Wednesday, January 9, 2019

REKONSILIASI, KEBUDAYAAN DAN KEBENARAN


REKONSILIASI, KEBUDAYAAN DAN KEBENARAN
Oleh Dedy Kristanto*


“Truth is the way to reconciliation,” demikian tulis Tuomas Forsberg dalam artikelnya yang berjudul The Philosophy and Practice of Dealing with the Past: Some Conceptual and Normative Issues (Georgetown University Press, Washington, D.C, 2007). Artikel ini menarik untuk membingkai film dokumenter yang diberi judul “Kapal-Kapal Pengharapan, Sebuah Perjalanan Menuju Perdamaian di Kesui.” Film dokumenter ini sebagai salah satu cara bagi Jesuit Refugee Service Indonesia untuk merekam proses pendampingan rekonsiliasi masyarakat Kesui dan sebagai alat untuk “mengenang” betapa proses rekonsiliasi antar manusia yang pernah mengalami konflik kekerasan bisa dilakukan, meskipun harus melalui jalan sulit, penuh onak duri dan perasaan pesimis yang pada mulanya terus menguntit di belakang kesadaran.
Namun, dalam konteks rekonsiliasi di Kesui, kebenaran seperti apa yang sebenarnya mendorong terjadinya rekonsiliasi? Secara konseptual, kebenaran dipahami sebagai satu titik untuk membuka tabir gelap masyarakat yang mengalami konflik kekerasan. Meskipun dalam prakteknya, membuka kebenaran bagi masyarakat yang mengalami konflik, sebenarnya tidaklah mudah. Karena dalam setiap konflik kekerasan akan selalu menimbulkan dua oposisi sikap yang berseberangan. Terjadinya dua oposisi ini, akan membuat dua penafsiran dan pemahaman tentang kebenaran yang berbeda pula. Kebenaran bagi korban akan berbeda dengan kebenaran mereka yang dituduh sebagai aktor konflik. Kebenaran secara komunal akan lain dengan kebenaran setiap individu yang terkena dampak konflik tersebut. Jadi kebenaran akan menjadi multi-tafsir bagi masyarakat paska konflik, termasuk masyarakat Kesui.
Selain adanya dua kubu penafsir kebenaran tersebut, masih ada pandangan lain yang juga akan memperpanjang disputasi bagaimana kebenaran itu mau dikaitkan dengan keadilan  di hadapan masyarakat yang bertikai dan mengalami konflik kekerasan. Pendekatan yang satu berkata bahwa menekankan keadilan restributif dan restoratif lebih berorientasi ke depan (future-oriented) dan pada korban kekerasan itu sendiri (victim-centered). Sedangkan model pendekatan dengan menggunakan hukuman (punishment), lebih berorientasi ke belakang (back-ward looking) dan terpusat pada kepentingan negara (state centered). Dua pendekatan ini sebenarnya akan berakibat pada bagaimana kebenaran akan ditempatkan. Dalam konteks rekonsiliasi setelah konflik kekerasan terjadi, kebenaran akan selalu diikuti dengan bagaimana keadilan mau dirumuskan secara bersama-sama. Maka, kebenaran akan selalu menempel secara ketat terhadap bagaimana proses keadilan itu dicapai.
Kenyataan inilah yang sebenarnya sedikit hilang dari proses rekonsiliasi di Kesui, yaitu kebenaran dan keadilan belum secara jelas dirumuskan bersama-sama antara warga penerima (receiving community) yang sebagian besar adalah warga Muslim dengan para pengungsi yang ingin pulang ke Kesui yang sebagian besar adalah warga Katolik/Kristen.   Padahal kebenaran dan keadilan, secara teoritis, menjadi bagian yang integral dalam seluruh proses rekonsiliasi yang dilakukan.  Namun demikian, toh rekonsiliasi bisa berjalan dan dilakukan di antara masyarakat Kesui. Inilah yang sangat menakjubkan dari proses rekonsiliasi Kesui. Dalam film dokumenter tersebut, faktor kuat yang muncul adalah tumbuhnya pengharapan di antara pengungsi untuk bisa bertemu dengan para saudaranya di Kesui. Dan ternyata, harapan yang sama mulai muncul di kalangan warga penerima, agar saudara-saudara mereka bisa segera pulang ke Kesui. Harapan ini selalu ditegaskan dan diulang-ulang oleh para basudara Kesui, bahwa mereka adalah satu saudara dan satu adat istiadat.
