Wednesday, January 2, 2019

KONSEP UPAH DALAM MORAL EKONOMI PETANI: PERBENTURAN ANTARA RASIONALITAS PASAR BEBAS DENGAN RASIONALITAS KULTURAL DALAM MASYARAKAT PETANI DI GUNUNGKIDUL


Kebudayaan kaum tani seringkali mendapat predikat sebagai kebudayaan terbelakang, tidak moderen dan bahkan sangat konservatif. Para petani sering dipinggirkan sebagai kelompok manusia yang “primitif” dibandingkan dengan manusia yang hidup dalam dunia industri dengan teknologi canggih. Pendek kata, dunia pertanian bukanlah lambang dari supremasi masyarakat maju sedangkan dunia industri menjadi salah satu patokan untuk melihat apakah kebudayaan sebuah masyarakat sudah maju atau belum. Agar predikat terbelakang dan tradisional itu segera ditinggalkan, maka saat rezim Orde Baru berkuasa sektor industri berskala luas dijadikan “idola” dan dirayakan oleh semua pihak dengan gegap gempita.

Maka dirubahlah strategi pembangunan, yaitu dari strategi industri berbasis pertanian langsung melompat ke industri berspektrum luas (broad base industry strategy) dan industri canggih (hi-tech industry) (lihat JA Noertjahyo, 2005:5). Namun, kita semua lupa bahwa hampir sebagian besar dari masyarakat Indonesia sebenarnya tinggal di desa- desa yang hidupnya ditopang dari bercocok tanam. Pengakuan diri sebagai negara agraris, hanya berhenti di slogan dan wacana sejarah masa lalu. Pengakuan identitas Indonesia sebagai negara agraris menguap di kalangan teknokrat Orde Baru yang sudah tergila-gila dan terlena oleh “bujuk rayu” para penggagas modernisasi pembangunan. Mereka dengan penuh semangat membara mempromosikan gagasan modernisasi pembangunan tersebut di ruang-ruang kuliah dan sekolah.

Setelah Orde Baru tumbang dan reformasi bergulir di negara ini, identitas diri sebagai negara industri berbasiskan teknologi canggih ternyata masih jauh dari harapan, namun sebagai negara agraris yang mengandalkan hidup dari sektor pertanian pun tidak terpatri dalam identitas bangsa Indonesia. Hasilnya, Indonesia menjadi negara “setengah matang” identitasnya. Ia belum menjadi negara industri moderen yang maju, namun tidak juga menjadi negara agraris. Padahal, dari sisi potensi alam, Indonesia sebenarnya mampu menjadi negara yang maju dengan mengandalkan sektor pertanian. Namun sayang bahwa obsesi untuk segera dikatakan sebagai “negara industri moderen” dan tidak mau dikatakan negara terbelakang karena belum memiliki industri super canggih, seperti pesawat, mobil, elektronik dan lain sebagainya, telah membuat penguasa negeri ini teridap penyakit lupa diri. Akhirnya, bangsa ini sudah terlanjur meninggalkan sektor pertanian dan ingin buru-buru tinggal landas menjadi negara industri maju.

Namun, sebagai negara industri pun ternyata Indonesia hanya menjadi salah satu jajahan empuk dari investor atau penanam modal asing, karena mereka melihat bahwa Indonesia masih tersedia jutaan manusia yang mau diupah secara murah. Selain itu, proses untuk mendirikan industri dalam skala besar masih dimungkinkan, dengan berbagai alasan, misalnya ketersediaan lahan, pajak mungkin masih murah, bahan baku murah masih mudah didapatkan, dan letak Indonesia yang secara geografis sangat strategis untuk memasarkan produk, baik ke dalam dan ke luar dari Indonesia. Ini semua membuat para investor belum meninggalkan Indonesia, meskipun saat krisis finansial pada tahun 1997 dan kemudian diikuti oleh gonjang-ganjing “kekuasaan” akibat krisis sosial-politik yang terjadi dari tahun 1998 2002, ditandai dengan banyaknya konflik di berbagai daerah, hampir membuat negeri ini hancur dan bangkrut. Namun, toh negeri ini masih ada dan hebatnya lagi para petani masih tetap pergi ke ladang dan bercocok tanam.

Tetapi, nasib petani baik sejak Orde Baru berkuasa sampai dengan tumbangnya dan tampuk kekuasaan negeri ini sudah berganti dari Habibie, Gus Dur, Megawati sampai dengan SBY, ternyata belumlah berubah. Mereka masih tetap menderita dan terpinggirkan dari seluruh aspek kebijakan negeri ini. Kapitalisme global yang dikendarai oleh para pengusung paham neo-liberalisme, segera saja menyusup ke sektor pertanian dengan program Revolusi Hijau. Karena menurut sebagian pakar, Revolusi Hijau hanya salah satu cara bagaimana pasar bebas masuk ke sektor industri pangan. Hal ini membuat para petani semakin sulit nasibnya. Dari sinilah, ketertarikan saya untuk mempersoalkan kehidupan para petani dengan ekonomi pasar bebas menjadi satu topik yang sangat perlu untuk diteliti. Titik tolaknya terletak pada bagaimana petani bersiasat di tengah ekonomi pasar bebas yang semakin tidak menguntungkan mereka, namun sekaligus menjadi salah satu peluang bagi para petani untuk melihat sektor lain dalam dinamika ekonomi yang mau tidak mau harus mereka terima menjadi bagian dari kehidupan mereka.

