranah nalar.
Emosi
adalah dasar yang sangat kuat mengikat hubugan primodial. Emosi yang hidup
dalam masyarakat plural, seperti Yogyakarta, adalah emosi yang diwariskan oleh
sistem “colonial capitalism” memakai
konsep Furnivall. Hasil dari kapitalisme
kolonial ini menyisakan emosi yang negatif. Kita tidak bisa menutup mata bahwa
perkembangan agama Kristen di Indonesia sejalan dengan kolonialisasi itu. Dan
sistem ekonomi kolonial ternyata banyak menyumbang pada berjalannya penyebaran
agama Kristen. Agama Islam yang sudah dahulu ada sebelum masa kekristenan terjadi
di Indonesia, tentu saja melihat proses itu. Bayangan tentang “penjajahan”
tentu saja masih mengendap dalam benak kelompok Islam dalam melihat agama
Kristen. Di lain sisi, agama Kristen juga belum bisa melepaskan diri dari
stigma agama penjajah. Namun kedua-duanya memberikan sebuah ikatan emosi dalam
penafsiran identitas keagamaan, baik bagi Kristen dan Islam. Inilah yang
menurut saya memunculkan dorongan yang kuat bagi masing-masing agama untuk
bertahan terhadap ikatan emosi itu. Tentu saja emosi yang didasarkan pada
proses stigmatisasi ini tidak akan sehat dalam proses pembangunan identitas
dari masing-masing agama.
Amy
Gutmann dalam kata pengantar buku Multiculturalism, menuliskan demikan, “If human identity is diaologically created
and constituted, then public recognition of our identity requires a politics
that leaves room for us to deliberate publicly about those aspects of our
identities that we share, or potentially share, with other citizens.”
(Taylor, Charles. 1994. hal. 7). Dalam pernyataan itu ada dua hal yang penting
yaitu “politik identitas” dan “politik pengakuan.” Identitas seseorang bisa
dibagikan kalau identitasi itu diakui dalam ruang publik. Itu sama saja bahwa
identitas seorang Muslim dan identitas seorang
Kristen bisa dibagikan kepada seluruh warga, selama identitas itu diakui
dalam ruang publik. Namun, untuk sampai bisa “share”, identitas itu harus bisa
lepas dulu dari ikatan emosi masa lalu yang dibebani oleh sejarah “capitalism
colonial.” Proses pelepasan ikatan emosi primodial ini hanya bisa dijalankan
jika ada proses rasionalisasi terhadap identitasi itu sendiri dan juga
bagaimana rasionalisasi itu bisa hidup dalam sebuah relasi saling mengakui yang
sehat.
Maka,
kalau di Yogyakarta bisa muncul sebuah gerakan untuk menumbuhkan “politik
identitas” dan “politik pengakuan” yang sehat antar kelompok, terutama dalam
relasi agama Kristen dan Muslim, itu bukanlah jasa dari paham Jawa tentang
keselarasan atau harmonisasi yang menjadi hasil dari filosofi Keraton
Yogyakarta, namun itu hasil dari proses rasionalisasi masyarakatnya.
Rasionalisasi dalam masyarkat hanya bisa tumbuh kalau didukung instrumen utama
yaitu, pendidikan. Maka, menurut saya yang menyebabkan budaya toleransi tumbuh
secara baik di Yogyakarta bukanlah keberadaan Keraton Yogyakarta, namun
keberadaan banyak Universitas dan pusat-pusat penelitian di Yogyakarta.
Rasionalisasi hanya terjadi di ruang-ruang akademis. Sejauh pusat-pusat
pendidikan yang banyak di Yogyakarta bisa melepaskan diri dari emosi primodial,
tentu saja itu akan menyumbang bagi munculnya pemahaman yang lurus dan sehat
terhadap tumbuhnya politik identitas dan pengakuan bagi masyarakat Yogyakarta
yang sangat plural.
Oleh
karena itu, pemisahan ruang publik dengan ruang privat bisa dilakukan, sejauh
ada proses rasionalisasi terhadap emosi primodial warisan kapitalisme kolonial.
