Negeri bencana, begitulah
Indonesia diberi predikat. Setelah tsunami menggulung Aceh dan Nias, gempa
bumi, banjir, tanah longsor, angin topan, gunung meletus dan lain sebagainya
terus menyatroni berbagai wilayah di Indonesia. Selain mendatangkan penderitaan
dan kepedihan, bencana juga mendatangkan relawan atau pekerja kemanusiaan.
Bencana lantas menjadi identik dengan persoalan kemanusiaan. Orang yang bekerja
untuk menangani penderitaan manusia akibat bencana, kemudian disebut sebagai
pekerja kemanusiaan. Ada banyak jenis pekerja kemanusiaan, dari mereka yang
bergabung dengan lembaga-lembaga kemanusiaan sampai dengan perseorangan yang
tidak mau terikat oleh salah satu lembaga. Tentu saja, entah perorangan atau
lembaga, membantu orang yang terkena dampak bencana pasti membutuhkan biaya.
Nah, jika Bourdieu seorang
pekerja kemanusiaan, apa yang akan dia lakukan? Ia ingin bekerja di salah satu lembaga
kemanusiaan atau ingin bekerja sendiri? Apakah dia mau digaji, taruhlah 20 juta
rupiah per bulan, jika ia bekerja di sebuah lembaga kemanusiaan internasional
yang besar? Atau dia memilih menjadi relawan kemanusiaan tulen, yang bekerja
tanpa mengharap imbalan upah? Atau Bourdieu memilih jalan tengah, ia tidak mau
digaji tinggi, namun ia bisa bebas mencurahkan perasaan kemanusiaannya untuk
menolong korban? Dan apa sikapnya, jika ternyata dunia kemanusiaan sekarang
banyak dikritik sebagai industri kemanusiaan atau bisnis kemanusiaan (humanitarian industry or aid business)?
Pertanyaan-pertanyaan itu
akan menjadi titik pijak dalam tulisan ini untuk melihat bentuk “budaya
kemanusiaan” seperti apa yang terjadi di Indonesia setelah negeri ini menjadi
lekat dengan berbagai persoalan bencana alam.
I.
8,9 Skala Richter
Menurut catatan jaringan
seismic dunia, di antaranya yang berada di United
States Geological Survey (USGS), gempa yang terjadi di Samudra Hindia dan
berjarak 149 kilometer dari Meulaboh, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) adalah
gempa yang terbesar sepanjang sejarah. Kekuatan gempa yang bisa dipantau oleh Global Seismic Network tersebut sampai
dengan 8,2 Mw (Moment Magnitude). Pusat Gempa Nasional (PGN) di Jakarta
mencatat gempa di Aceh hanya sebesar 6,8 skala Richter, namun CNN melaporkan
bahwa gempa tersebut berkekuatan 8,9 skala Richter dan jaringan televisi BBC
menunjuk angka 8,5 skala Richter. Maka dari itu, gempa di Aceh menimbulkan
dampak kegempaan sampai radius 200 kilometer. Gempa itu juga memicu terjadinya
gempa di Kepulauan Nicobar di sebelah utara pusat gempa pada jarak 550
kilometer serta mengguncang Pulau Andaman.
Selain menimbulkan getaran
yang sangat kuat, gempa itu juga menyebabkan terjadinya deformasi vertikal di
sumber gempa. Deformasi yang merupakan penurunan permukaan dasar laut tersebut
mengakibatkan penjalaran energi kinetik menjadi gelombang tsunami di daerah
pantai. Karenanya, daerah pantai merupakan daerah rawan tsunami apalagi kalau
bentuknya berteluk. Akibatnya, lebih dari 150.000 orang dikabarkan tewas akibat
gempa dan tsunami di Aceh. Puluhan ribu rumah dan infrstruktur luluh lantak,
dan ratusan ribu orang menjadi pengungsi. Penderitaan datang dari goncangan 8,9
skala Richter. Manusia tidak berdaya dihadapan kekuatan alam.