 A. Persoalan Dasar: Pasar Bebas vs Kebudayaan Lokal

Hipotesa dasar yang saya ajukan adalah proses transformasi dari masyarakat petani ke dunia industri tidak bisa dilakukan secara tiba-tiba. Kultur agraris tidak dengan sendirinya bisa berubah menjadi kultur industri kapitalis. Namun, para petani yang hidup dari kultur agraris tidak menutup mata untuk menerima peluang dari hadirnya sistem ekonomi pasar bebas. Hanya saja, kultur agraris akan menjadi alat resistensi bagi petani untuk memasukan ekonomi pasar itu ke dalam kehidupan mereka. Namun, karena kekuatan ekonomi pasar begitu besar, kemungkinan besar kekuatan ini bisa menggeser pola hidup petani dari agraris ke “ambang” sistem ekonomi kapitalis. Tidak semuanya bisa dihilangkan dari kehidupan petani, maka usaha mereka untuk tetap mempertahankan identitas kultural mereka masih tetap ada.

Penelitian ini dilakukan untuk menjawab hipotesa dasar tersebut, yakni seberapa jauh konsep upah dalam moral ekonomi petani mampu tergeser oleh logika pasar bebas. Selain itu, apakah logika pasar memang menjadi faktor kunci dalam proses transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat “pos-agraris.” Dari persoalan itu bisa diperinci dalam tiga pertanyaan dasar yaitu:
  1. Seberapa kuat konsep upah dalam moral ekonomi petani berperan dalam menentukan ikatan kultural di antara para petani di Gunungkidul?
  2. Seberapa kuat logika pasar memberikan pemahaman lain dalam menggeser ikatan kultural yang sudah terbangun di kalangan petani Gunungkidul yang akhirnya memilih terlibat dalam dunia industri penambangan batu kapur, baik sebagai penambang tradisional atau buruh giling di industri pengolahan batu kapur?
  3. Seberapa kuat logika pasar bebas menentukan proses transformasi dari masyarakat agraris ke pos-agraris?

B. Petani Gunung Kidul dan Pasar Bebas

Ada banyak penjelasan tentang ekonomi pasar bebas yang bergerak di berbagai bidang kehidupan dan kajian yang telah mengupas persoalan tersebut dari berbagai macam perspektif juga sudah banyak dilakukan. Selain itu juga, sudah banyak pakar yang menguraikan apa itu neoliberalisme, globalisasi ekonomi, dan segala dinamika yang ditimbulkan dari fenomena tersebut di tengah kehidupan manusia paling mutakhir sekarang ini, namun dalam penelitian ini saya membatasi diri untuk melihat persoalan pasar bebas ini dari sudut “moral ekonomi petani.”

Kajian tersebut saya mulai dari tanggal 9 September 2007. Pada tanggal itulah dibuka sebuah pabrik penggilingan batu kapur di Dusun Ploso, Sumberwungu, Tepus, Gunungkidul. Dusun Ploso sendiri terletak agak terpencil dari kota Wonosari, kurang lebih dua jam perjalanan dari Yogyakarta. Kalau kita naik kendaraan sampai di kota Wonosari, kita harus mengambil arah ke Kecamatan Semanu. Arahnya menuju pantai Rongkop atau Baron, sesampainya di Semanu kita harus mengambil arah kanan untuk menuju desa Sumberwungu. Setelah perjalanan agak berkelak-kelok, melalui jalan aspal yang lumayan licin, maka kita akan sampai di Dusun Ploso. Di situlah, sebuah pabrik penggilingan batu kapur yang bernama PT. Dewata Sari Prima telah didirikan oleh seorang investor dari Jakarta. Pabrik ini didirikan di tengah sebuah kawasan pertanian dan bukan di sebuah kawasan industri seperti Bekasi, Tangerang, atau Kaligawe di Semarang.

PT. Dewata Sari Prima sendiri adalah anak cabang dari PT. Dewata di Jakarta, sebuah perusahaan tambang yang berkantor di Jakarta. Bidang gerak pokok dari PT. Dewata sendiri adalah pertambangan. Perusahaan ini pula yang memulai gagasan untuk mendirikan sebuah tambang batu kapur di Dusun Ploso. Sudah lebih dari satu tahun PT. Dewata menjalankan usaha pertambangan kapurnya di Ploso dan dalam waktu satu tahun itu mulai ada geliat perubahan bagi masyarakat Dusun Ploso sendiri untuk terlibat dalam pengolahan industri batu kapur. Orang sering menyangka bahwa batu kapur hanya bisa digunakan untuk bahan bangunan saja. Namun, ternyata batu kapur ini memiliki peluang bisnis yang cukup besar. Batu kapur ini memiliki nama kimia Calcium Carbonate (CaCo3) dan merek dagangnya lebih sering disebut sebagai Calcite. Jenis batuan ini memang memiliki banyak kegunaan. Dari Calcite inilah bisa diciptakan bahan baku untuk cat, sabun, kertas, tinta, pupuk, makanan ternak, keramik, kayu lapis, pipa, dan termasuk untuk bahan bangunan.

Dengan melihat peluang kegunaan itu, maka PT. Dewata ikut bermain dalam dunia bisnis Calcite baik dalam tingkat domestik dan internasional. Dia ingin menjadi pesaing pengolahan batu kapur yang sudah ada di Gunugkidul. Ada sekitar 10 perusahaan pengolahan batu kapur yang sudah merajai pasaran. Ada dua perusahaan besar yang sudah bergerak lebih dahulu yaitu PT. Supersonics dengan kemampuan produksi 270 ton per hari dan PT. Sugih Alamnugroho dengan kemampuan produksi 192 ton per hari. Kedua perusahaan itu memiliki kemampuan penguasaan pasar yang kuat, karena didukung oleh pabrik dan mesin produksi yang berkapasitas besar. Dari data yang didapat masih ada perusahaan-perusahaan batu kapur lainnya yang dimiliki oleh pemodal dalam tingkat medium yang kapasitas produksinya antara 30 70 ton per hari, yaitu PT. Gunung Makmur, PB. Pulung Jaya, PB. Sumber Makmur, PB. Kembang, PT. Kalindo, dan PT. Gunung Gede. Selain itu ada kelompok pengolahan batu kapur yang dimiliki dan dikelola secara tradisional oleh masyarakat Gunungkidul, namun karena faktor modal maka kapasitas produksinya tidak terlalu besar, misalnya saja mereka hanya mampu memproduksi sekitar 7 20 ton per hari untuk memasok kebutuhan pasar. Perusahaan- perusahaan ini umumnya dimiliki oleh penduduk lokal yang lokasinya tersebar di hampir seluruh wilayah Gunungkidul.

Geliat penambangan batu kapur di Gunungkidul, menjadi bagian dari dinamika sosial dan ekonomi yang mewarnai masyarakat Gunungkidul. Di wilayah yang terkenal tandus karena hampir seluruh wilayah hamparannya dipenuhi oleh batu itu, ternyata mengandung potensi maha besar untuk dijadikan wilayah industri pertambangan batu kapur. Tentu saja, kenyataan ini menjadi salah satu incaran para pemodal untuk menanamkan uangnya di Gunungkidul. Salah satu faktor yang menyebabkan para pemiliki modal mengincar Gunungkidul untuk mendirikan usaha pengolahan batu kapur karena harga tanah yang relatif murah dan sampai sekarang sumber alam yang bisa ditambang di Gunungkidul sendiri masih sangat melimpah. 

Oleh karena itu, banyak pemodal mulai melihat potensi Gunungkidul sebagai area untuk menanamkan investasinya. Tentu saja investasi itu disertai harapan agar mereka bisa melipatgandakan keuntungan atas modal mereka. Batu kapur ternyata hanya salah satu potensi alam saja yang bisa dikuras dari bumi Gunungkidul. Ternyata para pemain batu kapur, baik perorangan atau perusahaan, tidak saja menjadi penambang batu kapur. Mereka juga menjadi penambang berbagai macam batuan, misalnya saja batu fosfat, zeolite, kaolin, manghan, dan lain sebagainya. Maka dari itu, para penambang tradisional yang bergerak di Gunungkidul umumnya juga menjadi para penambang berbagai macam jenis batuan tersebut. Industri penggilingan pun juga mencakup berbagai macam jenis tambang batuan tersebut. Hal yang menjadi menarik untuk dikaji adalah posisi para petani yang juga merangkap sebagai penambang tradisional dan juga buruh penggiling di industri tambang tersebut. 

Namun, di tengah gemuruh pertambangan dan industri pengolahan hasil tambang tersebut, apakah sektor industri tambang ini telah mengubah corak hidup dan sistem ekonomi masyarakat Gunungkidul sendiri? Apakah mereka lantas “diam” saja saat daerah mereka mulai dikuasi oleh para pemilik modal? Masyarakat Gunungkidul sendiri pasti bereaksi atas maraknya industri tambang yang mulai membanjiri kawasan mereka. Menjadi sebuah fenomena sosial yang menarik untuk diteliti, bahwa masyarakat Gunungkidul yang sebagian besar hidup dalam kultur agraris yang sangat kuat, sekarang mulai hidup di tengah dunia industri yang memiliki perbedaan yang cukup tajam dengan kultur petani. Kajian atas perbenturan dua kultur ini tidak dilihat secara hitam putih, namun ingin dilihat dan dikaji secara lebih mendalam, yakni bagaimana relasi antara dua kultur itu saling bertumpang tindih untuk mendesakkan sebuah perubahan yang mendasar dalam seluruh bangunan sistem sosial, politik dan ekonomi yang ada di tengah masyarakat Gunungkidul.

Ada usaha yang cukup kuat di kalangan masyarakat Gunungkidul sendiri untuk tidak kehilangan identitas diri mereka sendiri. Mereka ingin tetap menunjukkan bahwa mereka adalah masyarakat Gunungkidul yang masih berpegang pada tradisi agrarisnya, misalnya saat musim tanam tiba, hampir sebagian warga pergi ke sawah dan ladang untuk bercocok tanam dan saat musim panen tiba mereka juga pergi ke ladang secara bersama- sama. Pola kerja mereka masih menunjukkan bahwa sistem kekerabatan masih sangat kental dalam tata hubungan keseharian mereka. Hubungan ini menjadi sangat khas sebagai warisan kultur petani, yang masih menjunjung tinggi kebersamaan sebagai upaya untuk bertahan dari himpitan ekonomi yang sulit. 

