Wednesday, January 2, 2019

SAATNYA BERKAWAN DENGAN BENCANA




Seperti ditakdirkan bagi negeri ini, setiap bulan Desember datang maka bencana pun ikut menyertainya. Bencana tanah longsor terjadi di Kabupaten Tawangmangu dan Wonogiri, Jawa Tengah, di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, dan di Gianyar, Bali. Selain itu diberitakan juga banjir telah menerjang beberapa kawasan di Jawa dan menewaskan puluhan orang selain mengakibatkan kerusakan infrastruktur publik (Kompas, 27/12/2007). Semua bencana itu menjadi kado akhir tahun yang kembali memilukan hati. Ratusan orang meninggal akibat tertimbun longsoran tanah dan hanyut tertelan banjir. Rumah penduduk hancur tertimbun tanah dan infrastruktur publik rusak dihantam banjir. Bencana kembali menjadi persoalan di tengah kehidupan masyarakat kita.




Bencana dan prilaku manusia


Bencana alam yang terjadi selalu terkait dengan prilaku manusia. Dalam banyak studi antropologi sering dipaparkan bahwa sejak zaman masyarakat primitif, manusia telah berusaha untuk memahami karakter alam. Pemahaman itu akhirnya dirumuskan dalam berbagai macam mitos. Mitos-mitos itu mendorong manusia untuk menghormati alam dalam berbagai macam bentuk ritual religius. Ritual ini dimaksudkan untuk mengurangi ancaman alam terhadap kehidupan manusia.


Peradaban manusia berkembang sejalan dengan proses modernisasi. Mitos dan ritual religius pun memudar sejalan dengan majunya alam pikir manusia. Manusia akhirnya mengandalkan rasionya untuk memahami alam. Berbagai macam teknologi dikembangkan untuk mengurangi ancaman alam terhadap kehidupan manusia. Manusia pun berhasil mengurangi resiko dihadapan ganasnya alam. Namun, sampai sekarang manusia tidak pernah sempurna untuk menaklukan alam dengan kekuatan rasionya. Secanggih apa pun teknologi yang diciptakan oleh manusia, manusia hanya bisa mengurangi dampaknya dan tidak benar-benar mampu manaklukan keganasan alam.


Semua usaha itu tetaplah penting bagi manusia, namun itu belumlah cukup. Manusia harus mencari cara berkawan yang baik dengan keganasan alam, yaitu menggabungkan berbagai ungkapan budaya (mitos atau ritual religius) sebagai ungkapan hormat kepada alam dan sekaligus menggunakan rasionya untuk menciptakan teknologi agar bisa terhindar dari keganasan alam.




Manejemen Bencana


Di Indonesia, setelah bencana gempa dan tsunami menghantam beberapa daerah di Jawa dan Sumatera, pemerintah terdorong untuk membangun berbagai macam sistem peringatan dini (early warning system) dan cara menanggulangi bencana alam. Namun semua itu belum mampu mengatasi semua jenis bencana alam yang ada di Indonesia. Ambil contoh, ketika di Cilegon, Banten sedang disimulasikan bagaimana menghadapi bencana gempa dan tsunami, di tempat lain bencana tanah longsor datang tanpa sempat dipikirkan cara penanggulangannya. Hal ini menjadi tanda jelas bahwa negeri ini ada banyak jenis bencana alam, seperti gunung meletus, banjir, angin topan, tanah longsor dan lain sebagainya. 

Semua jenis bencana membutuhkan sistem peringatan dini atau cara penanggulangannya. Untuk membangun sistem peringatan dini dan cara penanggulangan bencana yang mencangkup seluruh wilayah Indonesia tentu akan memakan biaya yang sangat mahal dan waktu yang tidak singkat. Karenanya prilaku masyarakat Indonesia sendiri harus berubah dalam menghadapi bencana. Pendekatan budaya dan teknologi harus dilakukan secara bersama-sama. Maka perlu ditempuh strategi lain yang mungkin akan lebih cepat dan efektif untuk menanggulangi dan mengurangi resiko akibat bencana alam yang terjadi. Salah satu strategi yang sekarang marak dibuat adalah manajemen bencana berbasiskan masyarakat (Community Based Disaster Management atau CBDM).


Gagasan ini sudah dipraktekan dan dikembangkan oleh berbagai macam lembaga swadaya masyarakat di Indonesia. Ide untuk menanggulangi bencana berbasiskan masyarakat datang dari kenyataan bahwa saat bencana datang masyarakat setempatlah yang langsung terkena dampaknya. Mereka jugalah yang tahu karakter alam seperti apa yang paling mengancam kehidupan mereka. Ini semua mengandaikan bahwa ancaman alam memiliki sifatnya sendiri-sendiri dan masyarakat perlu membuat manajemen terkait dengan ancaman alam tersebut.


Ada beberapa pilar pokok yang penting dalam CBDM, yaitu: (1) Membuka kesadaran akan kenyataan bahwa bencana alam dekat dengan kehidupan sehari-hari manusia; (2) Alam sebagai faktor penyebab bencana, namun manusia harus bisa hidup berdampingan dengan alam secara bijaksana maka perlu pengetahuan tentang sifat dan karakter alam di mana manusia hidup. Konsep budaya dan kearifan lokal menjadi penting; (3) Manusia dituntut untuk hormat kepada alam, maka alam tidak boleh dieksploitasi habis-habisan oleh manusia. Namun manusia perlu belajar untuk menciptakan berbagai macam teknologi sederhana agar bisa terhindar dari ancaman alam; (4) Manusia harus sadar bahwa dirinya akan menjadi kuat menghadapi keganasan alam secara bersama di dalam komunitas. Ancaman alam tidak hanya untuk perorangan, namun ancaman bagi komunitas. Maka perlu sebuah pemahaman dan kemauan untuk membangun manajemen bersama dalam menghadapi ancaman alam. Proses belajar bersama antar anggota komunitas menjadi kunci keberhasilan bagaimana sistem manajemen ini dibuat; (5) Komunitaslah yang menyusun langkah-langkah praktis, konkret dan sederhana untuk dijadikan panduan dalam menghadapi bencana alam seturut karakter alam yang mereka hadapi. Di dalam panduan juga termuat berbagai macam sistem peringatan dini, cara melakukan evakuasi atau tindakan penyelamatan diri, sampai dengan cara menghadapi bencana yang terjadi.


Semua itu dilakukan di dalam dan bersama komunitas, maka komunitas itulah yang menyusun sebuah menajemen yang khas untuk menghadapi bencana alam yang mungkin akan terjadi. Dasar filosofisnya adalah berkawan dengan bencana maka resiko pun bisa dikurangi secara bersama-sama.

No comments:

Post a Comment

MAY DAY 2019: KAMI PEKERJA, KAMI BUKAN BUDAK!!!

(feature ini sudah dimuat d Koran Suara Hong Kong 7/5/2019) Lima perempuan mengenakan pakaian hitam dan matanya ditutup dengan kain ka...