Wacana tentang penderitaan
pun berkumandang di seluruh penjuru dunia. Orang tidak mampu lagi menahan
hatinya untuk tidak bergerak menolong korban. Solidaritas kemanusiaan tidak
saja di Indonesia, hampir seluruh manusia di bumi merasakan keprihatinan yang
sama. Sebuah kejutan yang tiba-tiba menjadi sebuah solidaritas global. Dan
tentu saja, bantuan kemanusiaan global pun tiba-tiba datang berbondong-bondong
ke bumi serambi mekah. Penderitaan para korban, telah membawa gelombang tsunami
kedua, yang bernama bantuan kemanusiaan. Dalam waktu singkat, masyarakat
Belanda bisa mengumpulkan dana sebesar 112.144.000 euro atau setara dengan Rp.
1,422 triliun (dengan kurs 1 euro = Rp. 12.681,21). Orang Belanda yang terkenal
sangat irit (atau pelit), tidak tanggung-tanggung untuk memberikan uangnya demi
membantu korban tsunami di Aceh. Mereka yang berkampanye untuk menggalang
bantuan, juga tidak tanggung-tanggung, seperti Perdana Menteri Balkenende,
mantan PM Wim Kok, dan pelatih sepak bola Guus Hiddink. Tidak kalah menariknya
para artis papan atas Belanda pun ikut bergabung, seperti Frans Bauer dan Marco
Borsatto. Mereka semua tergerak dengan sebuah kampanye yang diberi judul Help stachoffers Aardbeving Azie: Giro 555.
Tulisan itu disertai dengan sebuah foto seorang ayah di Aceh yang dengan pilu
mengangkat bayinya yang tewas dari genangan lumpur dengan wajah yang
memancarkan duka yang mendalam. Ini baru Belanda, belum lagi Jerman, Perancis,
Inggris, Amerika dan seterusnya. Uang begitu cepat sekali terkumpul dan
milyaran US Dollar sudah terbang ke Aceh untuk mengemban misi kemanusiaan.
Proses pengumpulan dana di
Belanda yang dilakukan oleh para Perdana Menteri, mantan PM dan para artis,
memberikan sebuah wacana sendiri tentang penderitaan. Saat penderitaan
diwacanakan oleh para orang yang memiliki pengaruh, penderitaan tidak lagi
menjadi fakta bahwa manusia memang menderita, namun sudah berubah menjadi
sebuah logika sosial. Dalam konteks ini, Bourdieu berbicara soal habitus. Dalam
konsepnya tentang habitus, Bourdieu mau melihat bagaimana logika sosial sebenarnya
digerakan bukan pada sebuah determinisme atas dominasi sebuah agency, namun oleh struktur internal
individu. Jika memang ada habitus kemanusiaan, ia bergerak tidak didasarkan
pada dikotomi individu – masyarakat, agency
– struktur sosial, dan kebebasan – determinisme, namun ia bergerak “tanpa
disadari” sebagai sebuah kenyataan internal yang melekat dalam diri manusia.
Itulah mengapa fenomena tsunami menjadi sebuah fenomena kemanusiaan global.
Fenomena solidaritas global
dalam konteks bencana tsunami menarik untuk dilihat dari sisi ini. Ketergerakan
manusia melihat penderitaan, sebenarnya merupakan hasil panjang dari proses
manusia memahami pentingnya nilai diri manusia. Ini tidak bisa terbentuk dalam
sebuah proses yang singkat. Dalam bahasa Bourdieu, hasil sebuah prilaku manusia
diperoleh dari the dialectic of the
internalization of externality and the externalization of internality.
Dalam konteks ini, bencana di Aceh sudah membuat manusia melakukan
internalisasi terhadap kenyataan di luar dirinya, dan sekaligus sudah menjadi
proses ekternalisasi yang datang dari dalam dirinya. Dalam relasi dialektis,
penderitaan dan kemanusiaan sudah menelorkan apa yang disebut oleh Bourdieu
sebagai praksis tindakan (practical
sense).
