Wednesday, January 2, 2019

Dicari seorang Marxis untuk mengkritik sistem “ekonomi bantuan kemanusiaan”!


Ada masa bekerja di sebuah lembaga International Non-Government Organizations (selanjutnya disingkat INGOs) memuaskan baik secara emosi dan idealisme. Dan tentu saja juga memberikan sebuah kebanggaan tertentu. Pastilah suasana itu ada sebelum buku Graham Hancock terbit. Buku yang diberi judul Lords of Poverty: The Power, Prestige, and Corruption of the International Aid Business (diterjemahkan menjadi “Dewa-dewa” Pencipta Kemiskinan: Kekuasaan, Prestise, dan Korupsi Bisnis Bantuan Internasional oleh Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas) memukul secara telak peran INGOs yang bekerja di banyak belahan bumi. Mereka bekerja di negara-negara miskin di benua Afrika yang didera konflik internal dan kemiskinan berkepanjangan, di negara-negara berkembang di Asia, dan tentu saja di Indonesia setelah bencana tsunami terdahsyat sepanjang sejarah menghantam Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan kepulauan Nias.
Seharusnya buku itu membuat para pekerja atau aktivis kemanusiaan menjadi malu dan mulai berpikir ulang soal kebanggaan mereka. Namun demikian, pastilah kritik pedas itu tidak membuat bergeming para pekerja, atau tepatnya disebut professional kemanusiaan, yang bekerja di INGOs, karena bukan lagi persoalan idealisme untuk memperjuangkan kemanusiaan dan kemiskinan, namun yang penting adalah kekuasaan, prestise dan uang. Sikap itu tidak saja menjangkiti kaum pekerjanya, namun sikap itu terlihat lebih jelas  pada lembaga kemanusiaan tempat mereka bekerja.
Persoalan ini menjadi sangat relevan untuk dikaji dan untuk meluruskan peran INGOs di dunia ini, terkhusus di Indonesia. Terlebih setelah mereka kembali berbondong-bondong datang ke Indonesia saat bencana datang bertubi-tubi dimulai dari bencana di Aceh, Nias, gempa bumi di DIY & Jateng, bencana di Padang, banjir di Jakarta, dan di berbagai tempat lain. Secara jumlah, keberadaan INGOs di Indonesia cukup kuat, ambil contoh INGOs yang datang ke Aceh setelah bencana terjadi diperkirakan hampir 500 jumlahnya. Dari sekian itu memang ada sejumlah INGOs yang memiliki sejarah lama di Indonesia, seperti Oxfam GB, Care International, World Vision International, Catholic Relief Service, Save the Children, Jesuit Refugee Service, Medecins Sans Frontieres, Terre de Home, International Organization for Migration, Mercy Corps International, International Medical Corps,  International Committee for Red Cross, Action contre la faim dan masih ditambah dengan lembaga lain yang baru hadir di Indonesia. Jumlah ini belum termasuk lembaga donor (funding) yang menjadi tulang punggung pendanaan bagi kegiatan INGOs di Indonesia, sebut saja beberapa lembaga donor yang memiliki reputasi tinggi seperti USAID, AUSAID, ECHO, Ford Foundation, Hivos, CIDA (lembaga donor milik pemerintah Canada),  jaringan Caritas Internationalis, dan masih banyak lagi yang lain.    
Tentu saja kita tidak menutup mata bahwa kehadiran INGOs di banyak wilayah di Indonesia membantu untuk menyelesaikan persoalan masyarakat Indonesia, tetapi hendaknya “kebaikan” yang sudah mereka buat tidak membuat kita semua terkena rabun ayam. Mereka memang hadir untuk membantu Indonesia keluar dari banyak bencana, namun kehadiran mereka sendiri adalah bencana bagi Indonesia. Dalam tulisan ini, akan disoroti “bencana” apa saja yang muncul setelah kehadiran INGOs dan teori Marxisme akan digunakan sebagai pisau analisa untuk membedah persoalan tersebut. Selain itu, saya akan menganalisa pentingnya membangun kritik terhadap sistem ekonomi bantuan (non-profit) yang diakibatkan oleh proyek-proyek kemanusiaan INGOs.

