Wednesday, January 2, 2019

8,9 SKALA RICHTER DALAM PERSPEKTIF BOURDIEU


Negeri bencana, begitulah Indonesia diberi predikat. Setelah tsunami menggulung Aceh dan Nias, gempa bumi, banjir, tanah longsor, angin topan, gunung meletus dan lain sebagainya terus menyatroni berbagai wilayah di Indonesia. Selain mendatangkan penderitaan dan kepedihan, bencana juga mendatangkan relawan atau pekerja kemanusiaan. Bencana lantas menjadi identik dengan persoalan kemanusiaan. Orang yang bekerja untuk menangani penderitaan manusia akibat bencana, kemudian disebut sebagai pekerja kemanusiaan. Ada banyak jenis pekerja kemanusiaan, dari mereka yang bergabung dengan lembaga-lembaga kemanusiaan sampai dengan perseorangan yang tidak mau terikat oleh salah satu lembaga. Tentu saja, entah perorangan atau lembaga, membantu orang yang terkena dampak bencana pasti membutuhkan biaya.
Nah, jika Bourdieu seorang pekerja kemanusiaan, apa yang akan dia lakukan? Ia ingin bekerja di salah satu lembaga kemanusiaan atau ingin bekerja sendiri? Apakah dia mau digaji, taruhlah 20 juta rupiah per bulan, jika ia bekerja di sebuah lembaga kemanusiaan internasional yang besar? Atau dia memilih menjadi relawan kemanusiaan tulen, yang bekerja tanpa mengharap imbalan upah? Atau Bourdieu memilih jalan tengah, ia tidak mau digaji tinggi, namun ia bisa bebas mencurahkan perasaan kemanusiaannya untuk menolong korban? Dan apa sikapnya, jika ternyata dunia kemanusiaan sekarang banyak dikritik sebagai industri kemanusiaan atau bisnis kemanusiaan (humanitarian industry or aid business)?
Pertanyaan-pertanyaan itu akan menjadi titik pijak dalam tulisan ini untuk melihat bentuk “budaya kemanusiaan” seperti apa yang terjadi di Indonesia setelah negeri ini menjadi lekat dengan berbagai persoalan bencana alam.