Sejak bencana besar terjadi
di Indonesia, hampir semua media memberitakan hal itu. Misalnya saja Kompas,
dari hasil liputan dan wacana tentang bencana di Aceh telah menghasilkan sebuah
buku yang berjudul Bencana Gempa dan Tsunami yang tebalnya 562 halaman. Kalau kita
membaca berbagai topik diseputar tsunami dan gempa di Aceh, kita akan menemukan
bahwa kajiannya akan merentang dari ilmu pengetahuan alam, ilmu tentang
bencana, ilmu sosial, ilmu politik, ekonomi dan tentu saja sampai pada refleksi
teologis tentang penderitaan. Wacana ini tentu saja memberi dampak pada apa
yang oleh Bourdieu disebut sebagai proses keterampilan yang didapat dari
struktur yang dibentuk menjadi struktur yang membentuk. Artinya, wacana tentang
penderitaan, telah membentuk sebuah habitus baru tentang kemanusiaan. Wacana
penderitaan menjadi sebuah faktor luar yang membuat manusia bereaksi untuk
menginternalisasikan kenyataan itu dalam pembentukan kediriannya. Maka, wacana
tentang penderitaan manusia yang diakibatkan oleh tsunami dan gempa, sudah
menjadi sebuah praksis tindakan bagi manusia Indonesia. Untuk sampai di sana
paling tidak ada tiga hal yang penting untuk dilihat dari sisi konsep habitus.
a.
Habitus sebagai hasil keterampilan
Bagaimana gejala itu bisa
terlihat? Bencana alam sebenarnya adalah faktor di luar kekuasaan manusia. Itu
adalah gejala alam. Namun, dari dalam diri manusia selalu muncul kecenderungan
untuk selalu memahami alam. Itu ada dalam seluruh wacana yang dibangun lewat
pemberitaan media. Setelah bencana tsunami dan gempa terjadi, analisa dari
berbagai macam sudut ilmu bermunculan. Dari sudut ilmu untuk memahami alam,
banyak topik yang ditulis, misalnya, “Memahami
Gempa Serta Tsunami di Aceh dan Sumatera Utara”, “Gelombang tsunami dapat
diprediksi,” “Mengapa korban di Aceh banyak?”, “Penanganan Jenazah di Daerah
Bencana”, “Perlu Sistem Peringatan Tsunami Nasional” dan lain sebagainya.
Bencana dan penderitaan telah membuat manusia berpikir kembali untuk melihat
dirinya berelasi dengan alam.
Wacana yang dibangun
seputar tsunami dan gempa, akhirnya menelorkan sebuah keterampilan. Ia
diperoleh dari struktur wacana yang dibentuk akhirnya menjadi sebuah struktur wacana yang membentuk. Itu artinya,
bahwa wacana telah menginternalisasi manusia Indonesia untuk sadar bahwa mereka
hidup di wilayah bencana dan mengharuskan mereka untuk memproduksi berbagai
keterampilan yang bisa digunakan untuk mengatasi banyaknya bencana yang ada di
seputar kehidupan harian mereka.
b.
Habitus sebagai kerangka penafsiran
Wacana diseputar tsunami
dan gempa, mau tidak mau telah menggertak manusia di Indonesia untuk melihat
bahwa bumi yang selama ini dipijaknya ternyata mengandung potensi untuk
mematikan dirinya. Wacana dari sisi pengetahuan alam, membuat diri manusia
lantas berpikir, bagaimana ia harus menempatkan dirinya dalam seluruh persoalan
itu. Dan saat bencana terjadi dan korban begitu banyak, apa yang harus
dilakukannya? Maka, manusia tidak saja melihat mengapa alam bisa membuat ulah
dan menimbulkan bencana, namun lebih jauh manusia ingin melihat dirinya dari
sisi kemanusiaannya. Hal itu bisa dilihat dari berbagai topik wacana yang
pernah dimuat oleh Kompas.
Dari sisi reaksi kemanusiaan,
berbagai tema muncul, misalnya: “Kuburan
massal” Itu Bernama Banda Aceh,” “Penderitaan”, “Sedih melelahkan di Serambi
Mekah”, Cut dan Nyak Kini Hanya Berbekal Buntelan”, “Desy Chaerani Akhirya
Meninggal”, “Mengapa di Tanahku Terjadi Bencana”, “Rekonsiliasi, Hikmah di
Balik Bencana,” dan lain sebagainya.
