Wednesday, January 2, 2019

MISI DAN PEMBENTUKAN IDENTITAS KATOLIK JAWA Membongkar Mitos Superioritas “Iman” Dalam Proses Katolikisasi Para Pribumi


Betapa buruk orang-orang Belanda
telah memperlakukan orang-orang Jawa.
Akan tetapi, kami, orang-orang Jawa Katolik,
haruskah kami berkeluh kesah atas bangsa Belanda Katolik?
Akankah orang-orang Belanda Katolik
juga mau menindas orang-orang Jawa?
(dikutip dari pidato Adrianus Djajasepoetra, seorang calon pastor,
seorang pemuda dari kalangan priyayi Jawa Jogya,
dihadapan KONGGRES MISI INTERNATIONAL
di Utrecht, Belanda, 25-29 September 1922,
dalam Buku Harta dan Surga,
Peziarahan Jesuit dalam Gereja dan Bangsa Indonesia moderen,
Editor: A. Budi Susanto, SJ, Yogyakarta: Kanisius, 1990. hlm. 19)


Misi Katolik yang dilakukan oleh para Jesuit Belanda di Jawa telah menancapkan sebuah “memori” yang tidak pernah hilang dalam kalangan pribumi Katolik Jawa. Proses peng-katolik-an para pribumi Jawa oleh para misionaris Jesuit Belanda sungguh sangat menarik untuk dikaji dan dilihat dari kajian poskolonial. Ada sebuah problem pendefinisian identitas bagi para pribumi Jawa yang memutuskan untuk menjadi orang Katolik. Proses katolikisasi di tanah Jawa tentu saja tidak bisa dilepaskan dari masa yang dinamakan “zaman penjajahan” Belanda di bumi Indonesia, dan terutama di tanah Jawa. Bersamaan dengan itulah, misi Katolik “mendompleng” di atas (dan juga di bawah) pemerintahan kolonial Belanda. Tentu saja, tanpa ada proses penjajahan Belanda di tanah Jawa, kemungkinannya menjadi sangat kecil para pioner Jesuit bisa menembus belantara padang tanah Jawa untuk menyebarkan agama Katolik.
Dalam interaksi antara pribumi Jawa, pemerintah kolonial dan Gereja Katolik Roma, para Jesuit berusaha menanamkan sebuah “budaya” baru kepada para pribumi Jawa lewat berbagai macam cara, salah satu alat yang paling ampuh adalah pendidikan. Para Jesuit sangat terkenal dengan pendidikan asrama. Asrama yang sangat legendaris dan berperan besar dalam misi Jesuit di Jawa adalah Kolese Xaverius, Muntilan. Dari asrama Muntilan inilah dimulai sebuah proses “cuci otak” para pemuda pribumi Jawa untuk mengerti “budaya Katolik” yang dibawa oleh orang-orang Belanda. Peraturan yang sangat ketat dan keras diperlakukan kepada semua murid asrama itu. Maka tidak bisa dihindari bahwa dengan sistem asrama yang “memisahkan” para pemuda pribumi itu dengan dunia aslinya, mereka berhasil dicetak dengan identitas baru, yakni: manusia Katolik Jawa.
Tulisan ini mau melihat bagaimana konstruksi identitas baru di kalangan pemuda pribumi terjadi lewat misi Katolik. Saya membatasi tulisan ini pada pembentukan identitas itu lewat penyebaran iman Katolik yang diwartakan oleh para misionaris Jesuit Belanda. Teks-teks yang saya gunakan untuk melihat proses pembentukan identitas Katolik itu ada di dalam buku Harta dan Surga, Peziarahan Jesuit dalam Gereja dan Bangsa Indonesia modern (Editor: A. Budi Susanto, SJ, Yogyakarta: Kanisius, 1990). Buku ini menyajikan beragam cerita pengalaman dari para pemuda Jawa (dulu) yang memutuskan untuk menjadi Katolik setelah dididik oleh para Jesuit Belanda di Kolese Xaverius, Muntilan dan institusi pendidikan Jesuit lainnya.
Dari berbagai macam rangkaian pengalaman, cerita, dan tulisan sejarah terkait dengan misi Katolik tersebut, saya akan membaca seluruh teks itu dalam perpektif poskolonial. Para penulis ataupun orang yang berupaya untuk menjadikan poskolonial sebagai pendekatan untuk memahami masa kolonial dan “pascakolonial” sangatlah banyak, sebut saja seperti Frantz Fanon, Edward Said, Aijaz Ahmad, Homi Bhabha, Gayatri Chakravorty Spivak, Amilcar Cabral, Leela Gandhi dan lain-lainnya. Dari sekian pemikir poskolonial tersebut, saya akan menggunakan kerangka pemikiran Homi Bhabha dalam memahami masalah kolonisasi dan masa sesudahnya. Dalam kajian tentang identitas kolonial, Bhabha mengajukan tiga konsep kunci, yaitu ambivalensi, mimikri, dan hibriditas. Tiga konsep kunci inilah yang akan saya gunakan untuk membaca kembali secara kritis teks-teks yang ada dalam buku Harta dan Surga tersebut.