I. 8,9 Skala Richter

Menurut catatan jaringan seismic dunia, di antaranya yang berada di United States Geological Survey (USGS), gempa yang terjadi di Samudra Hindia dan berjarak 149 kilometer dari Meulaboh, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) adalah gempa yang terbesar sepanjang sejarah. Kekuatan gempa yang bisa dipantau oleh Global Seismic Network tersebut sampai dengan 8,2 Mw (Moment Magnitude). Pusat Gempa Nasional (PGN) di Jakarta mencatat gempa di Aceh hanya sebesar 6,8 skala Richter, namun CNN melaporkan bahwa gempa tersebut berkekuatan 8,9 skala Richter dan jaringan televisi BBC menunjuk angka 8,5 skala Richter. Maka dari itu, gempa di Aceh menimbulkan dampak kegempaan sampai radius 200 kilometer. Gempa itu juga memicu terjadinya gempa di Kepulauan Nicobar di sebelah utara pusat gempa pada jarak 550 kilometer serta mengguncang Pulau Andaman.
Selain menimbulkan getaran yang sangat kuat, gempa itu juga menyebabkan terjadinya deformasi vertikal di sumber gempa. Deformasi yang merupakan penurunan permukaan dasar laut tersebut mengakibatkan penjalaran energi kinetik menjadi gelombang tsunami di daerah pantai. Karenanya, daerah pantai merupakan daerah rawan tsunami apalagi kalau bentuknya berteluk. Akibatnya, lebih dari 150.000 orang dikabarkan tewas akibat gempa dan tsunami di Aceh. Puluhan ribu rumah dan infrstruktur luluh lantak, dan ratusan ribu orang menjadi pengungsi. Penderitaan datang dari goncangan 8,9 skala Richter. Manusia tidak berdaya dihadapan kekuatan alam.
Wacana tentang penderitaan pun berkumandang di seluruh penjuru dunia. Orang tidak mampu lagi menahan hatinya untuk tidak bergerak menolong korban. Solidaritas kemanusiaan tidak saja di Indonesia, hampir seluruh manusia di bumi merasakan keprihatinan yang sama. Sebuah kejutan yang tiba-tiba menjadi sebuah solidaritas global. Dan tentu saja, bantuan kemanusiaan global pun tiba-tiba datang berbondong-bondong ke bumi serambi mekah. Penderitaan para korban, telah membawa gelombang tsunami kedua, yang bernama bantuan kemanusiaan. Dalam waktu singkat, masyarakat Belanda bisa mengumpulkan dana sebesar 112.144.000 euro atau setara dengan Rp. 1,422 triliun (dengan kurs 1 euro = Rp. 12.681,21). Orang Belanda yang terkenal sangat irit (atau pelit), tidak tanggung-tanggung untuk memberikan uangnya demi membantu korban tsunami di Aceh. Mereka yang berkampanye untuk menggalang bantuan, juga tidak tanggung-tanggung, seperti Perdana Menteri Balkenende, mantan PM Wim Kok, dan pelatih sepak bola Guus Hiddink. Tidak kalah menariknya para artis papan atas Belanda pun ikut bergabung, seperti Frans Bauer dan Marco Borsatto. Mereka semua tergerak dengan sebuah kampanye yang diberi judul Help stachoffers Aardbeving Azie: Giro 555. Tulisan itu disertai dengan sebuah foto seorang ayah di Aceh yang dengan pilu mengangkat bayinya yang tewas dari genangan lumpur dengan wajah yang memancarkan duka yang mendalam. Ini baru Belanda, belum lagi Jerman, Perancis, Inggris, Amerika dan seterusnya. Uang begitu cepat sekali terkumpul dan milyaran US Dollar sudah terbang ke Aceh untuk mengemban misi kemanusiaan.
Proses pengumpulan dana di Belanda yang dilakukan oleh para Perdana Menteri, mantan PM dan para artis, memberikan sebuah wacana sendiri tentang penderitaan. Saat penderitaan diwacanakan oleh para orang yang memiliki pengaruh, penderitaan tidak lagi menjadi fakta bahwa manusia memang menderita, namun sudah berubah menjadi sebuah logika sosial. Dalam konteks ini, Bourdieu berbicara soal habitus. Dalam konsepnya tentang habitus, Bourdieu mau melihat bagaimana logika sosial sebenarnya digerakan bukan pada sebuah determinisme atas dominasi sebuah agency, namun oleh struktur internal individu. Jika memang ada habitus kemanusiaan, ia bergerak tidak didasarkan pada dikotomi individu – masyarakat, agency – struktur sosial, dan kebebasan – determinisme, namun ia bergerak “tanpa disadari” sebagai sebuah kenyataan internal yang melekat dalam diri manusia. Itulah mengapa fenomena tsunami menjadi sebuah fenomena kemanusiaan global.
Fenomena solidaritas global dalam konteks bencana tsunami menarik untuk dilihat dari sisi ini. Ketergerakan manusia melihat penderitaan, sebenarnya merupakan hasil panjang dari proses manusia memahami pentingnya nilai diri manusia. Ini tidak bisa terbentuk dalam sebuah proses yang singkat. Dalam bahasa Bourdieu, hasil sebuah prilaku manusia diperoleh dari the dialectic of the internalization of externality and the externalization of internality. Dalam konteks ini, bencana di Aceh sudah membuat manusia melakukan internalisasi terhadap kenyataan di luar dirinya, dan sekaligus sudah menjadi proses ekternalisasi yang datang dari dalam dirinya. Dalam relasi dialektis, penderitaan dan kemanusiaan sudah menelorkan apa yang disebut oleh Bourdieu sebagai praksis tindakan (practical sense).
Sejak bencana besar terjadi di Indonesia, hampir semua media memberitakan hal itu. Misalnya saja Kompas, dari hasil liputan dan wacana tentang bencana di Aceh telah menghasilkan sebuah buku yang berjudul Bencana Gempa dan Tsunami yang tebalnya 562 halaman. Kalau kita membaca berbagai topik diseputar tsunami dan gempa di Aceh, kita akan menemukan bahwa kajiannya akan merentang dari ilmu pengetahuan alam, ilmu tentang bencana, ilmu sosial, ilmu politik, ekonomi dan tentu saja sampai pada refleksi teologis tentang penderitaan. Wacana ini tentu saja memberi dampak pada apa yang oleh Bourdieu disebut sebagai proses keterampilan yang didapat dari struktur yang dibentuk menjadi struktur yang membentuk. Artinya, wacana tentang penderitaan, telah membentuk sebuah habitus baru tentang kemanusiaan. Wacana penderitaan menjadi sebuah faktor luar yang membuat manusia bereaksi untuk menginternalisasikan kenyataan itu dalam pembentukan kediriannya. Maka, wacana tentang penderitaan manusia yang diakibatkan oleh tsunami dan gempa, sudah menjadi sebuah praksis tindakan bagi manusia Indonesia. Untuk sampai di sana paling tidak ada tiga hal yang penting untuk dilihat dari sisi konsep habitus.

