Ada
masa bekerja di sebuah lembaga International Non-Government Organizations (selanjutnya
disingkat INGOs) memuaskan baik secara emosi dan idealisme. Dan tentu saja juga
memberikan sebuah kebanggaan tertentu. Pastilah suasana itu ada sebelum buku
Graham Hancock terbit. Buku yang diberi judul Lords of Poverty: The Power, Prestige, and Corruption of the
International Aid Business (diterjemahkan menjadi “Dewa-dewa” Pencipta
Kemiskinan: Kekuasaan, Prestise, dan Korupsi Bisnis Bantuan Internasional oleh
Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas) memukul secara telak peran INGOs yang bekerja
di banyak belahan bumi. Mereka bekerja di negara-negara miskin di benua Afrika
yang didera konflik internal dan kemiskinan berkepanjangan, di negara-negara
berkembang di Asia, dan tentu saja di Indonesia setelah bencana tsunami
terdahsyat sepanjang sejarah menghantam Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan
kepulauan Nias.
Seharusnya
buku itu membuat para pekerja atau aktivis kemanusiaan menjadi malu dan mulai
berpikir ulang soal kebanggaan mereka. Namun demikian, pastilah kritik pedas
itu tidak membuat bergeming para pekerja, atau tepatnya disebut professional
kemanusiaan, yang bekerja di INGOs, karena bukan lagi persoalan idealisme untuk
memperjuangkan kemanusiaan dan kemiskinan, namun yang penting adalah kekuasaan,
prestise dan uang. Sikap itu tidak saja menjangkiti kaum pekerjanya, namun sikap
itu terlihat lebih jelas pada lembaga
kemanusiaan tempat mereka bekerja.
Persoalan
ini menjadi sangat relevan untuk dikaji dan untuk meluruskan peran INGOs di
dunia ini, terkhusus di Indonesia. Terlebih setelah mereka kembali
berbondong-bondong datang ke Indonesia saat bencana datang bertubi-tubi dimulai
dari bencana di Aceh, Nias, gempa bumi di DIY & Jateng, bencana di Padang,
banjir di Jakarta, dan di berbagai tempat lain. Secara jumlah, keberadaan INGOs
di Indonesia cukup kuat, ambil contoh INGOs yang datang ke Aceh setelah bencana
terjadi diperkirakan hampir 500 jumlahnya. Dari sekian itu memang ada sejumlah
INGOs yang memiliki sejarah lama di Indonesia, seperti Oxfam GB, Care
International, World Vision International, Catholic Relief Service, Save the
Children, Jesuit Refugee Service, Medecins Sans Frontieres, Terre de Home,
International Organization for Migration, Mercy Corps International,
International Medical Corps,
International Committee for Red Cross, Action contre la faim dan masih ditambah
dengan lembaga lain yang baru hadir di Indonesia. Jumlah ini belum termasuk
lembaga donor (funding) yang menjadi tulang punggung pendanaan bagi kegiatan
INGOs di Indonesia, sebut saja beberapa lembaga donor yang memiliki reputasi
tinggi seperti USAID, AUSAID, ECHO, Ford Foundation, Hivos, CIDA (lembaga donor
milik pemerintah Canada), jaringan
Caritas Internationalis, dan masih banyak lagi yang lain.
Tentu
saja kita tidak menutup mata bahwa kehadiran INGOs di banyak wilayah di
Indonesia membantu untuk menyelesaikan persoalan masyarakat Indonesia, tetapi
hendaknya “kebaikan” yang sudah mereka buat tidak membuat kita semua terkena
rabun ayam. Mereka memang hadir untuk membantu Indonesia keluar dari banyak
bencana, namun kehadiran mereka sendiri adalah bencana bagi Indonesia. Dalam
tulisan ini, akan disoroti “bencana” apa saja yang muncul setelah kehadiran
INGOs dan teori Marxisme akan digunakan sebagai pisau analisa untuk membedah
persoalan tersebut. Selain itu, saya akan menganalisa pentingnya membangun
kritik terhadap sistem ekonomi bantuan (non-profit) yang diakibatkan oleh
proyek-proyek kemanusiaan INGOs.
I.
Surplus Nilai menjadi Surplus Bencana
Teori
surplus nilai adalah salah satu teori terpenting dalam pemikiran Karl Marx.
Teori ini tentu sudah mendapat banyak sanggahan oleh banyak ahli, entah sosial,
politik dan tentu saja para ahli ekonomi. Namun demikian, sumbangan teori
tersebut untuk membuka kedok misteri ketidakadilan dalam sistem kerja kapitalisme
moderen, tetaplah sebuah kecermelangan dari Karl Marx. Teori ini memang ditulis
oleh Karl Marx berdasarkan pengamatannya tentang relasi ekonomi politik yang
terjadi antara para pekerja (buruh) dan para pemilik modal. Diungkapkan dalam
teori surplus nilai tersebut bahwa keuntungan para kapitalis bisa didapatkan
karena ada faktor penentu dalam proses produksinya yakni: pekerja.[1]
Tanpa pekerja, modal yang dimiliki oleh para kapitalis tidak bisa
melipatkangandakan keuntungan.
