Rentetan kekerasan kembali terjadi di Indonesia. Mulai
dari ledakan bom Bali II, pertikaian yang berujung saling bunuh sebagai akibat
pemberian dana kompensasi kenaikan BBM, dan pembunuhan tiga siswi dan
penembakan dua gadis di Poso. Terakhir ini kita menyaksikan terbunuhnya Dr.
Azahari, dalang teroris Indonesia, dalam sebuah penyergapan oleh aparat
kepolisian Indonesia. Kematian dalang teroris ini begitu mengejutkan. Namun,
tak urung juga kekerasan kembali dibangkitkan dalam memori kita. Melihat semua
kejadian kekerasan demi kekerasan itu, rasanya ada situasi horor yang terus
menerus hinggap dalam ruang kehidupan kita semua. Karena begitu seringnya
terjadi kekerasan, sampai-sampai Bupati Poso Piet Inkirawang, memberikan
pernyataan bahwa kasus teror dan kekerasan di Poso adalah sebuah masalah kecil
dan biasa. Karena kasus kekerasan sudah begitu sering tejadi di Indonesia.
(Kompas, 14/12/2005).
Tentu saja pernyataan ini sungguh sangat tidak bisa
diterima secara moral, karena pernyataan ini keluar dari seorang pejabat yang
dipercaya oleh rakyat untuk memberikan solusi terhadap masalah tersebut.
Jangan-jangan sikap Bupati Poso ini juga menjadi sikap para pejabat di negeri
ini? Karena sudah biasa dan begitu seringnya kasus-kasus kekerasan terjadi di
Indonesia, maka persoalan kekerasan dianggap sebagai masalah kecil dan remeh.
Kalau sikap ini yang terjadi, maka jelas ada yang salah dalam kesadaran aparat
negara kita. Oleh karena itu, kita semua bisa paham kalau sampai sekarang ini
belum ada satu kasus pun kekerasan di Indonesia yang bisa diungkap dan
diselesaikan secara tuntas dan memuaskan semua pihak yang mendambakan
kebenaran.
Akar
Kekerasan dan Pembiaran
Salah satu masalah besar dalam penanganan kekerasan
selama ini adalah sikap pembiaran. Si pelaku kekerasan dibiarkan bekeliaran
tanpa ada tindakan hukum yang berarti dan si korban dibiarkan “merana” mencari
kebenarannya sendiri. Misalnya saja, dalam kasus konflik Maluku dan Poso.
Sampai sekarang belum terungkap siapa yang harus bertanggungjawab terhadap
konflik yang menewaskan ribuan warga sipil tersebut. Hal serupa juga terjadi
dalam kasus-kasus lain. Pertanyaannya, mengapa kasus-kasus kekerasan yang
berskala besar di Indonesia sampai sekarang belum pernah diungkap secara
tuntas? Tampak bahwa seakan aparat negara “membiarkan” peristiwa kekerasan itu
hilang dari hadapan kesadaran kita. Tentu sikap ini punya latar sejarahnya.
Sejak terjadi kekerasan masal di tahun 1965, yang
sering diceritakan sebagai peristiwa G 30 S/PKI, sebenarnya kekerasan
horizontal di Indonesia memasuki tahap panjang proses pembiaran itu. Tidak ada
satu satu langkah yang pasti bahwa kasus kekerasan 1965 yang menelan korban
jutaan nyawa orang itu diungkapkan dengan tuntas, terutama untuk melakukan
pemulihan nama baik bagi para korban dan keluarga korban. Dari sinilah akar
persoalan pembiaran kekerasan yang terjadi di Indonesia sampai sekarang ini.
Jadi proses pembiaran kekerasan itu sebenarnya berakar dari cara memandang
kekerasan masa lampau tersebut. Rupanya kita semua telah keliru dalam memandang
peristiwa itu karena tabir kebenaran di seputar peristiwa itu masih tertutup
rapat. Dan seolah peristiwa itu dibiarkan hilang dari ingatan sejarah kita,
namun ternyata sampai sekarang sejarah itu belum bisa dilupakan karena
terlampau pahit.
Maka dari itu, sekarang ini, banyak peristiwa
kekerasan yang terjadi di Indonesia disikapi secara keliru, yaitu dengan
membiarkan semua peristiwa kekerasan hilang dengan sendirinya. Atau dengan bahasa
lain, membiarkan peristiwa-peristiwa kekerasan itu disapu dibawah karpet (by sweeping them under the carpet).
Seolah peristiwanya lenyap dari mata kita, namun kenyataannya dia masih
bercokol dalam sekam ketidaksadaran sosial kita yang sewaktu-waktu bisa meledak
kembali. Kondisi ini tentu saja akan membuat sistem sosial kehidupan kita
didera sakit terus menerus.
Tindakan melupakan (forgetting)
tentu bagian penting dari proses penyembuhan luka yang ditimbulkan akibat
peristiwa kekerasan, namun proses melupakan itu tidak sekedar menyimpannya di
bawah karpet sejarah kesadaran kita. Karena dengan menyimpannya di bawah karpet
saja, sebenarnya ada tiga masalah muncul sebagai akibat dari tindakan tersebut.
Ketiga masalah itu adalah: Pertama,
kita mungkin bisa melupakan peristiwa kekerasan itu, namun tidak bisa melupakan
para korban, Kedua, untuk aparat
negara. Jika aparat negara tidak bisa merawat dan memberi kompensasi kepada
para korban dan mereka yang terluka dalam peristiwa kekerasan, aparat negara
sebenarnya telah melanggar kewajiban dasar politisnya. Dan ini sangat tidak
efektif terhadap legitimasi kekuasaan mereka selanjutnya. Ketiga, keluhan atau grundelan
sebagai akibat peristiwa kekerasan yang tidak teralamatkan secara jelas kepada
siapa keluhan itu mau disampaikan, sama saja membiarkan sebuah proses
pembusukan sosial berjalan terus. Pembusukan yang paling parah adalah hilangnya
rasa kepercayaan di hampir seluruh ruang kehidupan sosial kita. Kiranya, proses
pembusukan sosial inilah yang sekarang terus terjadi di Indonesia akibat
pembiaran dari peristiwa-peristiwa kekerasan masa lampau. (Nigel Biggar, 2001)
Wacana
Kekerasan
Wacana kekerasan masa lampau sangat berperan dalam
proses pembentukan kesadaran bahasa publik. Wacana kekerasan yang terjadi di
Indonesia sudah terjadi sedemikian parahnya, akibat proses pembiaran. Pembiaran
itu menimbulkan proses pembusukan sosial. Salah satu hal yang menjadi
kekhawatiran semua pihak adalah wacana kekerasan ini akhirnya menjadi sebuah
endapan kesadaran sosial bersama. Dan proses pembusukan itu terus terjadi baik
secara vertikal dan horizontal. Secara vertikal, bisa dipahami sebagai
hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara negara. Berarti krisis
politik yang selama ini terjadi akan berlangsung terus dan sangat tidak efektif
bagi otoritas negara dalam mengatur kehidupan bersama. Secara horizontal,
kepercayaan antar masyarakat terhadap harkat hidup bersama menjadi semakin
tipis. Artinya, masyarakat semakin mudah melakukan tindakan kekerasan terhadap
sesama mereka, bahkan sampai pada taraf penyiksaan dan pembunuhan. Maka,
konflik horizontal antar warga masyarakat pun akan bisa meletus dengan mudah
kapan pun dan di mana pun. Kondisi ini bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang
rakus kekuasaan untuk menciptakan konflik-konflik antar warga demi tujuan
politik kekuasaanya.
Kondisi itulah yang sering dipahami sebagai wacana
kekerasan yang telah berubah menjadi bahasa kekerasan. Meminjam konsep Jacques
Lacan tentang bahasa. Bagi Lacan, ketaksadaran adalah bahasa. Proses terjadinya
bahasa, bagi Lacan, adalah saat di mana seorang subjek terus menerus menerima wacana dari luar
dirinya yang masuk ke dalam kesadaran dirinya sejak dia bayi. Bahasa adalah
sebuah proses penyerapan terus menerus seorang subjek akan wacana lain yang
sebenarnya tidak dia inginkan. Misalnya, seorang anak kecil yang menangis
karena dia merasa kedinginan, ditangkap oleh ibunya sebagai rasa lapar. Maka,
dengan demikian si anak lantas belajar bahwa menangis adalah bahasa untuk
mengungkapkan rasa lapar. Padahal, si anak tidak memaksudkan demikian. (Bruce
Fink, 1997).