a.     Habitus sebagai hasil keterampilan

Bagaimana gejala itu bisa terlihat? Bencana alam sebenarnya adalah faktor di luar kekuasaan manusia. Itu adalah gejala alam. Namun, dari dalam diri manusia selalu muncul kecenderungan untuk selalu memahami alam. Itu ada dalam seluruh wacana yang dibangun lewat pemberitaan media. Setelah bencana tsunami dan gempa terjadi, analisa dari berbagai macam sudut ilmu bermunculan. Dari sudut ilmu untuk memahami alam, banyak topik yang ditulis, misalnya, “Memahami Gempa Serta Tsunami di Aceh dan Sumatera Utara”, “Gelombang tsunami dapat diprediksi,” “Mengapa korban di Aceh banyak?”, “Penanganan Jenazah di Daerah Bencana”, “Perlu Sistem Peringatan Tsunami Nasional” dan lain sebagainya. Bencana dan penderitaan telah membuat manusia berpikir kembali untuk melihat dirinya berelasi dengan alam.
Wacana yang dibangun seputar tsunami dan gempa, akhirnya menelorkan sebuah keterampilan. Ia diperoleh dari struktur wacana yang dibentuk akhirnya menjadi sebuah   struktur wacana yang membentuk. Itu artinya, bahwa wacana telah menginternalisasi manusia Indonesia untuk sadar bahwa mereka hidup di wilayah bencana dan mengharuskan mereka untuk memproduksi berbagai keterampilan yang bisa digunakan untuk mengatasi banyaknya bencana yang ada di seputar kehidupan harian mereka.

b.    Habitus sebagai kerangka penafsiran

Wacana diseputar tsunami dan gempa, mau tidak mau telah menggertak manusia di Indonesia untuk melihat bahwa bumi yang selama ini dipijaknya ternyata mengandung potensi untuk mematikan dirinya. Wacana dari sisi pengetahuan alam, membuat diri manusia lantas berpikir, bagaimana ia harus menempatkan dirinya dalam seluruh persoalan itu. Dan saat bencana terjadi dan korban begitu banyak, apa yang harus dilakukannya? Maka, manusia tidak saja melihat mengapa alam bisa membuat ulah dan menimbulkan bencana, namun lebih jauh manusia ingin melihat dirinya dari sisi kemanusiaannya. Hal itu bisa dilihat dari berbagai topik wacana yang pernah dimuat oleh Kompas.
Dari sisi reaksi kemanusiaan, berbagai tema muncul, misalnya: “Kuburan massal” Itu Bernama Banda Aceh,” “Penderitaan”, “Sedih melelahkan di Serambi Mekah”, Cut dan Nyak Kini Hanya Berbekal Buntelan”, “Desy Chaerani Akhirya Meninggal”, “Mengapa di Tanahku Terjadi Bencana”, “Rekonsiliasi, Hikmah di Balik Bencana,” dan lain sebagainya.
Isi dari tema-tema tersebut di atas, sebenarnya menunjukkan berbagai upaya manusia untuk memahami bagaimana dampak bencana membuahkan berbagai macam bentuk kontruksi sosial. Di dalamnya, ada banyak jalinan sosial, ekonomi dan politik tertuang. Tentu saja membuat manusia lantas menemukan bentuk baru dari pembangunan dirinya. Itu berarti bahwa wacana penderitaan tidak hanya sampai pada manusia menerima dirinya, namun memberi sebuah orientasi baru bagaimana manusia menafsirkan realitas. Maka dari itu, penderitaan tidak lantas membuat manusia diam, namun memberikan perspektif untuk membuahkan dasar pijakan untuk bertindak secara praktis.