Itu
berarti bahwa modal yang ditanam oleh kapitalis dalam sebuah siklus produksi
tidak mampu menghasilkan keuntungan hanya dengan menjual komoditi. Penjelasan
terhadap rahasia keuntungan kapitalis harus dilihat dari faktor lain sehingga
komoditi bisa menghasilkan keuntungan. Faktor pekerjalah yang menjadi penentu
keuntungan, karena pekerja menyediakan waktu yang tak terbayar untuk
menghasilkan sebuah produksi menjadi berlipat ganda.[2]
Di sinilah sebenarnya yang dikatakan oleh Karl Marx dengan surplus nilai.
Surplus itu didapatkan dari hasil memeras keringat pekerja untuk bisa
meningkatkan komoditas para kapitalis menjadi dua kali lipat. Artinya, para kapitalis
telah mencuri hidup para pekerja tanpa harus mengembalikannya kepada para
pekerja dengan bayaran yang sepadan.
Dalam
sistem ekonomi kapitalis, mencari keuntungan (profit) sebesar-besarnya adalah
legitim dalam hukum ekonomi. Maka meningkatkan akumulasi keuntungan
sebesar-besarnya adalah demi mempertahankan siklus produksi itu sendiri. Karena
tanpa keuntungan, siklus produksi dengan segala pembiayaanya, termasuk menggaji
para pekerja dan mempertahankan biaya operasional (memelihara gedung, mesin,
memberi bahan baku, distribusi hasil produksi, dsb) akan mandeg dan tidak bisa
dijalankan lagi. Singkatnya, sistem ekonomi kapitalis mengesahkan pencarian
keuntungan sebesar-besarnya demi mempertahankan siklus produksi. Kritik Marx
terhadap sistem ekonomi kapitalis adalah bahwa keuntungan para kapitalis
didapatkan dengan mengeksploitasi hidup para pekerja. Keuntungan eksploitatif
itu telah mengakibatkan banyak pekerja menderita. Penderitaan muncul justru
dalam sebuah sistem ekonomi yang ingin membuat banyak manusia bisa hidup
sejahtera.
Menjadi
soal di sini apakah pandangan kritis dari Marx itu bisa berlaku di dalam sebuah
organisasi non-profit? INGOs yang ada
di belahan bumi ini selalu menyatakan dirinya sebagai lembaga non-profit. Seperti dikatakan oleh Roy
Williams sebagai berikut: “(I)NGOs in
general are not self-sustaining. They do not generate profit from their work,
so they must rely on funding support from a variety of donors, including the
public. In an ideal world – from the point of view of the (I) NGO – all such
funding would be unrestricted.”[3]
Itu berarti bahwa bukan keuntunganlah yang dicari namun sebuah nilai lain yang
lebih diutamakan. Nilai lain itu dirumuskan sebagai nilai-nilai kemanusiaan. Namun
untuk mewujudkan nilai kemanusiaan itu, INGOs tetaplah butuh uang atau dana.
Dana itu didapatkan dari donor atau para funding.
Dalam
buku Proyek Sphere, Piagam Kemanusiaan dan Standar Minimum dalam Respons
Bencana, yang menjadi buku pegangan bagi banyak INGOs dicantumkan prinsip-prinsip
dasar kemanusiaan itu. Salah satu rumusan prinsip dasar tersebut berbunyi
demikian: “Kami meneguhkan kembali
keyakinan kami tentang tuntutan dasar kemanusiaan dan keutamaannya. Kami
mengartikan ini sebagai suatu keyakinan bahwa semua langkah yang mungkin
diambil harus dilaksanakan demi mencegah atau meringankan penderitaan manusia
akibat konflik atau bencana, serta bahwa warga sipil yang terkena akibatnya mempunyai
hak atas perlindungan dan bantuan.”[4]
Dari
rumusan itu tidak ada maksud untuk menempatkan nilai profit di atas sebuah
penderitaan manusia. Etika menjadi pagar yang sangat kuat menyangga
lembaga-lembaga kemanusiaan internasional atau INGOs. Oleh karena itu, INGOs
membangun organisasinya berdasarkan etika kemanusiaan tersebut. Namun, apakah
demikian yang terjadi dalam perkembangan INGOs dewasa ini? Sebuah
kontradiksilah yang banyak ditemukan dalam kiprah INGOs di banyak tempat,
termasuk di Indonesia.
Etika
kemanusiaan itulah yang menurut saya akhirnya melahirkan surplus bencana di
dalam dunia INGOs. Karl Marx menunjukkan bahwa surplus nilai dalam sistem
ekonomi kapitalis sebagai biang keladi dari penderitaan para pekerja, maka
surplus bencana adalah penambah penderitaan bagi manusia-manusia yang menjadi
target INGOs. Surplus bencana dilahirkan dalam sistem “ekonomi bantuan kemanusiaan”
atau industri bantuan kemanusiaan (aid
industry). Istilah itu muncul dari para kritikus gerakan INGOs yang sangat
sinis dan skeptis terhadap misi INGOs untuk melepaskan manusia dari
penderitaan. Dengan amat tajam hal ini dipaparkan oleh Graham Hancock dalam
bukunya Lords of Poverty atau oleh
Mac Chaping dalam bukunya A Challenge to
Conservationists. Namun dalam kesempatan ini saya tidak ingin masuk lebih
jauh dalam dua buku itu. Saya ingin lebih mencari pendasaran dasariah mengapa
dunia INGOs akhirnya mendapat kritik pedas dan sinis sebagai lembaga yang
menciptakan surplus bencana dalam sistem ekonomi bantuannya.
