REKONSILIASI, KEBUDAYAAN DAN KEBENARAN
Oleh Dedy Kristanto*
“Truth is the way to reconciliation,” demikian tulis Tuomas
Forsberg dalam artikelnya yang berjudul The
Philosophy and Practice of Dealing with the Past: Some Conceptual and Normative
Issues (Georgetown University Press, Washington, D.C, 2007). Artikel ini
menarik untuk membingkai film dokumenter yang diberi judul “Kapal-Kapal
Pengharapan, Sebuah Perjalanan Menuju Perdamaian di Kesui.” Film dokumenter ini
sebagai salah satu cara bagi Jesuit
Refugee Service Indonesia untuk merekam proses pendampingan rekonsiliasi
masyarakat Kesui dan sebagai alat untuk “mengenang” betapa proses rekonsiliasi
antar manusia yang pernah mengalami konflik kekerasan bisa dilakukan, meskipun
harus melalui jalan sulit, penuh onak duri dan perasaan pesimis yang pada
mulanya terus menguntit di belakang kesadaran.
Namun, dalam konteks rekonsiliasi
di Kesui, kebenaran seperti apa yang sebenarnya mendorong terjadinya
rekonsiliasi? Secara konseptual, kebenaran dipahami sebagai satu titik untuk
membuka tabir gelap masyarakat yang mengalami konflik kekerasan. Meskipun dalam
prakteknya, membuka kebenaran bagi masyarakat yang mengalami konflik,
sebenarnya tidaklah mudah. Karena dalam setiap konflik kekerasan akan selalu
menimbulkan dua oposisi sikap yang berseberangan. Terjadinya dua oposisi ini,
akan membuat dua penafsiran dan pemahaman tentang kebenaran yang berbeda pula.
Kebenaran bagi korban akan berbeda dengan kebenaran mereka yang dituduh sebagai
aktor konflik. Kebenaran secara komunal akan lain dengan kebenaran setiap
individu yang terkena dampak konflik tersebut. Jadi kebenaran akan menjadi
multi-tafsir bagi masyarakat paska konflik, termasuk masyarakat Kesui.
Selain adanya dua kubu penafsir
kebenaran tersebut, masih ada pandangan lain yang juga akan memperpanjang
disputasi bagaimana kebenaran itu mau dikaitkan dengan keadilan di hadapan masyarakat yang bertikai dan mengalami
konflik kekerasan. Pendekatan yang satu berkata bahwa menekankan keadilan restributif
dan restoratif lebih berorientasi ke depan (future-oriented)
dan pada korban kekerasan itu sendiri (victim-centered).
Sedangkan model pendekatan dengan menggunakan hukuman (punishment), lebih berorientasi ke belakang (back-ward looking) dan terpusat pada kepentingan negara (state centered). Dua pendekatan ini
sebenarnya akan berakibat pada bagaimana kebenaran akan ditempatkan. Dalam
konteks rekonsiliasi setelah konflik kekerasan terjadi, kebenaran akan selalu
diikuti dengan bagaimana keadilan mau dirumuskan secara bersama-sama. Maka,
kebenaran akan selalu menempel secara ketat terhadap bagaimana proses keadilan
itu dicapai.
Kenyataan inilah yang sebenarnya
sedikit hilang dari proses rekonsiliasi di Kesui, yaitu kebenaran dan keadilan
belum secara jelas dirumuskan bersama-sama antara warga penerima (receiving community) yang sebagian
besar adalah warga Muslim dengan para pengungsi yang ingin pulang ke Kesui yang
sebagian besar adalah warga Katolik/Kristen.
Padahal kebenaran dan keadilan,
secara teoritis, menjadi bagian yang integral dalam seluruh proses rekonsiliasi
yang dilakukan. Namun demikian, toh
rekonsiliasi bisa berjalan dan dilakukan di antara masyarakat Kesui. Inilah
yang sangat menakjubkan dari proses rekonsiliasi Kesui. Dalam film dokumenter
tersebut, faktor kuat yang muncul adalah tumbuhnya pengharapan di antara
pengungsi untuk bisa bertemu dengan para saudaranya di Kesui. Dan ternyata,
harapan yang sama mulai muncul di kalangan warga penerima, agar saudara-saudara
mereka bisa segera pulang ke Kesui. Harapan ini selalu ditegaskan dan
diulang-ulang oleh para basudara Kesui, bahwa mereka adalah satu saudara dan
satu adat istiadat.