c.     Habitus sebagai sumber kreativitas

Bencana yang dahsyat dan semakin beruntun, membuat manusia Indonesia semakin kreatif menemptakan dirinya di tengah situasi itu. Hal itu bisa dilihat dari berbagai wacana yang dibangun, “Bencana dan Transformasi “Volontaire”, “Media dan Penanggulangan Bencana”, “Menyelamatkan Pendidikan Anak-anak Aceh”, “Pendidikan Darurat Pasca-bencana”, “Mengapa Tidak Berpikir Praktis”, “Manajemen Bencana Kurang Efektif”, “Mewujudkan Potensi Ekonomi dengan Kesetiakawanan Sosial”, “Indonesia Membangun Aceh”, “Ruang Udara di Nanggroe Aceh Darussalam”, “Membangun Lagi Bumi Tempat Berpijak” dan lain sebagainya.
Contoh-contoh wacana yang dibangun itu, sebenarnya menunjukkan bahwa manusia tidak berhenti pada kenyataan pedih penderitaan setelah bencana terjadi, namun mampu menafsirkan realitas secara kreatif. Ini artinya manusia mampu mengatasi determinisme alam untuk keluar dalam ruang kebebasannya. Alam memang dahsyat, manusia tidaklah mampu untuk bisa menaklukannya. Justru kebanyakan yang terjadi alamlah yang menaklukan manusia, bahkan sekuat tenaga manusia untuk mengatasinya. Namun, manusia akhirnya berusaha terus secara kreatif untuk terus menemukan celah dalam keterbatasannya membangun kemampuan strategis dalam menghadapi kenyataan alam itu. Inilah yang akhirnya menelorkan sebuah habitus bagi manusia untuk bersikap secara bebas dalam kurungan determinasi alam.