Saya berpendapat disinilah sebenarnya letak kebenaran yang sempat dirumuskan oleh warga Kesui untuk menemukan jalan menuju rekonsiliasi. Ketika semua saluran untuk menemukan kebenaran itu mampat, mungkin karena lemahnya aparatur negara, kendala geografis yang sulit, minimnya lembaga-lembaga yang mendampingi mereka, hukum yang tidak jelas dan sebagainya, maka cara lain untuk menembus kemampatan komunikasi tersebut adalah lewat jalan adat istiadat (baca: kebudayaaan). Kenangan sebagai satu saudara dalam satu akar nenek moyang, meskipun berbeda agama dan pernah berkonflik, membuat mereka diyakinkan disitulah jalan bagi mereka untuk menumbuhkan “ingatan kolektif” yang akan memberi roh pada harapan akan rekonsiliasi antar mereka. Tentu saja, ingatan itu tidak sekedar berhenti di situ, namun ingatan itu memiliki sederet pemahaman akan sebuah masa lalu yang harmonis. Mereka dulu adalah saudara bertetangga yang bisa hidup berdampingan dengan harmonis dan saling membutuhkan satu sama lain. Maka, meskipun mereka pernah berkonflik dan saling mencurigai, ingatan akan satu nenek moyang, satu adat istiadat, dan tentu saja satu tanah untuk hidup bersama, membuat mereka terdorong untuk mewujudkan ingatan itu dalam bentuk rekonsiliasi. Sebuah pertemuan untuk memudarkan semua curiga, dendam, rasa sakit, dimusuhi dan memusuhi, dan sebagainya akhirnya bisa dibuat.
Tentu saja, semua dampak konflik kekerasan yang berupa dendam, sakit hati, dan seluruh kompleks oposisi di antara mereka masih saja ada, dan tidak langsung bisa sirna. Namun, diharapkan setelah mereka bisa bersatu dalam satu wilayah, komunikasi di antara mereka dalam kehidupan sehari-hari akan melunturkan akar konflik secara alami. Mengapa secara alami ini penting? Karena sejauh aparatur negara, pemerintah lokal, lembaga lokal dan bahkan masyarakat sendiri belum bisa merumuskan secara pasti  “kebenaran dan keadilan” untuk masyarakat Kesui, potensi untuk muncul konflik masih akan terjadi. Maka, proses alamiah sebagai manusia menjadi andalan satu-satunya untuk bisa menjaga bagaimana rekonsiliasi dan perdamaian yang abadi tetap bisa mereka pertahankan dalam hidup keseharian mereka.
Faktor alamiah itu akan semakin menguatkan perdamaian akar rumput, kalau di antara masyarakat Kesui akan semakin mendukung dalam membangun sistem ekonomi yang selama ini hilang akibat konflik dan pengungsian. Ekonomi adalah salah satu alat yang paling efektif untuk kembali menemukan akar-akar kebudayaan mereka yang pernah mereka rintis secara bersama-sama. Akan tetapi, ekonomi juga bisa menjadi salah satu pemicu konflik, kalau di antara masyarakat Kesui sendiri tidak bisa menumbuhkan budaya ekonomi yang adil. Maka dari itu, kuncinya adalah apakah kebudayaan mereka yang harmonis, bisa juga terwujud dalam membangun budaya ekondomi yang adil dan sungguh mendukung di antara warga Muslim dan Kristen Kesui. Semoga apa yang baik ditumbuhkan di antara warga Kesui akan tetap baik di dalam mereka membangun hidup bersama di masa depan.

*Dedy Kristanto, pekerja kemanusiaan JRS Indonesia, sedang belajar di Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

No comments:

Post a Comment

MAY DAY 2019: KAMI PEKERJA, KAMI BUKAN BUDAK!!!

(feature ini sudah dimuat d Koran Suara Hong Kong 7/5/2019) Lima perempuan mengenakan pakaian hitam dan matanya ditutup dengan kain ka...