Monday, March 11, 2019

PSI DI MATAKU


PSI adalah partai baru. Partai anak muda yang cukup berani untuk bersuara berbeda. Grace Natalie dan Tsamara Amany menjadi "icon" dari PSI. Sosok perempuan yang tidak sekedar cantik, tapi cerdas dan berani. Dua kali mencoba mengikuti dari dekat Tsamara memaparkan perspektif politiknya. Khas anak muda, tetapi cukup okaylah untuk belantara politik partai Indonesia, yang bagi saya tidak cukup menarik. Karena secara pribadi saya sudah jatuh cinta dgn Partai Komunis Indonesia (PKI), yang dihancurkan oleh rezim Orde Baru. Tidak ada partai yang ideologinya sejelas PKI. Setelah partai itu dilarang (tapi belum dibubarkan). 
 
Identitas PKI akhirnya menjad alat politik bagi kelompok yang merasa perlu untuk menghantam lawan. Sampai pemilu ini pun, reproduksi tentang PKI masih cukup kuwat. Padahal secara real politik PKI sudah tidak ada lagi. Tentu PSI tidak bisa dibandingkan dengan PKI. Walau saya sering berharap bahwa huruf "S" itu bisa diganti sosialis. Tidak sosialisme dalam arti ketat, paling tidak sosialisme a la Sutan Syahrir. Tapi, sekali lagi. Tidak bisa dibandingkan karena situasi dan zaman sudah berubah. Dalam sebuah perubahan itu PSI hadir dan cukup bisa mewakili gaya milenial. Meskipun ini perlu bukti sejauh mana PSI bisa merengkuh hati milenial. Paling tidak PSI bisa hadir dengan gaya lain dibandingkan Partai Berkarya (atau yang sejenis) yang masih rindu Orde Baru. Jika PSI bisa lepas dari cengkraman bayang-bayang Orde Baru, itu sdh lumayanlah, dibanding partai-partai lain yang gaya gubernatio-nya masih menggunakan klan dan darah biru model partai Orde Baru. 
 
PSI juga masuk dalam kategori partai yang mengusung nasionalisme, mencoba menghindar dari aroma agama (yang kanan). Tidak mau terjebak pada kecondongan agama untuk mendulang suara. Dia mau melawan perda-perda berbasis syariah. Sikap politik yang jelas tidak populer di Indonesia yang masyarakatnya sangat agamis. Selain itu ada sedikit perhatian pada kaum "buruh" walau belum cukup bisa mewakili suara mayoritas kaum buruh. Meski saya tahu bahwa salah satu tokoh PSI ada anak muda yang benar-benar2 menguasai isu buruh. Lepas dari semua itu, dalam persepktif gender (maskulin) dalam media massa (sosial) PSI cukup "eye cathing" dengan dua figur perempuan yang bergaya milenial (semoga juga progresif). Gaya komunikasi yang renyah dan mencitrakan diri sebagai partai yang ringan dan happy. 
 
Dunia politik itu tidak harus mewajah dalam dahi yang berkerut dan mulut yang berbusa untuk menyampaikan propagandanya. Tetapi bisa lebih segar dengan gincu dan maskara. Warna merah yang menantang tetapi membuat happy dan bukannya hati ciut. Sungguh berbeda dengan sebuah partai yang diorganisir orang-orang yang bertampang serius dan kalau duduk rapat ruangan penuh asap rokok dan bau kopi...😅 PSI berhasil mematahkan imajinasi tentang partai yang penuh dengan asap rokok. Semoga PSI bisa menghabisi polusi asap rokok di dunia politik Indonesia yang bikin sesak napas. Apakah saya lantas pendukung PSI? Nanti dulu...😀

Awas Para Mucikari Politik Gentayangan!!!

Awas Para Mucikari Politik Gentayangan!!!

Apa boleh dikata, bahwa demokrasi tidak bisa mengelak dari para mucikari politik. Dan hasilnya adalah Sang Otoriter (bisa) diberi panggung untuk menang.

Gagasan demokrasi  masih dianggap paling waras dari semua sistem negara saat ini. Akan tetapi demokrasi juga menyediakan lubang besar bagi negara yg mengimaninya sbg satu-satunya sistem yang baik. Dalam konteks Indonesia saat ini, demokrasi diam-diam sudah berubah menjadi mobokrasi karena demokrasi akhirnya membuka partisipasi politik bagi semua saja, termasuk golongan ultra kanan yang membawa kesalehan agama. Kita mungkin tidak pernah tahu pasti bahwa mereka yang membawa bendera agama utk berkontestasi pada pemilu mendatang sudah melakukan deal politik dengan para agen yang membeli "massa" kelompok-kelompok ultra kanan. Ada banyak negara yang punya kepentingan dengan Indonesia apalagi selama rezim Jokowi berkuasa, ada banyak sumber daya yang bisa direbut dan kembali ke RI. 