I. Hegemonisasi dalam Misi Katolik

            Salah satu jejak yang belum terhapus dari strategi misi Jesuit Belanda untuk menyebarkan paham Katolik adalah Kolese Xaverius Muntilan. Sebuah tempat pendidikan yang dirancang khusus untuk para pemuda pribumi dengan model yang khas pendidikan Jesuit. Ciri khas model pendidikan Jesuit adalah asrama atau biasa disebut kolese. Selain itu, biasanya asrama atau kolese tersebut hanya dikhususkan untuk laki-laki saja. Maka, yang masuk ke Kolese Xaverius Muntilan pada waktu itu semuanya laki-laki. Para laki-laki pribumi itulah yang akan dijadikan perintis penyebaran “iman Katolik”. Mereka harus dididik secara khusus. Para misionaris Jesuit yang mengawali penyebaran paham iman Katolik di tanah Jawa sangat yakin bahwa pendidikan model asrama akan sangat efektif dan strategis untuk menanamkan benih kekatolikan bagi para laki-laki di Jawa. Singkatnya,  menjadi Katolik bagi anak muda Jawa pribumi pada masa kolonial berarti harus masuk dalam tata cara pendidikan asrama.
Pendidikan asrama adalah cara paling jitu untuk mengkosongkan kesadaran orang muda Jawa dari “masa lalu”-nya. Di dalam asrama, anak muda Jawa mulai mengenal kata disiplin. Disiplin menjadi sebuah kosa kata ampuh yang menyihir para pemuda untuk masuk ke dalam sebuah budaya baru. Dari banyak cerita yang termuat dalam buku Harta dan Surga, kata disiplin ini sangat menempel lekat dalam ingatan para pemuda pribumi yang akhirnya menjadi Katolik. Disiplin tata cara hidup itu bisa terbaca lewat peraturan dan pengaturan waktu yang ketat dan keras. Cerita R.G. Doeriat bisa memberi ilustrasi menarik tentang kata disiplin itu.  Demikian katanya:
“Pastor Berndsens SJ, yang menjadi surveilant pertama dalam Andreasan itu. Sejak awal saya dimasukkan dalam suatu tata cara hidup keras dan ketat mulai pagi hingga malam. Yang menarik pada diri saya ialah bahwa dengan pendekatan Pastor Berndsens SJ itu, setiap sore saya dan kawan-kawan diajak berdoa malam, walaupun saya tidak tahu apa-apa mengenai kekatolikan. Tetapi saat itulah saya menyadari bahwa benih-benih kekatolikan mulai ditanamkan dalam diri saya tanpa saya sendiri menyadari.” (Budi Susanto, hlm. 46)

Cerita Doeriat ini bisa sedikit memberi gambaran bagaimana cara para Jesuit Belanda menanamkan “budaya baru” kepada pribumi Jawa. Apa yang membuat para pemuda pribumi masuk ke dalam asrama tersebut? Tentu saja jawabannya sangat beragam, namun konteks saat itu bahwa bumi Indonesia, terutama tanah Jawa, masih dalam cengkraman Kolonial Belanda. Fakta ini tidak bisa diabaikan. Para pemuda Jawa tentu tidak bisa lepas dari situasi penjajahan tersebut. Posisi Sang Penjajah (the colonizer) dihadapan Sang Terjajah (the colonized) selalu dalam posisi tidak setara. Ada dominasi ekonomi, sosial dan politik, dan dominasi itu bisa terbaca lewat penguasaan “rejim administrasi” yang di buat oleh Sang Penjajah. Dominasi atau penguasaan yang terjadi  hampir di seluruh aspek kehidupan di dalam masyarakat terjajah, tidak saja di dalam wilayah publik, namun juga masuk ke ruang-ruang privat sang terjajah. Agama adalah salah satu ruang privat tersebut. Maka, agama baru yang dibawa oleh kolonial Belanda tentu saja menjadi pesona bagi para pribumi Jawa untuk masuk ke dalamnya. Agama itu memberikan sebuah daya tarik untuk mengubah nasib hidup mereka. Karenanya, untuk bisa menjadi setara dengan kultur para kolonial, mereka harus “rela” untuk masuk dalam penguasaan sistem kolonial tersebut.
Penguasaan itu bisa terpampang secara jelas lewat berbagai macam aturan dan kontrol. Dalam konteks misi di Jawa, aturan dan kontrol dari pemerintah kolonial telah menjadi “alat pendukung” untuk menjalankan misi tersebut. Dukungan itu bisa dibaca lewat dokumen dari Departemen Pengajaran & Agama, No. 20.X/F. Rahasia. Sedangkan tanggal dan tempatnya tertulis: Batavia Centrum, 19 Januari 1931. Dokumen ini berisi beberapa pokok artikel yang menerangkan kegiatan misi Kristen dan penginjilan di Indonesia dan terutama di Jawa. Dalam artikel 10 tertulis demikian:
“10. Sudah jelas betapa luas terbuka lapangan untuk kegiatan misi Roma Katolik – juga dalam hubungan dengan bentuk organisasinya (kongregasi-kongregasi) – tanpa dalam geraknya dirintangi oleh Artikel 127 I.S. Dengan memberi kebebasan bagi pekerjaan sosial kepada zending dan misi – kegiatan tak langsung yang mempersiapkan pekerjaan penginjilan langsung – pekerjaan yang menurut pendapat serentak dari Pemerintahan berturut-turut mempunyai hak atas bantuan dari penguasa (cf. Bijblad 5604, 10606), memungkinkan pekerjaan penginjilan yang intensif juga tanpa “persetujuan khusus”. Pemerintah Eropa dalam urusannya harus tidak hanya tidak mengadakan campur tangan yang kurang pantas yang dapat merugikan pekerjaan penginjilan, melainkan juga bahkan memberi bantuan, di mana tidak dapat dipandang membahayakan ketertiban umum, dan melindungi orang-orang yang baru masuk agama terhadap “gangguan” dan “siksaan” kepala-kepala (penguasa-penguasa?) Pribumi dari agama-agama lain (Bijblad 4642, 5604)”. (Budi Susanto, hlm. 26).

     Dari dokumen ini terbaca jelas bagaimana dukungan pemerintah kolonial Belanda terhadap karya misi Roma Katolik. Bahkan, pemerintah kolonial dengan tegas menyatakan perlindungannya terhadap pribumi yang baru masuk agama Katolik dari ancaman agama-agama pribumi. Dalam dokumen yang sama, pemerintah kolonial juga secara tegas mendukung misi Jesuit untuk mendirikan sekolah para imam di Jawa. Artikel 13 dalam dokumen yang sama tertulis demikian:
“Demikian pula orang-orang awam Katolik terkemuka, seperti anggota Raad van Indie, anggota Volksraad, wakil Misi, Pengurus Perkumpulan-Perkumpulan Katolik terpenting dan bekas Menteri Koolen yang kebetulan ada di sini juga diundang menghadiri peristiwa besar itu. Karenanya didirikannya Seminari St. Petrus Kanisius (yang bergabung dengan Kolese Ignasius) sangat menguatkan pendidikan imam pribumi di Hindia, yang kira-kira dua puluh tahun sebelumnya dimulai dalam ukuran kecil di Kolese Xaverius di Muntilan oleh Pastor J. Mertens dan F. van Lith”. (Budi Susanto, hlm. 27-29)