I. Surplus Nilai menjadi Surplus Bencana

Teori surplus nilai adalah salah satu teori terpenting dalam pemikiran Karl Marx. Teori ini tentu sudah mendapat banyak sanggahan oleh banyak ahli, entah sosial, politik dan tentu saja para ahli ekonomi. Namun demikian, sumbangan teori tersebut untuk membuka kedok misteri ketidakadilan dalam sistem kerja kapitalisme moderen, tetaplah sebuah kecermelangan dari Karl Marx. Teori ini memang ditulis oleh Karl Marx berdasarkan pengamatannya tentang relasi ekonomi politik yang terjadi antara para pekerja (buruh) dan para pemilik modal. Diungkapkan dalam teori surplus nilai tersebut bahwa keuntungan para kapitalis bisa didapatkan karena ada faktor penentu dalam proses produksinya yakni: pekerja.[1] Tanpa pekerja, modal yang dimiliki oleh para kapitalis tidak bisa melipatkangandakan keuntungan.
Itu berarti bahwa modal yang ditanam oleh kapitalis dalam sebuah siklus produksi tidak mampu menghasilkan keuntungan hanya dengan menjual komoditi. Penjelasan terhadap rahasia keuntungan kapitalis harus dilihat dari faktor lain sehingga komoditi bisa menghasilkan keuntungan. Faktor pekerjalah yang menjadi penentu keuntungan, karena pekerja menyediakan waktu yang tak terbayar untuk menghasilkan sebuah produksi menjadi berlipat ganda.[2] Di sinilah sebenarnya yang dikatakan oleh Karl Marx dengan surplus nilai. Surplus itu didapatkan dari hasil memeras keringat pekerja untuk bisa meningkatkan komoditas para kapitalis menjadi dua kali lipat. Artinya, para kapitalis telah mencuri hidup para pekerja tanpa harus mengembalikannya kepada para pekerja dengan bayaran yang sepadan.
Dalam sistem ekonomi kapitalis, mencari keuntungan (profit) sebesar-besarnya adalah legitim dalam hukum ekonomi. Maka meningkatkan akumulasi keuntungan sebesar-besarnya adalah demi mempertahankan siklus produksi itu sendiri. Karena tanpa keuntungan, siklus produksi dengan segala pembiayaanya, termasuk menggaji para pekerja dan mempertahankan biaya operasional (memelihara gedung, mesin, memberi bahan baku, distribusi hasil produksi, dsb) akan mandeg dan tidak bisa dijalankan lagi. Singkatnya, sistem ekonomi kapitalis mengesahkan pencarian keuntungan sebesar-besarnya demi mempertahankan siklus produksi. Kritik Marx terhadap sistem ekonomi kapitalis adalah bahwa keuntungan para kapitalis didapatkan dengan mengeksploitasi hidup para pekerja. Keuntungan eksploitatif itu telah mengakibatkan banyak pekerja menderita. Penderitaan muncul justru dalam sebuah sistem ekonomi yang ingin membuat banyak manusia bisa hidup sejahtera.
Menjadi soal di sini apakah pandangan kritis dari Marx itu bisa berlaku di dalam sebuah organisasi non-profit? INGOs yang ada di belahan bumi ini selalu menyatakan dirinya sebagai lembaga non-profit. Seperti dikatakan oleh Roy Williams sebagai berikut: “(I)NGOs in general are not self-sustaining. They do not generate profit from their work, so they must rely on funding support from a variety of donors, including the public. In an ideal world – from the point of view of the (I) NGO – all such funding would be unrestricted.”[3] Itu berarti bahwa bukan keuntunganlah yang dicari namun sebuah nilai lain yang lebih diutamakan. Nilai lain itu dirumuskan sebagai nilai-nilai kemanusiaan. Namun untuk mewujudkan nilai kemanusiaan itu, INGOs tetaplah butuh uang atau dana. Dana itu didapatkan dari donor atau para funding.
Dalam buku Proyek Sphere, Piagam Kemanusiaan dan Standar Minimum dalam Respons Bencana, yang menjadi buku pegangan bagi banyak INGOs dicantumkan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan itu. Salah satu rumusan prinsip dasar tersebut berbunyi demikian: “Kami meneguhkan kembali keyakinan kami tentang tuntutan dasar kemanusiaan dan keutamaannya. Kami mengartikan ini sebagai suatu keyakinan bahwa semua langkah yang mungkin diambil harus dilaksanakan demi mencegah atau meringankan penderitaan manusia akibat konflik atau bencana, serta bahwa warga sipil yang terkena akibatnya mempunyai hak atas perlindungan dan bantuan.”[4]
Dari rumusan itu tidak ada maksud untuk menempatkan nilai profit di atas sebuah penderitaan manusia. Etika menjadi pagar yang sangat kuat menyangga lembaga-lembaga kemanusiaan internasional atau INGOs. Oleh karena itu, INGOs membangun organisasinya berdasarkan etika kemanusiaan tersebut. Namun, apakah demikian yang terjadi dalam perkembangan INGOs dewasa ini? Sebuah kontradiksilah yang banyak ditemukan dalam kiprah INGOs di banyak tempat, termasuk di Indonesia.
Etika kemanusiaan itulah yang menurut saya akhirnya melahirkan surplus bencana di dalam dunia INGOs. Karl Marx menunjukkan bahwa surplus nilai dalam sistem ekonomi kapitalis sebagai biang keladi dari penderitaan para pekerja, maka surplus bencana adalah penambah penderitaan bagi manusia-manusia yang menjadi target INGOs. Surplus bencana dilahirkan dalam sistem “ekonomi bantuan kemanusiaan” atau industri bantuan kemanusiaan (aid industry). Istilah itu muncul dari para kritikus gerakan INGOs yang sangat sinis dan skeptis terhadap misi INGOs untuk melepaskan manusia dari penderitaan. Dengan amat tajam hal ini dipaparkan oleh Graham Hancock dalam bukunya Lords of Poverty atau oleh Mac Chaping dalam bukunya A Challenge to Conservationists. Namun dalam kesempatan ini saya tidak ingin masuk lebih jauh dalam dua buku itu. Saya ingin lebih mencari pendasaran dasariah mengapa dunia INGOs akhirnya mendapat kritik pedas dan sinis sebagai lembaga yang menciptakan surplus bencana dalam sistem ekonomi bantuannya.
Kalau kita kembali pada salah satu rumusan prinsip kemanusiaan di atas, ada frase-frase kunci yang patut diperhatikan yaitu: penderitaan manusia (akibat konflik dan bencana), warga sipil (yang terkena penderitaan), mempunyai hak (atas perlindungan dan bantuan). Dari frase-frase kunci ini, saya ingin menunjukkan bagaimana INGOs akhirnya menciptakan apa yang saya sebut sebagai surplus bencana tersebut.

