Betapa buruk orang-orang Belanda
telah memperlakukan orang-orang Jawa.
Akan tetapi, kami, orang-orang Jawa Katolik,
haruskah kami berkeluh kesah atas bangsa Belanda
Katolik?
Akankah orang-orang Belanda Katolik
juga mau menindas orang-orang Jawa?
(dikutip dari pidato Adrianus
Djajasepoetra, seorang calon pastor,
seorang pemuda dari kalangan priyayi Jawa
Jogya,
dihadapan KONGGRES MISI INTERNATIONAL
di Utrecht, Belanda, 25-29 September
1922,
dalam Buku Harta dan Surga,
Peziarahan Jesuit dalam Gereja dan Bangsa
Indonesia moderen,
Editor: A. Budi Susanto, SJ, Yogyakarta:
Kanisius, 1990. hlm. 19)
Misi Katolik yang dilakukan oleh para Jesuit Belanda di Jawa telah
menancapkan sebuah “memori” yang tidak pernah hilang dalam kalangan pribumi Katolik
Jawa. Proses peng-katolik-an para pribumi Jawa oleh para misionaris Jesuit
Belanda sungguh sangat menarik untuk dikaji dan dilihat dari kajian
poskolonial. Ada sebuah problem pendefinisian identitas bagi para pribumi Jawa
yang memutuskan untuk menjadi orang Katolik. Proses katolikisasi di tanah Jawa
tentu saja tidak bisa dilepaskan dari masa yang dinamakan “zaman penjajahan”
Belanda di bumi Indonesia, dan terutama di tanah Jawa. Bersamaan dengan itulah,
misi Katolik “mendompleng” di atas (dan juga di bawah) pemerintahan kolonial
Belanda. Tentu saja, tanpa ada proses penjajahan Belanda di tanah Jawa,
kemungkinannya menjadi sangat kecil para pioner Jesuit bisa menembus belantara
padang tanah Jawa untuk menyebarkan agama Katolik.
Dalam interaksi antara pribumi Jawa, pemerintah kolonial dan Gereja
Katolik Roma, para Jesuit berusaha menanamkan sebuah “budaya” baru kepada para
pribumi Jawa lewat berbagai macam cara, salah satu alat yang paling ampuh
adalah pendidikan. Para Jesuit sangat terkenal dengan pendidikan asrama. Asrama
yang sangat legendaris dan berperan besar dalam misi Jesuit di Jawa adalah
Kolese Xaverius, Muntilan. Dari asrama Muntilan inilah dimulai sebuah proses
“cuci otak” para pemuda pribumi Jawa untuk mengerti “budaya Katolik” yang
dibawa oleh orang-orang Belanda. Peraturan yang sangat ketat dan keras
diperlakukan kepada semua murid asrama itu. Maka tidak bisa dihindari bahwa
dengan sistem asrama yang “memisahkan” para pemuda pribumi itu dengan dunia
aslinya, mereka berhasil dicetak dengan identitas baru, yakni: manusia Katolik
Jawa.
Tulisan ini mau melihat bagaimana konstruksi identitas baru di kalangan
pemuda pribumi terjadi lewat misi Katolik. Saya membatasi tulisan ini pada
pembentukan identitas itu lewat penyebaran iman Katolik yang diwartakan oleh
para misionaris Jesuit Belanda. Teks-teks yang saya gunakan untuk melihat
proses pembentukan identitas Katolik itu ada di dalam buku Harta dan Surga, Peziarahan Jesuit dalam Gereja dan Bangsa Indonesia
modern (Editor: A. Budi Susanto, SJ, Yogyakarta: Kanisius, 1990). Buku ini menyajikan beragam cerita
pengalaman dari para pemuda Jawa (dulu) yang memutuskan untuk menjadi Katolik setelah
dididik oleh para Jesuit Belanda di Kolese Xaverius, Muntilan dan institusi
pendidikan Jesuit lainnya.
Dari berbagai macam rangkaian pengalaman, cerita, dan tulisan sejarah
terkait dengan misi Katolik tersebut, saya akan membaca seluruh teks itu dalam
perpektif poskolonial. Para penulis ataupun orang yang berupaya untuk
menjadikan poskolonial sebagai pendekatan untuk memahami masa kolonial dan
“pascakolonial” sangatlah banyak, sebut saja seperti Frantz Fanon, Edward Said,
Aijaz Ahmad, Homi Bhabha, Gayatri Chakravorty Spivak, Amilcar Cabral, Leela
Gandhi dan lain-lainnya. Dari sekian pemikir poskolonial tersebut, saya akan
menggunakan kerangka pemikiran Homi Bhabha dalam memahami masalah kolonisasi
dan masa sesudahnya. Dalam kajian tentang identitas kolonial, Bhabha mengajukan
tiga konsep kunci, yaitu ambivalensi, mimikri, dan hibriditas. Tiga konsep
kunci inilah yang akan saya gunakan untuk membaca kembali secara kritis teks-teks
yang ada dalam buku Harta dan Surga tersebut.
I. Hegemonisasi dalam Misi Katolik
Salah satu jejak yang belum terhapus
dari strategi misi Jesuit Belanda untuk menyebarkan paham Katolik adalah Kolese
Xaverius Muntilan. Sebuah tempat pendidikan yang dirancang khusus untuk para
pemuda pribumi dengan model yang khas pendidikan Jesuit. Ciri khas model
pendidikan Jesuit adalah asrama atau biasa disebut kolese. Selain itu, biasanya
asrama atau kolese tersebut hanya dikhususkan untuk laki-laki saja. Maka, yang
masuk ke Kolese Xaverius Muntilan pada waktu itu semuanya laki-laki. Para laki-laki
pribumi itulah yang akan dijadikan perintis penyebaran “iman Katolik”. Mereka harus
dididik secara khusus. Para misionaris Jesuit yang mengawali penyebaran paham
iman Katolik di tanah Jawa sangat yakin bahwa pendidikan model asrama akan sangat
efektif dan strategis untuk menanamkan benih kekatolikan bagi para laki-laki di
Jawa. Singkatnya, menjadi Katolik bagi
anak muda Jawa pribumi pada masa kolonial berarti harus masuk dalam tata cara
pendidikan asrama.
Pendidikan asrama adalah cara paling jitu untuk mengkosongkan kesadaran
orang muda Jawa dari “masa lalu”-nya. Di dalam asrama, anak muda Jawa mulai
mengenal kata disiplin. Disiplin menjadi sebuah kosa kata ampuh yang menyihir
para pemuda untuk masuk ke dalam sebuah budaya baru. Dari banyak cerita yang
termuat dalam buku Harta dan Surga, kata disiplin ini sangat menempel lekat
dalam ingatan para pemuda pribumi yang akhirnya menjadi Katolik. Disiplin tata
cara hidup itu bisa terbaca lewat peraturan dan pengaturan waktu yang ketat dan
keras. Cerita R.G. Doeriat bisa memberi ilustrasi menarik tentang kata disiplin
itu. Demikian katanya:
“Pastor Berndsens SJ, yang menjadi
surveilant pertama dalam Andreasan itu. Sejak awal saya dimasukkan dalam suatu
tata cara hidup keras dan ketat mulai pagi hingga malam. Yang menarik pada diri
saya ialah bahwa dengan pendekatan Pastor Berndsens SJ itu, setiap sore saya
dan kawan-kawan diajak berdoa malam, walaupun saya tidak tahu apa-apa mengenai
kekatolikan. Tetapi saat itulah saya menyadari bahwa benih-benih kekatolikan
mulai ditanamkan dalam diri saya tanpa saya sendiri menyadari.” (Budi Susanto, hlm.
46)
Cerita Doeriat ini bisa sedikit memberi gambaran bagaimana cara para
Jesuit Belanda menanamkan “budaya baru” kepada pribumi Jawa. Apa yang membuat
para pemuda pribumi masuk ke dalam asrama tersebut? Tentu saja jawabannya
sangat beragam, namun konteks saat itu bahwa bumi Indonesia, terutama tanah
Jawa, masih dalam cengkraman Kolonial Belanda. Fakta ini tidak bisa diabaikan. Para
pemuda Jawa tentu tidak bisa lepas dari situasi penjajahan tersebut. Posisi
Sang Penjajah (the colonizer)
dihadapan Sang Terjajah (the colonized)
selalu dalam posisi tidak setara. Ada dominasi ekonomi, sosial dan politik, dan
dominasi itu bisa terbaca lewat penguasaan “rejim administrasi” yang di buat
oleh Sang Penjajah. Dominasi atau penguasaan yang terjadi hampir di seluruh aspek kehidupan di dalam
masyarakat terjajah, tidak saja di dalam wilayah publik, namun juga masuk ke
ruang-ruang privat sang terjajah. Agama adalah salah satu ruang privat
tersebut. Maka, agama baru yang dibawa oleh kolonial Belanda tentu saja menjadi
pesona bagi para pribumi Jawa untuk masuk ke dalamnya. Agama itu memberikan
sebuah daya tarik untuk mengubah nasib hidup mereka. Karenanya, untuk bisa
menjadi setara dengan kultur para kolonial, mereka harus “rela” untuk masuk
dalam penguasaan sistem kolonial tersebut.
Penguasaan itu bisa terpampang secara jelas lewat berbagai macam aturan
dan kontrol. Dalam konteks misi di Jawa, aturan dan kontrol dari pemerintah
kolonial telah menjadi “alat pendukung” untuk menjalankan misi tersebut.
Dukungan itu bisa dibaca lewat dokumen dari Departemen Pengajaran & Agama,
No. 20.X/F. Rahasia. Sedangkan tanggal dan tempatnya tertulis: Batavia Centrum,
19 Januari 1931. Dokumen ini berisi beberapa pokok artikel yang menerangkan kegiatan
misi Kristen dan penginjilan di Indonesia dan terutama di Jawa. Dalam artikel
10 tertulis demikian:
“10. Sudah jelas betapa luas
terbuka lapangan untuk kegiatan misi Roma Katolik – juga dalam hubungan dengan
bentuk organisasinya (kongregasi-kongregasi) – tanpa dalam geraknya dirintangi
oleh Artikel 127 I.S. Dengan memberi kebebasan bagi pekerjaan sosial kepada
zending dan misi – kegiatan tak langsung yang mempersiapkan pekerjaan
penginjilan langsung – pekerjaan yang menurut pendapat serentak dari
Pemerintahan berturut-turut mempunyai hak atas bantuan dari penguasa (cf.
Bijblad 5604, 10606), memungkinkan pekerjaan penginjilan yang intensif juga
tanpa “persetujuan khusus”. Pemerintah Eropa dalam urusannya harus tidak hanya
tidak mengadakan campur tangan yang kurang pantas yang dapat merugikan
pekerjaan penginjilan, melainkan juga bahkan memberi bantuan, di mana tidak
dapat dipandang membahayakan ketertiban umum, dan melindungi orang-orang yang
baru masuk agama terhadap “gangguan” dan “siksaan” kepala-kepala
(penguasa-penguasa?) Pribumi dari agama-agama lain (Bijblad 4642, 5604)”. (Budi
Susanto, hlm. 26).
Dari
dokumen ini terbaca jelas bagaimana dukungan pemerintah kolonial Belanda
terhadap karya misi Roma Katolik. Bahkan, pemerintah kolonial dengan tegas
menyatakan perlindungannya terhadap pribumi yang baru masuk agama Katolik dari
ancaman agama-agama pribumi. Dalam dokumen yang sama, pemerintah kolonial juga
secara tegas mendukung misi Jesuit untuk mendirikan sekolah para imam di Jawa.
Artikel 13 dalam dokumen yang sama tertulis demikian:
“Demikian pula orang-orang awam
Katolik terkemuka, seperti anggota Raad van Indie, anggota Volksraad, wakil
Misi, Pengurus Perkumpulan-Perkumpulan Katolik terpenting dan bekas Menteri
Koolen yang kebetulan ada di sini juga diundang menghadiri peristiwa besar itu.
Karenanya didirikannya Seminari St. Petrus Kanisius (yang bergabung dengan
Kolese Ignasius) sangat menguatkan pendidikan imam pribumi di Hindia, yang
kira-kira dua puluh tahun sebelumnya dimulai dalam ukuran kecil di Kolese
Xaverius di Muntilan oleh Pastor J. Mertens dan F. van Lith”. (Budi Susanto, hlm.