Isi dari tema-tema tersebut
di atas, sebenarnya menunjukkan berbagai upaya manusia untuk memahami bagaimana
dampak bencana membuahkan berbagai macam bentuk kontruksi sosial. Di dalamnya,
ada banyak jalinan sosial, ekonomi dan politik tertuang. Tentu saja membuat
manusia lantas menemukan bentuk baru dari pembangunan dirinya. Itu berarti
bahwa wacana penderitaan tidak hanya sampai pada manusia menerima dirinya,
namun memberi sebuah orientasi baru bagaimana manusia menafsirkan realitas.
Maka dari itu, penderitaan tidak lantas membuat manusia diam, namun memberikan
perspektif untuk membuahkan dasar pijakan untuk bertindak secara praktis.
c.
Habitus sebagai sumber kreativitas
Bencana yang dahsyat dan
semakin beruntun, membuat manusia Indonesia semakin kreatif menemptakan dirinya
di tengah situasi itu. Hal itu bisa dilihat dari berbagai wacana yang dibangun,
“Bencana dan Transformasi “Volontaire”,
“Media dan Penanggulangan Bencana”, “Menyelamatkan Pendidikan Anak-anak Aceh”,
“Pendidikan Darurat Pasca-bencana”, “Mengapa Tidak Berpikir Praktis”, “Manajemen
Bencana Kurang Efektif”, “Mewujudkan Potensi Ekonomi dengan Kesetiakawanan
Sosial”, “Indonesia Membangun Aceh”, “Ruang Udara di Nanggroe Aceh Darussalam”,
“Membangun Lagi Bumi Tempat Berpijak” dan lain sebagainya.
Contoh-contoh wacana yang
dibangun itu, sebenarnya menunjukkan bahwa manusia tidak berhenti pada kenyataan
pedih penderitaan setelah bencana terjadi, namun mampu menafsirkan realitas
secara kreatif. Ini artinya manusia mampu mengatasi determinisme alam untuk
keluar dalam ruang kebebasannya. Alam memang dahsyat, manusia tidaklah mampu
untuk bisa menaklukannya. Justru kebanyakan yang terjadi alamlah yang
menaklukan manusia, bahkan sekuat tenaga manusia untuk mengatasinya. Namun,
manusia akhirnya berusaha terus secara kreatif untuk terus menemukan celah
dalam keterbatasannya membangun kemampuan strategis dalam menghadapi kenyataan
alam itu. Inilah yang akhirnya menelorkan sebuah habitus bagi manusia untuk
bersikap secara bebas dalam kurungan determinasi alam.
II.
Etos Kemanusiaan dan Logika Sosial
Refleksi
Bourdieu tidak hanya berhenti di situ. Ia masih sangat optimis bahwa habitus
akhirnya bisa membentuk yang namanya etos. Etos dalam pengertian Bourdieu
adalah segala bentuk nilai dan prinsip-prinsip keseharian yang akhirnya
dipraktikan dan sebuah bentuk moral yang tidak eksplisit, namun mengatur
prilaku sehari-hari. Pembangunan wacana tentang bencana dan persoalan
kemanusiaan yang terjadi di Indonesia, semestinya sampai kepada apa yang
dimaksud Bourdieu dengan etos. Oleh karena itu, sangat diharapkan bahwa akan
muncul sebuah etos kemanusiaan di Indonesia. Gejala-gejala ini sebenarnya mulai
muncul di tengah masyarakat kita. Meskipun itu belum bisa dikatakan sebagai generate, memakai konsep Bourdieu yang
lain. Tetapi itu menjadi hal yang sangat penting untuk kasus Indonesia paska
tsunami dan gempa di NAD.