I.A. Penderitaan Manusia (akibat konflik dan bencana)

Dalam logika INGOs, penderitaan manusia adalah uang. Pendapat ini tampak terlalu sarkastis. Namun saya akan menunjukkan salah satu contoh bagaimana logika itu berjalan lewat sebuah artikel yang berjudul Scope of International Humanitarian Crises yang ditulis oleh Ibrahim Osman. Saat artikel ini dibuat, Ibrahim Osman menjabat sebagai Director of Monitoring and Evaluation for the International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC) yang berkedudukan di Geneva, Swiss. Artikel Osman tersebut memaparkan trend data persoalan penderitaan manusia baik akibat bencana alam dan teknologis (natural/technological disaster)[5] dan bencana konflik (complex disaster) di seluruh muka bumi. Rentang tahun peristiwa bencana alam/teknologis yang dia jadikan sebagai data adalah 1992 – 2001, sedangkan untuk bencana konflik (complex disaster) antara tahun 1994-2001.[6]
Menurut Osman, pada tahun 1992 terdapat 118 juta orang menderita akibat bencana, baik yang diakibatkan oleh bencana alam/teknologi dan konflik. Jumlah ini meningkat pada tahun 2000 menjadi 275 juta orang. Pada tahun 1992, kontribusi yang digunakan untuk membantu manusia yang menderita akibat bencana alam/teknologi adalah 235 juta US Dollar dan pada tahun 2000 menjadi 340 juta US Dollar. Osman menggunakan kata kontribusi untuk mengganti kata uang.  Sedangkan untuk membantu orang yang menderita akibat bencana konflik, pada tahun 1994 kontribusinya sekitar 2.131 milyar US Dollar dan pada tahun 2001 menjadi 1.695 milyar US Dollar. Dari sisi nilai Dollar, bencana konflik jauh lebih tinggi dibandingkan bencana alam/teknologi.[7]
Selain itu, Osman membedakan nilai uang dalam konteks bantuan kemanusiaan dengan “Cost” (biaya) dan “Assistance” (pendampingan). Konsep “cost” dalam bantuan kemanusiaan adalah uang atau keseluruhan biaya yang langsung dikeluarkan untuk  sebuah proyek kemanusiaan. Itu bisa berwujud bantuan makanan, pemberian obat, pembuatan shelter, pemberian modal, dan lain sebagainya. Cost kemanusiaan adalah semua biaya yang diberikan untuk penderitaan manusia yang terjadi akibat bencana, entah alam atau pun konflik. Sedangkan “assistance” (pendampingan) dimengerti sebagai seluruh usaha kemanusiaan yang dilakukan oleh pekerja (professional) kemanusiaan untuk mendampingi manusia yang menderita. Biasanya dalam dunia INGOs, para penerima bantuan juga disebut beneficiaries, recipients, target group dan sebagainya. Untuk mendampingi manusia yang menderitalah maka istilah assistance muncul. Assistance jelas butuh uang. Uang itu untuk memberi gaji bagi pekerja kemanusiaan, asuransi kesehatannya, dan tunjangan kesejahteraan lainnya. Selain itu, sebuah lembaga kemanusiaan yang besar butuh biaya operasional harian, seperti komunikasi, transportasi, alat-alat kantor, dan segala macam kebutuhan lainnya yang sifatnya untuk menunjang administrasi manajemennya. Semakin besar proyek kemanusiaan yang dilakukan oleh sebuah INGO, maka semakin besar pula lembaganya, dan akhirnya semakin berlipat-lipat biaya yang digunakan untuk menjalankan administrasi dan manajemen lembaga INGO tersebut.
Dengan konsep seperti itulah, Osman membedakan antara cost dan assistance kemanusiaan dilihat dari berapa US Dollar untuk membiayai sebuah proyek kemanusiaan. Dalam tahun 1992, bencana alam/teknologis menimpa kurang lebih 79 juta orang. Cost yang dikeluarkan untuk respon bencana itu sekitar 2.86 juta US Dollar. Angka itu meningkat tajam pada tahun 2001, cost-nya menjadi 14.294 juta US Dollar untuk 170 juta orang yang terkena dampak bencana. Biaya assistance (pendampingan) pada tahun 1991 sebesar 235 juta US Dollar, dan pada tahun 2001 berkisar antara 339 juta US Dollar.[8] Menurut Osman, biaya assistance lonjakannya tidak seperti cost kemanusiaan. Namun demikian, hanya untuk annual assistance saja di Asia membutuhkan uang 126 juta US Dollar, di Amerika membutuhkan 117 juta US Dollar, di Afrika butuh 51 juta US Dollar, di Eropa sekitar 23 juta US Dollar dan di Oceania membutuhkan uang sekitar 5 juta US Dollar.[9] Sebuah paparan tentang nilai US Dollar yang cukup fantastis.
Analisa data tentang jumlah manusia yang menderita akibat bencana dan berapa uang yang dikeluarkan untuk membiayai proyek-proyek kemanusiaan bisa diterangkan dalam berbagai macam kategori. Osman pun menunjukkan variasi kategori itu, namun singkatnya jumlah manusia menderita selalu diikuti oleh sekian juta atau bahkan milyar US Dollar untuk “mengatasi” penderitaan itu. Logika seperti itu menjadi begitu biasa bagi INGOs. Maka bagi INGOs, jumlah manusia yang menderita sama artinya dengan berapa US Dollar yang harus dicari atas nama penderitaan itu. Apakah dengan demikian penderitaan manusia bisa dikatakan sebagai “modal” dasar bagi INGOs untuk mendapatkan uang? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu pendasaran fakta dan argumentasi konseptual yang lebih kuat dan akurat. Namun apakah penderitaan manusia bisa disamakan dengan konsep modal seperti yang dikatakan oleh Karl Marx demikian, “Modal dengan demikian merupakan daya penguasaan atas kerja dan produk-produknya. Si kapitalis memiliki daya ini, bukan oleh sebab kualitas-kualitas pribadi atau manusianya, tetapi sejauh ia adalah seorang pemilik modal. Dayanya adalah daya beli modalnya, yang tiada bisa dilawan oleh apapun.” [10]

I.B. Warga Sipil (yang terkena penderitaan)

Dalam dunia INGOs, warga sipil mendapat pengertian khusus untuk membedakan dengan aparat negara, militer, para pemanggul senjata (combatants), para pemberontak (rebels) dan para pekerja kemanusiaan sendiri. Dalam konsep ilmu sosial pun warga sipil sudah dipahami secara definitif. Pokoknya, warga sipil dimengerti sebagai status orang yang tidak memiliki afiliasi kepentingan politik dan ekonomi. Dunia INGOs menegaskan kembali bahwa warga sipil adalah mereka yang rentan (vulnerable) baik dari sisi politik, sosial, ekonomi dan budayanya. Secara lebih spesifik lagi arti itu bisa dijabarkan ke dalam beragam kelompok, seperti kelompok anak-anak, perempuan, lanjut usia (elderly), dan lain sebagainya. Maka jika dalam banyak jargon yang dipakai oleh INGOs yakni melindungi martabat dan hak warga sipil, kelompok-kelompok rentan itulah yang dimaksudkan. Konsep ini tentu akan lebih beragam kalau kita memasukan konsep development dalam program-program INGOs. Dalam konsep development, kemiskinan menjadi batu penjuru untuk masuk membelah kembali konsep warga sipil tersebut.
Dunia INGOs secara pragmatis akan menempatkan warga sipil sebagai bagian dari sasaran kerjanya berdasarkan dinamika persoalan-persoalan kemanusiaan yang kemudian dikaji oleh berbagai ilmu kemanusiaan baik dalam bidang sosial, politik, budaya, ekonomi, dan lain sebagainya. Misalnya saja, saat perjuangan tentang hak-hak perempuan menjadi fokus utama studi ilmu-ilmu sosial kemanusiaan, banyak lembaga donor atau INGOs yang mencari partner lokal untuk memperjuangkan keadilan jender di Indonesia. Maka banyak bermunculan NGO lokal yang membidikan perjuangannya untuk isu perempuan, seperti LBH Apik, Mitra Perempuan, PKBI, Rifka Anisa, dan lain sebagainya. Namun demikian isu perempuan yang mereka angkat sangat beragam dan dari sisi programnya juga sangat bervariasi. Saat bencana tsunami terbesar sepanjang sejarah manusia terjadi, gerak INGOs pun mengarah ke sana. Konsep-konsep tentang DRR (Disaster Risk Reduction), pengembangan Early Warning System, dan lain sebagainya menjadi trendy kembali. Dan mungkin ke depan isu pemanasan global akan menjadi “rebutan” bagi INGOs untuk mendapatkan uang demi sebuah proyek penyelamatan bumi dari mencairnya gunung-gunung es di kutub utara. Dalam konteks itu, “warga sipil” pasti menjadi faktor determinan untuk mencapai proyek-proyek yang akan dirancang.
Melihat fonomena seperti itu, kita pun bisa mengajukan sebuah pertanyaan gugatan: apakah persoalan “warga sipil” bisa dianggap komoditas seperti halnya sebuah pasar yang selalu ikut dalam mode tertentu? Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa jadi paralel dengan apa yang dikatakan oleh Karl Marx, “…pertahanan tunggal terhadap kaum kapitalis adalah persaingan, yang menurut pembuktian ekonomi-politik bertindak menguntungkan dengan menaikkan upah-upah maupun menurunkan harga barang-barang dagangan demi kebaikan publik konsumen.”[11]  Siapakah konsumen para INGOs? Mereka yang mempunyai kepentingan terhadap isu-isu tertentu, dan dengan mengangkat isu tersebut ia mendapatkan peneguhan terhadap posisi politisnya.