Tentu banyak pihak yang punya kepentingan investasi di Indonesia akan meradang. Kita tahu bahwa banyak pelaku politik di Indonesia (sejak jaman ORLA dan terlebih ORBA) yang pekerjaannya menggadaikan kekayaan Indonesia ke para pialang sumber daya alam. Tentu saja mereka tidak mau rezim Jokowi akan menang. Satu-satunya jalan adalah menggelontorkan dana untuk mendorong gerakan ultra kanan yg menggunakan kesalehan agama untuk mendapatkan para pengikut militan. Dan uji coba itu berhasil saat pemilu DKI. 

Pola itu direplikasi utk pemilu presiden dan sebenarnya polanya jelas bahwa gerakan militansi itu merambah ke semua wilayah dan golongan. Bukan sekedar Islam, non-Islam pun ada yg mendukung atau terpengaruh dengan gerakan ini. Bagi saya, situasi saat ini tidak lebihnya para mucikari politik yang sedang memberi jalan lempang bagi munculnya Sang Otoriter baru. Jika bukan militer, bisa jadi menggunakan kekuatan para militer. Ini sangat mengerikan.

Militansi Pemilih

Militansi pilihan politik (presiden) tidak akan pernah menyentuh rasa (ideologis) kalau sekedar diberi pameran statistik keberhasilan pembangunan (insfrastruktur atau berbagai produk kartu-kartu untuk rakyat). Keberhasilan ekonomi pun belum bisa menggiring calon pemilih utk menggunakan nalarnya. Karena pada hakikatnya kontestasi politik (Indonesia) saat ini lebih ditentukan oleh logika agama ultra kanan dan kapitalisme. 

Populisme tidak dibangun atas gairah utk lebih maju sebagai "bangsa", tetapi masih menyengat dengan romantisme (rindu) terhadap sosok otoritarian (masokisme politik). Rasanya kebebasan lepas dari belenggu otoritarian tidak dirasakan sebuah kenikmatan yang melegakan. Hasrat untuk ditindas dan saling menindih lebih menggairahkan hasrat (politik) ketimbang hidup tanpa sebuah siksaan (politik). Tokoh-tokoh yang bisa menampilkan diri sebagai supra individual jauh lebih mengesan daripada sosok yang merakyat dan tulus. Lantas apa yang akan terjadi di bulan April 2019? Kemajuan atau kemunduran (demokrasi)? Supremasi sipil atau militer? Kapitalisme berbaju agama atau nasionalis? Islam nasionalis atau non-nasionalis?

Mari kita tentukan pilihan kita dengan baik.

Pramuka (terkenal) di Tahun 1998

Pramuka (terkenal) di Tahun 1998


".....lebih baik diganti Pramuka". Kalimat terakhir itu sebuah renovasi total syair lagu "Mars ABRI". Lagunya diawali dengan "Angkatan bersenjata Republik Indonesia......(dst)" dan bait syair dari Mars ABRI itu ada yang berbunyi demikian "....mempertahankan Republik Indonesia." Nah, pada bait itu kemudian diganti menjadi "....lebih baik diganti Pramuka." Sungguh yang menggubah syair Mars ABRI ini orang yang sangat kreatif dan luar biasa. (Semoga orang ini diberikan kelimpahan kesejahteraan...)

Mars ABRI ini berubah total di jalanan saat marak aksi demo mahasiswa 1998. Saya paling bersemangat saat menyanyikan lagu "Mars ABRI" yang kemudian menjadi salah satu "Mars Mahasiswa" yang demo di jalanan, lapangan kampus dan juga di Gedung MPR. Tidak saja menggugah semangat di tengah terik panas jalanan Ibu Kota, tetapi rasanya memang pas dengan tuntutan mahasiswa waktu itu yakni agar Dwi Fungsi ABRI dicabut.