27-29)
Usaha Misi Katolik di tanah Jawa
secara sistematis dilakukan oleh para Jesuit Belanda. Romo van Lith adalah salah
satu misionaris pembuka jalan dari proses Katolikisasi di tanah Jawa. Dari
dokumen ini, bisa diungkap secara jelas bagaimana pemerintah kolonial sangat
berperan besar dalam memberi ruang pada misi Katolik. Tentu saja, keterbukaan
pemerintah kolonial untuk mendukung misi Katolik tidak bisa dilepaskan dari
tujuan-tujuan kolonisasinya. Homi Bhabha menerangkan secara tajam bahwa apa
yang dibuat oleh pemerintah kolonial dengan mendukung misi lewat penetapan berbagai
peraturan adalah sebuah bentuk penciptaan “apparatus
of power” dalam proses kolonisasi. Apparatus
of power dalam konteks kolonisasi tidak saja berhenti pada proses
pemberlakuan sistem administrasi dan instruksi saja, namun lebih dari itu,
kekuasaaan itu mendorong munculnya konstruksi wacana tentang pembentukan “subyek
manusia” agar bisa memiliki identitas baru. Maka bisa dimengerti dalam konteks
ini bahwa misi sebagai proses katolikisasi para pribumi Jawa, sebenarnya bertujuan untuk membentuk subyek-subyek
di tanah jajahan dengan identitas baru. Identitas Katolik adalah salah satu
model yang diinginkan oleh pemerintah kolonial agar pribumi terjajah mampu
memiliki peradaban berbeda dengan apa yang secara umum sudah ada di tanah
jajahan. Perbedaan itu terletak pada aspek kulturnya. Kultur (atau agama) sang
penjajah pasti lebih baik dari pada kultur (atau agama) para pribumi terjajah.
Dalam dokumen di atas bisa dilihat
bahwa pribumi yang kemudian memeluk agama Katolik dilindungi oleh pemerintah
kolonial dari ancaman agama pribumi. Maka, dalam konteks misi di tanah Jawa
juga, proses katolikisasi tersebut jelas ikut membuat proses kolonisasi itu
semakin kuat. Bhabha mengatakan bahwa dalam setiap kolonisasi selalu ada proses
“exlusion through inclusion that purports
to accept the ‘good native’ all the better to exlude and denounce the majority
‘bad natives’. Dari konsep Bhabha ini, bisa dimengerti bahwa proses misi
dengan tujuan membuat pribumi Jawa memeluk agama Katolik, sebenarnya terkandung
unsur pembedaan secara “disengaja” antara agama pribumi yang berwajah ‘buruk’
dan agama yang dibawa oleh kolonial yang berpenampilan ‘baik’.
Kembali pada pengalaman para pribumi
Jawa yang pertama kali memeluk agama Katolik. Mereka selalu terkesan oleh cara
mereka dididik oleh para Jesuit di dalam asrama. Pendidikan di dalam asrama
yang disiplin, menjadi salah satu tanda paling nyata bahwa proses penanaman
kesadaran akan budaya baru itu terjadi. Secara sederhana bisa dipahami bahwa
dengan hidup disiplin, para pribumi itu merasa seperti para pastor Jesuit
Belanda yang memiliki budaya disiplin tinggi. Hidup disiplin berarti berbudaya
tinggi selayaknya para pastor Jesuit Belanda. Dan itu adalah sebuah model hidup
yang sempurna. Dengan demikian, sebenarnya menjadi Katolik bagi pribumi Jawa
adalah sebuah mimikri. Mereka “meniru” kehidupan orang-orang Katolik Belanda,
secara khusus mengidentifikasikan dirinya dengan para misionaris Jesuit
Belanda, sebagai proses untuk mendudukan diri mereka sejajar dengan orang
Belanda (Sang Penjajah). Meskipun mereka sama dalam iman atau agama, namun
mereka tetaplah pribumi.
Proses mimikri itu dengan amat jelas
diungkapkan oleh Adrianus Djajasepoetra, seorang calon pastor SJ yang berpidato
di Konggres Misi Internasional di Utrecht, Belanda pada tanggal 25-29 September
1922. Demikian nukilan teks pidatonya:
“Dahulu kala sebelum kami menerima
pembaptisan dengan Air Utama dan dihiasi dengan nama kehormatan Katolik, kami
memang bangsa asing; tetapi tidaklah demikian halnya sekarang. Sekarang kami
adalah orang Kristen dan Katolik. Kekatolikan dan nama “Katolik”lah yang
sungguh mempersatukan kami dengan saudara. Adalah nama yang sama yang
menyurutkan air laut dan samudera, yang meratakan bukit dan gunung dengan
tanah.” (Budi Susanto, hlm. 18)
Perasaan untuk setara dengan bangsa Belanda bagi orang Jawa seperti dikatakan
oleh Djajasepoetra merupakan pengalaman emansipatif. Di dalam kelanjutan teks
pidatonya ia mengatakan demikian:
“Dahulu, kami orang Jawa bagaikan
ikan dalam air keruh yang menyesakkan, berkeliaran mendambakan udara segar dan
bernafas lega. Tetapi, tatkala berkah Agama saudara mengalir kedalamnya, air
itu menjadi bening berkilauan dan kami sementara itu mampu bernafas lega”. (Budi
Susanto, hlm. 19)
Ungkapan itu menjadi sebuah “signifikasi” yang amat konkret bahwa menjadi
orang Katolik sebenarnya masuk dalam oase emansipatif dari keterbelengguan
situasi sosial, ekonomi dan politik yang juga diciptakan oleh Sang Penjajah. Maka
dari itu, proses emansipasi itu tetap saja berada dalam konteks kolonisasi. Para
pribumi Jawa yang memeluk agama Katolik merasa lepas dari sebuah pengalaman
buruk, karena mereka merasa dianggap sama dengan orang Belanda, karena mereka
beriman Katolik. Akan tetapi, iman dalam proses katolikisasi itu tidak pernah
bebas dari kepentingan. Penyebaran iman itu tetap saja memuat aspek-aspek
hegemonik dari para kolonial Belanda, termasuk di sini para misionaris Jesuit
Belanda, untuk menguasai para pribumi Jawa. Iman yang diwartakan dalam sebuah
selubung misi itu tetap mengandung relasi kuasa yang sangat kuat.
Kenyataan tersebut menegaskan bahwa proses misi yang berjalan bersamaan
dengan imperealisme dan kolonisasi tidak hanya menempatkan wilayah jajahan
sebagai sebuah wilayah yang terbuka untuk eksploitasi sumber-sumber ekonomi
saja, melainkan tempat untuk menancapkan penguasaan sistem sosial dan kultural
yang berbeda dengan dunia sang penjajah. Itu berarti bahwa dalam proses misi
dan pengkatolikan para pribumi Jawa merupakan bagian dari usaha kolonial untuk
memperlihatkan sistem iman dan agama yang mereka bawa tetaplah sistem iman dan
agama yang “paling baik” dibandingkan dengan sistem iman dan agama pribumi yang
buruk atau jelek.