II. Etos Kemanusiaan dan Logika Sosial

            Refleksi Bourdieu tidak hanya berhenti di situ. Ia masih sangat optimis bahwa habitus akhirnya bisa membentuk yang namanya etos. Etos dalam pengertian Bourdieu adalah segala bentuk nilai dan prinsip-prinsip keseharian yang akhirnya dipraktikan dan sebuah bentuk moral yang tidak eksplisit, namun mengatur prilaku sehari-hari. Pembangunan wacana tentang bencana dan persoalan kemanusiaan yang terjadi di Indonesia, semestinya sampai kepada apa yang dimaksud Bourdieu dengan etos. Oleh karena itu, sangat diharapkan bahwa akan muncul sebuah etos kemanusiaan di Indonesia. Gejala-gejala ini sebenarnya mulai muncul di tengah masyarakat kita. Meskipun itu belum bisa dikatakan sebagai generate, memakai konsep Bourdieu yang lain. Tetapi itu menjadi hal yang sangat penting untuk kasus Indonesia paska tsunami dan gempa di NAD.
            Etos kemanusiaan ini lebih banyak dipromosikan oleh lembaga-lembaga kemanusiaan, baik tingkat lokal, nasional atau internasional, yang dalam banyak hal menjadi salah aktor penting dalam penanganan bencana. Lembaga-lembaga kemanusiaan itu, selain memberikan bantuan kemanusiaan, sebenarnya memberikan sebuah wacana penyadaran tentang apa yang dikatakan sebagai prinsip-prinsip kemanusiaan. Salah satu prinsip kemanusiaan yang sangat penting dari Piagam Kemanusiaan adalah Hak terhadap kehidupan yang bermartabat. Isi dari prinsip itu berbunyi demikian, “Hak ini tercermin dalam langkah-langkah hukum terkait dengan hak untuk hidup, hak terhadap stadar kehidupan yang layak dan hak untuk bebas dari perlakuan atau penerapan hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia. Kami memahami bahwa hak orang perorangan untuk hidup berarti juga hak untuk mendapatkan langkah-langkah penyelamatan nyawa yang harus diambil ketika ada ancaman terhadap nyawa/hidup tersebut, serta sebaliknya adanya kewajiban yang sama terhadap orang lain untuk mengambil langkah-langkah semacam itu. Tersirat di dalamnya adalah kewajiban untuk tidak menghambat atau mencegah penyediaan bantuan untuk menyelamatkan nyawa manusia…”
            Prinsip tersebut tentu saja menjadi pegangan banyak lembaga kemanusiaan dan terutama bagi pekerja kemanusiaan. Di tengah persoalan kemanusiaan, lembaga-lembaga kemanusiaan berusaha untuk mengaplikasikan prinsip ini secara real. Walau, banyak fakta menyingkapkan bahwa banyak dampak negatif yang ditimbulkan akibat intervensi lembaga-lembaga kemanusiaan, namun usaha untuk menularkan prinsip tersebut tetaplah menjadi salah satu hal positif yang patut dicatat. Prinsip-prinsip kemanusiaan itu selalu dijabarkan dalam kerja praktis lembaga kemanusiaan saat mereka memberikan bantuan kepada kelompok masyarakat yang menjadi dampingan mereka. Tentu saja, satu hal yang menjadi penting di sini adalah soal “hak terhadap kehidupan yang bermartabat”. Tafsiran tentang hak ini, menjadi salah satu prinsip humaniter yang begitu penting menyebar di tataran praktis. Maka selain ada wacana yang terbangun lewat media masa, setiap bencana sebenarnya membuka peluang munculnya promosi paling praktis dan konkret soal martabat manusia. Di sinilah letak paling esensial dari apa yang saya katakan sebagai etos kemanusiaan. Etos kemanusiaan adalah etos yang berorientasi pada perwujudan martabat manusia.