Kalau
kita kembali pada salah satu rumusan prinsip kemanusiaan di atas, ada
frase-frase kunci yang patut diperhatikan yaitu: penderitaan manusia (akibat
konflik dan bencana), warga sipil (yang terkena penderitaan), mempunyai hak
(atas perlindungan dan bantuan). Dari frase-frase kunci ini, saya ingin
menunjukkan bagaimana INGOs akhirnya menciptakan apa yang saya sebut sebagai
surplus bencana tersebut.
I.A. Penderitaan Manusia (akibat konflik
dan bencana)
Dalam
logika INGOs, penderitaan manusia adalah uang. Pendapat ini tampak terlalu
sarkastis. Namun saya akan menunjukkan salah satu contoh bagaimana logika itu
berjalan lewat sebuah artikel yang berjudul Scope
of International Humanitarian Crises yang ditulis oleh Ibrahim Osman. Saat
artikel ini dibuat, Ibrahim Osman menjabat sebagai Director of Monitoring and Evaluation for the International Federation
of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC) yang berkedudukan di Geneva,
Swiss. Artikel Osman tersebut memaparkan trend
data persoalan penderitaan manusia baik akibat bencana alam dan teknologis (natural/technological disaster)[5]
dan bencana konflik (complex disaster)
di seluruh muka bumi. Rentang tahun peristiwa bencana alam/teknologis yang dia
jadikan sebagai data adalah 1992 – 2001, sedangkan untuk bencana konflik (complex disaster) antara tahun
1994-2001.[6]
Menurut
Osman, pada tahun 1992 terdapat 118 juta orang menderita akibat bencana, baik
yang diakibatkan oleh bencana alam/teknologi dan konflik. Jumlah ini meningkat
pada tahun 2000 menjadi 275 juta orang. Pada tahun 1992, kontribusi yang
digunakan untuk membantu manusia yang menderita akibat bencana alam/teknologi
adalah 235 juta US Dollar dan pada tahun 2000 menjadi 340 juta US Dollar. Osman
menggunakan kata kontribusi untuk mengganti kata uang. Sedangkan untuk membantu orang yang menderita
akibat bencana konflik, pada tahun 1994 kontribusinya sekitar 2.131 milyar US
Dollar dan pada tahun 2001 menjadi 1.695 milyar US Dollar. Dari sisi nilai
Dollar, bencana konflik jauh lebih tinggi dibandingkan bencana alam/teknologi.[7]
Selain
itu, Osman membedakan nilai uang dalam konteks bantuan kemanusiaan dengan “Cost” (biaya) dan “Assistance” (pendampingan). Konsep “cost” dalam bantuan
kemanusiaan adalah uang atau keseluruhan biaya yang langsung dikeluarkan
untuk sebuah proyek kemanusiaan. Itu
bisa berwujud bantuan makanan, pemberian obat, pembuatan shelter, pemberian
modal, dan lain sebagainya. Cost
kemanusiaan adalah semua biaya yang diberikan untuk penderitaan manusia yang
terjadi akibat bencana, entah alam atau pun konflik. Sedangkan “assistance” (pendampingan) dimengerti
sebagai seluruh usaha kemanusiaan yang dilakukan oleh pekerja (professional)
kemanusiaan untuk mendampingi manusia yang menderita. Biasanya dalam dunia
INGOs, para penerima bantuan juga disebut beneficiaries,
recipients, target group dan sebagainya. Untuk mendampingi manusia yang
menderitalah maka istilah assistance
muncul. Assistance jelas butuh uang.
Uang itu untuk memberi gaji bagi pekerja kemanusiaan, asuransi kesehatannya,
dan tunjangan kesejahteraan lainnya. Selain itu, sebuah lembaga kemanusiaan
yang besar butuh biaya operasional harian, seperti komunikasi, transportasi,
alat-alat kantor, dan segala macam kebutuhan lainnya yang sifatnya untuk
menunjang administrasi manajemennya. Semakin besar proyek kemanusiaan yang
dilakukan oleh sebuah INGO, maka semakin besar pula lembaganya, dan akhirnya
semakin berlipat-lipat biaya yang digunakan untuk menjalankan administrasi dan
manajemen lembaga INGO tersebut.
Dengan
konsep seperti itulah, Osman membedakan antara cost dan assistance
kemanusiaan dilihat dari berapa US Dollar untuk membiayai sebuah proyek
kemanusiaan. Dalam tahun 1992, bencana alam/teknologis menimpa kurang lebih 79
juta orang. Cost yang dikeluarkan
untuk respon bencana itu sekitar 2.86 juta US Dollar. Angka itu meningkat tajam
pada tahun 2001, cost-nya menjadi
14.294 juta US Dollar untuk 170 juta orang yang terkena dampak bencana. Biaya assistance (pendampingan) pada tahun
1991 sebesar 235 juta US Dollar, dan pada tahun 2001 berkisar antara 339 juta US
Dollar.[8]
Menurut Osman, biaya assistance
lonjakannya tidak seperti cost
kemanusiaan. Namun demikian, hanya untuk annual
assistance saja di Asia membutuhkan uang 126 juta US Dollar, di Amerika
membutuhkan 117 juta US Dollar, di Afrika butuh 51 juta US Dollar, di Eropa
sekitar 23 juta US Dollar dan di Oceania membutuhkan uang sekitar 5 juta US
Dollar.[9]
Sebuah paparan tentang nilai US Dollar yang cukup fantastis.
Analisa
data tentang jumlah manusia yang menderita akibat bencana dan berapa uang yang
dikeluarkan untuk membiayai proyek-proyek kemanusiaan bisa diterangkan dalam
berbagai macam kategori. Osman pun menunjukkan variasi kategori itu, namun
singkatnya jumlah manusia menderita selalu diikuti oleh sekian juta atau bahkan
milyar US Dollar untuk “mengatasi” penderitaan itu. Logika seperti itu menjadi
begitu biasa bagi INGOs. Maka bagi INGOs, jumlah manusia yang menderita sama
artinya dengan berapa US Dollar yang harus dicari atas nama penderitaan itu.
Apakah dengan demikian penderitaan manusia bisa dikatakan sebagai “modal” dasar
bagi INGOs untuk mendapatkan uang? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu
pendasaran fakta dan argumentasi konseptual yang lebih kuat dan akurat. Namun
apakah penderitaan manusia bisa disamakan dengan konsep modal seperti yang
dikatakan oleh Karl Marx demikian, “Modal dengan demikian merupakan daya
penguasaan atas kerja dan produk-produknya. Si kapitalis memiliki daya ini,
bukan oleh sebab kualitas-kualitas pribadi atau manusianya, tetapi sejauh ia
adalah seorang pemilik modal. Dayanya adalah daya beli modalnya, yang tiada
bisa dilawan oleh apapun.” [10]
I.B. Warga Sipil (yang terkena
penderitaan)
Dalam
dunia INGOs, warga sipil mendapat pengertian khusus untuk membedakan dengan
aparat negara, militer, para pemanggul senjata (combatants), para pemberontak (rebels)
dan para pekerja kemanusiaan sendiri. Dalam konsep ilmu sosial pun warga sipil
sudah dipahami secara definitif. Pokoknya, warga sipil dimengerti sebagai
status orang yang tidak memiliki afiliasi kepentingan politik dan ekonomi. Dunia
INGOs menegaskan kembali bahwa warga sipil adalah mereka yang rentan (vulnerable) baik dari sisi politik,
sosial, ekonomi dan budayanya. Secara lebih spesifik lagi arti itu bisa
dijabarkan ke dalam beragam kelompok, seperti kelompok anak-anak, perempuan,
lanjut usia (elderly), dan lain
sebagainya. Maka jika dalam banyak jargon yang dipakai oleh INGOs yakni
melindungi martabat dan hak warga sipil, kelompok-kelompok rentan itulah yang
dimaksudkan. Konsep ini tentu akan lebih beragam kalau kita memasukan konsep development dalam program-program INGOs.
Dalam konsep development, kemiskinan
menjadi batu penjuru untuk masuk membelah kembali konsep warga sipil tersebut.
Dunia
INGOs secara pragmatis akan menempatkan warga sipil sebagai bagian dari sasaran
kerjanya berdasarkan dinamika persoalan-persoalan kemanusiaan yang kemudian
dikaji oleh berbagai ilmu kemanusiaan baik dalam bidang sosial, politik, budaya,
ekonomi, dan lain sebagainya. Misalnya saja, saat perjuangan tentang hak-hak
perempuan menjadi fokus utama studi ilmu-ilmu sosial kemanusiaan, banyak
lembaga donor atau INGOs yang mencari partner lokal untuk memperjuangkan
keadilan jender di Indonesia. Maka banyak bermunculan NGO lokal yang membidikan
perjuangannya untuk isu perempuan, seperti LBH Apik, Mitra Perempuan, PKBI,
Rifka Anisa, dan lain sebagainya. Namun demikian isu perempuan yang mereka
angkat sangat beragam dan dari sisi programnya juga sangat bervariasi. Saat
bencana tsunami terbesar sepanjang sejarah manusia terjadi, gerak INGOs pun
mengarah ke sana. Konsep-konsep tentang DRR (Disaster
Risk Reduction), pengembangan Early
Warning System, dan lain sebagainya menjadi trendy kembali. Dan mungkin ke depan isu pemanasan global akan
menjadi “rebutan” bagi INGOs untuk mendapatkan uang demi sebuah proyek penyelamatan
bumi dari mencairnya gunung-gunung es di kutub utara. Dalam konteks itu, “warga
sipil” pasti menjadi faktor determinan untuk mencapai proyek-proyek yang akan
dirancang.
Melihat
fonomena seperti itu, kita pun bisa mengajukan sebuah pertanyaan gugatan:
apakah persoalan “warga sipil” bisa dianggap komoditas seperti halnya sebuah
pasar yang selalu ikut dalam mode tertentu? Jawaban atas pertanyaan tersebut
bisa jadi paralel dengan apa yang dikatakan oleh Karl Marx, “…pertahanan
tunggal terhadap kaum kapitalis adalah persaingan, yang menurut pembuktian
ekonomi-politik bertindak menguntungkan dengan menaikkan upah-upah maupun
menurunkan harga barang-barang dagangan demi kebaikan publik konsumen.”[11]
Siapakah konsumen para INGOs? Mereka
yang mempunyai kepentingan terhadap isu-isu tertentu, dan dengan mengangkat isu
tersebut ia mendapatkan peneguhan terhadap posisi politisnya.
I.C. Hak (atas perlindungan dan bantuan)
Banyak INGOs mendasarkan geraknya
berdasarkan paham tentang hak. Secara konseptual, mereka merumuskan hak
tersebut dalam berbagai cara, namun pada dasarnya mereka mengakui bahwa “nilai
hidup” manusialah yang paling fundamental mendapat tempat dalam berbagai
rumusan “piagam” kemanusiaan yang menjadi jiwa banyak INGOs. Saya akan menunjukkan tiga
contoh bagaimana “piagam kemanusiaan” tersebut dirumuskan:
Pertama,
prinsip HUMANITY dalam Red Cross/Crescent:
“The Red Cross, born of a
desire to bring assistance without discrimination to the wounded on the
battlefield, endeavors – in its international and national capacity – to
prevent and alleviate human suffering wherever it may be found. Its purpose is
to protect life and health and to ensure respect for the human being. It
promotes mutual understanding, friendship, cooperation, and lasting peace among
all peoples”.[12]
Kedua,
salah satu rumusan piagam dalam Jesuit Refugee Service, sebuah lembaga milik
Serikat Yesus:
“The 34th General
Congregation affirmed JRS as one means by which the Society fulfils its mission
to serve faith and promote justice: The Jesuit Refugee Service accompanies many
of these brothers and sisters of ours, serving them as companions, advocating
their cause in an uncaring world.”[13]
Ketiga,
rumusan piagam yang dimiliki oleh Medicins Sans Frontieres (MSF):
“Medicins Sans Frontieres,
also known as Doctors Without Borders of MSF, offers assistance to population
in distress, victims of natural or man-made disasters, and victims of armed
conflict, without discrimination and irrespective of race, religion, creed, or
political affiliation.”[14]
Membaca tiga formulasi piagam dari
Red Cross/Crescent, JRS dan MSF, kita tidak ragu akan komitmen INGOs terhadap
hak-hak para manusia yang menderita atau korban dalam berbagai macam kategori
bencana yang ada. Perwujudan hak bagi kelompok manusia yang menderita untuk
mendapat perlindungan (protection)
dan bantuan (aid) akan membutuhkan
biaya yang tidak sedikit karena menyangkut ribuan dan bahkan bisa jutaan orang.
Maka dalam dunia INGOs akhirnya uang pun menjadi persoalan yang sangat sensitif
dan krusial. Ini seperti halnya apa yang dikritik oleh Karl Marx dalam sistem
ekonomi kapitalis. Problem etis muncul di dalam praktek implimentasi INGOs
terhadap piagam kemanusiaan mereka. Seperti dituliskan oleh Joelle Tanguy
demikian, “In humanitarian assistance,
our readers should easily agree that morality, not money, ought to be the
backing principle. Today’s reality lies somewhere in between. Humanitarian
operations provide life-saving assistance to millions, but are mostly funded
through mechanisms of limited congruence to humanitarian objectives, tainted by
political and economic influence, prejudiced by public perceptions driven by
commercialized media, and interfering with effective accountability – itself a
concept yet to be clearly defined.”[15]
Semakin jelas bahwa misi INGOs yang
mulia untuk memberi bantuan dan perlindungan terhadap manusia yang menderita
akhirnya memunculkan sebuah sistem ekonomi bantuan. Sistem ekonomi bantuan itu
muncul dari apa yang disebutnya sebagai “global
humanitarian funding.” Ilustrasi Tanguy
bisa memberikan betapa dunia bantuan kemanusiaan akhirnya memang harus
berurusan dengan uang: “The bulk of
emergency assistance funds come from governments and were greatly expanded in
the last decades. To describe the trajectory in broad terms, let us say that
annual humanitarian funding remained below U.S.$ 500 million in the 1970s,
spring up in the mid-1980s with the Ethiopian and Sudanese crises, remaining
around $ 1 billion until the end of the cold war, rising abruptly to between $
4 billion and $ 5.5 billion with the Kurdistan, Somalia, Bosnia, and Rwanda
crises of the early 1990s, and leveling off for a few years to between $ 3.5
billion and $ 4.5 billion annually before arising again with the Kosovo and,
more recently the Afghanistan crises.”[16]
Dari ilustrasi itu kita bisa
membayangkan berapa jumlah uang yang berputar di dalam INGOs untuk bencana
tsunami dan tentu juga untuk krisis Irak akibat invansi Amerika? Tentu juga
akan menyangkut milyaran US Dollar. Maka dalam konteks bantuan kemanusiaan,
akhirnya tidak ditutup kemungkinan munculnya sistem ekonomi bantuan atau sistem
ekonomi non - profit yang ditimbulkan
dari logika donor atau funding. Apakah
dampak sistem ini sama dengan sistem kapitalis yang profit? Pertanyaan ini
sangat menarik untuk diulas secara lebih mendalam. Namun dalam tulisan ini,
saya membatasi diri untuk menunjukkan sebuah gejala dari munculnya sebuah
sistem ekonomi yang ditimbulkan oleh bantuan kemanusiaan.
Jika dampak yang ditimbulkan baik
oleh sistem ekonomi profit dan non-profit adalah sama, tulisan Karl Marx
berikut bisa juga dijangkarkan dalam dunia non-profit. Marx menulis demikian,
“Rencana-rencana dan proyek-proyek para pemakai modal-modal mengatur dan
mengarahkan semua operasi kerja yang paling penting dan laba menjadi tujuan
yang disarankan oleh semua rencana dan proyek itu. Tetapi tingkat laba
tidaklah, seperti sewa dan upah-upah, naik bersama kemakmuran dan jatuh bersama
kemunduran masyarakat. Sebaliknya, ia secara wajar adalah rendah di
negeri-negeri kaya dan tinggi di negeri-negeri miskin, dan ia selalu tertinggi
di negeri-negeri yang paling cepat kehancurannya.” [17]
Saya sendiri melihat bahwa jika
dalam ekonomi profit (kapitalis) laba menjadi salah satu faktor yang mendukung
sistem itu tetap berjalan, mungkin ada juga “laba” dari sistem ekonomi
non-profit yang dihidupi oleh INGOs sehingga sistem ekonomi bantuan tetap saja
masih berjalan sampai sekarang. Namun persoalan yang perlu dilihat lebih
mendalam adalah logika “laba” seperti apa yang terjadi dalam sistem ekonomi
non-profit. Apakah rumusan piagam kemanusiaan yang terdapat dalam INGOs untuk
menjawab kebutuhan hak para manusia yang menderita dengan memberikan
perlindungan dan bantuan bisa mendatangkan “laba” bagi INGOs yang bersangkutan?
Pertanyaan ini sangat menggugah untuk dikaji dan dijadikan bahan riset lebih
lanjut. Mungkin konsep “laba” dalam sisem ekonomi bantuan kemanusiaan bisa
menjadi salah sau fokusnya. Laba seperti apa yang mendatangkan kehancuran dalam
sistem ekonomi bantuan kemanusiaan tersebut. Mungkin saja, “laba rendah” dalam
sistem ekonomi bantuan kemanusiaan itu terjadi di negara-negara kaya, tempat
sebagian besar dari kantor pusat INGOs berada, dan “laba tinggi” terjadi di
negara-negara miskin (dan berkembang) tempat sebagian besar proyek kemanusiaan
itu dijalankan. Dan kehancuranlah yang akan dipetik oleh negara-negara miskin
tersebut.
II. Perlunya Kritik Ekonomi Bantuan
Kemanusiaan
Apakah INGOs bisa disamakan dengan
MNC (multi national corporation) di bidang ekonomi non-profit? Pertanyaan ini
mengemuka karena relasi INGOs dan NGOs lokal di banyak tempat, terutama di
Indonesia. Adanya “global humanitaraian
funding” juga merembes masuk ke lembaga-lembaga lokal, karena banyak dari
INGOs yang membutuhkan partner lokal untuk menjalankan “proyek” kemanusiaannya.
Bahkan banyak lembaga donor internasional yang langsung menyalurkan uangnya
kepada NGO lokal. Penyaluran dana ini tentu saja memberikan peluang kerja bagi
orang-orang lokal untuk bekerja di sektor tersebut. Kenyataan ini tentu berdampak
positif terhadap penciptaan peluang kerja yang bagi kebanyakan negara miskin
dan berkembang seperti Indonesia, masalah peluang kerja menjadi salah satu
persoalan sosial yang masih terus menghantui. Tetapi lebih dari itu, bantuan
kemanusiaan dengan berbagai macam bentuknya seperti bantuan perumahan, bantuan
peningkatan penghasilan (income
generating), bantuan pangan, bantuan pendidikan, dan lain sebagainya
memberi akses terbuka bagi peningkatan ekonomi lokal di mana INGOs itu bekerja.
Masyarakat lokal bisa saja menikmati bantuan itu. Kalau melihat paparan di
atas, mata kita bisa terbuka bahwa pusaran uang yang didatangkan oleh bantuan
kemanusiaan tidaklah sedikit.
Akibat dari bantuan kemanusiaan
itulah lantas muncul apa yang disebut dengan ekonomi gelembung (buble economic). Ekonomi gelembung atau
ekonomi balon ini sebenarnya bukanlah sebuah ekonomi yang nyata. Ia terasa
hanya saat pusaran uang yang diakibatkan bantuan itu masih ada di dalam
masyarakat yang dibantu. Hal itu terjadi karena INGOs masih beroperasi di suatu
wilayah. Namun, saat INGOs tersebut meninggalkan wilayah tersebut, maka dengan
serta merta pendapatan masyarakat dan pusaran uang pun menurun dengan drastis. Kita
bisa melihat apa yang terjadi dalam konteks krisis Timor Leste. Saat krisis
terjadi, ratusan INGOs datang ke sana. Lembaga donor baik bilateral dan
multilateral datang ke negara yang sedang ingin merdeka tersebut. Mata uang
rupiah tiba-tiba diganti dengan mata uang US Dollar. Untuk membeli sebungkus
supermi harganya bisa menjadi 2 US Dollar. Dalam pasaran normal di Indonesia,
harga supermi berkisar antara Rp. 1.000 – 2.000,-, namun di Timor Leste bisa
menjadi 20 ribu, kalau kurs 1 US Dollar adalah Rp. 10.000,- saat itu. Namun
demikian, sampai sekarang Timor Leste belum bisa keluar dari krisis ekonomi,
bahkan setelah ia menjadi negara merdeka.