Umumnya, para petani bisa hidup karena di dalam sistem sosial mereka masih mengandalkan kebersamaan untuk mempertahankan peluang-peluang ekonomi yang mungkin masih bisa mereka dapatkan. Itu berarti bahwa para petani di Ploso pun sebenarnya masih tetap mencari celah untuk terhindar dari krisis subsistensi. Kebutuhan subsistensi bagi para petani adalah ketersediaan jaminan pangan dan juga ekonomi secara minimal sebatas itu tidak keluar dari perhitungan yang tersisa dari pendapatan mereka. Artinya, jaminan subsistensi adalah jaminan yang harus mereka cari agar mereka tidak jatuh ke dalam krisis ekonomi dan pangan yang bisa menggoncang kehidupan keluarga mereka. Keluar dari batas subsistensi berarti mereka harus menurunkan standar makan mereka atau bahkan bisa kekurangan makanan.

Cerita tentang keluarga petani yang kelaparan akibat tidak ada jaminan subsistensi memang tidak ditemukan, namun bahwa mereka kekurangan uang sehingga harus berhutang untuk hidup satu bulan banyak ditemukan. Seorang bapak petani pernah mengatakan, bahwa uang gaji bulanan yang dia dapatkan langsung habis dalam satu atau dua hari setelah gaji diterima. Jika dihitung dengan teliti, uang yang dia dapatkan dari hasil menjadi buruh giling, tidak cukup untuk menghidupi satu isteri dan satu anak. Maka dari itu, keluarga ini menginduk ke salah satu keluarga petani yang dipandang cukup mampu. Istri petani itu bekerja di keluarga patron untuk menjadi tukang masak yang secara kebetulan keluarga itu juga menjadi penyedia makanan bagi karyawan pabrik penggilingan batu kapur. Keluarga petani yang mampu ini sekaligus menjadi patron dari keluarga bapak petani itu. Pola patron-klien masih ada, tentu untuk menjamin kehidupan keluarga petani tersebut dan juga menjaga kekerabatan agar mereka tidak jatuh pada krisis subsistensi.

Di dusun Ploso, orang masih memiliki kekerabatan yang didasarkan pada pola hidup kultur petani tersebut. Lekatnya kekerabatan antar mereka kemudian menjadi tata moral yang banyak melatarbelakangi keputusan-keputusan sosial dan politik antar mereka. Kekerabatan itu menjadi tampak dalam tindakan suka rela untuk berbagi. Itu artinya mereka lebih mudah untuk berbelas kasih, tidak tega untuk merugikan pihak lain, mudah memaafkan hal-hal yang sebenarnya dalam kalkulasi bisnis sebenarnya rugi, namun demi menjaga kekerabatan, kerugian itu dipandang sebagai biaya sosial yang harus diberikan agar kekerabatan tidak retak.

Namun demikian, sistem ekonomi kapitalis moderen tetaplah menjadi daya tarik tersendiri. Tidak sedikit di antara para petani yang menjadi panambang tradisional atau buruh giling tertarik untuk mengajukan kredit ke bank atau pun mengambil kendaraan bermotor secara kredit. Adanya industri tambang, membuat mereka lantas memberanikan diri untuk meminjam bank atau langsung kepada lembaga keuangan pemberi kredit. Kebanyakan adalah kendaraan roda dua. Hal ini sulit terjadi di kalangan petani, kalau mereka tidak memiliki keterjaminan upah yang bisa mereka terima setiap minggu atau bahkan bulanan. Karenanya, mereka memang memiliki harapan besar untuk menggantungkan kehidupan ekonomi mereka pada pabrik pengolah aneka tambang batu tersebut.

Para petani, biasanya akan mendapatkan uang dari menjual hasil panen mereka. Hasil itu sangat tergantung dari apakah hasil panen mereka berhasil atau tidak. Saat hasil panen mereka gagal, mereka masih memiliki harapan pada ternak mereka. Namun, batas keterjaminan dari dua sumber ekonomi itu masih sangat rentan untuk hilang dari hidup mereka. Karenanya mereka juga butuh keterjaminan dari faktor lain yaitu menjadi buruh upahan di sektor lain, misalnya menjadi buruh bangunan di proyek-proyek bangunan, menjadi buruh serabutan di pabrik-pabrik, dan lain sebagainya. Adanya industri pertambangan menjadi alternatif pilihan bagi masyarakat Gunungkidul untuk mendapatkan upah. Maka kasus ini menjadi sangat menarik untuk dilihat secara lebih kritis. Apakah sebuah pabrik dengan pola industri bisa menggeser pola bertani yang sudah lama hidup di tengah masyarakat Gunungkidul?

Upah menjadi bagian kunci dalam relasi kerja. Dalam dunia industri, upah menjadi penentu atas semua unsur penting dalam relasi antara buruh dan majikan. Tetapi tidak sekedar relasi antara buruh dan majikan, upah akhirnya menjadi salah satu indikator kunci dalam perkembangan logika pasar. Upah menjadi salah satu pertaruhan dalam menentukan apakah seseorang itu masih bisa berharga atau tidak? Atau apakah upah itu masih bisa menghargai orang sebagai balas jasa yang diberikan atas tenaga yang diberikan atau tidak? Pasar bebas telah menyulap ekonomi menjadi bidang paling kejam untuk menyingkirkan kelompok-kelompok lemah. Petani adalah salah satu kelompok paling mudah tergilas oleh arus perkembangan pasar bebas. Tetapi dalam banyak studi tentang kelompok petani, mereka ini paling banyak melakukan perlawanan dalam segala regulasi yang akan menghapus identitas mereka. Kultur petani yang melekat pada diri mereka, tidak serta merta bisa ikut dalam pusaran permainan logika pasar, karena mereka masih terikat oleh kultur petani yang sangat kuat di antara mereka sendiri.