            Sebuah harapan dicanangkan akan tumbuhnya etos kemanusiaan di masyarakat kita, entah dengan belajar dari wacana yang dibangun lewat media (cetak dan visual) dan wacana yang dibangun lewat bantuan kemanusiaan. Semua itu sangat dibutuhkan untuk menemukan bentuk yang dikatakan oleh Bourdieu sebagai etos. Etos itu akan menjadi  nilai yang dibatinkan sebagai hasil dari munculnya habitus dalam masyarakat. Maka, etos akan menjadi, objectively adapted to their goals without presupposing a conscious aiming at ends or an express mastery of the operations necessary to attain them. Artinya, bahwa habitus yang menghasilkan etos itu sebagai hasil dari struktur lingkungan, maka semua tindakan seharusnya cocok tanpa manusia harus menyadarinya. Itu berarti bahwa habitus menjadi salah satu hasil struktur lingkungan yang sifatnya kolektif. Maka, etos kemanusiaan sangat diharapkan tumbuh seperti yang dicita-citakan Bourdieu ini. Wacana kemanusiaan yang terus disebarkan lewat berbagai cara tentunya akan berbuah munculnya sebuah etos kemanusiaan, karena habitus kemanusiaan itu sebenarnya sudah dipromosikan lewat berbagai cara wacana.
            Harapannya, menghargai martabat manusia, bagi masyarakat Indonesia seperti sebuah orkestra tanpa konduktor. Artinya, ia bisa berjalan tanpa harus diperintah. Jika ini terjadi, maka habitus kemanusiaan akan menjadi apa yang disebut sebagai logika sosial. Contoh baik dari logika sosial dalam bidang ini adalah masyarakat Eropa yang begitu tergerak terhadap berbagai macam persoalan kemanusiaan yang ada di bumi ini. Ada seorang teman saya menulis e-mail terkait dengan solidaritas orang Perancis yang begitu mudah memberikan sumbangan saat berita tentang tsunami membanjiri media. Mereka begitu saja dengan enteng merogoh euro sebagai tanda solidaritas atas bencana kemanusiaan yang terjadi di Aceh. Itu juga tergambar bagaimana orang Belanda yang terkenal sangat irit (baca: pelit) dalam hidup harian pun dengan sangat mudah memberikan keping euronya bagi penderitaan manusia.
            Itu berarti bahwa habitus membentuk keseragaman masyarakat. Keseragaman yang positiflah yang diharapkan lahir dari sebuah habitus. Inilah yang diharapkan tumbuh dari wacana kemanusiaan yang ada di Indonesia sampai sekarang. Adanya habitus kemanusiaan yang menjunjung nilai martabat manusia, sebagai sebuah keseragaman yang secara internal terstruktur dalam kesadaran masyarakat Indonesia, yang sewaktu-waktu bisa secara konkret terealisasikan dalam tindakan praktis mereka.
            Harapan itu memang sangat ideal, namun pada kenyataan sebenarnya, betapa sulit membangun etos kemanusiaan itu. Ada beberapa faktor penting yang menjadi penghambat bagaimana etos kemanusiaan itu dibangun:
Pertama, prinsip kemanusiaan itu tereduksi pada apa yang namanya bantuan kemanusiaan. Pada awal tulisan ini saya menyatakan kritik bahwa bantuan kemanusiaan akhirnya memunculkan apa yang saya sebut sebagai industri kemanusiaan. Industri kemanusiaan tersebut tampak saat semua penderitaan manusia akhirnya hanya dibaca seberapa besar nilai uang yang didapatkan dari sebuah proyek kemanusiaan. Contohnya adalah bantuan uang dari masyarakat Belanda yang mencapai 1,4 triliun rupiah. Dari sisi nilai uang, betapa besar jumlahnya. Itu baru dari masyarakat Belanda belum memasukan bantuan dari negara lain. Betulah bahwa intensi bantuan itu untuk  menyelamatkan manusia, namun proses uang itu menjadi bantuan tentu saja memerlukan sebuah prosedur. Prosedur bantuan, entah lewat lembaga resmi pemerintah atau lembaga kemanusiaan, akan melewati berbagai macam kepentingan. Kepentingannya bisa jadi berupa kebutuhan untuk menghidupi manejemen lembaga dengan berbagai macam pembiayaan administratifnya, sampai dengan harus memberi gaji bagi pekerja kemanusiaan yang jumlahnya juga tidak sedikit. Itu artinya, 1,4 triliun rupiah untuk membantu masyarakat Aceh, tidak semua uang itu sampai pada warga Aceh. Etos kemanusiaan akhirnya tereduksi ke persoalan praktis material, atau terjadinya proses komodifikasi nilai terhadap arti kemanusiaan itu sendiri.
