Wednesday, January 2, 2019

KEKERASAN, PEMBIARAN DAN TINDAKAN KEADILAN


Rentetan kekerasan kembali terjadi di Indonesia. Mulai dari ledakan bom Bali II, pertikaian yang berujung saling bunuh sebagai akibat pemberian dana kompensasi kenaikan BBM, dan pembunuhan tiga siswi dan penembakan dua gadis di Poso. Terakhir ini kita menyaksikan terbunuhnya Dr. Azahari, dalang teroris Indonesia, dalam sebuah penyergapan oleh aparat kepolisian Indonesia. Kematian dalang teroris ini begitu mengejutkan. Namun, tak urung juga kekerasan kembali dibangkitkan dalam memori kita. Melihat semua kejadian kekerasan demi kekerasan itu, rasanya ada situasi horor yang terus menerus hinggap dalam ruang kehidupan kita semua. Karena begitu seringnya terjadi kekerasan, sampai-sampai Bupati Poso Piet Inkirawang, memberikan pernyataan bahwa kasus teror dan kekerasan di Poso adalah sebuah masalah kecil dan biasa. Karena kasus kekerasan sudah begitu sering tejadi di Indonesia. (Kompas, 14/12/2005).

Tentu saja pernyataan ini sungguh sangat tidak bisa diterima secara moral, karena pernyataan ini keluar dari seorang pejabat yang dipercaya oleh rakyat untuk memberikan solusi terhadap masalah tersebut. Jangan-jangan sikap Bupati Poso ini juga menjadi sikap para pejabat di negeri ini? Karena sudah biasa dan begitu seringnya kasus-kasus kekerasan terjadi di Indonesia, maka persoalan kekerasan dianggap sebagai masalah kecil dan remeh. Kalau sikap ini yang terjadi, maka jelas ada yang salah dalam kesadaran aparat negara kita. Oleh karena itu, kita semua bisa paham kalau sampai sekarang ini belum ada satu kasus pun kekerasan di Indonesia yang bisa diungkap dan diselesaikan secara tuntas dan memuaskan semua pihak yang mendambakan kebenaran.

Akar Kekerasan dan Pembiaran

Salah satu masalah besar dalam penanganan kekerasan selama ini adalah sikap pembiaran. Si pelaku kekerasan dibiarkan bekeliaran tanpa ada tindakan hukum yang berarti dan si korban dibiarkan “merana” mencari kebenarannya sendiri. Misalnya saja, dalam kasus konflik Maluku dan Poso. Sampai sekarang belum terungkap siapa yang harus bertanggungjawab terhadap konflik yang menewaskan ribuan warga sipil tersebut. Hal serupa juga terjadi dalam kasus-kasus lain. Pertanyaannya, mengapa kasus-kasus kekerasan yang berskala besar di Indonesia sampai sekarang belum pernah diungkap secara tuntas? Tampak bahwa seakan aparat negara “membiarkan” peristiwa kekerasan itu hilang dari hadapan kesadaran kita. Tentu sikap ini punya latar sejarahnya.

Sejak terjadi kekerasan masal di tahun 1965, yang sering diceritakan sebagai peristiwa G 30 S/PKI, sebenarnya kekerasan horizontal di Indonesia memasuki tahap panjang proses pembiaran itu. Tidak ada satu satu langkah yang pasti bahwa kasus kekerasan 1965 yang menelan korban jutaan nyawa orang itu diungkapkan dengan tuntas, terutama untuk melakukan pemulihan nama baik bagi para korban dan keluarga korban. Dari sinilah akar persoalan pembiaran kekerasan yang terjadi di Indonesia sampai sekarang ini. Jadi proses pembiaran kekerasan itu sebenarnya berakar dari cara memandang kekerasan masa lampau tersebut. Rupanya kita semua telah keliru dalam memandang peristiwa itu karena tabir kebenaran di seputar peristiwa itu masih tertutup rapat. Dan seolah peristiwa itu dibiarkan hilang dari ingatan sejarah kita, namun ternyata sampai sekarang sejarah itu belum bisa dilupakan karena terlampau pahit.