Mendengungkan toleransi tanpa menginjak akar persoalan dalam pluralisme
keagamaan, antara Kristen dan Islam, sama artinya hanya mengusung sebuah
toleransi semu. Itulah yang disebut oleh Subkhan sebagai komodifikasi toleransi.
Toleransi yang semu terjadi, karena praktek pluralisme yang ada belum bisa
membedakan mana yang ruang publik dan ruang privat. Mencampuradukan keduanya
dalam memahami pluralisme sama artinya memberi ruang pada banalisasi politik
identitas dan pengakuan. Akhirnya proses itu akan menumbuhkan disintegrasi
sosial. The other (sang liyan)
semakin berkembang untuk membangun benteng-bentengnya sendiri. Masyarakat
tampak hidup saling menghargai dan toleran, namun menyimpan amunisi yang siap
diledakan kapanpun. Itulah sebenarnya yang menjadi kekhawatiran Subkhan dan
pusat pesimismenya.
III.
Pesimisme dan Optimisme
Dalam
risetnya, Subkhan pesimis dengan dua hal yaitu bahwa organisasi sosial baik
yang pro-pluralisme (FPUB) dan yang anti-pluralisme (FUI), akhirnya tidak bisa
diharapkan untuk membangun hubungan yang harmonis dalam masyarakat plural di
Yogyakarta. Kedua kelompok itu masih menyimpan prasangka dan curiga. Maka,
pluralisme yang dibangun atas prasangka dan curiga tidak pernah menghasilkan
relasi sosial yang sehat. Ia juga tidak menaruh harapan tinggi terhadap peran
negara (pemerintah), kerena aparat penegak hukum sangat lemah. Kedua aspek
tersebut yang disebutnya sebagai narasi besar. Ia lebih percaya pada narasi
kecil, yakni relasi yang lentur di dalam hubungan kemanusiaan sehari-hari yang
terjadi di dalam masyarakat Yogyakarta. Namun, tentu saja hubungan kemanusiaan
itu tidak akan terjadi sebaik yang Subkhan yakini, jika tidak ada proses
rasionalisasi antara ruang publik dan ruang privat.
Pesimisme
Subkhan itu juga terjadi karena ia telah memojokan konsep multikulturalisme
dalam mengkaji persoalan pluralisme. Sehingga ada dasar pemahaman yang
sebenarnya penting, namun menghilang dalam seluruh rangkaian argumentasinya. Ia
juga tidak mengkaji lebih dalam persoalan Syariat Islam dalam konteks
masyarakat moderen yang lahir dalam tata kelola negara moderen. Tidak seperti
Subkhan, Mas’oed dan kawan-kawan jauh lebih optimis dalam melihat prkatek
pluralisme di Yogyakarta. Mereka melihat pluralisme dalam empat ruang penting,
yaitu: (1) Dalam ruang religius yang dikaitkan dengan keberadaan universitas dan
lembaga non-pemerintah yang berafiliasi pada agama tertentu. Ini membuka ruang
dialog yang lebih rasional. Dalam ruang ini tentu ada sebuah perdebatan karena
berbeda pendapat, namun wacana akademis tentu saja bisa memberi ruang untuk
memberi rasionalisasi atas perbedaan itu; (2). Dalam ruang gerakan warga dan
dikaitkan dengan munculnya banyak organisasi perempuan yang memiliki orientasi
penyadaran akan pentingnya kesetaraan gender. Ini akan memberikan wacana yang
lebih luas terhadap pentingnya membangun kesetaraan dalam sistem sosial. Tidak
saja dalam konteks isu gender, namun meluas dalam tata sosial yang lain. (3);
Ruang politik yang dikaitkan dengan munculnya berbagai macam konsep baru dalam
bidang politik. Tentu saja, wacana universitas sangat berperan di sini. Kota
Yogyakarta sangat berpeluang memberikan sumbangan pada pendombrakan politik
yang konvensional pada umumnya; (4) Ruang ekonomi dan dikaitkan dengan adanya
kesempatan untuk membangun relasi antar kelompok (etnis, agama dan ras).
Yogyakarta tidak bisa dipungkiri semakin terjangkiti oleh sistem ekonomi
moderen (baca:kapitalisme). Dalam ranah ini, bisa jadi sekat-sekat sosial yang
muncul akibat dari emosi primodial yang masih mengendap dan kemudian mencair.
Ranah ekonomi adalah ranah yang paling efektif untuk membuka sekat itu, karena
ekonomi membuntuhkan sebuah jaringan “bisnis” yang bisa saling menguntungkan.
Selain tentu saja ada dampak negatif yang dihasilkan dari ranah ini. (Hefner, ibid.
hal. 128-135)
Optimisme
itu juga semakin menguat, kalau berbagai macam elemen yang membuat masyarakat
Yogyakarta itu menjadi plural, diteropong dengan paham multikultural. Para
pengusung paham multikultural sangat optimis bahwa pluralisme bisa mendorong proses
demokratisasi, asal saja dalam pluralisme itu ditumbuhkan konsep pangkuan akan
hak yang setara. Demokrasi masih diakui sebagai jembatan yang baik untuk
mengatur sebuah masyarakat, apalagi masyarakat yang sangat plural. Maka, saat
multikultural menekankan adanya penghargaan akan adanya kesetaraan bagi
masyarakat plural, ia juga menjunjung pentingnya politik identitas dan
pengakuan yang sehat. Oleh karena itu, paham multikultural sangat menghargai
peran penting negara. Seburuk apa pun sistem yang ada di dalam negara itu,
komponen ini tetaplah menjadi unsur yang legitim untuk mengatur masyarakat. Maka
dari itu, paham multikultural sebenarnya menempatkan pentingnya kesetaraan
dalam hubungan mayoritas dan minoritas agar tidak terjadi diskriminasi dalam
bingkai wewenang negara.
Diskriminasi
hanya bisa dibuka kalau negara diberi peran dalam mengambil kebijakan
publiknya. Negara harus didukung untuk terus menerus memberikan ruang yang baik
bagi masyarakat untuk terus menerus menciptakan dialog akar rumput. Maka, peran
FPUB dalam konteks ini masih tetap relevan. Ia membantu negara untuk
menempatkan betapa pentingnya dialog. Oleh karena itu, multikulturalisme tidak
bisa dilepaskan untuk mengkaji masyarakat yang plural. Dengan melepaskan paham
ini, maka pluralisme akan menjadi “hantu” sosial yang menakutkan dalam
membangun masyarakat yang lebih kuat dan demokratis.
Di
Yogyakarta, diharapkan hantu sosial itu bisa semakin dimusnahkan dan kalau bisa
memberikan optimisme tumbuhnya paham multikultural yang sehat di tengah
masyarakat Yogyakarta, untuk menyertai konsep toleransi dan praktek pluralisme
yang oleh Subkhan dipandangnya terlanjur menjadi “hiruk pikuk.” Semoga tulisan
ini, bisa mencari celah-celah kecil bagaimana wacana pluralisme tidak dipahami secara
latah dan banal untuk tidak menambah hiruk pikunya wacana pluralsme itu
sendiri.
IV.
Kepustakaan
Subkhan, Imam. 2007. Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya.
Yogyakarta:Kanisius
Guibernau, Montserrat and
Rex, John. 1997. The Ethnicity Reader,
Nationalism, Multiculturalism, and Migration. Cambrige: Polity Press.
Hefner. W Robert. (editor).
2001. The Politics of Multiculturalism,
Pluralism and Citizenship in Malaysia, Singapore, and Indoneisa. Honolulu:
University of Hawai’i Press.
Taylor, Charles (edited and
introduced by Amy Gutmann).1994. Multicultralism.
New Jersey: Princeton University Press.
Coward,
Harold. 1989. Pluralisme Tantangan Bagi
Agama-agama. Yogyakarta: Kanisius.
ooOOoo
Tulisan yang sangat bagus Mas. Tulisan ini dapat menjadi dokumen rujukan bagi siapapun yang ingin mengetahui kualitas kehidupan bersama masyarakat Yogya secara kritis. Matur nuwun ya Mas Dedy atas tulisannya ini.
ReplyDeleteTerimakasih tanggapannya Mas Paulus Heru Wibowo atas tulisan saya.
Delete