Analogi ini yang juga terjadi dalam wacana kekerasan.
Selama ini, banyak orang tidak
menginginkan kekerasan terjadi di dalam dunia kehidupannya, namun apa yang
tersaji di depan matanya adalah kekerasan yang secara brutal hadir di hadapan
dirinya secara terus menerus. Ada orang ingin mengungkapkan kebenaran, ternyata yang terjadi adalah pembalasan
setimpal dengan kekerasan terhadap tindakan itu. Jika hal ini terjadi terus
menerus, seperti yang dikatakan Lacan, terciptalah ketaksadaran. Ketaksadaran
selalu tercipta melalui proses eksternal yang terus menerus dipaksakan kepada
subjek. Proses itu akhirnya membentuk bahasa. Maka bisa jadi ketaksadaran kita
tentang kekerasan sebenarnya telah menjadi bahasa kita. Dari sini kita bisa
memahami, pernyataan Bupati Poso yang mengatakan bahwa kekerasan itu hal yang
sudah biasa terjadi di Indonesia adalah sebuah ketaksadaran itu sendiri.
Jangan-jangan gejala ini telah menjadi bahasa bagi hampir seluruh aparat negara
kita. Dan ungkapan tersebut menjadi tanda paling konkret bahwa bahasa
penyelenggara negara kita sebenarnya adalah bahasa kekerasan itu sendiri.
Tindakan
Keadilan
Bahasa kekerasan harus dibongkar. Salah satu cara
untuk membongkarnya adalah dengan mengedepankan tindakan keadilan (doing justice). Jika bahasa kekerasan
yang terjadi selama ini sebagai hasil sikap masa lampau yang keliru dan telah
berubah menjadi ketaksadaran, maka proses membongkar ketaksadaran itu adalah
kerja keras yang harus kita lakukan bersama. Dalam studi tentang kekerasan,
tindakan keadilan mutlak perlu untuk menuntaskan persoalan kekerasan masa lalu.
Tindakan ini diwujudkan dalam dua sikap, pertama,
menampilkan dan menghukum pelaku kekerasan di hadapan publik (punishment) dan kedua, hal ini sangat penting, adalah usaha untuk memulihkan nama
baik para korban (vindication). Kedua
hal ini harus dilakukan agar wacana kekerasan bisa ditarik ke ruang publik dan
tidak tersembunyi di bawah karpet sejarah masa lalu.
Karenanya, jika aparat negara kita masih mempunyai
tanggungjawab moral terhadap pulihnya kehidupan bersama yang sehat, maka wacana
bahasa mereka harus berubah. Mereka harus berani mengedepankan tindakan
keadilan tersebut sebagai sikap melawan semua bahasa kekerasan yang terjadi
selama ini. Konsekuensinya, aparat negara harus dengan gigih mau mendukung
segala proses pembongkaran kekerasan masa lampau sebagai bagian dari usaha
untuk mengedepankan kebenaran (truth)
ke ruang publik. Dalam konteks ini, Bupati Poso Piet Inkirawang haruslah
belajar tentang bahasa keadilan dan kebenaran, bukannya meremehkan peristiwa
kekerasan yang terjadi di daerahnya. Dengan menaruh wacana kebenaran di ruang
publik, niscaya ada proses pembongkaran ketaksadaran atau bahasa kekerasan
dalam proses tata sosial kehidupan kita di masa depan. Tentu saja ke depan kita
semua berharap akan melihat Indonesia bukan sebagai tumpukan persoalan
kekerasan, namun Indonesia yang lebih sehat dan damai di mata semua penghuni
yang diam di dalamnya.
No comments:
Post a Comment