Etos
kemanusiaan ini lebih banyak dipromosikan oleh lembaga-lembaga kemanusiaan,
baik tingkat lokal, nasional atau internasional, yang dalam banyak hal menjadi
salah aktor penting dalam penanganan bencana. Lembaga-lembaga kemanusiaan itu,
selain memberikan bantuan kemanusiaan, sebenarnya memberikan sebuah wacana
penyadaran tentang apa yang dikatakan sebagai prinsip-prinsip kemanusiaan. Salah
satu prinsip kemanusiaan yang sangat penting dari Piagam Kemanusiaan adalah Hak
terhadap kehidupan yang bermartabat. Isi dari prinsip itu berbunyi demikian, “Hak ini tercermin dalam langkah-langkah
hukum terkait dengan hak untuk hidup, hak terhadap stadar kehidupan yang layak
dan hak untuk bebas dari perlakuan atau penerapan hukuman yang kejam, tidak
manusiawi atau merendahkan martabat manusia. Kami memahami bahwa hak orang
perorangan untuk hidup berarti juga hak untuk mendapatkan langkah-langkah
penyelamatan nyawa yang harus diambil ketika ada ancaman terhadap nyawa/hidup
tersebut, serta sebaliknya adanya kewajiban yang sama terhadap orang lain untuk
mengambil langkah-langkah semacam itu. Tersirat di dalamnya adalah kewajiban
untuk tidak menghambat atau mencegah penyediaan bantuan untuk menyelamatkan
nyawa manusia…”
Prinsip
tersebut tentu saja menjadi pegangan banyak lembaga kemanusiaan dan terutama
bagi pekerja kemanusiaan. Di tengah persoalan kemanusiaan, lembaga-lembaga
kemanusiaan berusaha untuk mengaplikasikan prinsip ini secara real. Walau,
banyak fakta menyingkapkan bahwa banyak dampak negatif yang ditimbulkan akibat
intervensi lembaga-lembaga kemanusiaan, namun usaha untuk menularkan prinsip tersebut
tetaplah menjadi salah satu hal positif yang patut dicatat. Prinsip-prinsip
kemanusiaan itu selalu dijabarkan dalam kerja praktis lembaga kemanusiaan saat
mereka memberikan bantuan kepada kelompok masyarakat yang menjadi dampingan
mereka. Tentu saja, satu hal yang menjadi penting di sini adalah soal “hak
terhadap kehidupan yang bermartabat”. Tafsiran tentang hak ini, menjadi salah
satu prinsip humaniter yang begitu penting menyebar di tataran praktis. Maka
selain ada wacana yang terbangun lewat media masa, setiap bencana sebenarnya
membuka peluang munculnya promosi paling praktis dan konkret soal martabat
manusia. Di sinilah letak paling esensial dari apa yang saya katakan sebagai
etos kemanusiaan. Etos kemanusiaan adalah etos yang berorientasi pada
perwujudan martabat manusia.
Sebuah
harapan dicanangkan akan tumbuhnya etos kemanusiaan di masyarakat kita, entah
dengan belajar dari wacana yang dibangun lewat media (cetak dan visual) dan
wacana yang dibangun lewat bantuan kemanusiaan. Semua itu sangat dibutuhkan
untuk menemukan bentuk yang dikatakan oleh Bourdieu sebagai etos. Etos itu akan
menjadi nilai yang dibatinkan sebagai
hasil dari munculnya habitus dalam masyarakat. Maka, etos akan menjadi, objectively adapted to their goals without
presupposing a conscious aiming at ends or an express mastery of the operations
necessary to attain them. Artinya, bahwa habitus yang menghasilkan etos itu
sebagai hasil dari struktur lingkungan, maka semua tindakan seharusnya cocok
tanpa manusia harus menyadarinya. Itu berarti bahwa habitus menjadi salah satu
hasil struktur lingkungan yang sifatnya kolektif. Maka, etos kemanusiaan sangat
diharapkan tumbuh seperti yang dicita-citakan Bourdieu ini. Wacana kemanusiaan
yang terus disebarkan lewat berbagai cara tentunya akan berbuah munculnya
sebuah etos kemanusiaan, karena habitus kemanusiaan itu sebenarnya sudah
dipromosikan lewat berbagai cara wacana.
Harapannya,
menghargai martabat manusia, bagi masyarakat Indonesia seperti sebuah orkestra
tanpa konduktor. Artinya, ia bisa berjalan tanpa harus diperintah. Jika ini
terjadi, maka habitus kemanusiaan akan menjadi apa yang disebut sebagai logika
sosial. Contoh baik dari logika sosial dalam bidang ini adalah masyarakat Eropa
yang begitu tergerak terhadap berbagai macam persoalan kemanusiaan yang ada di
bumi ini. Ada seorang teman saya menulis e-mail terkait dengan solidaritas
orang Perancis yang begitu mudah memberikan sumbangan saat berita tentang tsunami
membanjiri media. Mereka begitu saja dengan enteng merogoh euro sebagai tanda
solidaritas atas bencana kemanusiaan yang terjadi di Aceh. Itu juga tergambar
bagaimana orang Belanda yang terkenal sangat irit (baca: pelit) dalam hidup
harian pun dengan sangat mudah memberikan keping euronya bagi penderitaan
manusia.
Itu
berarti bahwa habitus membentuk keseragaman masyarakat. Keseragaman yang
positiflah yang diharapkan lahir dari sebuah habitus. Inilah yang diharapkan
tumbuh dari wacana kemanusiaan yang ada di Indonesia sampai sekarang. Adanya
habitus kemanusiaan yang menjunjung nilai martabat manusia, sebagai sebuah
keseragaman yang secara internal terstruktur dalam kesadaran masyarakat
Indonesia, yang sewaktu-waktu bisa secara konkret terealisasikan dalam tindakan
praktis mereka.
Harapan
itu memang sangat ideal, namun pada kenyataan sebenarnya, betapa sulit membangun
etos kemanusiaan itu. Ada beberapa faktor penting yang menjadi penghambat
bagaimana etos kemanusiaan itu dibangun:
Pertama, prinsip kemanusiaan itu tereduksi
pada apa yang namanya bantuan kemanusiaan. Pada awal tulisan ini saya
menyatakan kritik bahwa bantuan kemanusiaan akhirnya memunculkan apa yang saya
sebut sebagai industri kemanusiaan. Industri kemanusiaan tersebut tampak saat
semua penderitaan manusia akhirnya hanya dibaca seberapa besar nilai uang yang
didapatkan dari sebuah proyek kemanusiaan. Contohnya adalah bantuan uang dari
masyarakat Belanda yang mencapai 1,4 triliun rupiah. Dari sisi nilai uang,
betapa besar jumlahnya. Itu baru dari masyarakat Belanda belum memasukan
bantuan dari negara lain. Betulah bahwa intensi bantuan itu untuk menyelamatkan manusia, namun proses uang itu
menjadi bantuan tentu saja memerlukan sebuah prosedur. Prosedur bantuan, entah
lewat lembaga resmi pemerintah atau lembaga kemanusiaan, akan melewati berbagai
macam kepentingan. Kepentingannya bisa jadi berupa kebutuhan untuk menghidupi
manejemen lembaga dengan berbagai macam pembiayaan administratifnya, sampai
dengan harus memberi gaji bagi pekerja kemanusiaan yang jumlahnya juga tidak
sedikit. Itu artinya, 1,4 triliun rupiah untuk membantu masyarakat Aceh, tidak
semua uang itu sampai pada warga Aceh. Etos kemanusiaan akhirnya tereduksi ke
persoalan praktis material, atau terjadinya proses komodifikasi nilai terhadap
arti kemanusiaan itu sendiri.
Kedua, bantuan kemanusiaan memunculkan
apa yang disebut ketergantungan. Banyak kritik sudah ditelorkan dari soal ini,
misalnya saja buku karangan Graham Hancock yang berjudul “The Lords of Poverty: The Power, Prestige, and Corruption of the
International Aid Business.” Buku tersebut merupakan kritik pedas terhadap
dunia bantuan kemanusiaan. Apa yang dulu dimaksudkan untuk membantu penderitaan
justru memunculkan penderitaan susulan, yaitu ketergantungan.