Fakta sosial yang terjadi di Ploso pun demikian, mereka tidak serta merta lantas meninggalkan acara-acara kekeluargaan, misalnya rasulan, pernikahan, khitanan, atau acara desa lainnya hanya demi upah sebagai penambang tradisional dan buruh giling di pabrik pengolahan batu. Dan tentu saja, mereka juga tidak bisa meninggalkan pola hidup bertani mereka. Meskipun mereka mengakui bahwa jaminan ekonomi dari bertani tidak langsung bisa diandalkan, mereka tetap saja menyediakan waktu luang untuk pergi ke ladang. Bahkan, banyak dijumpai, saat musim tanam atau panen tiba, banyak penambang tradisional dan juga para buruh giling menghentikan aktivitiasnya di pabrik dan kemudian pergi ke sawah untuk mengurus tanaman mereka. Tentu saja, dalam pola industri, acara-acara itu menghambat produktivitas dan tidak efisien, namun pada kenyataannya, para penambang dan buruh giling itu lebih memilih untuk menghadiri acara-acara itu daripada untuk mendapatkan upah dari hasil kerja mereka di sektor industri tambang.

Masyarakat Gunungkidul sebenarnya sedang mengalami pergeseran sistem sosial, akibat maraknya kegiatan penambangan di wilayah ini. Pergeseran pola sosial itu akan sangat ditentukan dari kedatangan para pemodal untuk mendirikan berbagai macam pabrik di Gunungkidul, salah satunya adalah pabrik pengolahan batu kapur. Menjadi pertanyaan kunci yang bisa diajukan sebagai anak panah untuk membongkar persoalan dasar yang ada: apakah transformasi kultur agraris ke “pos-agraris” bisa terjadi akibat perbenturan antara rasionalitas agraris ke industri yang lebih mengutamakan kebebasan individu daripada kebersamaan antar manusia? Apakah masyarakat “pos agraris” bisa terbentuk oleh dinamika industri yang ujung tombaknya adalah sistem ekonomi pasar? Jika pasar bebas memang menjadi satu-satunya kebenaran yang menentukan seluruh relasi manusia, apakah moral ekonomi petani yang memunculkan kultur komunal dan masih sangat menjunjung tinggi kekerabatan dan kebersamaan bisa tergeser dengan mudah saat rasionalitas pasar bebas lewat dunia industri masuk ke tengah kehidupan para petani?


C. Budaya Petani dalam Kapitalisme Global

Sejak Revolusi Hijau diyakini bisa menyulap dunia petani dari pola bercocok tanam secara tradisional ke pola bertani secara industrial, dimulailah cara baru untuk melecut industri pertanian di Indonesia. Namun demikian nasib para petani menjadi semakin tidak jelas. Hal itu ditegaskan oleh Francis Wahono demikian:

“Dengan Revolusi Hijau para petani harus membayar hampir semua asupan kecuali tenaga sendiri. Asupan produksi yang berupa bibit unggul, pupuk buatan, insektisida, pestisida harus mereka beli dari toko-toko yang merupakan outlet dari perusahaan besar. Kredit Usaha Tani sebagai modal untuk pembelian asupan harus disewa oleh petani, entah dengan sewa tahunan atau bagi hasil dari para pemilik tanah. Di beberapa tempat penggunaan air irigasi harus mereka bayar berupa dana tirta (untuk perbaikan selokan dan upah bagi tenaga pengatur irigasi.)” (Francis Wahono, 2003:230)

Kapitalisme global yang dikendarai oleh para pengusung paham neoliberalisme, segera saja menyusup ke sektor pertanian dengan program Revolusi Hijau tersebut. Karena menurut sebagian pakar, Revolusi Hijau hanya salah satu cara bagaimana pasar bebas masuk ke sektor industri pangan. Pada dekade tertentu Revolusi Hijau dianggap sukses dalam menjamin ketersediaan pangan. Namun dalam perkembangan waktu, Revolusi Hijau tidak lagi mampu menjawab desakan kebutuhan pangan yang semakin luas. Industri pertanian dianggap tidak lagi cukup efisien untuk mencukupi kebutuhan pangan dunia. Maka, kaum neoliberalisme mencari cara untuk memecahkan masalah efisiensi di sektor indutri pangan yang sangat kompleks tersebut. Kunci dari pemecahan yang diajukan adalah “liberalisasi” secara menyeluruh di industri pangan, terutama di negara-negara sedang berkembang. Dasarnya adalah teori ekonomi neoklasik yang mengatakan bahwa “efficiency is quated with liberalization” (= efisiensi adalah sama dengan liberalisasi). Keyakinan ini hampir tak terbantahkan sampai hari ini. (P. Wiryono, 2003:195).