            Kedua, bantuan kemanusiaan memunculkan apa yang disebut ketergantungan. Banyak kritik sudah ditelorkan dari soal ini, misalnya saja buku karangan Graham Hancock yang berjudul “The Lords of Poverty: The Power, Prestige, and Corruption of the International Aid Business.” Buku tersebut merupakan kritik pedas terhadap dunia bantuan kemanusiaan. Apa yang dulu dimaksudkan untuk membantu penderitaan justru memunculkan penderitaan susulan, yaitu ketergantungan.
Ketergantungan bisa dilihat dari sisi masyarakatnya. Masyarakat penerima bantuan akhirnya justru kehilangan nilai-nilai yang baik, misalnya etos kerja mulai menurun, kemalasan, sikap meminta-minta, tidak mau berusaha, dan lain sebagainya. Tentu, Bourdieu bisa menjawab bahwa seharusnya bantuan tidak sekedar memberikan material, namun memberikan pelatihan terhadap warga penerima bantuan. Betul, pelatihan ketrampilan memang bisa menciptakan habitus, namun apa yang terjadi dalam pelatihan yang dilakukan oleh lembaga kemanusiaan adalah pelatihan dalam waktu pendek. Padahal, untuk membentuk habitus perlu waktu yang lama. Misalnya saja, pelatihan dalam bidang menanam padi yang baik. Proses menanam padi sampai dengan menghasilkan padinya, tentu saja tidak cukup dalam waktu satu tahun. Akhirnya, pelatihan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kemanusiaan itu hanya memenuhi tuntutan proyek saja. Apa artinya? Artinya adalah semua program yang dicantumkan dalam proyek proposal asal uangnya habis, maka selesai sudah pekerjaannya. Lantas mereka tidak lagi peduli soal apakah warga dampingan itu sudah memiliki ketrampilan yang diharapkan atau belum. Padahal ekspektasi warga dampingan terhadap ketrampilan yang akan mereka peroleh cukup tinggi. Di sinilah terjadi tarik ulur praktis yang tidak mudah, dan tarik ulur itu berakhir dengan munculnya ketergantungan dari warga penerima bantuan. Karena semua uang harus dihabiskan untuk sebuah proyek, maka seringkali begitu mudah semua persoalan akhirnya diselesaikan dengan uang.
            Ketiga, bantuan kemanusiaan sebenarnya tidak pernah bebas dari kepentingan politik. Bourdieu memang sangat optimis bahwa apa yang dipikirkan itu bisa mengeluarkan struktur yang bebas dari determinasi kekuasaan apa pun. Namun, bantuan kemanusiaan selalu terikat dengan nilai uang. Maka, uang menjadi salah satu wacana yang tidak pernah bebas dari kepentingan. Dalam praktek di lapangan, tidak sedikit persoalan timbul dari konsep ini. Misalnya saja, saat lembaga saya ingin membantu sebuah lembaga lokal di Aceh untuk menata menajemen internalnya dengan bantuan dari lembaga saya, mereka begitu sangat antusias. Antusiasme mereka karena mereka sudah tahu bahwa lembaga saya akan memberikan gaji dan segala keperluan yang dibutuhkan dalam proses pelatihan tersebut. Saat proses terjadi dan lembaga saya terus mengucurkan uang, mereka begitu bersemangat dan tentu saja sangat dekat dengan staf di lembaga saya. Namun, setelah kami menyatakan untuk menghentikan program ini, semua hubungan baik dan keakraban lantas renggang. Apa lacur, mereka antusias dan bersemangat selama uang masih mengucur ke dalam pundi-pundi mereka.
            Ilustrasi tersebut sebenarnya hanya contoh kecil bagaimana uang akhirnya membangun sebuah kepentingan. Tidak ada uang dalam konteks bantuan kemanusiaan yang bebas kepentingan. Kalau contoh itu diterapkan dalam kontek yang lebih luas, misalnya bantuan Amerika kepada Indonesia untuk rekontruksi Aceh, apakah Amerika akan dengan tulus memberikan uang tersebut tanpa sebuah kepentingan? Dan Indonesia pun pastilah sangat antusias dan bersemangat, seperti halnya sebuah lembaga lokal di Aceh tersebut. Semua ini menandakan bahwa bantuan kemanusiaan sebenarnya tidak pernah bebas dari kepentingan politik.