Ketergantungan bisa dilihat
dari sisi masyarakatnya. Masyarakat penerima bantuan akhirnya justru kehilangan
nilai-nilai yang baik, misalnya etos kerja mulai menurun, kemalasan, sikap
meminta-minta, tidak mau berusaha, dan lain sebagainya. Tentu, Bourdieu bisa
menjawab bahwa seharusnya bantuan tidak sekedar memberikan material, namun
memberikan pelatihan terhadap warga penerima bantuan. Betul, pelatihan
ketrampilan memang bisa menciptakan habitus, namun apa yang terjadi dalam
pelatihan yang dilakukan oleh lembaga kemanusiaan adalah pelatihan dalam waktu
pendek. Padahal, untuk membentuk habitus perlu waktu yang lama. Misalnya saja,
pelatihan dalam bidang menanam padi yang baik. Proses menanam padi sampai
dengan menghasilkan padinya, tentu saja tidak cukup dalam waktu satu tahun. Akhirnya,
pelatihan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kemanusiaan itu hanya memenuhi
tuntutan proyek saja. Apa artinya? Artinya adalah semua program yang
dicantumkan dalam proyek proposal asal uangnya habis, maka selesai sudah
pekerjaannya. Lantas mereka tidak lagi peduli soal apakah warga dampingan itu
sudah memiliki ketrampilan yang diharapkan atau belum. Padahal ekspektasi warga
dampingan terhadap ketrampilan yang akan mereka peroleh cukup tinggi. Di
sinilah terjadi tarik ulur praktis yang tidak mudah, dan tarik ulur itu
berakhir dengan munculnya ketergantungan dari warga penerima bantuan. Karena
semua uang harus dihabiskan untuk sebuah proyek, maka seringkali begitu mudah
semua persoalan akhirnya diselesaikan dengan uang.
Ketiga, bantuan kemanusiaan sebenarnya
tidak pernah bebas dari kepentingan politik. Bourdieu memang sangat optimis
bahwa apa yang dipikirkan itu bisa mengeluarkan struktur yang bebas dari
determinasi kekuasaan apa pun. Namun, bantuan kemanusiaan selalu terikat dengan
nilai uang. Maka, uang menjadi salah satu wacana yang tidak pernah bebas dari
kepentingan. Dalam praktek di lapangan, tidak sedikit persoalan timbul dari
konsep ini. Misalnya saja, saat lembaga saya ingin membantu sebuah lembaga
lokal di Aceh untuk menata menajemen internalnya dengan bantuan dari lembaga
saya, mereka begitu sangat antusias. Antusiasme mereka karena mereka sudah tahu
bahwa lembaga saya akan memberikan gaji dan segala keperluan yang dibutuhkan
dalam proses pelatihan tersebut. Saat proses terjadi dan lembaga saya terus
mengucurkan uang, mereka begitu bersemangat dan tentu saja sangat dekat dengan
staf di lembaga saya. Namun, setelah kami menyatakan untuk menghentikan program
ini, semua hubungan baik dan keakraban lantas renggang. Apa lacur, mereka antusias
dan bersemangat selama uang masih mengucur ke dalam pundi-pundi mereka.
Ilustrasi
tersebut sebenarnya hanya contoh kecil bagaimana uang akhirnya membangun sebuah
kepentingan. Tidak ada uang dalam konteks bantuan kemanusiaan yang bebas
kepentingan. Kalau contoh itu diterapkan dalam kontek yang lebih luas, misalnya
bantuan Amerika kepada Indonesia untuk rekontruksi Aceh, apakah Amerika akan
dengan tulus memberikan uang tersebut tanpa sebuah kepentingan? Dan Indonesia
pun pastilah sangat antusias dan bersemangat, seperti halnya sebuah lembaga lokal
di Aceh tersebut. Semua ini menandakan bahwa bantuan kemanusiaan sebenarnya
tidak pernah bebas dari kepentingan politik.
III.
Bourdieu sebagai pekerja kemanusiaan?
Di
awal tulisan ini ada beberapa pertanyaan pengandaian jika Bourdieu sebagai pekerja
kemanusiaan. Apa sikap dia setelah melihat paparan di atas? Di satu sisi bahwa
teorinya bisa digunakan untuk membangun etos kemanusiaan, namun di sisi lain,
optimisme dia soal habitus dan etos, tidak bisa mulus diterapkan begitu saja
dalam konteks wacana bantuan kemanusiaan yang diakibatkan oleh bencana seperti
tsunami dan gempa. Selain itu, yang menjadi pangkal tolak dari tulisan ini
adalah reproduksi kebudayaan seperti apa
yang bisa dipahami dalam seluruh wacana di atas? Apakah budaya kemanusiaan itu
terbentuk?