Hal ini membuat para petani semakin sulit nasibnya. Dari sinilah, akar persoalan lantas mengemuka secara kuat. Hukum ekonomi neoklasik tidak mudah untuk diterima dan diterapkan dalam kultur petani. Hal itu ditegaskan oleh James C. Scott lewat penelitian dan pengamatan yang cukup mendalam terhadap dunia petani yang akhirnya memunculkan teori moral ekonomi petani. Scott menandaskan argumentasi dasarnya demikian:

“Gagagasan dasar dari argumen saya itu adalah sederhana tapi, saya kira, juga sangat kuat. Ia muncul dari dilema ekonomi sentral yang dihadapi oleh kebanyakan rumahtangga petani. Oleh karena mereka hidup begitu dekat dengan batas subsistensi dan menjadi sasaran permainan cuaca serta tuntutan-tuntutan dari pihak luar, maka rumah tangga petani tidak mempunyai banyak peluang untuk menerapkan ilmu hitung ekonomi neoklasik yang tradisional. Satu hal yang khas adalah bahwa yang dilakukan oleh petani yang bercocok tanam itu adalah berusaha menghindari kegagalan yang akan menghancurkan kehidupannya dan bukan burusaha memperoleh keuntungan besar dengan mengambil risiko. Dalam bahasa pembuatan-keputusan, tingkah lakunya itu disebut enggan-risiko (risk-averse); ia meminimumkan kemungkinan subyektif dari kerugian maksimum.” (James C. Scott, 1981:7)

Dari situ Scott menegaskan bahwa prinsip “safety-first” atau dahulukan selamat sangat dominan dalam melatarbelakangi tindakan petani dalam pengaturan teknis, sosial dan moral dalam satu tatanan agraris pra-kapitalis. Karenanya, dalam penelitian Scott, kita diperlihatkan karakter khas petani yang konservatif, cenderung untuk membentuk komunitas yang tertutup dan sangat hati-hati dengan perubahan-perubahan baru dari luar diri mereka. Oleh karena itu, petani adalah komunitas manusia yang sangat sulit untuk menerima sistem ekonomi terbuka yang terjadi dalam pasar bebas.
Pendapat Scott tersebut kemudian mendapat sebuah anti-tesis dari penelitian Samuel L. Popkin yang meneliti dari perspektif politik ekonomi. 

Bagi Popkin petani itu kelompok manusia yang rasional dalam keputusan kehidupan harian mereka. Jika Scott melihat pola keputusan petani dari aspek kolektivitasnya, maka Popkin lebih mendasarkan pola analisanya pada individu petani saat mengambil keputusan. Seperti diungkapkannya demikian:

“My analysis of peasant society begins with a focus on individual decision making and an expand conception of the role of the village in peasant economic life. Modifying the (implicit) assumptions of moral economist, I shall consider gambles as well as risks, apply investment logic to villages and patron-client relations as well as to markets, and look at the conflics and tradeoffs between private and collective benefits involved in both village management and the life of the peasant.” (Samuel L. Popkins, 1979: 17-18).

Paparan Popkin menjelaskan aspek lain dari karakter petani. Dalam konteks individu, petani bisa saja melakukan investasi jangka pendek dan juga jangka panjang untuk menjamin kehidupannya. Seperti kebanyakan investasi, selalu ada resikonya. Menurut Popkin, petani bisa saja menghadapi resiko tersebut. Itu berarti bahwa petani juga bisa terbuka terhadap mekanisme pasar yang sangat terbuka. Argumentasi Scott dan Popkin jelas berseberangan. Namun, kedua argumentasi itu menjadi bahan dasar untuk dikaji lebih jauh lagi dalam konteks petani yang berbeda. Bisa saja, memang kedua karakter petani, baik dalam sudut pandang Scott maupun Popkin, bisa hidup secara bersamaan dalam kehidupan petani.

Teori Scott tentang moral ekonomi petani akan menjadi bahan kajian dasar untuk dibenturkan dengan realitas terkini kehidupan para petani yang bisa jadi telah terbuka terhadap perspektif ekonomi pasar. Artinya, petani bisa juga mau beresiko terhadap ekonomi pasar yang terbuka seperti diuraikan oleh Popkin. Karenanya, menjadi sangat menarik untuk dikaji, apakah proses ekonomi pra-kapitalis itu masih terus saja menjadi model kehidupan petani, saat di tengah kehidupan mereka secara jelas dibangun berbagai macam industri yang menerapkan model atau sistem ekonomi kapitalis.
Ada semacam gejala sosial yang tidak langsung bisa dipahami, bahwa saat logika kapitalisme menyorongkan sebuah mental industri, di mana uang bisa diandalkan untuk mendapatkan segalanya. 

Namun, para penambang tradisional dan buruh giling di Ploso, dan juga di sentra-sentra industri tambang, tidak serta merta menerima kenyataan itu sebagai bagian yang paling penting bagi kehidupan mereka. Ada sebuah pertanyaan yang kemudian mengemuka, apakah kultur petani sebenarnya selalu berlawanan dengan logika pasar bebas? Pasar bebas diwartakan oleh para penganut neoliberalisme. Paham dasar neoliberalisme diterangkan oleh Herry Priyono sebagai berikut:

“Cara-cara kita bertransaksi dalam kegiatan ekonomi bukanlah satu dari berbagai model hubungan antar manusia, melainkan satu-satunya model yang mendasari semua tindakan dan relasi antar manusia, baik itu persahabatan, keluarga, hukum, tata-negara, maupun hubungan internasional. Dengan kata lain, tindakan dan hubungan antar pribadi kita maupun tindakan dan hubungan legal, sosial dan politis kita hanyalah ungkapan dari model hubungan menurut kalkulasi untung-rugi individual yang terjadi dalam transaksi ekonomi.” (Herry Priyono, 2003: 54)