Oleh karena itu relasi antara Jesuit Belanda dan para pribumi Jawa yang
“dikader” untuk menjadi orang Katolik tidak pernah lepas dari hubungan seorang
Belanda yang “superior” dan pemuda lugu Jawa pribumi yang “inlander.” Para
pemuda Jawa pribumi melihat betapa seorang Jesuit Belanda begitu agung dan
sangat mengagumkan. Mereka disiplin, pandai, bertata kehidupan moderen, dan
seribu impian tentang betapa sosok Pastor Belanda Katolik itu adalah wujud budaya
yang agung. Dan lewat asrama itulah, para pemuda Jawa tersebut dididik tata
cara Belanda. Mereka didril untuk menguasai bahasa Belanda secara fasih, mereka
diajari tentang sejarah Belanda, dan bahkan mereka diajari untuk memegang
sendok makan. Tidak hanya itu, urusan ke kamar mandi pun mereka diajari oleh
para pendidik Jesuit Belanda tersebut.
Penggambaran itu semakin menunjukkan bahwa proses pendidikan pribumi Jawa
untuk menjadi Katolik yang dilakukan oleh para Jesuit Belanda sebenarnya
menjadi bagian dari proses subjekifikasi para pribumi Jawa untuk menjadi
manusia berindentitas baru. Identitas baru sebagai orang Katolik, tidak lain
merupakan ciri khas kolonisasi yang oleh Bhabha disebut sebagai “two place at once”. Para misionaris
Jesuit Belanda yang berupaya untuk meng-katolik-kan para pribumi Jawa,
sebenarnya sedang berfantasi bahwa cara beriman, beragama, dan juga cara
berbudaya yang berada di negeri Belanda sebisa mungkin dipindahkan di tanah
Jawa. Salah satu cara untuk “copy paste”
model beriman dan beragama tersebut ialah dengan membuat sebanyak mungkin para
pribumi Jawa untuk menjadi Katolik.
Oleh karena itu, model asrama menjadi alat yang paling efektif untuk
mencetak manusia-manusia baru tersebut. Lewat asrama maka proses penanaman iman
dan cara beragama itu dilakukan lewat sistem pendidikan yang teratur, disiplin
dan terkontrol. Itu berarti bahwa iman Katolik menjadi “luhur atau agung”
dibandingkan dengan iman dari agama asli pribumi karena agama kolonial itu
mengandung unsur disiplin, teratur dan terkontrol. Semua itu menjadi bagian
integral dari pendidikan para misionaris Jesuit Belanda. Di sinilah pesona
pendidikan kolonial Belanda, bahwa pendidikan bisa membuat orang “maju dan
moderen”. Karena itu, bagi para pribumi Jawa yang memutuskan untuk memeluk iman
Katolik, berarti dia sudah menjadi bagian dari peradaban “moderen dan maju” tersebut. Pesona sebuah kehidupan yang maju dan moderen itu menjadi salah satu kunci
yang membuat para pribumi Jawa memutuskan untuk menjadi Katolik. Peradaban yang
moderen dan maju itu,
haruslah disebarluaskan kepada masyarakat pribumi yang lain. Demikian kesaksian
Doeriat:
“Namun kami tetap dididik untuk
menjadi orang Jawa yang nasionalis sebagaimana kami rasakan bahwa bersama
mereka saya diajak untuk mendidik, mencerdaskan kehidupan para orang desa. Saya
memang merasakan keras dan ketatnya pendidikan Jesuit, bahkan terlalu kaku
kalau dirasakan. Kita dilarang bergaul dengan orang luar, mungkin dimaksudkan
agar kita kuat dahulu, sehingga nantinya dalam berbagai gejolak yang datang,
kita tetap teguh berdiri berdasarkan pada semangat yang teguh”. (Budi Susanto, hlm.
53-54)
Sebuah pesona tentang perasaan sebagai manusia maju dan modern
tersebutlah yang akhirnya membuat Doeriat memutuskan menjadi Katolik, demikian
ungkapnya:
“Saya tidak pernah merasa dipaksa
menjadi Katolik, tetapi melihat kehidupan mereka dan cara hidup mereka yang
begitu menarik, membuatku terpana dan akhirnya tanpa persetujuan orang tua saya
menyediakan diri untuk dibaptis”. (Budi
Susanto, hlm. 54)
Dari seluruh proses pendidikan lewat asrama itu, benih iman Katolik ditanam
atau dicangkokkan ke dalam kesadaran para pemuda pribumi Jawa. Benih Katolik itu
bersumberkan pada budaya Katolik
Belanda. Dengan demikian, proses katolikasasi para pribumi Jawa yang dilakukan
oleh misionaris Jesuit Belanda sebenarnya adalah sebuah mimikri. Para pribumi
Jawa meniru sebuah cara beriman atau pun beragama para Jesuit Belanda, bukan
pertama-tama mereka tertarik pada subtansi iman itu sendiri, melainkan mereka
tertarik oleh manifestasi cara hidup para misionaris Jesuit Belanda. Cara hidup
mereka yang menampilkan peradaban yang moderen, maju, cerdas, bependidikan “Barat” telah membuat para pribumi
Jawa takluk di bawah pesona itu. Maka, selain keputusan untuk menjadi Katolik
merupakan proses emansipasi bagi para pemuda pribumi Jawa, katolikisasi yang
dilakukan oleh Jesuit Belanda merupakan representasi dari kekuasaan kolonial. Pengkatolikan
itu adalah proses hegemonisasi para pribumi Jawa lewat proses pendidikan asrama
yang menawarkan cara hidup yang “berbeda” dengan kebanyakan kaum pribumi.
II. Iman yang Ambivalen
Lantas menjadi soal di sini, iman macam apa yang kemudian tumbuh di
kalangan para pemuda pribumi itu? Iman itu sesuatu yang sangat subtil dalam
dasar kesadaran setiap manusia, namun apakah konstruksi iman bisa lepas dari
lingkungan budaya itu tumbuh? Bagi pribumi Jawa yang semula merasakan,
memikirkan, menyadari, dan membayangkan sebuah iman yang berbasis pada kultur
Jawa. Pertanyaannya, melalui proses “cuci otak” dalam asrama, apakah mereka
meninggalkan iman yang berasal dari budaya asli mereka? Dengan bertemu dengan
iman model Jesuit Belanda, apakah mereka juga memformulasikan iman yang lebih
agung dan tinggi “derajat”-nya dibandingkan iman asli Jawa mereka?