            Usaha Misi Katolik di tanah Jawa secara sistematis dilakukan oleh para Jesuit Belanda. Romo van Lith adalah salah satu misionaris pembuka jalan dari proses Katolikisasi di tanah Jawa. Dari dokumen ini, bisa diungkap secara jelas bagaimana pemerintah kolonial sangat berperan besar dalam memberi ruang pada misi Katolik. Tentu saja, keterbukaan pemerintah kolonial untuk mendukung misi Katolik tidak bisa dilepaskan dari tujuan-tujuan kolonisasinya. Homi Bhabha menerangkan secara tajam bahwa apa yang dibuat oleh pemerintah kolonial dengan mendukung misi lewat penetapan berbagai peraturan adalah sebuah bentuk penciptaan “apparatus of power” dalam proses kolonisasi. Apparatus of power dalam konteks kolonisasi tidak saja berhenti pada proses pemberlakuan sistem administrasi dan instruksi saja, namun lebih dari itu, kekuasaaan itu mendorong munculnya konstruksi wacana tentang pembentukan “subyek manusia” agar bisa memiliki identitas baru. Maka bisa dimengerti dalam konteks ini bahwa misi sebagai proses katolikisasi para pribumi Jawa, sebenarnya bertujuan untuk membentuk subyek-subyek di tanah jajahan dengan identitas baru. Identitas Katolik adalah salah satu model yang diinginkan oleh pemerintah kolonial agar pribumi terjajah mampu memiliki peradaban berbeda dengan apa yang secara umum sudah ada di tanah jajahan. Perbedaan itu terletak pada aspek kulturnya. Kultur (atau agama) sang penjajah pasti lebih baik dari pada kultur (atau agama) para pribumi terjajah.
            Dalam dokumen di atas bisa dilihat bahwa pribumi yang kemudian memeluk agama Katolik dilindungi oleh pemerintah kolonial dari ancaman agama pribumi. Maka, dalam konteks misi di tanah Jawa juga, proses katolikisasi tersebut jelas ikut membuat proses kolonisasi itu semakin kuat. Bhabha mengatakan bahwa dalam setiap kolonisasi selalu ada proses “exlusion through inclusion that purports to accept the ‘good native’ all the better to exlude and denounce the majority ‘bad natives’. Dari konsep Bhabha ini, bisa dimengerti bahwa proses misi dengan tujuan membuat pribumi Jawa memeluk agama Katolik, sebenarnya terkandung unsur pembedaan secara “disengaja” antara agama pribumi yang berwajah ‘buruk’ dan agama yang dibawa oleh kolonial yang berpenampilan ‘baik’.
            Kembali pada pengalaman para pribumi Jawa yang pertama kali memeluk agama Katolik. Mereka selalu terkesan oleh cara mereka dididik oleh para Jesuit di dalam asrama. Pendidikan di dalam asrama yang disiplin, menjadi salah satu tanda paling nyata bahwa proses penanaman kesadaran akan budaya baru itu terjadi. Secara sederhana bisa dipahami bahwa dengan hidup disiplin, para pribumi itu merasa seperti para pastor Jesuit Belanda yang memiliki budaya disiplin tinggi. Hidup disiplin berarti berbudaya tinggi selayaknya para pastor Jesuit Belanda. Dan itu adalah sebuah model hidup yang sempurna. Dengan demikian, sebenarnya menjadi Katolik bagi pribumi Jawa adalah sebuah mimikri. Mereka “meniru” kehidupan orang-orang Katolik Belanda, secara khusus mengidentifikasikan dirinya dengan para misionaris Jesuit Belanda, sebagai proses untuk mendudukan diri mereka sejajar dengan orang Belanda (Sang Penjajah). Meskipun mereka sama dalam iman atau agama, namun mereka tetaplah pribumi.
            Proses mimikri itu dengan amat jelas diungkapkan oleh Adrianus Djajasepoetra, seorang calon pastor SJ yang berpidato di Konggres Misi Internasional di Utrecht, Belanda pada tanggal 25-29 September 1922. Demikian nukilan teks pidatonya:
“Dahulu kala sebelum kami menerima pembaptisan dengan Air Utama dan dihiasi dengan nama kehormatan Katolik, kami memang bangsa asing; tetapi tidaklah demikian halnya sekarang. Sekarang kami adalah orang Kristen dan Katolik. Kekatolikan dan nama “Katolik”lah yang sungguh mempersatukan kami dengan saudara. Adalah nama yang sama yang menyurutkan air laut dan samudera, yang meratakan bukit dan gunung dengan tanah.” (Budi Susanto, hlm. 18)
    
Perasaan untuk setara dengan bangsa Belanda bagi orang Jawa seperti dikatakan oleh Djajasepoetra merupakan pengalaman emansipatif. Di dalam kelanjutan teks pidatonya ia mengatakan demikian:
“Dahulu, kami orang Jawa bagaikan ikan dalam air keruh yang menyesakkan, berkeliaran mendambakan udara segar dan bernafas lega. Tetapi, tatkala berkah Agama saudara mengalir kedalamnya, air itu menjadi bening berkilauan dan kami sementara itu mampu bernafas lega”. (Budi Susanto, hlm. 19)