Itu berarti bahwa pasar bebas bisa terjadi saat terjadi liberalisasi peran individu dan tidak ada intervensi dari lembaga apa pun bahkan termasuk negara. Karenanya pasar bebas sangat menghargai insentif individu sebagai satu-satunya faktor yang menggerakan ekonomi. Demikian prinsip yang dianjurkan oleh Milton Friedman: “Ada satu, dan hanya satu, tanggungjawab sosial bisnis, yaitu menggunakan seluruh sumber-dayanya untuk aktivitas yang mengabdi akumulasi laba...” (dalam Herry Priyono, 2003:53). Jika neoliberalisme menekankan sebuah persaingan terbuka antar individu untuk mencapai keuntungan sebesar-besarnya, kultur petani di Ploso tidak demikian adanya. Kekerabatan dan kebersamaan masih menjadi satu pedoman untuk menopang ekonomi mereka.

Dan pada umumnya, di Gunungkidul ada sebuah gejala lain, mereka tidak peduli apakah kebutuhan individu mereka sudah terpenuhi atau belum, yang penting mereka harus mendahulukan kebutuhan bersama dengan tetangga dan sanak keluarga mereka. Fakta ini tidak menghilangkan kenyataan bahwa mereka tetap memikirkan kebutuhan ekonomi, namun menjadi peristiwa menarik untuk dipelajari lebih lanjut bagaimana mereka melakukan siasat untuk tetap mempertahankan identitas mereka di tengah hukum kekerabatan yang kental dan tetap mendapatkan upah untuk kebutuhan hidup mereka. Ini menjadi salah satu cerita yang bisa dilihat dalam sistem sosial masyarakat Ploso, Tepus Gunungkidul. Tentu masyarakat petani di Ploso akhirnya juga tidak bisa lepas secara total dari ekonomi moderen yang terkena imbas logika pasar. Yang menjadi persoalan penting yang harus dilihat adalah bagaimana siasat untuk mendapatkan upah tersebut harus dihidupi di antara dua sistem yang berbeda yaitu, logika pasar bebas dan logika yang berbasiskan kultur agraris.

D. Upah dan Moral Ekonomi Petani

Upah biasanya menjadi bagian yang sentral dalam relasi ekonomi. Lembaga ekonomi moderen meletakkan sistem yang cukup kuat dalam bentuk nilai uang. Upahpun secara sederhana bisa dikalkulasi dalam bentuk berapa uang yang diterima dalam setiap transaksi usaha atau pun jasa. Konsep upah bukanlah hal baru dalam teori-teori ekonomi, sosial dan politik. Karl Marx sudah membahasnya dalam Naskah-naskah Ekonomi dan Filsafat tahun 1844. Sedangkan peletak dasar teori ekonomi Adam Smith juga sudah begitu luas dan dalam membahas soal upah sebelum Karl Marx mengupasnya.

Tentu saja teori tentang upah semakin berkembang seiring majunya dalil-dalil ekonomi moderen. Namun, secara singkat konsep upah menurut Smith bisa dirumuskan demikan, “Naik dan turunnya keuntungan modal bergantung pada hal-hal sama yang menyebabkan naik dan turunnya upah, yaitu pada naik turunnya keadaan kemakmuran masyarakat.” (Sony Keraf, 1996: 238). Ini mau menegaskan bahwa sangat sulit untuk menentukan tingkat rata-rata baik upah dan keuntungan, karena keduanya sangat berfluktuasi. Lebih lanjut, Smith menegaskan kembali bahwa “Seseorang harus hidup dari kerjanya, dan upahnya harus paling kurang cukup untuk mempertahankan hidupnya.” (kutipan dalam Sony Keraf, 1996:238). Secara singkat bisa dijelaskan bahwa dalam teori ekonomi moderen, tenaga manusia akhirnya menjadi komoditas saat tenaga kerja manusia diukur berdasarkan nilai dan hasil kerja yang dilakukannya.

Komodifikasi nilai kerja yang dilakukan oleh manusia itu menjadi semakin berkembang luas dan rumit seiring kemajuan interaksi-interaksi manusia dalam konteks sosial, ekonomi dan politik yang melingkupinya. Upah dalam dunia sekarang, menjadi jelas dalam dalil-dalil ekonomi yang semakin bervariasi. Dalam konteks masyarakat petani yang sudah dikaji oleh James C. Scott, ukuran nilai kerja sehingga petani mendapatkan upah menjadi sangat konservatif, bahkan sistem upah dalam pendapat Scott sangat ditentukan oleh etika subsistensi. Pengaturan pendapat dalam koridor etika subsistensi itu ditentukan atas dasar apakah seorang petani bisa mendapatkan sisa dari hasil usahanya atau tidak. Batasannya dari apa yang minimum bisa dipertahankan. Usaha petani adalah untuk selalu menghindari resiko agar sisa dari pendapatannya tersebut tidak hilang atau goncang oleh berbagai faktor luar. Karena keluar dari batas itu, berarti mereka akan berhadap dengan krisis berkepanjangan.
Ini berbeda dengan pendapat Popkin. 