I.C. Hak (atas perlindungan dan bantuan)

            Banyak INGOs mendasarkan geraknya berdasarkan paham tentang hak. Secara konseptual, mereka merumuskan hak tersebut dalam berbagai cara, namun pada dasarnya mereka mengakui bahwa “nilai hidup” manusialah yang paling fundamental mendapat tempat dalam berbagai rumusan “piagam” kemanusiaan yang menjadi jiwa  banyak INGOs. Saya akan menunjukkan tiga contoh bagaimana “piagam kemanusiaan” tersebut dirumuskan:
Pertama, prinsip HUMANITY dalam Red Cross/Crescent:
“The Red Cross, born of a desire to bring assistance without discrimination to the wounded on the battlefield, endeavors – in its international and national capacity – to prevent and alleviate human suffering wherever it may be found. Its purpose is to protect life and health and to ensure respect for the human being. It promotes mutual understanding, friendship, cooperation, and lasting peace among all peoples”.[12]

Kedua, salah satu rumusan piagam dalam Jesuit Refugee Service, sebuah lembaga milik Serikat Yesus:
“The 34th General Congregation affirmed JRS as one means by which the Society fulfils its mission to serve faith and promote justice: The Jesuit Refugee Service accompanies many of these brothers and sisters of ours, serving them as companions, advocating their cause in an uncaring world.”[13]

Ketiga, rumusan piagam yang dimiliki oleh Medicins Sans Frontieres (MSF):
“Medicins Sans Frontieres, also known as Doctors Without Borders of MSF, offers assistance to population in distress, victims of natural or man-made disasters, and victims of armed conflict, without discrimination and irrespective of race, religion, creed, or political affiliation.”[14]

            Membaca tiga formulasi piagam dari Red Cross/Crescent, JRS dan MSF, kita tidak ragu akan komitmen INGOs terhadap hak-hak para manusia yang menderita atau korban dalam berbagai macam kategori bencana yang ada. Perwujudan hak bagi kelompok manusia yang menderita untuk mendapat perlindungan (protection) dan bantuan (aid) akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit karena menyangkut ribuan dan bahkan bisa jutaan orang. Maka dalam dunia INGOs akhirnya uang pun menjadi persoalan yang sangat sensitif dan krusial. Ini seperti halnya apa yang dikritik oleh Karl Marx dalam sistem ekonomi kapitalis. Problem etis muncul di dalam praktek implimentasi INGOs terhadap piagam kemanusiaan mereka. Seperti dituliskan oleh Joelle Tanguy demikian, “In humanitarian assistance, our readers should easily agree that morality, not money, ought to be the backing principle. Today’s reality lies somewhere in between. Humanitarian operations provide life-saving assistance to millions, but are mostly funded through mechanisms of limited congruence to humanitarian objectives, tainted by political and economic influence, prejudiced by public perceptions driven by commercialized media, and interfering with effective accountability – itself a concept yet to be clearly defined.”[15]
            Semakin jelas bahwa misi INGOs yang mulia untuk memberi bantuan dan perlindungan terhadap manusia yang menderita akhirnya memunculkan sebuah sistem ekonomi bantuan. Sistem ekonomi bantuan itu muncul dari apa yang disebutnya sebagai “global humanitarian funding.” Ilustrasi Tanguy  bisa memberikan betapa dunia bantuan kemanusiaan akhirnya memang harus berurusan dengan uang: “The bulk of emergency assistance funds come from governments and were greatly expanded in the last decades. To describe the trajectory in broad terms, let us say that annual humanitarian funding remained below U.S.$ 500 million in the 1970s, spring up in the mid-1980s with the Ethiopian and Sudanese crises, remaining around $ 1 billion until the end of the cold war, rising abruptly to between $ 4 billion and $ 5.5 billion with the Kurdistan, Somalia, Bosnia, and Rwanda crises of the early 1990s, and leveling off for a few years to between $ 3.5 billion and $ 4.5 billion annually before arising again with the Kosovo and, more recently the Afghanistan crises.”[16]
            Dari ilustrasi itu kita bisa membayangkan berapa jumlah uang yang berputar di dalam INGOs untuk bencana tsunami dan tentu juga untuk krisis Irak akibat invansi Amerika? Tentu juga akan menyangkut milyaran US Dollar. Maka dalam konteks bantuan kemanusiaan, akhirnya tidak ditutup kemungkinan munculnya sistem ekonomi bantuan atau sistem ekonomi non - profit yang ditimbulkan dari logika donor atau funding. Apakah dampak sistem ini sama dengan sistem kapitalis yang profit? Pertanyaan ini sangat menarik untuk diulas secara lebih mendalam. Namun dalam tulisan ini, saya membatasi diri untuk menunjukkan sebuah gejala dari munculnya sebuah sistem ekonomi yang ditimbulkan oleh bantuan kemanusiaan.
            Jika dampak yang ditimbulkan baik oleh sistem ekonomi profit dan non-profit adalah sama, tulisan Karl Marx berikut bisa juga dijangkarkan dalam dunia non-profit. Marx menulis demikian, “Rencana-rencana dan proyek-proyek para pemakai modal-modal mengatur dan mengarahkan semua operasi kerja yang paling penting dan laba menjadi tujuan yang disarankan oleh semua rencana dan proyek itu. Tetapi tingkat laba tidaklah, seperti sewa dan upah-upah, naik bersama kemakmuran dan jatuh bersama kemunduran masyarakat. Sebaliknya, ia secara wajar adalah rendah di negeri-negeri kaya dan tinggi di negeri-negeri miskin, dan ia selalu tertinggi di negeri-negeri yang paling cepat kehancurannya.” [17]
            Saya sendiri melihat bahwa jika dalam ekonomi profit (kapitalis) laba menjadi salah satu faktor yang mendukung sistem itu tetap berjalan, mungkin ada juga “laba” dari sistem ekonomi non-profit yang dihidupi oleh INGOs sehingga sistem ekonomi bantuan tetap saja masih berjalan sampai sekarang. Namun persoalan yang perlu dilihat lebih mendalam adalah logika “laba” seperti apa yang terjadi dalam sistem ekonomi non-profit. Apakah rumusan piagam kemanusiaan yang terdapat dalam INGOs untuk menjawab kebutuhan hak para manusia yang menderita dengan memberikan perlindungan dan bantuan bisa mendatangkan “laba” bagi INGOs yang bersangkutan? Pertanyaan ini sangat menggugah untuk dikaji dan dijadikan bahan riset lebih lanjut. Mungkin konsep “laba” dalam sisem ekonomi bantuan kemanusiaan bisa menjadi salah sau fokusnya. Laba seperti apa yang mendatangkan kehancuran dalam sistem ekonomi bantuan kemanusiaan tersebut. Mungkin saja, “laba rendah” dalam sistem ekonomi bantuan kemanusiaan itu terjadi di negara-negara kaya, tempat sebagian besar dari kantor pusat INGOs berada, dan “laba tinggi” terjadi di negara-negara miskin (dan berkembang) tempat sebagian besar proyek kemanusiaan itu dijalankan. Dan kehancuranlah yang akan dipetik oleh negara-negara miskin tersebut.