Jika pertanyaan-pertanyaan itu diletakkan dalam konsep Bhabha, maka iman
para pribumi Jawa itu merupakan iman yang ambivalen. Dengan mempertahankan
model iman itu, mereka memproduksi sifat superioritas iman kolonial Belanda
yang mereka tiru dari para misionaris, namun di lain pihak mereka juga tidak
bisa meninggalkan identitas kejawaan mereka. Apa pun alasannya, mereka tetaplah
orang yang berakar pada budaya Jawa. Meskipun di dalam diri mereka tumbuh
sebuah kesadaran baru untuk menjadi maju, moderen dan memegang teguh iman model misionaris Belanda, mereka tidak
bisa meninggalkan identitas asli mereka. Bahkan pendidikan yang mereka dapatkan
secara moderen dari para
misionaris semakin membuat mereka sadar akan identitas mereka sendiri. Persoalan
identitas lantas menjadi salah satu hal yang penting bagi para pribumi Jawa
yang memeluk agama Katolik.
Ketegangan untuk mempertahankan identitas akibat proses kolonisasi oleh
sang terjajah sering diungkapkan dengan ejekan. Namun demikian dalam melakukan
ejekan itu, mereka sekaligus menginginkannya. Bhabha mengatakan “derided and also desired”. Sikap ini
muncul di kalangan para pribumi Jawa yang sudah menjadi Katolik. Gejala
tersebut bisa ditangkap dari ungkapan Sandjaja, seorang calon imam Jawa
demikian:
“Mengagumkan orang Jawa dapat
berbicara bahasa Belanda dengan fasih.
Mengagumkan orang Jawa dapat
berbicara bahasa Perancis “nricis” (lancar).
Mengagumkan orang Jawa dapat
berbicara bahasa Inggris “wasis” (baik sekali).
Lebih mengagumkan lagi orang Jawa
tidak dapat bicara bahasa Jawa.”
Iman itu sesuatu yang sangat terkait dengan persoalan teologis, namun di
sini saya ingin melihat iman itu juga sebuah proses pembentukan cara merasa,
cara melihat, cara mencecap, cara membayangkan sesuatu yang subtil terkait
dengan yang Esa, yaitu Tuhan. Dalam konteks ajaran Katolik, Sang Junjungan
Agung itu adalah Kristus. Namun demikian, iman itu tetaplah perlu sarana
pengungkapan yang jelas. Sarana untuk mengungkapkan iman adalah lewat bahasa. Menjadi
menarik di sini bahwa dalam sebuah polemik yang terdapat dalam majalah Katolik
SWARA TAMA, sebuah majalah Katolik mingguan pertama. Di majalah ini para pemuda Katolik pribumi memperdebatkan
penggunaan bahasa Jawa. Ungkapan Sandjaja itu adalah bagian dari polemik
tentang bahasa Jawa tersebut.
Ini mau menunjukkan bahwa proses pengkatolikan yang membuat para pribumi
Jawa bisa memeluk iman Katolik, tidak bisa langsung menghancurkan apa yang
secara “naluriah” mereka miliki, yakni perasaan dan citra rasa Jawa. Perasaan
dan citra rasa itu paling kentara bisa dipahami lewat penggunaan bahasa. Itu
artinya bahwa pengungkapan iman pun perlu mendapatkan citra rasa yang sama. Oleh
karena itu, bisa saja disangsikan bahwa gambaran iman pribumi Jawa dan orang Belanda yang sama-sama bertumpu pada
Kristus, dalam konteks citra rasa ini menjadi sangat berbeda. Dari sini menjadi
jelas, bahwa proses iman yang tumbuh dalam dua budaya sekaligus, yakni Jawa dan
Belanda akan bersifat ambivalen. Ambivalensi iman ini menjadi corak dari proses
agama yang disebarkan bersamaan dengan proses imperialisme dan kolonisasi.
Mengomentari polemik bahasa yang terjadi di SWARA TAMA yang kemudian
berubah menjadi majalah PRABA, Budi Susanto membuat catatan yang sangat menarik
demikian:
“Sampai tahun-tahun akhir 1960-an
majalah PRABA (terbit sepuluh hari sekali) ditangani beberapa bekas redaksi
SWARA TAMA dan misionaris Jesuit bernama samaran; beberapa Jesuit pribumi
bergantian menjabat direksi. Beberapa peristiwa tersebut kiranya mencerminkan kenyataan
bahwa “polemik bahasa” (dan berbagai perkara yang terkait) dalam kehidupan
Gereja Katolik adalah sesuatu yang cukup rumit. Mungkin, serumit bagaimana
“memanfaatkan” kekhasan (budi) bahasa Jawa yang terlanjur mempunyai adat Krama
dan Ngoko!” (Budi Susanto, hlm. 91).
Dari
situ bisa terbaca bahwa polemik bahasa akhirnya menjadi polemik identitas.
Dalam waktu yang bersamaan, para pribumi Katolik merasa menjadi bagian dari
sebuah kultur Belanda, namun sekaligus mereka adalah orang pribumi Jawa. Situasi
itu oleh Bhabha disebut sebagai “splitting”
dan sekaligus “doubling”. Para
pribumi Jawa yang menganut paham Katolik merasakan bahwa mereka menginginkan model
beriman seperti orang Belanda, namun mereka juga menginginkan sesuatu yang
lain. Sesuatu yang lain itu terjadi setelah mereka sadar bahwa dirinya tetap
orang Jawa. Inilah yang disebut “splitting”
dalam konsep Bhabha. Sedangkan proses “doubling”
dipahami sebagai bentuk ingin mewujudkan dua identitas sekaligus, sifat
ke-Jawa-an namun iman Belanda, dan semuanya itu diinginkan dalam satu tempat (desiring to be in two place at once).
Iman model Belanda itu tumbuh dan berakar dalam tradisi Belanda (Barat), namun
proses mereka memahami, menginternalisasikan, bahkan juga mewujudkannya iman
itu tetap masih dalam konteks Jawa. Konteks Jawa paling konkret bisa terlihat
dalam penggunaan bahasa Jawa dan bukan bahasa Belanda.
