Awas Para Mucikari Politik Gentayangan!!!
Apa
boleh dikata, bahwa demokrasi tidak bisa mengelak dari para mucikari
politik. Dan hasilnya adalah Sang Otoriter (bisa) diberi panggung untuk
menang.
Gagasan
demokrasi masih dianggap paling waras dari semua sistem negara saat
ini. Akan tetapi demokrasi juga menyediakan lubang besar bagi negara yg
mengimaninya sbg satu-satunya sistem yang baik. Dalam konteks Indonesia
saat ini, demokrasi diam-diam sudah berubah menjadi mobokrasi karena
demokrasi akhirnya membuka partisipasi politik bagi semua saja, termasuk
golongan ultra kanan yang membawa kesalehan agama. Kita mungkin tidak
pernah tahu pasti bahwa mereka yang membawa bendera agama utk
berkontestasi pada pemilu mendatang sudah melakukan deal politik dengan
para agen yang membeli "massa" kelompok-kelompok ultra kanan. Ada banyak
negara yang punya kepentingan dengan Indonesia apalagi selama rezim
Jokowi berkuasa, ada banyak sumber daya yang bisa direbut dan kembali ke
RI.
Tentu banyak pihak
yang punya kepentingan investasi di Indonesia akan meradang. Kita tahu
bahwa banyak pelaku politik di Indonesia (sejak jaman ORLA dan terlebih
ORBA) yang pekerjaannya menggadaikan kekayaan Indonesia ke para pialang
sumber daya alam. Tentu saja mereka tidak mau rezim Jokowi akan menang.
Satu-satunya jalan adalah menggelontorkan dana untuk mendorong gerakan
ultra kanan yg menggunakan kesalehan agama untuk mendapatkan para
pengikut militan. Dan uji coba itu berhasil saat pemilu DKI.
Pola
itu direplikasi utk pemilu presiden dan sebenarnya polanya jelas bahwa
gerakan militansi itu merambah ke semua wilayah dan golongan. Bukan
sekedar Islam, non-Islam pun ada yg mendukung atau terpengaruh dengan
gerakan ini. Bagi saya, situasi saat ini tidak lebihnya para mucikari
politik yang sedang memberi jalan lempang bagi munculnya Sang Otoriter
baru. Jika bukan militer, bisa jadi menggunakan kekuatan para militer.
Ini sangat mengerikan.
Militansi Pemilih
Militansi
pilihan politik (presiden) tidak akan pernah menyentuh rasa (ideologis)
kalau sekedar diberi pameran statistik keberhasilan pembangunan
(insfrastruktur atau berbagai produk kartu-kartu untuk rakyat).
Keberhasilan ekonomi pun belum bisa menggiring calon pemilih utk
menggunakan nalarnya. Karena pada hakikatnya kontestasi politik
(Indonesia) saat ini lebih ditentukan oleh logika agama ultra kanan dan
kapitalisme.
Populisme
tidak dibangun atas gairah utk lebih maju sebagai "bangsa", tetapi masih
menyengat dengan romantisme (rindu) terhadap sosok otoritarian
(masokisme politik). Rasanya kebebasan lepas dari belenggu otoritarian
tidak dirasakan sebuah kenikmatan yang melegakan. Hasrat untuk ditindas
dan saling menindih lebih menggairahkan hasrat (politik) ketimbang hidup
tanpa sebuah siksaan (politik). Tokoh-tokoh yang bisa menampilkan diri
sebagai supra individual jauh lebih mengesan daripada sosok yang
merakyat dan tulus. Lantas apa yang akan terjadi di bulan April 2019?
Kemajuan atau kemunduran (demokrasi)? Supremasi sipil atau militer?
Kapitalisme berbaju agama atau nasionalis? Islam nasionalis atau
non-nasionalis?
Mari kita tentukan pilihan kita dengan baik.
No comments:
Post a Comment