Petani memiliki rasionalitas untuk selalu bisa berhadapan dengan situasi krisis, dan bahkan petani bisa berani mengambil resiko dengan membuat investasi di sebuah ekonomi pasar yang terbuka. Karenanya, petani secara individual bisa saja ikut terlibat dalam ekonomi kapitalis dengan pertimbangan- pertimbangan khusus. Kedua pendapat ini menjadi sebuah acuan dalam penelitian ini untuk melihat sejauh mana keberadaan petani bisa bergeser dari kondisi yang konservatif akibat kultur agraris dan lebih terbuka dan berani mengambil resiko akibat desakan- desakan dari pasar bebas yang disodorkan oleh para pengusung neoliberalisme.

Rasionalitas pasar bebas yang diagung-agunkan oleh para penganut neoliberalisme mengatakan bahwa satu-satunya kebenaran dalam tata relasi manusia adalah saat untung-rugi secara individual diberi ruang untuk bergerak bebas tanpa dibatasi oleh regulasi apa pun, bahkan dari otoritas tertinggi yaitu negara. Itu berarti bahwa institusi komunal yang secara tradisional dimiliki oleh para petani sebagai wujud dari tindakan-tindakan moral ekonomi dalam konsep Scott akan mendapat sanggahan yang sangat kuat. Karena dalam hukum pasar bebas, siapa bisa menjadi semakin efisien, dia akan menjadi jawara dalam mendapatkan keuntungan. Keuntungan sebesar-besarnya hanya bisa didapatkan jika manusia bisa semakin efisien. Manusia petani dalam konsep Scott bukanlah manusia yang efisien, karena sistem kekerabatan dan patron-klien yang muncul dalam kultur petani mengharuskan mereka berani mengorbankan sesuatu hal yang berharga demi menjaga relasi di dalam komunitas internal mereka.

Namun demikian, tidak serta merta bahwa masyarakat petani akan langsung menerima hukum-hukum ekonomi pasar bebas. Itu artinya bisa jadi ada sebuah usaha untuk bekelit dari situasi desakan ekonomi pasar bebas dan tetap bertahan dalam posisi yang konservatif sejauh itu bisa menjadikan kehidupan mereka tetap aman dari terjangan krisis. Tetapi bisa juga petani mengambil posisi sebaliknya, bahwa mereka ikut dalam arus ekonomi pasar bebas sejauh itu juga memberikan jaminan pada keamanan secara ekonomis dan politis. Hal itulah yang dipertahankan oleh Samuel Popkin dalam penelitiannya tentang petani sebagai manusia rasional.

Jika pertarungan kekuatan itu terjadi dalam kehidupan masyarakat petani, mungkinkan sebuah masyarakat pos-agraris itu muncul? Saya tidak mendefinisikan bahwa masyarakat pos-agraris itu sebagai masyarakat industri berbasiskan teknologi maju. Masyarakat pos-agraris bisa jadi tetap hidup dari kultur agraris, tetapi karena desakan realitas ekonomi pasar yang muncul dari sistem industrialisasi moderen, masyarakat “terpaksa” harus beradaptasi dengan desakan itu namun tanpa kehilangan identitasnya sebagai masyarakat agraris. Mereka tidak hidup secara penuh dalam sistem industri kapitalis, namun hidup diambang industri kapitalis namun karena “enggan” untuk meninggalkan kultur agraris yang terlanjur melekat, maka apa yang baik dari warisan kultur agraris tersebut tetap mereka pertahankan. Jika, neoliberalisme akan mencetak manusia-manusia individual dalam sebuah pasar bebas yang terbuka, masyarakat “pos-agraris” ini tidak menjadi individualistik, namun tetap bertahan dalam kolektivitas mereka yang dihidupi dalam sebuah sistem ekonomi pasar bebas.

E. Kepustakaan

Scott, C., James, Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subistensi di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1981).

Scott, C., James, Domination and the Arts of Resistance, Hidden Manuscripts, (Yale University Press, 1990).

Popkin, P., Samuel, The Rational Peasant, The Political Economy of Rural Society in Vietnam, (California: University of California Press, 1979).

Polanyi, Karl, The Great Transformation, The Political and Economic Origins of Our Time, (Boston: Beacon Press, 2001).

Keraf, Sonny, Pasar Bebas Keadilan dan Peran Pemerintah, Telaah Atas Etika Politik Ekonomi Adam Smith, (Yogyakarta: Kanisius, 1996).

Held, David; Mc Grew, Anthony; Goldblatt, David; and Perraton, Jonathan, Global Transformations, Politics, Economics and Cuture, (Cambridge: Polity Press, 2000).

Waters, Malcolm, Globalzation, (London: Routledge, 1995).
 

Aart Scholte, Jan, Globalization, a critical introduction, (Macmillan Press LTD, 2000)

Wibowo, I dan Wahono, Francis (Editor), Neoliberalisme, (Yogyakarta: Penerbit Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003).

Wibowo, I dan Priyono, Herry (Editor), Sesudah Filsafat, Esai-esai untuk Franz Magnis- Suseno, (Yogyakarta: Kanisius, 2006)

Shanin, Teodor (Editor), Peasants and Peasant Societies, (Penguin book LTD, 1971). 16 

No comments:

Post a Comment

MAY DAY 2019: KAMI PEKERJA, KAMI BUKAN BUDAK!!!

(feature ini sudah dimuat d Koran Suara Hong Kong 7/5/2019) Lima perempuan mengenakan pakaian hitam dan matanya ditutup dengan kain ka...