Wednesday, January 2, 2019

IDENTITAS MELAYU DAN TRAUMA PASKA KOLONIAL


Kalau iklan tari pendet tidak muncul dalam iklan promosi budaya Malaysia, apakah bangsa Indonesia benar-benar sadar telah memiliki tarian itu sebagai bagian dari identitas budayanya? Pendakuan Malaysia terhadap tari pendet telah memicu masalah yang sudah lama terpendam dalam ingatan kolektif antara Malaysia dan Indonesia yang berakar dari pada idententis yang sama, yakni rumpun Melayu. Pertanyaannya, siapa sebenarnya yang lebih Melayu, Indonesia atau Malaysia? Terkait dengan siapa yang lebih Melayu atau yang berhak menyandang identitas sebagai bangsa Melayu inilah yang membuat relasi antara Indonesia dan Malaysia selalu diselimuti oleh “perang dingin.”
Identitas Melayu
Dulu, tatkala Indonesia menyatakan dirinya sebagai negeri bebas dari penjajahan Belanda, para petinggi kerajaan Malaysia pernah menawarkan agar Indonesia mau bergabung dalam rumpun besar yang dinamakan bangsa Melayu. Bahasa yang digunakan hanya satu yaitu bahasa Melayu. Tawaran tersebut ditolak oleh founding fathers Indonesia, alasannya karena identitas Melayu hanya salah satu bagian saja dari identitas yang bernama Indonesia. Pluralitas bahasa, suku dan ras di Indonesia tidak bisa dipayungi hanya oleh salah satu identitas saja. Namun demikian,  tawaran Malaysia tersebut bukannya tanpa landasan sejarah. Pada masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, yang pusatnya diperkirakan di sekitar Palembang, cakupan wilayah kerajaan ini meliputi Sumatra, Malaya Peninsula, Borneo, dan Jawa. Kesatuan wilayah tersebut bertahan cukup lama sampai datangnya masa kolonial. Menurut catatan sejarah, hanya wilayah Jawa yang melakukan resistensi cukup kuat terhadap hegemoni Sriwijaya tersebut.
Pada tahun 1824, bekas wilayah kerajaan Sriwijaya itu dibagi menjadi dua lewat perjanjian Inggris dan Belanda, yang lebih dikenal dengan Anglo-Dutch Treaty. Inggris menguasai wilayah yang sekarang menjadi negara Malyasia dan Singapura, sedangkan Belanda mendapat jatah seluruh wilayah yang sekarang bernama Indonesia.
Sejak perjanjian itu, Malaysia dan Indonesia tidak pernah menjadi satu dalam pemerintahan, entah pemerintahan kolonial atau kerajaan. Namun demikian, sepenggal ingatan sejarah Malaysia dan Indonesia yang pernah menyatu di dalam satu pemerintahan Kerajaan Sriwijaya rupanya telah menyisakan guratan yang mendalam tentang identitas ke-Melayu-an. Identitas Melayu inilah yang menjadi salah satu ingatan kolektif yang mengikat jalinan relasi dua bangsa tersebut.
Amartya Sen, dalam bukunya Identity and Violence, the Illusion of Destiny, menegaskan bahwa identitas kolektif  merupakan sebentuk modal sosial. Kesamaan identitas sebenarnya bisa menjadikan relasi sosial semakin kuat dan hangat. Namun, seringkali terjadi bahwa ingatan akan identitas itu tidak selalu berjalan sesuai dengan cita-cita bersama, seperti halnya identitas ke-Melayu-an yang dimililki oleh Indonesia dan Malaysia. Dalam perjalanan sejarah, identitas ke-Melayu-an tidak pernah benar-benar membuat jalinan relasi sosial dan politik di antara kedua bangsa ini menjadi kuat dan hangat. Justru sebaliknya, hubungan kedua negara ini hari demi hari menjadi semakin runyam dan renggang. Itu berarti bahwa kesamaan identitas tidak dengan sendirinya menciptakan modal sosial yang baik dalam membangun komunikasi sosial dan politik yang sehat. Seperti dikatakan oleh Amartya Sen, bahwa loyalitas terhadap identitas kolektif sangat ditentukan oleh kebebasan dan cara pandang si penafsir dalam memahami tatanan nilai, rasa kepemilikan dan sejarah bagaimana cara mempertahankan identitas tersebut.
Itu artinya, bahwa fakta sejarah yang mengatakan Malaysia dan Indonesia adalah satu rumpun Melayu yang pernah hidup dalam satu pemerintahan Kerajaan Sriwijaya, tidak secara niscaya membuat penggalan sejarah itu menumbuhkan ikatan emosional yang baik di antara keduanya. Bisa saja, fakta sejarah itu justru menjadi sumber masalahnya, karena diam-diam Malaysia dan Indonesia menyimpan trauma masa lalu yang belum terselesaikan atau tidak mau diselesaikan. Dan trauma itu yang menyebabkan Malaysia dan Indonesia selalu berada dalam situasi “perang dingin.”