Di Timor Leste terjadi apa yang
dinamakan ekonomi balon. Ketika INGOs, donor internasional, dan lembaga
kemanusiaan internasional meninggalkan negara itu, sistem ekonomi yang terjadi
di Timor Leste lantas mengempes atau bahkan pecah seperti balon yang tertusuk
duri. Dan bayangan itu juga menghantui Aceh saat ini. Ekonomi balon inilah yang
dikatakan sebagai bencana kedua paling konkret akibat intervensi atau bantuan
kemanusiaan yang dilakukan oleh INGOs. Hal serupa juga terjadi di banyak
tempat, seperti dikutip oleh Tanguy dari reportase pedas majalah Time pada
tahun 1996 saat bantuan kemanusiaan sedang booming
di Afrika. Demikian tulisnya, “In the
last century, merchant adventures stirred the media to badger politicians over
national pride. Gunboats and troop carries were duly sent. The merchant
adventures of modern Africa are the aid agencies….They are the biggest power
brokers on the continent. They can mover large quantities of money and supplies.
They influence the outcomes of wars. They occupy territory, wreck fragile
market economics, encourage rural depopulation, and are obsessed with self
publicity.”[18]
Time mengistilahkan para INGOs
sebagai “the merchant adventures.”
Ini menjadi sebuah penyebutan yang menyamakan INGOs sebagai sebuah “corporate”. Perusahaan adalah pedagang
yang besar dan punya motivasi jujur untuk mendapatkan untung. Apakah INGOs juga
“pedagang” yang jujur untuk mendapatkan keuntungan? Sebuah pertanyaan yang
mengandung implikasi etis yang tidak mudah bagi keberadaan INGOs dalam segala
bentuk dan karakternya. Selain itu, kedudukan INGOs sebagai “pedagang” tidak
lebih seperti pedagang lainnya, ia tidak peduli dengan segala dampak sosial
akibat sistem dagangnya, entah itu merusak atau merugikan manusia (aspek) lain,
yang penting ia untung. Maka, adagium yang pernah ditulis oleh Karl Marx
menampakan kebenarannya di sini. Marx berpendapat bahwa sistem ekonomi pada
dasarnya tidak pernah bertujuan membuat manusia bahagia. Demikian tulisnya,
“Hingga sekarang, industri berada dalam suatu keadaan perang – suatu perang
penaklukan: Ia menghabiskan nyawa orang-orang yang menjadi tentaranya dengan
ketidakpedulian sama seperti para penakluk besar. Tujuannya adalah
penguasaan/pemilikan kekayaan, bukan kebahagiaan manusia.”[19]
Inilah yang oleh banyak pengkritik
bantuan kemanusiaan INGOs sering digambarkan sebagai “dewa-dewa” yang
mendatangkan bencana kedua. Kehancuran dalam sebuah masyarakat memang akan
sangat jelas dilihat dari indikasi ekonomi. Namun kehancuran dari sisi ekonomis
bukanlah representasi tunggal dari hancurnya masyarakat. Biasanya kehancuran
suatu masyarakat akan bertalian dengan hancurnya sistem sosial, politik dan
budaya. Sudah menjadi jamak diketahui bahwa setelah INGOs hengkang dari suatu
wilayah, sistem tradisional yang ada dalam masyarakat di wilayah tersebut
lantas hancur. Gejala itu bisa dilihat dari, anak muda yang lebih konsumtif,
laki-laki yang lebih malas bekerja, hancurnya sistem kekerabatan lokal, masyarakat
menjadi semakin tergantung dan bahkan konflik atau perang saudara bisa menjadi
bertambah besar akibat bantuan kemanusiaan. Sebuah gambaran yang sangat ironis
dari dampak sistem ekonomi bantuan kemanusiaan.
Dalam konteks itulah saya mengatakan
bahwa ide surplus nilai yang digagas oleh Marx menjadi relevan untuk melihat
adanya surplus bencana dalam konteks bantuan kemanusiaan. Gagasan tentang
surplus nilai tidak saja menunjukkan bahwa ada sebuah eksploitasi dalam sistem
ekonomi kapitalis, namun menunjukkan adanya reduksi besar-besarnya terhadap
martabat manusia. Jika itu yang menjadi konsep dasar Marx dalam surplus nilai,
demikian juga yang terjadi dalam surplus bencana. Bantuan kemanusiaan yang
melahirkan sistem ekonomi bantuan kemanusiaan (non-profit) sebenarnya mengandung
potensi yang sama, yaitu menghancurkan martabat manusia. Persoalan ini sungguh
sangat kontradiktif dan ironis kalau kita kembali pada formulasi prinsip
kemanusiaan dan piagam kemanusiaan yang dituliskan dan dihayati oleh INGOs
sebagai roh yang menjiwai cara kerja organisasi mereka.
Tentu saja saya tidak menutup mata
terhadap banyaknya “buah” yang sudah dibuat oleh INGOs untuk menyelamatkan
hidup manusia dari jeratan penderitaan yang diakibatkan oleh bencana, baik alam
atau konflik, namun dengan membuat sebuah “kritik ideologis” terhadap peran
INGOs kiranya akan memurnikan gerakan INGOs untuk kembali kepada prinsip dan
piagam kemanusiaan yang menjadi mandat utama mereka. Kritik seperti ini akan
membantu untuk memberikan konsep yang semakin kuat terhadap akuntabilitas
lembaga kemanusiaan internasional atau INGOs dalam segala implementasi
praktisnya. Akuntabilitas adalah sebuah kata yang memiliki kekuatan dahyat bagi
banyak INGOs untuk semakin memperkuat identitas mereka sebagai lembaga bantuan
kemanusiaan. Namun kata itu juga bisa menggelincirkan mereka untuk jatuh pada
urusan internal lembaga, sehingga dana yang dikumpulkan dari fundrising dari
masyarakat dan lembaga donor bisa saja dihabiskan hanya untuk urusan menjaga
lembaga itu tetap akuntabel.