III. Bourdieu sebagai pekerja kemanusiaan?

            Di awal tulisan ini ada beberapa pertanyaan pengandaian jika Bourdieu sebagai pekerja kemanusiaan. Apa sikap dia setelah melihat paparan di atas? Di satu sisi bahwa teorinya bisa digunakan untuk membangun etos kemanusiaan, namun di sisi lain, optimisme dia soal habitus dan etos, tidak bisa mulus diterapkan begitu saja dalam konteks wacana bantuan kemanusiaan yang diakibatkan oleh bencana seperti tsunami dan gempa. Selain itu, yang menjadi pangkal tolak dari tulisan ini adalah reproduksi kebudayaan  seperti apa yang bisa dipahami dalam seluruh wacana di atas? Apakah budaya kemanusiaan itu terbentuk?
            Budaya itu bisa dibentuk seperti apa yang dikatakatan Bourdieu sebagai berikut, “Thus we find that as a rule those richest in economic, cultural and social capital are the first to move into the new positions (and this seems to be true in all fields: economic, scientific, etc)”.  Tekanannya adalah pada “the new positions” yang didasarkan pada kekuatan kapital ekonomi, kultural, dan sosial. Jadi, kebudayaan manusia bisa terbentuk kalau para pekerja kemanusiaan bekerja di sebuah lembaga yang memang berpengaruh. Itu artinya, persoalan yang menghambat pembentukan etos kemanusiaan bisa diatasi dengan adanya pengaruh yang kuat dari lembaga kemanusiaan yang besar. Dari sini bisa dilihat, kalau Bourdieu menjadi pekerja kemanusiaan, dia mungkin akan masuk ke dalam lembaga kemanusiaan besar yang bisa jadi akan memberi gaji kepadanya besar pula.
            Lebih lanjut dia menulis demikian, “To make this argument fully convincing, one would have to show how habitus, as system of dispositions, are effectively realized only in relation to a determine structure of positions socially marked by the social properties of their occupants, through which they manifest themselves.” Dari sini bisa terlihat, bahwa “social property” akan menentukan bagaimana pembentukan struktur dan dengan demikian akan memantabkan posisi untuk mempengaruhi. Oleh karena itu, dalam perspektif Bourdieu ketiga hambatan yang membentuk etos kemanusiaan yang saya sebutkan di atas bisa diatasi kalau ada sebuah lembaga kemanusiaan besar yang bisa mendudukan posisinya secara kuat dalam memberi pengaruh pada proses pembentukan wacana kemanusiaan.
            Nah, dalam konteks inilah maka Bourdieu banyak bercerita tentang pertarungan modal (capital) dalam sebuah arena (field). Pada kenyataannya, wacana kemanusiaan itu menjadi semakin menyebar, karena begitu banyak lembaga kemanusiaan besar yang bergerak di dunia ini. Jumlah mereka bisa ribuan, dan daerah jelajah mereka hampir di seluruh muka bumi ini. Ambil contoh, Jesuit Refugee Service International, sebuah lembaga milik Serikat Yesus yang berfokus pada pendampingan pengungsi. Lembaga ini bekerja di hampir 50 negara di dunia. Itu belum terhitung lembaga kemanusiaan besar lainnya seperti Oxfam GB, Catholic Relief Service, Save the Children, dan lain-lainnya. Semua lembaga kemanusiaan itu, memilliki prinsip tentang kemanusiaan yang sama, meskipun formulasi prinsip-prinsip kemanusiaan mereka berbeda satu dengan yang lainnya.
            Akan tetapi tetaplah menjadi pertanyaan kritis yang tetap penting di sini, jika lembaga besar memiliki pengaruh untuk membentuk budaya kemanusiaan, ia juga bisa menghancurkan nilai kemanusiaan secara besar pula? Pertanyaan ini mencuat didasarkan argumentasi Bourdieu bahwa “pengaruh” akan semakin menancap secara kuat kalau “social property” yang dimiliki sebuah lembaga (juga orang) besar. Dalam sebuah arena, perebutan pengaruh akan menjadi semakin kuat. Dan tidak luput dari usaha untuk memperebutkan pengaruh, lembaga kemanusiaan besar pun melakukan hal itu di arena kemanusiaan. Bisa jadi, 8,9 Skala Richter itu akan semakin berguncang hebat saat lembaga kemanusiaan meresponnya dengan berebut capital demi sebuah pertarungan di arena kemanusiaan. Semoga tidak!

            IV. Kepustakaan

            Bourdieu, Pierre. 1993. The Field of Cultural Production. Columbia: Columbia University Press.

            ---------------------. 2006. Proyek Sphere, Piagam Kemanusiaan dan Standar Minimum dalam Respons Bencana. Jakarta: Grasindo

            ---------------------. 2005. Bencana Gempa dan Tsunami, Nanggroe Aceh Darussalam & Sumatera. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

            Haning, Stefani, M.A. 2007. Pierre Bourdieu (hand out kuliah). Yogyakarta:……
           
Haryatmoko, J, Dr. 2007. Konsep Habitus dalam Mekanisme & Strategi Kekuasaan. Studi Pemikiran Sosial Pierre Bourdieu (hand out kuliah). Yogyakarta:…..

ooOOoo

No comments:

Post a Comment

MAY DAY 2019: KAMI PEKERJA, KAMI BUKAN BUDAK!!!

(feature ini sudah dimuat d Koran Suara Hong Kong 7/5/2019) Lima perempuan mengenakan pakaian hitam dan matanya ditutup dengan kain ka...