Mental Terjajah
Malaysia dan Indonesia pernah mengalami masa-masa trauma sebagai bekas bangsa terjajah. Cara tafsir terhadap identitas ke-Melayu-an tersebut sangat terkait dengan kenyataan bahwa kedua bangsa ini pernah mengalami masa kolonisasi oleh bangsa barat. Haruslah dimengerti bahwa setiap bangsa yang pernah mengalami penjajahan, pasti menyimpan trauma yang tidak mudah untuk segera diselesaikan dan dilupakan. Dominick LaCapra dalam bukunya Writing History, Writing Trauma menerangkan pengalaman trauma itu dalam konsep  “displaced sacralization”. Artinya, di satu sisi ada perasaan bahwa kemerdekaan telah membuat identitas dirinya bebas dari penindasan penjajah (the colonizer), namun di lain sisi ada perasaan bahwa citra sang penjajah itu selalu dirindukan untuk dihadirkan kembali dalam alam pikir dan bertindak. Maka setiap bangsa yang pernah mengalami trauma penjajahan sebenarnya mengalami ketegangan identitas. Ketegangan itu berjalin berkelindan dengan proses pembentukan identitas baru paska kolonisasi.
Trauma tersebut biasanya menjadi cacat yang sangat menghambat pembentukan dan pendefinisian identitas baru paska kolonisasi. Cacat itu biasanya disebut mental inlander atau terjajah. Repotnya, warisan mentalitas ini menjadi semakin rumit bagi bangsa yang memiliki pluralitas etnis, agama, suku dan ras seperti halnya Malaysia dan Indonesia. Mental terjajah ini seringkali tampak dari kebiasaan untuk mengkerdilkan diri atau rendah diri, yang wujudnya bisa tampak dalam tindakan untuk merendahkan orang-orang satu bangsa atau rumpun dalam identitas yang sama. Tidak jarang mental terjajah ini justru muncul dalam bentuk keangkuhan yang keterlaluan untuk menutupi diri atas cacat  yang sebenarnya sangat memalukan itu.
Keangkuhan yang dilakukan oleh Malaysia bisa terlihat dengan upaya-upaya negara ini mendaku tari pendhet, reog ponorogo, batik, dan beberapa wilayah Indonesia. Keangkuhan Malaysia ini menguat sejak tahun 1990-an, saat Malaysia mulai mampu membangun kekuatan ekonominya. Kekuatan ekonomi Malaysia ini menjadi salah satu alat yang sangat ampuh untuk menunjukkan kepada bangsa tetangganya, terutama Indonesia, bahwa Malaysia bukanlah bangsa Melayu seperti halnya Indonesia yang masih lemah karena didera persoalan kemiskinan. Malaysia ingin mewartakan dirinya sebagai bangsa Melayu yang kuat. Di situ tampak dua hal yang menonjol, pertama keingingan untuk dipandang berbeda sebagai bangsa Melayu, dan kedua pembentukan citra diri sebagai bangsa yang kuat, sepertinya halnya imajinasi Malaysia terhadap Inggris yang pernah menjajahnya.  
Sedangkan Indonesia yang pernah menyatakan keangkuhannya dengan sloga besar “Ganyang Malaysia”, ternyata hanyalah bangsa yang bisa “omong besar.” Ganyang Malaysia itu tidak pernah dibuktikan baik oleh tindakan nyata atau kekuatan lain yang benar-benar membuat gentar negeri jiran tersebut. Apa yang dialami oleh Indonesia ini persis sebuah mental terjajah dalam bentuk yang lain. Indonesia hanya mampu untuk berbicara, namun belum sampai membuktikan dirinya sebagai bangsa yang kuat dan patut disegani. Buktinya, sampai sekarang Indonesia masih mengemis devisa ke negeri jiran tersebut, dengan membiarkan banyak manusia Indonesia menjadi buruh di Malaysia. Melihat persoalan ini, Indonesia masih kalah dua langkah oleh Malaysia, meskipun sama-sama bekas bangsa terjajah. Indonesia masih mengalami cacat parah sebagai bekas bangsa terjajah. Indonesia belum memiliki cukup keyakinan untuk menjadi bangsa yang kuat baik secara ekonomi, politik dan sosial. Semoga Indonesia mau belajar dari Malaysia.***

No comments:

Post a Comment

MAY DAY 2019: KAMI PEKERJA, KAMI BUKAN BUDAK!!!

(feature ini sudah dimuat d Koran Suara Hong Kong 7/5/2019) Lima perempuan mengenakan pakaian hitam dan matanya ditutup dengan kain ka...