Saya berpendapat disinilah
sebenarnya letak kebenaran yang sempat dirumuskan oleh warga Kesui untuk
menemukan jalan menuju rekonsiliasi. Ketika semua saluran untuk menemukan
kebenaran itu mampat, mungkin karena lemahnya aparatur negara, kendala
geografis yang sulit, minimnya lembaga-lembaga yang mendampingi mereka, hukum
yang tidak jelas dan sebagainya, maka cara lain untuk menembus kemampatan
komunikasi tersebut adalah lewat jalan adat istiadat (baca: kebudayaaan). Kenangan
sebagai satu saudara dalam satu akar nenek moyang, meskipun berbeda agama dan
pernah berkonflik, membuat mereka diyakinkan disitulah jalan bagi mereka untuk
menumbuhkan “ingatan kolektif” yang akan memberi roh pada harapan akan
rekonsiliasi antar mereka. Tentu saja, ingatan itu tidak sekedar berhenti di
situ, namun ingatan itu memiliki sederet pemahaman akan sebuah masa lalu yang
harmonis. Mereka dulu adalah saudara bertetangga yang bisa hidup berdampingan
dengan harmonis dan saling membutuhkan satu sama lain. Maka, meskipun mereka
pernah berkonflik dan saling mencurigai, ingatan akan satu nenek moyang, satu
adat istiadat, dan tentu saja satu tanah untuk hidup bersama, membuat mereka
terdorong untuk mewujudkan ingatan itu dalam bentuk rekonsiliasi. Sebuah
pertemuan untuk memudarkan semua curiga, dendam, rasa sakit, dimusuhi dan
memusuhi, dan sebagainya akhirnya bisa dibuat.
Tentu saja, semua dampak konflik
kekerasan yang berupa dendam, sakit hati, dan seluruh kompleks oposisi di
antara mereka masih saja ada, dan tidak langsung bisa sirna. Namun, diharapkan
setelah mereka bisa bersatu dalam satu wilayah, komunikasi di antara mereka
dalam kehidupan sehari-hari akan melunturkan akar konflik secara alami. Mengapa
secara alami ini penting? Karena sejauh aparatur negara, pemerintah lokal,
lembaga lokal dan bahkan masyarakat sendiri belum bisa merumuskan secara
pasti “kebenaran dan keadilan” untuk
masyarakat Kesui, potensi untuk muncul konflik masih akan terjadi. Maka, proses
alamiah sebagai manusia menjadi andalan satu-satunya untuk bisa menjaga
bagaimana rekonsiliasi dan perdamaian yang abadi tetap bisa mereka pertahankan
dalam hidup keseharian mereka.
Faktor alamiah itu akan semakin menguatkan
perdamaian akar rumput, kalau di antara masyarakat Kesui akan semakin mendukung
dalam membangun sistem ekonomi yang selama ini hilang akibat konflik dan
pengungsian. Ekonomi adalah salah satu alat yang paling efektif untuk kembali
menemukan akar-akar kebudayaan mereka yang pernah mereka rintis secara
bersama-sama. Akan tetapi, ekonomi juga bisa menjadi salah satu pemicu konflik,
kalau di antara masyarakat Kesui sendiri tidak bisa menumbuhkan budaya ekonomi
yang adil. Maka dari itu, kuncinya adalah apakah kebudayaan mereka yang
harmonis, bisa juga terwujud dalam membangun budaya ekondomi yang adil dan
sungguh mendukung di antara warga Muslim dan Kristen Kesui. Semoga apa yang
baik ditumbuhkan di antara warga Kesui akan tetap baik di dalam mereka membangun
hidup bersama di masa depan.
*Dedy Kristanto,
pekerja kemanusiaan JRS Indonesia, sedang belajar di Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment