Kalau iklan tari pendet tidak muncul dalam iklan promosi
budaya Malaysia, apakah bangsa Indonesia benar-benar sadar telah memiliki
tarian itu sebagai bagian dari identitas budayanya? Pendakuan Malaysia terhadap
tari pendet telah memicu masalah yang sudah lama terpendam dalam ingatan
kolektif antara Malaysia dan Indonesia yang berakar dari pada idententis yang
sama, yakni rumpun Melayu. Pertanyaannya, siapa sebenarnya yang lebih Melayu,
Indonesia atau Malaysia? Terkait dengan siapa yang lebih Melayu atau yang
berhak menyandang identitas sebagai bangsa Melayu inilah yang membuat relasi
antara Indonesia dan Malaysia selalu diselimuti oleh “perang dingin.”
Identitas Melayu
Dulu, tatkala Indonesia menyatakan dirinya sebagai negeri
bebas dari penjajahan Belanda, para petinggi kerajaan Malaysia pernah
menawarkan agar Indonesia mau bergabung dalam rumpun besar yang dinamakan
bangsa Melayu. Bahasa yang digunakan hanya satu yaitu bahasa Melayu. Tawaran
tersebut ditolak oleh founding fathers
Indonesia, alasannya karena identitas Melayu hanya salah satu bagian saja dari
identitas yang bernama Indonesia. Pluralitas bahasa, suku dan ras di Indonesia
tidak bisa dipayungi hanya oleh salah satu identitas saja. Namun demikian, tawaran Malaysia tersebut bukannya tanpa
landasan sejarah. Pada masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, yang pusatnya
diperkirakan di sekitar Palembang, cakupan wilayah kerajaan ini meliputi
Sumatra, Malaya Peninsula, Borneo, dan Jawa. Kesatuan wilayah tersebut bertahan
cukup lama sampai datangnya masa kolonial. Menurut catatan sejarah, hanya
wilayah Jawa yang melakukan resistensi cukup kuat terhadap hegemoni Sriwijaya
tersebut.
Pada tahun 1824, bekas wilayah kerajaan Sriwijaya itu dibagi
menjadi dua lewat perjanjian Inggris dan Belanda, yang lebih dikenal dengan Anglo-Dutch Treaty. Inggris menguasai
wilayah yang sekarang menjadi negara Malyasia dan Singapura, sedangkan Belanda
mendapat jatah seluruh wilayah yang sekarang bernama Indonesia.
Sejak perjanjian itu, Malaysia dan Indonesia tidak pernah
menjadi satu dalam pemerintahan, entah pemerintahan kolonial atau kerajaan. Namun
demikian, sepenggal ingatan sejarah Malaysia dan Indonesia yang pernah menyatu
di dalam satu pemerintahan Kerajaan Sriwijaya rupanya telah menyisakan guratan
yang mendalam tentang identitas ke-Melayu-an. Identitas Melayu inilah yang
menjadi salah satu ingatan kolektif yang mengikat jalinan relasi dua bangsa
tersebut.
Amartya Sen, dalam bukunya Identity and Violence, the Illusion of Destiny, menegaskan bahwa
identitas kolektif merupakan sebentuk
modal sosial. Kesamaan identitas sebenarnya bisa menjadikan relasi sosial
semakin kuat dan hangat. Namun, seringkali terjadi bahwa ingatan akan identitas
itu tidak selalu berjalan sesuai dengan cita-cita bersama, seperti halnya
identitas ke-Melayu-an yang dimililki oleh Indonesia dan Malaysia. Dalam perjalanan
sejarah, identitas ke-Melayu-an tidak pernah benar-benar membuat jalinan relasi
sosial dan politik di antara kedua bangsa ini menjadi kuat dan hangat. Justru
sebaliknya, hubungan kedua negara ini hari demi hari menjadi semakin runyam dan
renggang. Itu berarti bahwa kesamaan identitas tidak dengan sendirinya
menciptakan modal sosial yang baik dalam membangun komunikasi sosial dan
politik yang sehat. Seperti dikatakan oleh Amartya Sen, bahwa loyalitas
terhadap identitas kolektif sangat ditentukan oleh kebebasan dan cara pandang si
penafsir dalam memahami tatanan nilai, rasa kepemilikan dan sejarah bagaimana cara
mempertahankan identitas tersebut.
Itu artinya, bahwa fakta sejarah yang mengatakan Malaysia
dan Indonesia adalah satu rumpun Melayu yang pernah hidup dalam satu
pemerintahan Kerajaan Sriwijaya, tidak secara niscaya membuat penggalan sejarah
itu menumbuhkan ikatan emosional yang baik di antara keduanya. Bisa saja, fakta
sejarah itu justru menjadi sumber masalahnya, karena diam-diam Malaysia dan
Indonesia menyimpan trauma masa lalu yang belum terselesaikan atau tidak mau
diselesaikan. Dan trauma itu yang menyebabkan Malaysia dan Indonesia selalu
berada dalam situasi “perang dingin.”