Maka dari itu, sekarang ini, banyak peristiwa kekerasan yang terjadi di Indonesia disikapi secara keliru, yaitu dengan membiarkan semua peristiwa kekerasan hilang dengan sendirinya. Atau dengan bahasa lain, membiarkan peristiwa-peristiwa kekerasan itu disapu dibawah karpet (by sweeping them under the carpet). Seolah peristiwanya lenyap dari mata kita, namun kenyataannya dia masih bercokol dalam sekam ketidaksadaran sosial kita yang sewaktu-waktu bisa meledak kembali. Kondisi ini tentu saja akan membuat sistem sosial kehidupan kita didera sakit terus menerus.

Tindakan melupakan (forgetting) tentu bagian penting dari proses penyembuhan luka yang ditimbulkan akibat peristiwa kekerasan, namun proses melupakan itu tidak sekedar menyimpannya di bawah karpet sejarah kesadaran kita. Karena dengan menyimpannya di bawah karpet saja, sebenarnya ada tiga masalah muncul sebagai akibat dari tindakan tersebut. Ketiga masalah itu adalah: Pertama, kita mungkin bisa melupakan peristiwa kekerasan itu, namun tidak bisa melupakan para korban, Kedua, untuk aparat negara. Jika aparat negara tidak bisa merawat dan memberi kompensasi kepada para korban dan mereka yang terluka dalam peristiwa kekerasan, aparat negara sebenarnya telah melanggar kewajiban dasar politisnya. Dan ini sangat tidak efektif terhadap legitimasi kekuasaan mereka selanjutnya. Ketiga, keluhan atau grundelan sebagai akibat peristiwa kekerasan yang tidak teralamatkan secara jelas kepada siapa keluhan itu mau disampaikan, sama saja membiarkan sebuah proses pembusukan sosial berjalan terus. Pembusukan yang paling parah adalah hilangnya rasa kepercayaan di hampir seluruh ruang kehidupan sosial kita. Kiranya, proses pembusukan sosial inilah yang sekarang terus terjadi di Indonesia akibat pembiaran dari peristiwa-peristiwa kekerasan masa lampau. (Nigel Biggar, 2001)

Wacana Kekerasan

Wacana kekerasan masa lampau sangat berperan dalam proses pembentukan kesadaran bahasa publik. Wacana kekerasan yang terjadi di Indonesia sudah terjadi sedemikian parahnya, akibat proses pembiaran. Pembiaran itu menimbulkan proses pembusukan sosial. Salah satu hal yang menjadi kekhawatiran semua pihak adalah wacana kekerasan ini akhirnya menjadi sebuah endapan kesadaran sosial bersama. Dan proses pembusukan itu terus terjadi baik secara vertikal dan horizontal. Secara vertikal, bisa dipahami sebagai hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara negara. Berarti krisis politik yang selama ini terjadi akan berlangsung terus dan sangat tidak efektif bagi otoritas negara dalam mengatur kehidupan bersama. Secara horizontal, kepercayaan antar masyarakat terhadap harkat hidup bersama menjadi semakin tipis. Artinya, masyarakat semakin mudah melakukan tindakan kekerasan terhadap sesama mereka, bahkan sampai pada taraf penyiksaan dan pembunuhan. Maka, konflik horizontal antar warga masyarakat pun akan bisa meletus dengan mudah kapan pun dan di mana pun. Kondisi ini bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang rakus kekuasaan untuk menciptakan konflik-konflik antar warga demi tujuan politik kekuasaanya.

Kondisi itulah yang sering dipahami sebagai wacana kekerasan yang telah berubah menjadi bahasa kekerasan. Meminjam konsep Jacques Lacan tentang bahasa. Bagi Lacan, ketaksadaran adalah bahasa. Proses terjadinya bahasa, bagi Lacan, adalah saat di mana seorang subjek  terus menerus menerima wacana dari luar dirinya yang masuk ke dalam kesadaran dirinya sejak dia bayi. Bahasa adalah sebuah proses penyerapan terus menerus seorang subjek akan wacana lain yang sebenarnya tidak dia inginkan. Misalnya, seorang anak kecil yang menangis karena dia merasa kedinginan, ditangkap oleh ibunya sebagai rasa lapar. Maka, dengan demikian si anak lantas belajar bahwa menangis adalah bahasa untuk mengungkapkan rasa lapar. Padahal, si anak tidak memaksudkan demikian. (Bruce Fink, 1997).