Budaya
itu bisa dibentuk seperti apa yang dikatakatan Bourdieu sebagai berikut, “Thus we find that as a rule those richest
in economic, cultural and social capital are the first to move into the new
positions (and this seems to be true in all fields: economic, scientific,
etc)”. Tekanannya adalah pada “the
new positions” yang didasarkan pada kekuatan kapital ekonomi, kultural, dan
sosial. Jadi, kebudayaan manusia bisa terbentuk kalau para pekerja kemanusiaan
bekerja di sebuah lembaga yang memang berpengaruh. Itu artinya, persoalan yang
menghambat pembentukan etos kemanusiaan bisa diatasi dengan adanya pengaruh
yang kuat dari lembaga kemanusiaan yang besar. Dari sini bisa dilihat, kalau
Bourdieu menjadi pekerja kemanusiaan, dia mungkin akan masuk ke dalam lembaga
kemanusiaan besar yang bisa jadi akan memberi gaji kepadanya besar pula.
Lebih
lanjut dia menulis demikian, “To make
this argument fully convincing, one would have to show how habitus, as system
of dispositions, are effectively realized only in relation to a determine
structure of positions socially marked by the social properties of their
occupants, through which they manifest themselves.” Dari sini bisa
terlihat, bahwa “social property” akan menentukan bagaimana pembentukan
struktur dan dengan demikian akan memantabkan posisi untuk mempengaruhi. Oleh
karena itu, dalam perspektif Bourdieu ketiga hambatan yang membentuk etos
kemanusiaan yang saya sebutkan di atas bisa diatasi kalau ada sebuah lembaga
kemanusiaan besar yang bisa mendudukan posisinya secara kuat dalam memberi
pengaruh pada proses pembentukan wacana kemanusiaan.
Nah,
dalam konteks inilah maka Bourdieu banyak bercerita tentang pertarungan modal (capital) dalam sebuah arena (field). Pada kenyataannya, wacana
kemanusiaan itu menjadi semakin menyebar, karena begitu banyak lembaga
kemanusiaan besar yang bergerak di dunia ini. Jumlah mereka bisa ribuan, dan
daerah jelajah mereka hampir di seluruh muka bumi ini. Ambil contoh, Jesuit
Refugee Service International, sebuah lembaga milik Serikat Yesus yang berfokus
pada pendampingan pengungsi. Lembaga ini bekerja di hampir 50 negara di dunia.
Itu belum terhitung lembaga kemanusiaan besar lainnya seperti Oxfam GB,
Catholic Relief Service, Save the Children, dan lain-lainnya. Semua lembaga
kemanusiaan itu, memilliki prinsip tentang kemanusiaan yang sama, meskipun
formulasi prinsip-prinsip kemanusiaan mereka berbeda satu dengan yang lainnya.
Akan
tetapi tetaplah menjadi pertanyaan kritis yang tetap penting di sini, jika
lembaga besar memiliki pengaruh untuk membentuk budaya kemanusiaan, ia juga
bisa menghancurkan nilai kemanusiaan secara besar pula? Pertanyaan ini mencuat
didasarkan argumentasi Bourdieu bahwa “pengaruh” akan semakin menancap secara
kuat kalau “social property” yang dimiliki sebuah lembaga (juga orang) besar.
Dalam sebuah arena, perebutan pengaruh akan menjadi semakin kuat. Dan tidak
luput dari usaha untuk memperebutkan pengaruh, lembaga kemanusiaan besar pun
melakukan hal itu di arena kemanusiaan. Bisa jadi, 8,9 Skala Richter itu akan
semakin berguncang hebat saat lembaga kemanusiaan meresponnya dengan berebut capital demi sebuah pertarungan di arena
kemanusiaan. Semoga tidak!
IV. Kepustakaan
Bourdieu,
Pierre. 1993. The Field of Cultural
Production. Columbia: Columbia University Press.
---------------------.
2006. Proyek Sphere, Piagam Kemanusiaan
dan Standar Minimum dalam Respons Bencana. Jakarta: Grasindo
---------------------.
2005. Bencana Gempa dan Tsunami, Nanggroe
Aceh Darussalam & Sumatera. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Haning,
Stefani, M.A. 2007. Pierre Bourdieu (hand
out kuliah). Yogyakarta:……
Haryatmoko, J, Dr. 2007. Konsep Habitus dalam Mekanisme &
Strategi Kekuasaan. Studi Pemikiran Sosial Pierre Bourdieu (hand out kuliah).
Yogyakarta:…..
ooOOoo
No comments:
Post a Comment