Ungkapan itu menjadi sebuah “signifikasi” yang amat konkret bahwa menjadi orang Katolik sebenarnya masuk dalam oase emansipatif dari keterbelengguan situasi sosial, ekonomi dan politik yang juga diciptakan oleh Sang Penjajah. Maka dari itu, proses emansipasi itu tetap saja berada dalam konteks kolonisasi. Para pribumi Jawa yang memeluk agama Katolik merasa lepas dari sebuah pengalaman buruk, karena mereka merasa dianggap sama dengan orang Belanda, karena mereka beriman Katolik. Akan tetapi, iman dalam proses katolikisasi itu tidak pernah bebas dari kepentingan. Penyebaran iman itu tetap saja memuat aspek-aspek hegemonik dari para kolonial Belanda, termasuk di sini para misionaris Jesuit Belanda, untuk menguasai para pribumi Jawa. Iman yang diwartakan dalam sebuah selubung misi itu tetap mengandung relasi kuasa yang sangat kuat.
Kenyataan tersebut menegaskan bahwa proses misi yang berjalan bersamaan dengan imperealisme dan kolonisasi tidak hanya menempatkan wilayah jajahan sebagai sebuah wilayah yang terbuka untuk eksploitasi sumber-sumber ekonomi saja, melainkan tempat untuk menancapkan penguasaan sistem sosial dan kultural yang berbeda dengan dunia sang penjajah. Itu berarti bahwa dalam proses misi dan pengkatolikan para pribumi Jawa merupakan bagian dari usaha kolonial untuk memperlihatkan sistem iman dan agama yang mereka bawa tetaplah sistem iman dan agama yang “paling baik” dibandingkan dengan sistem iman dan agama pribumi yang buruk atau jelek.
Oleh karena itu relasi antara Jesuit Belanda dan para pribumi Jawa yang “dikader” untuk menjadi orang Katolik tidak pernah lepas dari hubungan seorang Belanda yang “superior” dan pemuda lugu Jawa pribumi yang “inlander.” Para pemuda Jawa pribumi melihat betapa seorang Jesuit Belanda begitu agung dan sangat mengagumkan. Mereka disiplin, pandai, bertata kehidupan moderen, dan seribu impian tentang betapa sosok Pastor Belanda Katolik itu adalah wujud budaya yang agung. Dan lewat asrama itulah, para pemuda Jawa tersebut dididik tata cara Belanda. Mereka didril untuk menguasai bahasa Belanda secara fasih, mereka diajari tentang sejarah Belanda, dan bahkan mereka diajari untuk memegang sendok makan. Tidak hanya itu, urusan ke kamar mandi pun mereka diajari oleh para pendidik Jesuit Belanda tersebut.
Penggambaran itu semakin menunjukkan bahwa proses pendidikan pribumi Jawa untuk menjadi Katolik yang dilakukan oleh para Jesuit Belanda sebenarnya menjadi bagian dari proses subjekifikasi para pribumi Jawa untuk menjadi manusia berindentitas baru. Identitas baru sebagai orang Katolik, tidak lain merupakan ciri khas kolonisasi yang oleh Bhabha disebut sebagai “two place at once”. Para misionaris Jesuit Belanda yang berupaya untuk meng-katolik-kan para pribumi Jawa, sebenarnya sedang berfantasi bahwa cara beriman, beragama, dan juga cara berbudaya yang berada di negeri Belanda sebisa mungkin dipindahkan di tanah Jawa. Salah satu cara untuk “copy paste” model beriman dan beragama tersebut ialah dengan membuat sebanyak mungkin para pribumi Jawa untuk menjadi Katolik.
Oleh karena itu, model asrama menjadi alat yang paling efektif untuk mencetak manusia-manusia baru tersebut. Lewat asrama maka proses penanaman iman dan cara beragama itu dilakukan lewat sistem pendidikan yang teratur, disiplin dan terkontrol. Itu berarti bahwa iman Katolik menjadi “luhur atau agung” dibandingkan dengan iman dari agama asli pribumi karena agama kolonial itu mengandung unsur disiplin, teratur dan terkontrol. Semua itu menjadi bagian integral dari pendidikan para misionaris Jesuit Belanda. Di sinilah pesona pendidikan kolonial Belanda, bahwa pendidikan bisa membuat orang “maju dan moderen”. Karena itu, bagi para pribumi Jawa yang memutuskan untuk memeluk iman Katolik, berarti dia sudah menjadi bagian dari peradaban “moderen dan maju” tersebut.  Pesona sebuah kehidupan yang maju dan moderen itu menjadi salah satu kunci yang membuat para pribumi Jawa memutuskan untuk menjadi Katolik. Peradaban yang moderen dan maju itu, haruslah disebarluaskan kepada masyarakat pribumi yang lain. Demikian kesaksian Doeriat:
“Namun kami tetap dididik untuk menjadi orang Jawa yang nasionalis sebagaimana kami rasakan bahwa bersama mereka saya diajak untuk mendidik, mencerdaskan kehidupan para orang desa. Saya memang merasakan keras dan ketatnya pendidikan Jesuit, bahkan terlalu kaku kalau dirasakan. Kita dilarang bergaul dengan orang luar, mungkin dimaksudkan agar kita kuat dahulu, sehingga nantinya dalam berbagai gejolak yang datang, kita tetap teguh berdiri berdasarkan pada semangat yang teguh”. (Budi Susanto, hlm. 53-54)

Sebuah pesona tentang perasaan sebagai manusia maju dan modern tersebutlah yang akhirnya membuat Doeriat memutuskan menjadi Katolik, demikian ungkapnya:
“Saya tidak pernah merasa dipaksa menjadi Katolik, tetapi melihat kehidupan mereka dan cara hidup mereka yang begitu menarik, membuatku terpana dan akhirnya tanpa persetujuan orang tua saya menyediakan diri untuk dibaptis”. (Budi Susanto, hlm. 54)

Dari seluruh proses pendidikan lewat asrama itu, benih iman Katolik ditanam atau dicangkokkan ke dalam kesadaran para pemuda pribumi Jawa. Benih Katolik itu  bersumberkan pada budaya Katolik Belanda. Dengan demikian, proses katolikasasi para pribumi Jawa yang dilakukan oleh misionaris Jesuit Belanda sebenarnya adalah sebuah mimikri. Para pribumi Jawa meniru sebuah cara beriman atau pun beragama para Jesuit Belanda, bukan pertama-tama mereka tertarik pada subtansi iman itu sendiri, melainkan mereka tertarik oleh manifestasi cara hidup para misionaris Jesuit Belanda. Cara hidup mereka yang menampilkan peradaban yang moderen, maju, cerdas, bependidikan “Barat” telah membuat para pribumi Jawa takluk di bawah pesona itu. Maka, selain keputusan untuk menjadi Katolik merupakan proses emansipasi bagi para pemuda pribumi Jawa, katolikisasi yang dilakukan oleh Jesuit Belanda merupakan representasi dari kekuasaan kolonial. Pengkatolikan itu adalah proses hegemonisasi para pribumi Jawa lewat proses pendidikan asrama yang menawarkan cara hidup yang “berbeda” dengan kebanyakan kaum pribumi.