Lantas pertanyaan yang kemudian meloncat keluar dari fakta ini adalah: Model
Kristus seperti apa yang diwariskan oleh Jesuit Belanda dalam konteks kolonisasi?
Jawaban ringkasnya: Kristus yang dihayati oleh para pribumi Katolik memiliki
wajah ganda: “Jawa – Londo”. Tampaknya, persoalan ini sulit dilihat dari
kacamata teologis, maka perspektif ini bisa menolong teologi untuk menjabarkan
lebih lanjut cara beriman para pribumi Katolik Jawa yang diwariskan oleh para
Jesuit Belanda. Artinya, iman warisan Jesuit Belanda yang dihidupi oleh para
pribumi Jawa, sebenarnya sebentuk iman yang berada dalam tegangan itu. Tegangan
antara ke-Jawa-an dan ke-Londo-an.
Karena itu, dengan melihat dimensi ambivalen yang berkembang dalam cara
beriman di kalangan para pribumi Jawa, kajian teologis tidak akan jatuh pada
esensialisme yang seringkali dilakukan oleh para teolog. Pendapat yang
mengatakan bahwa orang beriman Katolik pasti memiliki paham dan pembayangan
tentang Kristus yang sama, seperti apa yang diwariskan oleh para misionaris,
menjadi sulit diterima di sini. Ambivalensi iman sebagai warisan kolonial,
tidak menunjukkan bahwa iman itu sebagai sesuatu “entitas yang tunggal dan
universal” seperti itu.
III. Iman Katolik dan Perasaan Nasionalisme
Stigma yang mengatakan bahwa agama
Katolik adalah agama penjajah, ternyata sudah dialami generasi awal pribumi
Katolik. Ungkapan ini sering saya dengar dari orang-orang beragama lain,
misalnya Islam. Stigma ini ternyata sudah ada sejak proses katolikisasi itu
berjalan di bawah bayang-bayang kolonialisme. Ada catatan dari Romo
Pranatawidjaja SJ yang menggambarkan bagaimana stigma itu diberikan kepada para
pribumi Katolik. Tulisan yang didasarkan pada pengalamannya dipenjara oleh
kelompok Hisbullah, menggambarkan hal itu:
“Konon mereka itu tentara
Hisbullah, mereka tampak bersemangat. Salah seorang dari mereka, tampaknya
komandannya, mengeluarkan serentetan kata-kata penghinaan: Orang muda kok tidak
angkat senjata, mengusir musuh. Apa tidak suka merdeka? Tidak ingin menjadi
kaya? Ada yang ingin dibunuh? Dari pada hidup sengsara mesti meringkuk dalam
penjara? Kok pemuda lain berjuang, situ malah nyanyi-nyanyi, bidden-bidden untuk
Wilhelmina! Ah…itulah motivasi mereka “mengamankan” kami. Paham “agama Katolik
adalah agama Wlondo” agaknya masih
mangakar dalam-dalam di hati mereka”.
Catatan sejarah ini menjadi penjelas
bagaimana sulitnya memiliki identitas pribumi Katolik di tengah mayoritas
non-katolik yang mengalami “sakit”-nya dijajah oleh Belanda. Ini menjadi salah
satu sebab, mengapa para pribumi Katolik tidak ingin divonis begitu saja
sebagai pengikut “agama wlondo”. Karenanya, mereka harus menunjukkan
otentisitas dirinya. Problem otentisitas ini pula yang oleh Bhabha dijadikan
bahan dasar untuk mengkaji problem ambivalensi yang muncul di kalangan para
terjajah. Penentuan otentisitas diri bahwa orang Katolik pribumi bukanlah
pendukung Belanda, dengan sangat jelas diperjuangkan oleh para pribumi Katolik
pada awal revolusi kemerdekaan.
Catatan sejarah yang menerangkan bahwa para pribumi yang memeluk agama
Katolik bukanlah “antek” penjajah bisa terbaca lewat tulisan Franz Seda. Dia
memang bukan orang Jawa, namun dia didik juga di Kolese Xaverius, Muntilan.
Berikut adalah petikan tulisannya:
“Jiwa muda mana yang mau
ketinggalan! Setiap hari mendengar radio, pidato Bung Karno, Bung Hatta, Bung
Syahrir dan pidato Bung Tomo yang pada setiap jam 20.00 di RRI diantar oleh
musik yang khas, sepertinya menggelitik dan menghasut, dilanjutkan dengan
pidato yang berapi-api dengan suara yang menggeledek! Benar-benar jiwa dibakar!
Sementara itu perkembangan keadaan tidak sedemikian semarak bagi umat Katolik
(dan Kristen). Mereka dicurigai, dicap anjing NICA atau Belanda, dan mata-mata
musuh! Di Tangerang terjadi pembantaian terhadap umat Kristen. Sampai-sampai
P.M. Syahrir naik pitam dan mengecamnya dengan keras! Di Gunung Tidar di
Magelang sejumlah rohaniwan dibunuh, yang dari Muntilan adalah Romo Schouten,
Fr. Minderop dan Fr. Mooi….Saya sendiri pernah diancam oleh seorang kawan,
untuk segera menghilang, sebelum “digunungkidulkan”. (Budi Susanto, hlm. 77-78)
Tentu tidak mudah bagi pribumi
Katolik untuk menentukan identitas mereka di tengah mayoritas pribumi yang
menolak warisan kolonial. Kecurigaan kepada kelompok Katolik sebagai
perpanjangan tangan penjajah akan sangat mudah ditempelkan kepada mereka. Maka,
satu-satunya cara agar stigma itu bisa hilang adalah dengan menunjukkan bahwa
mereka juga melakukan perlawanan terhadap penjajah. Demikian deskripsi yang
diberikan oleh Franz Seda:
“Tapi kembali ke tahun 1945. Ke
masa pembentukan PKRI (Partai Katolik Republik Indonesia) yang dengan tegas
memilih dan memihak Republik. Dengan tegas mengutuk kolonialisme Belanda. Kata
Pak Kasimo, “Kami akui dan sangat berterimakasih kepada rakyat Belanda yang
telah merelakan para misionaris mereka datang mendidik dan mengajar tanpa
pamrih. Namun! Kami tidak bisa lain daripada memihak RI dan menentang Belanda.