Untuk menghakhiri tulisan reflektif
tentang dunia INGOs ini, saya ingin menuliskan sebuah kalimat yang meluncur
dari seorang aktivis kemanusiaan dari sebuah INGOs yang pernah berdiskusi
dengan saya. Dia mengatakan demikian, “Tampaknya INGOs itu seperti tidak jujur
terhadap dirinya, lebih baik jujur seperti perusahaan yang tujuannya adalah
mendapatkan keuntungan dari pada membungkus sebuah kerja kemanusiaan untuk
mendapatkan keuntungan.” Karl Marx dalam
banyak tulisannya tentang kapitalisme sebenarnya adalah ingin mengkritik agar
para kapitalis jujur terhadap keuntungan yang diperolehnya. Maka, dalam konteks
dunia INGOs pun dibutuhkan seorang Marxis yang bisa membuat kritik terhadap
sistem yang dibangun oleh INGOs agar ia bisa jujur atas apa yang didapatkannya
dari kerja-kerja kemanusiaan yang dilakukannya. Di sinilah pentingnya kritik
ekonomi bantuan kemanusiaan.
Kepustakaan:
- Marx, Karl, “Naskah-naskah Ekonomi dan Filsafat tahun 1844”, (penerjemah Ira Iramanto), Hasta Mitra.
- Suseno, Franz Magnis, “Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme”, Gramedia (1999)
- Osman, Ibrahim, “Scope of International Humanitarian Crises”, dalam Basics of International Humanitarian Mission (Edited by Kevin M. Cahill, M.D), New York (2003)
- William, Roy H, “Rules of Engangement: An Examination of Relationships and Expectations in the Delivery of Humanitarian Assistance”, dalam Basics of International Humanitarian Mission (Edited by Kevin M. Cahill, M.D), New York (2003)
- Tanguy, Joelle, “The Sinews of Humanitarian Assistance: Funding Policies, Practices, and Pitfalls”, dalam Basics of International Humanitarian Mission (Edited by Kevin M. Cahill, M.D), New York (2003)
- Veuthey, Michel, “Humanitarian Ethical and Legal Standards”, dalam Basics of International Humanitarian Mission (Edited by Kevin M. Cahill, M.D), New York (2003)
- --------------------, “Everybody’s Challenge, Essential Documents of Jesuit Refugee Service 1980 – 2000, Roma (2000)
- Artikel-artikel dalam Majalah Basis, “Gerakan Sosial Baru”, edisi No. 01-02, Tahun ke-55, Januari-Februari 2006
- --------------------, “Proyek Sphere, Piagam Kemanusiaan dan Standar Minimum dalam Respons Bencana”, Grasindo (2006)
ooOOoo
[1] Bdk,
Suseno, Franz Magnis, “Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan
Revisionisme,” Gramedia (1999), hal. 181-185
[2] Lihat,
Suseno, ibid, hal. 185-192
[3]
Williams, Roy H, “Rules of Engagement: An Examination of Relationships and
Expectations in the Delivery of Humanitarian Assistance”, dalam Basics of
International Humanitarian Missions (Edited by Kevin M. Cahill, M.D), New York
(2003), hal. 148
[4]
---------, “Proyek Sphere, Piagam Kemanusiaan dan Standar Minimum dalam Respons
Bencana”, Gramedia (2006), hal. 16
[5] Disebut
bencana teknologis karena bencana itu secara natural disebabkan oleh kesalahan
penggunaan teknologi dan atau karena sudah tidak mampunya teknologi menjaga
ancaman alam yang bisa menimbulkan bencana.
[6] Lih.
Osman, Ibrahim, “Scope of International Humanitarian Crises”, ibid op.cit, hal.
18-34
[7] Osman,
Ibrahim, ibid, hal. 18-20
[8] Osman,
Ibrahim, ibid, hal. 20-21
[9] Osman,
Ibrahim, ibid, hal. 21
[10] Marx,
Karl, “Naskah-naskah Ekonomi dan Filsafat tahun 1844”, Hasta Mitra, hal. 35
[11] Marx,
Karl, ibid, hal. 41
[12]
Veuthey, Michel, “Humanitarian Ethical and Legal Standards”, ibid op.cit. hal.
125
[13]
--------------------, “Everybody’s Challenge, Essential Documents of Jesuit
Refugee Service 1980-2000, Roma (2000), hal. 14-15
[14]
Veuthey, Michel, ibid, hal. 126
[15] Joelle
Tanguy, ia adalah Direktur Eksekutif dari MSF USA dan juga dikenal sebagai
konsultan untuk lembaga-lembaga kemanusiaan internasional. Tulisan ini berjudul
“The Sinews of Humanitarian Assistance: Funding Policies, Practices, and
Pitfalls”, ibid op.cit, hal. 200
[16] Tanguy,
Joelle, ibid. hal. 201
[17] Marx,
Karl, ibid op.cit. hal. 40
[18] Tanguy,
Joelle, ibid op.cit. hal. 237
[19] Marx,
Karl, ibid op.cit. hal. 33
No comments:
Post a Comment