II. Iman yang Ambivalen

Lantas menjadi soal di sini, iman macam apa yang kemudian tumbuh di kalangan para pemuda pribumi itu? Iman itu sesuatu yang sangat subtil dalam dasar kesadaran setiap manusia, namun apakah konstruksi iman bisa lepas dari lingkungan budaya itu tumbuh? Bagi pribumi Jawa yang semula merasakan, memikirkan, menyadari, dan membayangkan sebuah iman yang berbasis pada kultur Jawa. Pertanyaannya, melalui proses “cuci otak” dalam asrama, apakah mereka meninggalkan iman yang berasal dari budaya asli mereka? Dengan bertemu dengan iman model Jesuit Belanda, apakah mereka juga memformulasikan iman yang lebih agung dan tinggi “derajat”-nya dibandingkan iman asli Jawa mereka?
Jika pertanyaan-pertanyaan itu diletakkan dalam konsep Bhabha, maka iman para pribumi Jawa itu merupakan iman yang ambivalen. Dengan mempertahankan model iman itu, mereka memproduksi sifat superioritas iman kolonial Belanda yang mereka tiru dari para misionaris, namun di lain pihak mereka juga tidak bisa meninggalkan identitas kejawaan mereka. Apa pun alasannya, mereka tetaplah orang yang berakar pada budaya Jawa. Meskipun di dalam diri mereka tumbuh sebuah kesadaran baru untuk menjadi maju, moderen dan memegang teguh iman model misionaris Belanda, mereka tidak bisa meninggalkan identitas asli mereka. Bahkan pendidikan yang mereka dapatkan secara moderen dari para misionaris semakin membuat mereka sadar akan identitas mereka sendiri. Persoalan identitas lantas menjadi salah satu hal yang penting bagi para pribumi Jawa yang memeluk agama Katolik.
Ketegangan untuk mempertahankan identitas akibat proses kolonisasi oleh sang terjajah sering diungkapkan dengan ejekan. Namun demikian dalam melakukan ejekan itu, mereka sekaligus menginginkannya. Bhabha mengatakan “derided and also desired”. Sikap ini muncul di kalangan para pribumi Jawa yang sudah menjadi Katolik. Gejala tersebut bisa ditangkap dari ungkapan Sandjaja, seorang calon imam Jawa demikian:
“Mengagumkan orang Jawa dapat berbicara bahasa Belanda dengan fasih.
Mengagumkan orang Jawa dapat berbicara bahasa Perancis “nricis” (lancar).
Mengagumkan orang Jawa dapat berbicara bahasa Inggris “wasis” (baik sekali).
Lebih mengagumkan lagi orang Jawa tidak dapat bicara bahasa Jawa.”

Iman itu sesuatu yang sangat terkait dengan persoalan teologis, namun di sini saya ingin melihat iman itu juga sebuah proses pembentukan cara merasa, cara melihat, cara mencecap, cara membayangkan sesuatu yang subtil terkait dengan yang Esa, yaitu Tuhan. Dalam konteks ajaran Katolik, Sang Junjungan Agung itu adalah Kristus. Namun demikian, iman itu tetaplah perlu sarana pengungkapan yang jelas. Sarana untuk mengungkapkan iman adalah lewat bahasa. Menjadi menarik di sini bahwa dalam sebuah polemik yang terdapat dalam majalah Katolik SWARA TAMA, sebuah majalah Katolik mingguan pertama. Di majalah ini para pemuda Katolik pribumi memperdebatkan penggunaan bahasa Jawa. Ungkapan Sandjaja itu adalah bagian dari polemik tentang bahasa Jawa tersebut.
Ini mau menunjukkan bahwa proses pengkatolikan yang membuat para pribumi Jawa bisa memeluk iman Katolik, tidak bisa langsung menghancurkan apa yang secara “naluriah” mereka miliki, yakni perasaan dan citra rasa Jawa. Perasaan dan citra rasa itu paling kentara bisa dipahami lewat penggunaan bahasa. Itu artinya bahwa pengungkapan iman pun perlu mendapatkan citra rasa yang sama. Oleh karena itu, bisa saja disangsikan bahwa gambaran iman pribumi Jawa dan orang Belanda yang sama-sama bertumpu pada Kristus, dalam konteks citra rasa ini menjadi sangat berbeda. Dari sini menjadi jelas, bahwa proses iman yang tumbuh dalam dua budaya sekaligus, yakni Jawa dan Belanda akan bersifat ambivalen. Ambivalensi iman ini menjadi corak dari proses agama yang disebarkan bersamaan dengan proses imperialisme dan kolonisasi.
Mengomentari polemik bahasa yang terjadi di SWARA TAMA yang kemudian berubah menjadi majalah PRABA, Budi Susanto membuat catatan yang sangat menarik demikian:
“Sampai tahun-tahun akhir 1960-an majalah PRABA (terbit sepuluh hari sekali) ditangani beberapa bekas redaksi SWARA TAMA dan misionaris Jesuit bernama samaran; beberapa Jesuit pribumi bergantian menjabat direksi. Beberapa peristiwa tersebut kiranya mencerminkan kenyataan bahwa “polemik bahasa” (dan berbagai perkara yang terkait) dalam kehidupan Gereja Katolik adalah sesuatu yang cukup rumit. Mungkin, serumit bagaimana “memanfaatkan” kekhasan (budi) bahasa Jawa yang terlanjur mempunyai adat Krama dan Ngoko!” (Budi Susanto, hlm. 91).