Mental Terjajah
Malaysia dan Indonesia pernah mengalami masa-masa trauma
sebagai bekas bangsa terjajah. Cara tafsir terhadap identitas ke-Melayu-an tersebut
sangat terkait dengan kenyataan bahwa kedua bangsa ini pernah mengalami masa
kolonisasi oleh bangsa barat. Haruslah dimengerti bahwa setiap bangsa yang
pernah mengalami penjajahan, pasti menyimpan trauma yang tidak mudah untuk segera
diselesaikan dan dilupakan. Dominick LaCapra dalam bukunya Writing History, Writing Trauma menerangkan pengalaman trauma itu
dalam konsep “displaced sacralization”. Artinya,
di satu sisi ada perasaan bahwa kemerdekaan telah membuat identitas dirinya
bebas dari penindasan penjajah (the colonizer), namun di lain sisi ada perasaan
bahwa citra sang penjajah itu selalu dirindukan untuk dihadirkan kembali dalam
alam pikir dan bertindak. Maka setiap bangsa yang pernah mengalami trauma
penjajahan sebenarnya mengalami ketegangan identitas. Ketegangan itu berjalin
berkelindan dengan proses pembentukan identitas baru paska kolonisasi.
Trauma tersebut biasanya menjadi cacat yang sangat
menghambat pembentukan dan pendefinisian identitas baru paska kolonisasi. Cacat
itu biasanya disebut mental inlander atau terjajah. Repotnya, warisan mentalitas
ini menjadi semakin rumit bagi bangsa yang memiliki pluralitas etnis, agama,
suku dan ras seperti halnya Malaysia dan Indonesia. Mental terjajah ini seringkali
tampak dari kebiasaan untuk mengkerdilkan diri atau rendah diri, yang wujudnya
bisa tampak dalam tindakan untuk merendahkan orang-orang satu bangsa atau
rumpun dalam identitas yang sama. Tidak jarang mental terjajah ini justru
muncul dalam bentuk keangkuhan yang keterlaluan untuk menutupi diri atas
cacat yang sebenarnya sangat memalukan
itu.
Keangkuhan yang dilakukan oleh Malaysia bisa terlihat dengan
upaya-upaya negara ini mendaku tari pendhet, reog ponorogo, batik, dan beberapa
wilayah Indonesia. Keangkuhan Malaysia ini menguat sejak tahun 1990-an, saat
Malaysia mulai mampu membangun kekuatan ekonominya. Kekuatan ekonomi Malaysia
ini menjadi salah satu alat yang sangat ampuh untuk menunjukkan kepada bangsa
tetangganya, terutama Indonesia, bahwa Malaysia bukanlah bangsa Melayu seperti
halnya Indonesia yang masih lemah karena didera persoalan kemiskinan. Malaysia
ingin mewartakan dirinya sebagai bangsa Melayu yang kuat. Di situ tampak dua
hal yang menonjol, pertama keingingan untuk dipandang berbeda sebagai bangsa
Melayu, dan kedua pembentukan citra diri sebagai bangsa yang kuat, sepertinya
halnya imajinasi Malaysia terhadap Inggris yang pernah menjajahnya.
Sedangkan Indonesia yang pernah menyatakan keangkuhannya
dengan sloga besar “Ganyang Malaysia”, ternyata hanyalah bangsa yang bisa
“omong besar.” Ganyang Malaysia itu tidak pernah dibuktikan baik oleh tindakan
nyata atau kekuatan lain yang benar-benar membuat gentar negeri jiran tersebut.
Apa yang dialami oleh Indonesia ini persis sebuah mental terjajah dalam bentuk
yang lain. Indonesia hanya mampu untuk berbicara, namun belum sampai
membuktikan dirinya sebagai bangsa yang kuat dan patut disegani. Buktinya,
sampai sekarang Indonesia masih mengemis devisa ke negeri jiran tersebut,
dengan membiarkan banyak manusia Indonesia menjadi buruh di Malaysia. Melihat
persoalan ini, Indonesia masih kalah dua langkah oleh Malaysia, meskipun
sama-sama bekas bangsa terjajah. Indonesia masih mengalami cacat parah sebagai
bekas bangsa terjajah. Indonesia belum memiliki cukup keyakinan untuk menjadi
bangsa yang kuat baik secara ekonomi, politik dan sosial. Semoga Indonesia mau
belajar dari Malaysia.***
No comments:
Post a Comment