Analogi ini yang juga terjadi dalam wacana kekerasan. Selama ini, banyak orang  tidak menginginkan kekerasan terjadi di dalam dunia kehidupannya, namun apa yang tersaji di depan matanya adalah kekerasan yang secara brutal hadir di hadapan dirinya secara terus menerus. Ada orang ingin mengungkapkan kebenaran,  ternyata yang terjadi adalah pembalasan setimpal dengan kekerasan terhadap tindakan itu. Jika hal ini terjadi terus menerus, seperti yang dikatakan Lacan, terciptalah ketaksadaran. Ketaksadaran selalu tercipta melalui proses eksternal yang terus menerus dipaksakan kepada subjek. Proses itu akhirnya membentuk bahasa. Maka bisa jadi ketaksadaran kita tentang kekerasan sebenarnya telah menjadi bahasa kita. Dari sini kita bisa memahami, pernyataan Bupati Poso yang mengatakan bahwa kekerasan itu hal yang sudah biasa terjadi di Indonesia adalah sebuah ketaksadaran itu sendiri. Jangan-jangan gejala ini telah menjadi bahasa bagi hampir seluruh aparat negara kita. Dan ungkapan tersebut menjadi tanda paling konkret bahwa bahasa penyelenggara negara kita sebenarnya adalah bahasa kekerasan itu sendiri.

Tindakan Keadilan

Bahasa kekerasan harus dibongkar. Salah satu cara untuk membongkarnya adalah dengan mengedepankan tindakan keadilan (doing justice). Jika bahasa kekerasan yang terjadi selama ini sebagai hasil sikap masa lampau yang keliru dan telah berubah menjadi ketaksadaran, maka proses membongkar ketaksadaran itu adalah kerja keras yang harus kita lakukan bersama. Dalam studi tentang kekerasan, tindakan keadilan mutlak perlu untuk menuntaskan persoalan kekerasan masa lalu. Tindakan ini diwujudkan dalam dua sikap, pertama, menampilkan dan menghukum pelaku kekerasan di hadapan publik (punishment) dan kedua, hal ini sangat penting, adalah usaha untuk memulihkan nama baik para korban (vindication). Kedua hal ini harus dilakukan agar wacana kekerasan bisa ditarik ke ruang publik dan tidak tersembunyi di bawah karpet sejarah masa lalu.

Karenanya, jika aparat negara kita masih mempunyai tanggungjawab moral terhadap pulihnya kehidupan bersama yang sehat, maka wacana bahasa mereka harus berubah. Mereka harus berani mengedepankan tindakan keadilan tersebut sebagai sikap melawan semua bahasa kekerasan yang terjadi selama ini. Konsekuensinya, aparat negara harus dengan gigih mau mendukung segala proses pembongkaran kekerasan masa lampau sebagai bagian dari usaha untuk mengedepankan kebenaran (truth) ke ruang publik. Dalam konteks ini, Bupati Poso Piet Inkirawang haruslah belajar tentang bahasa keadilan dan kebenaran, bukannya meremehkan peristiwa kekerasan yang terjadi di daerahnya. Dengan menaruh wacana kebenaran di ruang publik, niscaya ada proses pembongkaran ketaksadaran atau bahasa kekerasan dalam proses tata sosial kehidupan kita di masa depan. Tentu saja ke depan kita semua berharap akan melihat Indonesia bukan sebagai tumpukan persoalan kekerasan, namun Indonesia yang lebih sehat dan damai di mata semua penghuni yang diam di dalamnya.

No comments:

Post a Comment

MAY DAY 2019: KAMI PEKERJA, KAMI BUKAN BUDAK!!!

(feature ini sudah dimuat d Koran Suara Hong Kong 7/5/2019) Lima perempuan mengenakan pakaian hitam dan matanya ditutup dengan kain ka...