II. Perlunya Kritik Ekonomi Bantuan Kemanusiaan

            Apakah INGOs bisa disamakan dengan MNC (multi national corporation) di bidang ekonomi non-profit? Pertanyaan ini mengemuka karena relasi INGOs dan NGOs lokal di banyak tempat, terutama di Indonesia. Adanya “global humanitaraian funding” juga merembes masuk ke lembaga-lembaga lokal, karena banyak dari INGOs yang membutuhkan partner lokal untuk menjalankan “proyek” kemanusiaannya. Bahkan banyak lembaga donor internasional yang langsung menyalurkan uangnya kepada NGO lokal. Penyaluran dana ini tentu saja memberikan peluang kerja bagi orang-orang lokal untuk bekerja di sektor tersebut. Kenyataan ini tentu berdampak positif terhadap penciptaan peluang kerja yang bagi kebanyakan negara miskin dan berkembang seperti Indonesia, masalah peluang kerja menjadi salah satu persoalan sosial yang masih terus menghantui. Tetapi lebih dari itu, bantuan kemanusiaan dengan berbagai macam bentuknya seperti bantuan perumahan, bantuan peningkatan penghasilan (income generating), bantuan pangan, bantuan pendidikan, dan lain sebagainya memberi akses terbuka bagi peningkatan ekonomi lokal di mana INGOs itu bekerja. Masyarakat lokal bisa saja menikmati bantuan itu. Kalau melihat paparan di atas, mata kita bisa terbuka bahwa pusaran uang yang didatangkan oleh bantuan kemanusiaan tidaklah sedikit.
            Akibat dari bantuan kemanusiaan itulah lantas muncul apa yang disebut dengan ekonomi gelembung (buble economic). Ekonomi gelembung atau ekonomi balon ini sebenarnya bukanlah sebuah ekonomi yang nyata. Ia terasa hanya saat pusaran uang yang diakibatkan bantuan itu masih ada di dalam masyarakat yang dibantu. Hal itu terjadi karena INGOs masih beroperasi di suatu wilayah. Namun, saat INGOs tersebut meninggalkan wilayah tersebut, maka dengan serta merta pendapatan masyarakat dan pusaran uang pun menurun dengan drastis. Kita bisa melihat apa yang terjadi dalam konteks krisis Timor Leste. Saat krisis terjadi, ratusan INGOs datang ke sana. Lembaga donor baik bilateral dan multilateral datang ke negara yang sedang ingin merdeka tersebut. Mata uang rupiah tiba-tiba diganti dengan mata uang US Dollar. Untuk membeli sebungkus supermi harganya bisa menjadi 2 US Dollar. Dalam pasaran normal di Indonesia, harga supermi berkisar antara Rp. 1.000 – 2.000,-, namun di Timor Leste bisa menjadi 20 ribu, kalau kurs 1 US Dollar adalah Rp. 10.000,- saat itu. Namun demikian, sampai sekarang Timor Leste belum bisa keluar dari krisis ekonomi, bahkan setelah ia menjadi negara merdeka.
            Di Timor Leste terjadi apa yang dinamakan ekonomi balon. Ketika INGOs, donor internasional, dan lembaga kemanusiaan internasional meninggalkan negara itu, sistem ekonomi yang terjadi di Timor Leste lantas mengempes atau bahkan pecah seperti balon yang tertusuk duri. Dan bayangan itu juga menghantui Aceh saat ini. Ekonomi balon inilah yang dikatakan sebagai bencana kedua paling konkret akibat intervensi atau bantuan kemanusiaan yang dilakukan oleh INGOs. Hal serupa juga terjadi di banyak tempat, seperti dikutip oleh Tanguy dari reportase pedas majalah Time pada tahun 1996 saat bantuan kemanusiaan sedang ­booming di Afrika. Demikian tulisnya, “In the last century, merchant adventures stirred the media to badger politicians over national pride. Gunboats and troop carries were duly sent. The merchant adventures of modern Africa are the aid agencies….They are the biggest power brokers on the continent. They can mover large quantities of money and supplies. They influence the outcomes of wars. They occupy territory, wreck fragile market economics, encourage rural depopulation, and are obsessed with self publicity.”[18]
            Time mengistilahkan para INGOs sebagai “the merchant adventures.” Ini menjadi sebuah penyebutan yang menyamakan INGOs sebagai sebuah “corporate”. Perusahaan adalah pedagang yang besar dan punya motivasi jujur untuk mendapatkan untung. Apakah INGOs juga “pedagang” yang jujur untuk mendapatkan keuntungan? Sebuah pertanyaan yang mengandung implikasi etis yang tidak mudah bagi keberadaan INGOs dalam segala bentuk dan karakternya. Selain itu, kedudukan INGOs sebagai “pedagang” tidak lebih seperti pedagang lainnya, ia tidak peduli dengan segala dampak sosial akibat sistem dagangnya, entah itu merusak atau merugikan manusia (aspek) lain, yang penting ia untung. Maka, adagium yang pernah ditulis oleh Karl Marx menampakan kebenarannya di sini. Marx berpendapat bahwa sistem ekonomi pada dasarnya tidak pernah bertujuan membuat manusia bahagia. Demikian tulisnya, “Hingga sekarang, industri berada dalam suatu keadaan perang – suatu perang penaklukan: Ia menghabiskan nyawa orang-orang yang menjadi tentaranya dengan ketidakpedulian sama seperti para penakluk besar. Tujuannya adalah penguasaan/pemilikan kekayaan, bukan kebahagiaan manusia.”[19]