     Dari situ bisa terbaca bahwa polemik bahasa akhirnya menjadi polemik identitas. Dalam waktu yang bersamaan, para pribumi Katolik merasa menjadi bagian dari sebuah kultur Belanda, namun sekaligus mereka adalah orang pribumi Jawa. Situasi itu oleh Bhabha disebut sebagai “splitting” dan sekaligus “doubling”. Para pribumi Jawa yang menganut paham Katolik merasakan bahwa mereka menginginkan model beriman seperti orang Belanda, namun mereka juga menginginkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain itu terjadi setelah mereka sadar bahwa dirinya tetap orang Jawa. Inilah yang disebut “splitting” dalam konsep Bhabha. Sedangkan proses “doubling” dipahami sebagai bentuk ingin mewujudkan dua identitas sekaligus, sifat ke-Jawa-an namun iman Belanda, dan semuanya itu diinginkan dalam satu tempat (desiring to be in two place at once). Iman model Belanda itu tumbuh dan berakar dalam tradisi Belanda (Barat), namun proses mereka memahami, menginternalisasikan, bahkan juga mewujudkannya iman itu tetap masih dalam konteks Jawa. Konteks Jawa paling konkret bisa terlihat dalam penggunaan bahasa Jawa dan bukan bahasa Belanda.
Lantas pertanyaan yang kemudian meloncat keluar dari fakta ini adalah: Model Kristus seperti apa yang diwariskan oleh Jesuit Belanda dalam konteks kolonisasi? Jawaban ringkasnya: Kristus yang dihayati oleh para pribumi Katolik memiliki wajah ganda: “Jawa – Londo”. Tampaknya, persoalan ini sulit dilihat dari kacamata teologis, maka perspektif ini bisa menolong teologi untuk menjabarkan lebih lanjut cara beriman para pribumi Katolik Jawa yang diwariskan oleh para Jesuit Belanda. Artinya, iman warisan Jesuit Belanda yang dihidupi oleh para pribumi Jawa, sebenarnya sebentuk iman yang berada dalam tegangan itu. Tegangan antara ke-Jawa-an dan ke-Londo-an.
Karena itu, dengan melihat dimensi ambivalen yang berkembang dalam cara beriman di kalangan para pribumi Jawa, kajian teologis tidak akan jatuh pada esensialisme yang seringkali dilakukan oleh para teolog. Pendapat yang mengatakan bahwa orang beriman Katolik pasti memiliki paham dan pembayangan tentang Kristus yang sama, seperti apa yang diwariskan oleh para misionaris, menjadi sulit diterima di sini. Ambivalensi iman sebagai warisan kolonial, tidak menunjukkan bahwa iman itu sebagai sesuatu “entitas yang tunggal dan universal” seperti itu.

III. Iman Katolik dan Perasaan Nasionalisme

            Stigma yang mengatakan bahwa agama Katolik adalah agama penjajah, ternyata sudah dialami generasi awal pribumi Katolik. Ungkapan ini sering saya dengar dari orang-orang beragama lain, misalnya Islam. Stigma ini ternyata sudah ada sejak proses katolikisasi itu berjalan di bawah bayang-bayang kolonialisme. Ada catatan dari Romo Pranatawidjaja SJ yang menggambarkan bagaimana stigma itu diberikan kepada para pribumi Katolik. Tulisan yang didasarkan pada pengalamannya dipenjara oleh kelompok Hisbullah, menggambarkan hal itu:
“Konon mereka itu tentara Hisbullah, mereka tampak bersemangat. Salah seorang dari mereka, tampaknya komandannya, mengeluarkan serentetan kata-kata penghinaan: Orang muda kok tidak angkat senjata, mengusir musuh. Apa tidak suka merdeka? Tidak ingin menjadi kaya? Ada yang ingin dibunuh? Dari pada hidup sengsara mesti meringkuk dalam penjara? Kok pemuda lain berjuang, situ malah nyanyi-nyanyi, bidden-bidden untuk Wilhelmina! Ah…itulah motivasi mereka “mengamankan” kami. Paham “agama Katolik adalah agama Wlondo” agaknya masih mangakar dalam-dalam di hati mereka”.

            Catatan sejarah ini menjadi penjelas bagaimana sulitnya memiliki identitas pribumi Katolik di tengah mayoritas non-katolik yang mengalami “sakit”-nya dijajah oleh Belanda. Ini menjadi salah satu sebab, mengapa para pribumi Katolik tidak ingin divonis begitu saja sebagai pengikut “agama wlondo”. Karenanya, mereka harus menunjukkan otentisitas dirinya. Problem otentisitas ini pula yang oleh Bhabha dijadikan bahan dasar untuk mengkaji problem ambivalensi yang muncul di kalangan para terjajah. Penentuan otentisitas diri bahwa orang Katolik pribumi bukanlah pendukung Belanda, dengan sangat jelas diperjuangkan oleh para pribumi Katolik pada awal revolusi kemerdekaan.
Catatan sejarah yang menerangkan bahwa para pribumi yang memeluk agama Katolik bukanlah “antek” penjajah bisa terbaca lewat tulisan Franz Seda. Dia memang bukan orang Jawa, namun dia didik juga di Kolese Xaverius, Muntilan. Berikut adalah petikan tulisannya:
“Jiwa muda mana yang mau ketinggalan! Setiap hari mendengar radio, pidato Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir dan pidato Bung Tomo yang pada setiap jam 20.00 di RRI diantar oleh musik yang khas, sepertinya menggelitik dan menghasut, dilanjutkan dengan pidato yang berapi-api dengan suara yang menggeledek! Benar-benar jiwa dibakar! Sementara itu perkembangan keadaan tidak sedemikian semarak bagi umat Katolik (dan Kristen). Mereka dicurigai, dicap anjing NICA atau Belanda, dan mata-mata musuh! Di Tangerang terjadi pembantaian terhadap umat Kristen. Sampai-sampai P.M. Syahrir naik pitam dan mengecamnya dengan keras! Di Gunung Tidar di Magelang sejumlah rohaniwan dibunuh, yang dari Muntilan adalah Romo Schouten, Fr. Minderop dan Fr. Mooi….Saya sendiri pernah diancam oleh seorang kawan, untuk segera menghilang, sebelum “digunungkidulkan”. (Budi Susanto, hlm. 77-78)

            Tentu tidak mudah bagi pribumi Katolik untuk menentukan identitas mereka di tengah mayoritas pribumi yang menolak warisan kolonial. Kecurigaan kepada kelompok Katolik sebagai perpanjangan tangan penjajah akan sangat mudah ditempelkan kepada mereka. Maka, satu-satunya cara agar stigma itu bisa hilang adalah dengan menunjukkan bahwa mereka juga melakukan perlawanan terhadap penjajah. Demikian deskripsi yang diberikan oleh Franz Seda:
“Tapi kembali ke tahun 1945. Ke masa pembentukan PKRI (Partai Katolik Republik Indonesia) yang dengan tegas memilih dan memihak Republik. Dengan tegas mengutuk kolonialisme Belanda. Kata Pak Kasimo, “Kami akui dan sangat berterimakasih kepada rakyat Belanda yang telah merelakan para misionaris mereka datang mendidik dan mengajar tanpa pamrih. Namun! Kami tidak bisa lain daripada memihak RI dan menentang Belanda. Kami harus memihak bangsa kami dalam pejuangan melawan ketidakadilan dan ketidakperikemanusiaan dari kolonialisme. Seperti yang senantiasa dicanangkan Romo Van Lith di masa lalu.” Sikap PKRI dirasakan seperti menusuk hati di sementara kalangan Belanda, juga di kalangan kita sendiri! Lebih lanjut lagi, dengan memihak RI, Partai Katolik RI memilih jalan revolusi untuk mencapai kemerdekaan yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Katolik dan diterima dengan curiga oleh sementara kalangan kita sendiri”. (Budi Susanto,hlm. 78-79)  