Mars ABRI ini memang sangat gagah dan menggugah rasa nasionalisme. Anak-anak yang tumbuh di waktu ORBA, pasti akan sering mendengar Mars ABRI. Termasuk saya waktu itu sering mendengarnya di TV dan radio. Tentu di sekolah saat peringatan hari-hari nasional dan hari ABRI. Kebetulan waktu saya SD, saya sekolah di yayasan milik polisi (Kemala Bhayangkara). Mars ABRI selalu dinyanyikan dan membuat hapal di luar kepala saat upacara peringatan hari nasional. Betapa tidak bangganya rakyat memiliki  ABRI sebagai lembaga pembela negara dan penjaga RI. Tetapi semakin lama orang tahu bagaimana perilaku dan tindakan para tentara waktu itu. Saya pun juga demikian, semakin banyak tahu dan (diajari untuk berpikir kritis), menjadi semakin tidak yakin, apakah memang ABRI membela negaranya sendiri. Karena yang terasa adalah banyak kasus di RI yang dilakukan ABRI justru menjadi sangat menakutkan. Jika teman-teman pernah berdekatan dengan kelompok-kelompok marginal dan kemudian ikut mengorganisir mereka, di zaman ORBA, pasti akan bertemu dengan bapak tentara. Mulai dari sekedar dikasih nasehat sampai dengan ancaman serius terhadap diri anda.

Sosok bapak tentara menjadi "momok" yang menakutkan di siang hari dan terlebih di malam hari. Baju hijau tidak lagi membuat mata sejuk tetapi membuat hati bergetar (antara takut dan nyali berani berbaur jadi satu). Tidak ada yang lebih menakutkan bertemu ABRI daripada sundel bolong. Pengalaman itu menjadi demikian meluas dan memiliki daya kejut kuwat bagi para kelompok-kelompok perlawawan untuk memposisikan ABRI sebagai salah satu musuh bersama. ABRI akhirnya menjadi alat rezim untuk menakut-nakuti rakyat. Lah terus gimana mereka mau menjaga RI, kalau rakyatnya sendiri malah menjadi musuh? Itu pikiran kami dulu yang bergerak di jalanan. Maka saat, maraknya gerakan massa untuk melawan ORBA di jalanan yang dimotori oleh mahasiswa, banyak berbagai lagu digubah sebagai protes. Salah satunya Mars ABRI tersebut. Jadi konteks gubahan lagu itu memang tuntutan mahasiswa agar ABRI kembali pada tempatnya, yakni menjadi pelindung dan penjaga RI. Bukan menjadi lembaga yang menakutkan bagi rakyat.

Kalau lagu itu sampai direnovasi total syairnya, hampir terbalik dari syair aslinya, kita semua bisa bertanya, betapa "kejengkelan dan kemarahan" rakyat bisa terungkap dalam renovasi total dari syair lagu itu. Mars ABRI yang dirubah syairnya menjadi protes paling keras terhadap peran ABRI selama rezim ORBA berkuasa. Tidak hanya itu, kita berpikir bahwa tuntutan untuk mengembalikan fungsi ABRI pada profesinya yang sesungguhnya justru akan menjadikan ABRI dimampukan untuk mewujudkan Mars ABRI yang benar.

Reformasi berjalan, POLRI dipisahkan dari ABRI. ABRI kemudian menjadi TNI. Meskipun berjalan tidak mulus, karena secara internal ABRI sendiri terjadi friksi-friksi rumit yang pasti tidak mudah untuk mereka, akhirnya toh berhasil menempatkan posisi dan fungsinya pada masa reformasi. Teriakan mahasiswa agar tentara kembali ke barak dan tidak ambil peran dalam politik praktis pun didengar. Kalau mau berpolitik ya harus keluar atau pensiun dulu, misalnya seperti AHY, karena "nyalon" gubernur DKI. AHY harus keluar dari TNI. Hal itu sudah menjadi tanda bahwa ABRI memang sudah akan menjadi TNI. Tentu saja, perubahan ini harus tetap dijaga, karena kecenderungan lembaga negara yang memegang senjata, dia akan selalu punya peluang untuk menggunakan kewenangannya untuk berkuasa mutlak.

Jika, hasrat untuk menjadi penguasa mutlak dan kembali menakutkan rakyat, maka seruan reformasi itu harus diingat bahwa  ABRI "....lebih baik diganti pramuka." Pramuka lebih adem dan suka menolong (rakyat). Itulah yang membuat Pramuka begitu terkenal di tahun 1998....😀😀😀

MAY DAY 2019: KAMI PEKERJA, KAMI BUKAN BUDAK!!!

(feature ini sudah dimuat d Koran Suara Hong Kong 7/5/2019) Lima perempuan mengenakan pakaian hitam dan matanya ditutup dengan kain ka...