Kami harus memihak bangsa kami dalam pejuangan melawan ketidakadilan dan
ketidakperikemanusiaan dari kolonialisme. Seperti yang senantiasa dicanangkan
Romo Van Lith di masa lalu.” Sikap PKRI dirasakan seperti menusuk hati di
sementara kalangan Belanda, juga di kalangan kita sendiri! Lebih lanjut lagi,
dengan memihak RI, Partai Katolik RI memilih jalan revolusi untuk mencapai
kemerdekaan yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Katolik dan diterima
dengan curiga oleh sementara kalangan kita sendiri”. (Budi Susanto,hlm. 78-79)
Dilema identitas seperti itu tentu saja menghinggapi tidak saja para awam
pribumi Katolik, namun terlebih para pribumi yang memilih untuk bergabung
menjadi imam di kongregasi Jesuit. Tetapi seiring dengan berkembangnya waktu
dan revolusi kemerdekaan, menjadi jelas bahwa meskipun mereka mengakui betapa
berjasanya orang Belanda, terutama lewat para misionaris, yang telah
mencerdaskan dan mendidik para pribumi menjadi “maju dan moderen”, mereka akhirnya harus membuat pilihan
untuk tetap mempertahankan identitas ke-pribumi-an mereka. Mereka tidak mau
ditundukkan oleh sebuah “superioritas” yang telah menancap di dalam diri mereka
sendiri. Maka, dalam konteks itulah Mgr. Soegijopranoto SJ kemudian menegaskan
arah Gereja Katolik di masa transisi menuju kemerdekaan haruslah bersikap “100%
Katolik dan 100% Indonesia”.
Bertolak dari pernyataan Mgr. Soegijopranoto tersebut, maka identitas
kaum pribumi yang menjadi Katolik tepat seperti yang dikatakan oleh Bhabha
yaitu: less than one and double. Di dalam
diri mereka terjadi dua identitas, mereka memegang teguh iman sebagai warisan kolonial Belanda, namun
di sisi lain mereka juga mengakui sebagai pribumi yang menjadi bagian dari
bangsa Indonesia. Wujud nyatanya mereka adalah pribumi, namun kesadaran dan
seluruh “skema mental” mereka adalah kultur Belanda yang diwariskan oleh para
misionaris. Kenyataan itu bisa terbaca jelas lewat ungkapan-ungkapan dari para
tokoh Katolik Nasional yang ikut terlibat dalam perjuangan revolusi. Mereka
selalu mengatakan bahwa kecintaan dan ketotalan mereka untuk memperjuangkan
Indonesia menjadi merdeka dan bahkan sampai dengan ikut terlibat secara aktif
untuk memajukan negara Indonesia, tidak lain adalah hasil dari pendidikan
Jesuit Belanda di Muntilan.
Kebanggaan bahwa mereka bisa menjadi seorang ‘nasionalis’ sejati bukan
datang dan tumbuh dari lingkungan budaya asli mereka, namun sebagai efek dari
warisan pendidikan Belanda. Jejak-jejak kesadaran semacam itu menjadikan bahwa paham
nasionalisme orang pribumi Katolik tidak bisa dilepaskan dari proses misi
Katolik yang “mendompleng” dalam proses kolonisasi Belanda di Indonesia dan
terutama di tanah Jawa. Identitas hibrid ini rasanya tidak bisa luntur dari
kalangan penganut Katolik di Jawa. Mereka pasti paham bahwa kekatolikan mereka
tidak akan pernah lepas dari sejarah kolonisasi Belanda, dan fakta sejarah itu
tetaplah membuat mereka berbeda dengan pribumi mayoritas. Identitas warisan
kolonial itu, di satu sisi membuat para pribumi Katolik merasa diri istimewa,
dan mungkin juga superior, karena mewarisi sebuah tradisi “adiluhung” kolonial
Belanda, namun di sisi lain mereka tetaplah sebagai minoritas di tengah bangsa
sendiri.
Problem “otentisitas” identitas itu dengan sangat jelas dan gamblang
dikaji oleh Bhabha dalam bukunya “Nation
and Naration”. Dalam buku itu, Bhabha menerangkan bahwa wacana minoritas
yang dihasilkan oleh proses kolonisasi, selalu membawa problem representasi di
dalam konteks kebudayaan dan manusia-manusia yang hidup di dalam struktur
warisan kolonial. Kelompok minoritas selalu berusaha untuk mencari legitimasi
atas identitas kelompok mereka dengan menunjukkan bahwa diri mereka benar-benar
“orang asli” di antara penduduk pribumi yang lain. Mereka berusaha menunjukkan bahwa mereka tetap berpihak pada
identitas mayoritas. Mereka berusaha untuk “mengambil hati” mayoritas bahwa
mereka tetaplah bagian yang otentik dan satu dari identitas pribumi. Proses
untuk menunjukkan “jati diri” bahwa mereka bukanlah “antek” Belanda, namun
tetap pribumi yang nasionalis seperti kebanyakan mayoritas, ternyata juga
dibuat oleh para pribumi Katolik di Indonesia.
Keaslian atau keotentikan mereka sebagai orang pribumi dan bukan Belanda,
mereka tunjukkan dengan mengatakan bahwa mereka juga menentang kolonialisme
Belanda. Ini berarti bahwa untuk bisa keluar dari stigma pengikut “agama
wlondo”, mereka harus mau mengadakan “perlawanan” terhadap hegemoni yang selama
ini terjadi di dalam diri mereka. Tampaknya, hal ini tidak mudah dilakukan.
Hegemoni yang dilakukan oleh para misionaris di dalam kesadaran mereka, sudah
terlanjur menancap kuat. Mereka tentu saja tetap mengatakan bahwa diri mereka
tetap berpihak kepada bangsa mereka, dan menyatakan diri sebagai para
nasionalis, namun jauh di dalam lubuk hati, mereka tetap menjunjung tinggi
paham-paham Katolik, yang pasti dalam banyak hal sangat berbeda dengan kultur
asli mereka. Itu berarti bahwa nasionalisme orang Katolik pribumi sebenarnya
terasing dari kultur asli mereka. Itulah rumitnya identitas hibrid yang
dimiliki oleh para pribumi Katolik di Indonesia.