Dilema identitas seperti itu tentu saja menghinggapi tidak saja para awam pribumi Katolik, namun terlebih para pribumi yang memilih untuk bergabung menjadi imam di kongregasi Jesuit. Tetapi seiring dengan berkembangnya waktu dan revolusi kemerdekaan, menjadi jelas bahwa meskipun mereka mengakui betapa berjasanya orang Belanda, terutama lewat para misionaris, yang telah mencerdaskan dan mendidik para pribumi menjadi “maju dan moderen”, mereka akhirnya harus membuat pilihan untuk tetap mempertahankan identitas ke-pribumi-an mereka. Mereka tidak mau ditundukkan oleh sebuah “superioritas” yang telah menancap di dalam diri mereka sendiri. Maka, dalam konteks itulah Mgr. Soegijopranoto SJ kemudian menegaskan arah Gereja Katolik di masa transisi menuju kemerdekaan haruslah bersikap “100% Katolik dan 100% Indonesia”.
Bertolak dari pernyataan Mgr. Soegijopranoto tersebut, maka identitas kaum pribumi yang menjadi Katolik tepat seperti yang dikatakan oleh Bhabha yaitu: less than one and double. Di dalam diri mereka terjadi dua identitas, mereka memegang teguh  iman sebagai warisan kolonial Belanda, namun di sisi lain mereka juga mengakui sebagai pribumi yang menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Wujud nyatanya mereka adalah pribumi, namun kesadaran dan seluruh “skema mental” mereka adalah kultur Belanda yang diwariskan oleh para misionaris. Kenyataan itu bisa terbaca jelas lewat ungkapan-ungkapan dari para tokoh Katolik Nasional yang ikut terlibat dalam perjuangan revolusi. Mereka selalu mengatakan bahwa kecintaan dan ketotalan mereka untuk memperjuangkan Indonesia menjadi merdeka dan bahkan sampai dengan ikut terlibat secara aktif untuk memajukan negara Indonesia, tidak lain adalah hasil dari pendidikan Jesuit Belanda di Muntilan.
Kebanggaan bahwa mereka bisa menjadi seorang ‘nasionalis’ sejati bukan datang dan tumbuh dari lingkungan budaya asli mereka, namun sebagai efek dari warisan pendidikan Belanda. Jejak-jejak kesadaran semacam itu menjadikan bahwa paham nasionalisme orang pribumi Katolik tidak bisa dilepaskan dari proses misi Katolik yang “mendompleng” dalam proses kolonisasi Belanda di Indonesia dan terutama di tanah Jawa. Identitas hibrid ini rasanya tidak bisa luntur dari kalangan penganut Katolik di Jawa. Mereka pasti paham bahwa kekatolikan mereka tidak akan pernah lepas dari sejarah kolonisasi Belanda, dan fakta sejarah itu tetaplah membuat mereka berbeda dengan pribumi mayoritas. Identitas warisan kolonial itu, di satu sisi membuat para pribumi Katolik merasa diri istimewa, dan mungkin juga superior, karena mewarisi sebuah tradisi “adiluhung” kolonial Belanda, namun di sisi lain mereka tetaplah sebagai minoritas di tengah bangsa sendiri.
Problem “otentisitas” identitas itu dengan sangat jelas dan gamblang dikaji oleh Bhabha dalam bukunya “Nation and Naration”. Dalam buku itu, Bhabha menerangkan bahwa wacana minoritas yang dihasilkan oleh proses kolonisasi, selalu membawa problem representasi di dalam konteks kebudayaan dan manusia-manusia yang hidup di dalam struktur warisan kolonial. Kelompok minoritas selalu berusaha untuk mencari legitimasi atas identitas kelompok mereka dengan menunjukkan bahwa diri mereka benar-benar “orang asli” di antara penduduk pribumi yang lain. Mereka berusaha  menunjukkan bahwa mereka tetap berpihak pada identitas mayoritas. Mereka berusaha untuk “mengambil hati” mayoritas bahwa mereka tetaplah bagian yang otentik dan satu dari identitas pribumi. Proses untuk menunjukkan “jati diri” bahwa mereka bukanlah “antek” Belanda, namun tetap pribumi yang nasionalis seperti kebanyakan mayoritas, ternyata juga dibuat oleh para pribumi Katolik di Indonesia.
Keaslian atau keotentikan mereka sebagai orang pribumi dan bukan Belanda, mereka tunjukkan dengan mengatakan bahwa mereka juga menentang kolonialisme Belanda. Ini berarti bahwa untuk bisa keluar dari stigma pengikut “agama wlondo”, mereka harus mau mengadakan “perlawanan” terhadap hegemoni yang selama ini terjadi di dalam diri mereka. Tampaknya, hal ini tidak mudah dilakukan. Hegemoni yang dilakukan oleh para misionaris di dalam kesadaran mereka, sudah terlanjur menancap kuat. Mereka tentu saja tetap mengatakan bahwa diri mereka tetap berpihak kepada bangsa mereka, dan menyatakan diri sebagai para nasionalis, namun jauh di dalam lubuk hati, mereka tetap menjunjung tinggi paham-paham Katolik, yang pasti dalam banyak hal sangat berbeda dengan kultur asli mereka. Itu berarti bahwa nasionalisme orang Katolik pribumi sebenarnya terasing dari kultur asli mereka. Itulah rumitnya identitas hibrid yang dimiliki oleh para pribumi Katolik di Indonesia.
Boleh saja rambut, wajah, mata, kulit, tinggi badan, dan segala identitas fisik mereka tetaplah seperti orang Indonesia kebanyakan, namun dalam konsep, cara merasa, cara berpikir, ritual batin mereka, atau “spiritualitas”, mereka tidak lagi “sawo matang” namun campuran antara “sawo matang dan bule.” Tentu ini tidak bisa dihindari dalam diri para pribumi Katolik. Saya teringat cerita ibu saya yang pernah menjadi guru di sebuah sekolah misi di Pontianak, Kalimantan Barat. Ibu saya selalu membayangkan bahwa cara hidup dan berpikir yang baik adalah seperti para Romo Belanda. Kata ibu saya, “Mereka itu disiplin, tegas, teratur dan berpindidikan”. Ibu saya seorang Jawa, kelahiran desa Jombong, Magelang, sebuah desa di lereng Gunung Merapi, dia menjadi katolik sudah dewasa. Lalu bersekolah di sekolah Katolik dan menjadi guru di sekolah misi Katolik. Karena persentuhan dengan semua kultur di dalam misi Katolik Belanda, maka ibu saya tidak lagi menjadi kebanyakan para wanita Jawa. Ia berubah menjadi orang praktis, disiplin dan sangat teratur. Dan itu diwariskan kepada saya dan anak-anaknya. Namun demikian, ibu saya tetap mencintai negeri Indonesia ini. Persis kata para lulusan Kolese Xaverius, Muntilan, mereka mencintai Indonesia karena mereka adalah Katolik yang dididik oleh para misionaris Belanda.
Para pribumi Katolik Jawa hasil pendidikan Kolese Xaverius, Muntilan dan juga ibu saya adalah nasionalis sejati. Meskipun di dalam kesadaran mereka tertanam iman Katolik warisan Belanda, mereka tidak pernah mau mengatakan bahwa penjajahan Belanda itu telah meninggalkan kenangan indah. Penjajahan tetaplah hal yang harus dilawan dan dimusnahkan. Maka, pendidikan Belanda yang mereka dapatkan, sebenarnya juga sebagai alat untuk lepas dari hegemoni yang selama ini telah mengungkung diri mereka, termasuk diri masyarakat di sekitar mereka hidup. Akhirnya, identitas Katolik yang mereka miliki tetaplah tidak pernah secara tuntas melumat ke-pribumi-an mereka, namun mereka adalah pribumi yang bergerak dalam dua kultur yang berbeda namun hidup dalam satu ruang, yaitu labirin kesadaran di dalam diri mereka. Di dalam labirin itulah, para pribumi Katolik Jawa terus melakukan “perlawanan” untuk tidak dengan mudah ditaklukan oleh sebuah kultur “lain” (Barat-Belanda) yang selama ini telah menjajah diri mereka. Penjajahan kolonial Belanda, bahkan lewat cara penyebaran iman Katolik, tidak pernah sepenuhnya membuat para pribumi Jawa tunduk pada kultur Belanda. Oleh karena itu, selalu ada ruang resistensi untuk melawan hegemoni kekuasaan di kalangan pribumi terjajah. Dan ruang-ruang itu sulit untuk dikuasai oleh Sang Penjajah.