            Inilah yang oleh banyak pengkritik bantuan kemanusiaan INGOs sering digambarkan sebagai “dewa-dewa” yang mendatangkan bencana kedua. Kehancuran dalam sebuah masyarakat memang akan sangat jelas dilihat dari indikasi ekonomi. Namun kehancuran dari sisi ekonomis bukanlah representasi tunggal dari hancurnya masyarakat. Biasanya kehancuran suatu masyarakat akan bertalian dengan hancurnya sistem sosial, politik dan budaya. Sudah menjadi jamak diketahui bahwa setelah INGOs hengkang dari suatu wilayah, sistem tradisional yang ada dalam masyarakat di wilayah tersebut lantas hancur. Gejala itu bisa dilihat dari, anak muda yang lebih konsumtif, laki-laki yang lebih malas bekerja, hancurnya sistem kekerabatan lokal, masyarakat menjadi semakin tergantung dan bahkan konflik atau perang saudara bisa menjadi bertambah besar akibat bantuan kemanusiaan. Sebuah gambaran yang sangat ironis dari dampak sistem ekonomi bantuan kemanusiaan.
            Dalam konteks itulah saya mengatakan bahwa ide surplus nilai yang digagas oleh Marx menjadi relevan untuk melihat adanya surplus bencana dalam konteks bantuan kemanusiaan. Gagasan tentang surplus nilai tidak saja menunjukkan bahwa ada sebuah eksploitasi dalam sistem ekonomi kapitalis, namun menunjukkan adanya reduksi besar-besarnya terhadap martabat manusia. Jika itu yang menjadi konsep dasar Marx dalam surplus nilai, demikian juga yang terjadi dalam surplus bencana. Bantuan kemanusiaan yang melahirkan sistem ekonomi bantuan kemanusiaan (non-profit) sebenarnya mengandung potensi yang sama, yaitu menghancurkan martabat manusia. Persoalan ini sungguh sangat kontradiktif dan ironis kalau kita kembali pada formulasi prinsip kemanusiaan dan piagam kemanusiaan yang dituliskan dan dihayati oleh INGOs sebagai roh yang menjiwai cara kerja organisasi mereka.
            Tentu saja saya tidak menutup mata terhadap banyaknya “buah” yang sudah dibuat oleh INGOs untuk menyelamatkan hidup manusia dari jeratan penderitaan yang diakibatkan oleh bencana, baik alam atau konflik, namun dengan membuat sebuah “kritik ideologis” terhadap peran INGOs kiranya akan memurnikan gerakan INGOs untuk kembali kepada prinsip dan piagam kemanusiaan yang menjadi mandat utama mereka. Kritik seperti ini akan membantu untuk memberikan konsep yang semakin kuat terhadap akuntabilitas lembaga kemanusiaan internasional atau INGOs dalam segala implementasi praktisnya. Akuntabilitas adalah sebuah kata yang memiliki kekuatan dahyat bagi banyak INGOs untuk semakin memperkuat identitas mereka sebagai lembaga bantuan kemanusiaan. Namun kata itu juga bisa menggelincirkan mereka untuk jatuh pada urusan internal lembaga, sehingga dana yang dikumpulkan dari fundrising dari masyarakat dan lembaga donor bisa saja dihabiskan hanya untuk urusan menjaga lembaga itu tetap akuntabel.
            Untuk menghakhiri tulisan reflektif tentang dunia INGOs ini, saya ingin menuliskan sebuah kalimat yang meluncur dari seorang aktivis kemanusiaan dari sebuah INGOs yang pernah berdiskusi dengan saya. Dia mengatakan demikian, “Tampaknya INGOs itu seperti tidak jujur terhadap dirinya, lebih baik jujur seperti perusahaan yang tujuannya adalah mendapatkan keuntungan dari pada membungkus sebuah kerja kemanusiaan untuk mendapatkan keuntungan.”  Karl Marx dalam banyak tulisannya tentang kapitalisme sebenarnya adalah ingin mengkritik agar para kapitalis jujur terhadap keuntungan yang diperolehnya. Maka, dalam konteks dunia INGOs pun dibutuhkan seorang Marxis yang bisa membuat kritik terhadap sistem yang dibangun oleh INGOs agar ia bisa jujur atas apa yang didapatkannya dari kerja-kerja kemanusiaan yang dilakukannya. Di sinilah pentingnya kritik ekonomi bantuan kemanusiaan.