Boleh saja rambut, wajah, mata, kulit, tinggi badan, dan segala identitas
fisik mereka tetaplah seperti orang Indonesia kebanyakan, namun dalam konsep,
cara merasa, cara berpikir, ritual batin mereka, atau “spiritualitas”, mereka
tidak lagi “sawo matang” namun campuran antara “sawo matang dan bule.” Tentu
ini tidak bisa dihindari dalam diri para pribumi Katolik. Saya teringat cerita
ibu saya yang pernah menjadi guru di sebuah sekolah misi di Pontianak,
Kalimantan Barat. Ibu saya selalu membayangkan bahwa cara hidup dan berpikir
yang baik adalah seperti para Romo Belanda. Kata ibu saya, “Mereka itu
disiplin, tegas, teratur dan berpindidikan”. Ibu saya seorang Jawa, kelahiran
desa Jombong, Magelang, sebuah desa di lereng Gunung Merapi, dia menjadi
katolik sudah dewasa. Lalu bersekolah di sekolah Katolik dan menjadi guru di
sekolah misi Katolik. Karena persentuhan dengan semua kultur di dalam misi
Katolik Belanda, maka ibu saya tidak lagi menjadi kebanyakan para wanita Jawa.
Ia berubah menjadi orang praktis, disiplin dan sangat teratur. Dan itu
diwariskan kepada saya dan anak-anaknya. Namun demikian, ibu saya tetap
mencintai negeri Indonesia ini. Persis kata para lulusan Kolese Xaverius,
Muntilan, mereka mencintai Indonesia karena mereka adalah Katolik yang dididik
oleh para misionaris Belanda.
Para pribumi Katolik Jawa hasil pendidikan Kolese Xaverius, Muntilan dan
juga ibu saya adalah nasionalis sejati. Meskipun di dalam kesadaran mereka
tertanam iman Katolik warisan Belanda, mereka tidak pernah mau mengatakan bahwa
penjajahan Belanda itu telah meninggalkan kenangan indah. Penjajahan tetaplah
hal yang harus dilawan dan dimusnahkan. Maka, pendidikan Belanda yang mereka
dapatkan, sebenarnya juga sebagai alat untuk lepas dari hegemoni yang selama
ini telah mengungkung diri mereka, termasuk diri masyarakat di sekitar mereka
hidup. Akhirnya, identitas Katolik yang mereka miliki tetaplah tidak pernah
secara tuntas melumat ke-pribumi-an mereka, namun mereka adalah pribumi yang
bergerak dalam dua kultur yang berbeda namun hidup dalam satu ruang, yaitu
labirin kesadaran di dalam diri mereka. Di dalam labirin itulah, para pribumi
Katolik Jawa terus melakukan “perlawanan” untuk tidak dengan mudah ditaklukan
oleh sebuah kultur “lain” (Barat-Belanda) yang selama ini telah menjajah diri
mereka. Penjajahan kolonial Belanda, bahkan lewat cara penyebaran iman Katolik,
tidak pernah sepenuhnya membuat para pribumi Jawa tunduk pada kultur Belanda.
Oleh karena itu, selalu ada ruang resistensi untuk melawan hegemoni kekuasaan
di kalangan pribumi terjajah. Dan ruang-ruang itu sulit untuk dikuasai oleh
Sang Penjajah.
IV.
Kepustakaan
Djajasepoetra SJ, Adrianus, Salam
dari Jawa Katolik Bagi Nederland, dalam Budi Susanto, ed. Harta dan Surga, Peziarahan Jesuit dalam
Gereja dang Bangsa Indonesia Modern, (Yogyakarta: Kanisius, 1990, hlm.
17-21).
Surat Direktur Kantor
Pengajaran&Agama kepada Gubernur Jendral diterjemahkan oleh Romo E.
Djajaatmadja, SJ, dalam Budi Susanto, ed. Harta
dan Surga, Peziarahan Jesuit dalam Gereja dang Bangsa Indonesia Modern, (Yogyakarta:
Kanisius, 1990, hlm. 23-33).
Slamet, Michael, Yang Kuingat
Dari Sekolah Jesuit Muntilan, dalam Budi Susanto, ed. Harta dan Surga, Peziarahan Jesuit dalam Gereja dang Bangsa Indonesia
Modern, (Yogyakarta: Kanisius, 1990, hlm. 35-41).
Doeriat, R.G, Pendidikan
Dasar Gaya Para Jesuit, Cerita Dan Cita Di Muntilan, dalam Budi Susanto,
ed. Harta dan Surga, Peziarahan Jesuit
dalam Gereja dang Bangsa Indonesia Modern, (Yogyakarta: Kanisius, 1990,
hlm. 43-56).
Seda, Frans, Simfoni Yang
Tidak Pernah “Rampung” Bergema, dalam Budi Susanto, ed. Harta dan Surga, Peziarahan Jesuit dalam
Gereja dang Bangsa Indonesia Modern, (Yogyakarta: Kanisius, 1990, hlm.
57-80).\
Susanto, Budi, Swara Tama dan
Polemik Bahasa “Persatuan”, dalam Budi Susanto, ed. Harta dan Surga, Peziarahan Jesuit dalam Gereja dang Bangsa Indonesia
Modern, (Yogyakarta: Kanisius, 1990, hlm. 81-91).
Djajaatmadja SJ, E, Mikjul
Dhuwur Mendhem Jero, dalam Budi Susanto, ed. Harta dan Surga, Peziarahan Jesuit dalam Gereja dang Bangsa Indonesia
Modern, (Yogyakarta: Kanisius, 1990, hlm. 93-105).
Pranatawidjaja, SJ, Novisiat
Masa Perjuangan Yang “Main-Main” = Dolan-Dolan=Berpindah-pindah, dalam Budi
Susanto, ed. Harta dan Surga, Peziarahan
Jesuit dalam Gereja dang Bangsa Indonesia Modern, (Yogyakarta: Kanisius,
1990, hlm. 107-120).
Sutrisno, Mudji FX, Krisis di
Ambarawa: “Laporan Bruder Woerjaatmadja SJ”, dalam Budi Susanto, ed. Harta dan Surga, Peziarahan Jesuit dalam
Gereja dang Bangsa Indonesia Modern, (Yogyakarta: Kanisius, 1990, hlm.
127-137).
Childs, Peter dan Williams, Patrick, R.J, An Introduction to Post-Colonial Theory, (Prentice Hall Europe,
1997, hlm. 122-147).
Faruk, Mimikri Dalam Sastra
Indonesia, artikel dalam Jurnal Kalam, foto copy-an sebagai bahan mata
kuliah poskolonial. Edisi dan tanggal terbit tidak tertera.
oO()Oo
No comments:
Post a Comment