            IV. Kepustakaan

Djajasepoetra SJ, Adrianus, Salam dari Jawa Katolik Bagi Nederland, dalam Budi Susanto, ed. Harta dan Surga, Peziarahan Jesuit dalam Gereja dang Bangsa Indonesia Modern, (Yogyakarta: Kanisius, 1990, hlm. 17-21).

Surat Direktur Kantor Pengajaran&Agama kepada Gubernur Jendral diterjemahkan oleh Romo E. Djajaatmadja, SJ, dalam Budi Susanto, ed. Harta dan Surga, Peziarahan Jesuit dalam Gereja dang Bangsa Indonesia Modern, (Yogyakarta: Kanisius, 1990, hlm. 23-33).

Slamet, Michael, Yang Kuingat Dari Sekolah Jesuit Muntilan, dalam Budi Susanto, ed. Harta dan Surga, Peziarahan Jesuit dalam Gereja dang Bangsa Indonesia Modern, (Yogyakarta: Kanisius, 1990, hlm. 35-41).


Doeriat, R.G, Pendidikan Dasar Gaya Para Jesuit, Cerita Dan Cita Di Muntilan, dalam Budi Susanto, ed. Harta dan Surga, Peziarahan Jesuit dalam Gereja dang Bangsa Indonesia Modern, (Yogyakarta: Kanisius, 1990, hlm. 43-56).

Seda, Frans, Simfoni Yang Tidak Pernah “Rampung” Bergema, dalam Budi Susanto, ed. Harta dan Surga, Peziarahan Jesuit dalam Gereja dang Bangsa Indonesia Modern, (Yogyakarta: Kanisius, 1990, hlm. 57-80).\

Susanto, Budi, Swara Tama dan Polemik Bahasa “Persatuan”, dalam Budi Susanto, ed. Harta dan Surga, Peziarahan Jesuit dalam Gereja dang Bangsa Indonesia Modern, (Yogyakarta: Kanisius, 1990, hlm. 81-91).

Djajaatmadja SJ, E, Mikjul Dhuwur Mendhem Jero, dalam Budi Susanto, ed. Harta dan Surga, Peziarahan Jesuit dalam Gereja dang Bangsa Indonesia Modern, (Yogyakarta: Kanisius, 1990, hlm. 93-105).

Pranatawidjaja, SJ, Novisiat Masa Perjuangan Yang “Main-Main” = Dolan-Dolan=Berpindah-pindah, dalam Budi Susanto, ed. Harta dan Surga, Peziarahan Jesuit dalam Gereja dang Bangsa Indonesia Modern, (Yogyakarta: Kanisius, 1990, hlm. 107-120).

Sutrisno, Mudji FX, Krisis di Ambarawa: “Laporan Bruder Woerjaatmadja SJ”, dalam Budi Susanto, ed. Harta dan Surga, Peziarahan Jesuit dalam Gereja dang Bangsa Indonesia Modern, (Yogyakarta: Kanisius, 1990, hlm. 127-137).

Childs, Peter dan Williams, Patrick, R.J, An Introduction to Post-Colonial Theory, (Prentice Hall Europe, 1997, hlm. 122-147).

Faruk, Mimikri Dalam Sastra Indonesia, artikel dalam Jurnal Kalam, foto copy-an sebagai bahan mata kuliah poskolonial. Edisi dan tanggal terbit tidak tertera.

oO()Oo

No comments:

Post a Comment

MAY DAY 2019: KAMI PEKERJA, KAMI BUKAN BUDAK!!!

(feature ini sudah dimuat d Koran Suara Hong Kong 7/5/2019) Lima perempuan mengenakan pakaian hitam dan matanya ditutup dengan kain ka...