Kepustakaan:
  1. Marx, Karl, “Naskah-naskah Ekonomi dan Filsafat tahun 1844”, (penerjemah Ira Iramanto), Hasta Mitra.
  2. Suseno, Franz Magnis, “Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme”, Gramedia (1999)
  3. Osman, Ibrahim, “Scope of International Humanitarian Crises”, dalam Basics of International Humanitarian Mission (Edited by Kevin M. Cahill, M.D), New York (2003)
  4. William, Roy H, “Rules of Engangement: An Examination of Relationships and Expectations in the Delivery of Humanitarian Assistance”, dalam Basics of International Humanitarian Mission (Edited by Kevin M. Cahill, M.D), New York (2003)
  5. Tanguy, Joelle, “The Sinews of Humanitarian Assistance: Funding Policies, Practices, and Pitfalls”, dalam Basics of International Humanitarian Mission (Edited by Kevin M. Cahill, M.D), New York (2003)
  6. Veuthey, Michel, “Humanitarian Ethical and Legal Standards”, dalam Basics of International Humanitarian Mission (Edited by Kevin M. Cahill, M.D), New York (2003)
  7. --------------------, “Everybody’s Challenge, Essential Documents of Jesuit Refugee Service 1980 – 2000, Roma (2000)
  8. Artikel-artikel dalam Majalah Basis, “Gerakan Sosial Baru”, edisi No. 01-02, Tahun ke-55, Januari-Februari 2006
  9. --------------------, “Proyek Sphere, Piagam Kemanusiaan dan Standar Minimum dalam Respons Bencana”, Grasindo (2006)
ooOOoo


[1] Bdk, Suseno, Franz Magnis, “Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme,” Gramedia (1999), hal. 181-185
[2] Lihat, Suseno, ibid, hal. 185-192
[3] Williams, Roy H, “Rules of Engagement: An Examination of Relationships and Expectations in the Delivery of Humanitarian Assistance”, dalam Basics of International Humanitarian Missions (Edited by Kevin M. Cahill, M.D), New York (2003), hal. 148
[4] ---------, “Proyek Sphere, Piagam Kemanusiaan dan Standar Minimum dalam Respons Bencana”, Gramedia (2006), hal. 16
[5] Disebut bencana teknologis karena bencana itu secara natural disebabkan oleh kesalahan penggunaan teknologi dan atau karena sudah tidak mampunya teknologi menjaga ancaman alam yang bisa menimbulkan bencana.
[6] Lih. Osman, Ibrahim, “Scope of International Humanitarian Crises”, ibid op.cit, hal. 18-34
[7] Osman, Ibrahim, ibid, hal. 18-20
[8] Osman, Ibrahim, ibid, hal. 20-21
[9] Osman, Ibrahim, ibid, hal. 21
[10] Marx, Karl, “Naskah-naskah Ekonomi dan Filsafat tahun 1844”, Hasta Mitra, hal. 35
[11] Marx, Karl, ibid, hal. 41
[12] Veuthey, Michel, “Humanitarian Ethical and Legal Standards”, ibid op.cit. hal. 125
[13] --------------------, “Everybody’s Challenge, Essential Documents of Jesuit Refugee Service 1980-2000, Roma (2000), hal. 14-15
[14] Veuthey, Michel, ibid, hal. 126
[15] Joelle Tanguy, ia adalah Direktur Eksekutif dari MSF USA dan juga dikenal sebagai konsultan untuk lembaga-lembaga kemanusiaan internasional. Tulisan ini berjudul “The Sinews of Humanitarian Assistance: Funding Policies, Practices, and Pitfalls”, ibid op.cit, hal. 200
[16] Tanguy, Joelle, ibid. hal. 201
[17] Marx, Karl, ibid op.cit. hal. 40
[18] Tanguy, Joelle, ibid op.cit. hal. 237
[19] Marx, Karl, ibid op.cit. hal. 33

No comments:

Post a Comment

MAY DAY 2019: KAMI PEKERJA, KAMI BUKAN BUDAK!!!

(feature ini sudah dimuat d Koran Suara Hong Kong 7/5/2019) Lima perempuan mengenakan pakaian hitam dan matanya ditutup dengan kain ka...