Wednesday, January 2, 2019

Revolusi Bisu Para Petani


Ada berita menarik soal petani yang diturunkan Kompas (Sabtu, 10/12/2005). SBY menyatakan bahwa para petani harus diberi perlindungan. Pemberitaan itu terselip di antara dua berita besar, yaitu peristiwa kelaparan di Yahukimo, Papua dan foto presiden yang tengah bercengkrama dengan para pengusaha dan investor asing yang datang ke Istana Merdeka. Maka menjadi soal di sini, perlindungan macam apa yang akan diberikan oleh pemerintah SBY terhadap nasib petani?

Mitos Pembangunan
Penderitaan petani menegaskan bahwa konsep pembangunan selama ini adalah mitos. Fakta ini selalu dialami oleh negara-negara dunia ketiga yang memasuki era kemerdekaan atau paska kolonial. Kebanyakan negara ini gagal menggapai mimpi pembangunan justru setelah merdeka. Termasuk Indonesia. Pemerintahan kolonial dan masa kemerdekaan ternyata sama saja, yakni menghancurkan kehidupan petani. Di masa kolonial, para petani dituntut untuk menyediakan tenaga  bagi peningkatan pendapatan nasional, melalui pembayaran pajak yang tinggi dan penyediaan kubutuhan dasar. Maupun pada masa paska kolonial, para petani dipaksa untuk memproduksi komoditas dasar untuk kepentingan ekspor. Tujuannya adalah untuk melayani proyek pembangunan yang prestisius. Maka, pada masa kolonial dan paska kolonial sebenarnya nasib petani sebenarnya tidak mengalami perubahan yang signifikan.(Andrea dan Beckman, 1987).

Maka dari itu, bagi para petani sebenarnya konsep pembangunan bisa diartikan sebagai proses   perampasan otonomi dan hak produksi mereka. Selama ini belum ada sebuah peristiwa sejarah yang mencatat di mana para petani bisa hidup sejahtera. Yang ada adalah sebuah kenyataan penderitaan sepanjang waktu yang memilukan. Hal ini bisa dibuktikan bahwa sampai sekarang, masih banyak petani yang hidup dalam situasi tidak aman secara ekonomis, sistem pasar yang selalu merugikan mereka, dan tidak adanya pelayanan publik yang memadai bagi mereka. Inilah mengapa di banyak negara dunia ketiga, nasib petani bagaikan dalam sebuah proses “pembunuhan massal bisu” (silent genocide). Karena mereka hidup dalam ancaman kelaparan, kekurangan sarana air bersih dan pelayananan kesehatan dasar. Hidup para petani di tengah gagasan tentang pembangunan ibarat orang yang selamanya berdiri terendam dalam air sampai ke leher, sehingga ombak yang kecil sekalipun sudah cukup untuk menenggelamkan mereka. (Tawney, 1966).            

Situasi ini sungguh sangat ironis. Hal ini juga terjadi pada nasib para petani di Indonesia. Tentu saja kita semua terhenyak dan bertanya-tanya mengapa kasus kelaparan di Yahukimo, Papua dan busung lapar di Nusa Tenggara Barat (NTB) bisa terjadi. Kedua peristiwa ini tentu saja telah merontokan slogan yang sempat didengungkan oleh pemerintah Orde Baru yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara agragris. Dengan mencuatnya dua kasus ini, semakin memperjelas bahwa pembangunan selama ini sebenarnya tidak menyentuh subtansi pokok klaim sebagai negara agragris. Nasib para petani sebagai pilar pokok negara agragris tetap terlupakan  dalam proses pembangunan.

Revolusi Bisu
Tahun ini, Kepala Perwakilan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk kawasan Asia dan Pasifik, Daniel Citrin, meramalkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya akan berkisar 5 -  5,5 persen saja. Apakah petani juga akan menikmati laju pertumbuhan ekonomi yang hanya sekitar 5,5 persen itu? Tentu saja tidak. Mereka tetap harus hidup dalam situasi mencekik leher mereka.        Memperhatikan nasib petani tentu saja tidak cukup hanya didasarkan pada hitungan angka. Jika pembangunan hanya dilihat dari angka saja, tetap saja nasib petani tak bisa dilacak dalam deretan angka tersebut. Misalnya saja, dengan menghitung produk, konsumsi dan selisih dari keduanya akhirnya masih banyak peluang untuk meniadakan para petani. Terbukti, kebijakan impor beras pun masih diperlakukan. Ini adalah hasil dari penghitungan ekonomi. Angka telah meniadakan nasib petani. Akhirnya mereka pun tetap menanggung penderitaan, harga beras dan gabah anjlok di pasaran. Hal ini semakin menambah berat beban ekonomi para petani.

Maka menjadi soal besar di sini, di mana pemerintahan SBY akan melindungi nasib petani? Apakah SBY juga akan menyampaikan perlindungan soal nasib petani ini kepada presdir HM Sampoerna Martin King, Presiden dan CEO Exxon Mobile Oil Indonesia Peter Coleman, Kepala Perwakilan Cemex Indonesia Francisco Noriega, dan lain sebagainya? Kiranya harapan yang sangat kecil, kalau para investor asing itu akan memperhatikan nasib petani. Kemungkinan lain justru bisa terjadi, para investor itu yang akan semakin meminggirkan nasib petani. Maka untuk sementara waktu, kiranya para petani di Indonesia harus tetap berjuang dalam kebisuan.

Para petani harus tetap mengorganisir diri untuk melakukan perjuangan subsistensi dari situasi yang mencekik mereka. Pemerintah tidak bisa diharapkan akan memberikan perlindungan terhadap diri mereka. Maka yang terbaik adalah petani mulai memikirkan untuk membuat koalisi perjuangan mereka, bisa dengan kelompok-kelompok pejuang hak asasi, pejuang lingkungan, para buruh dan sebagainya. Jika peluang memungkinkan, kiranya baik bahwa para petani di Indonesia belajar dari gerakan petani di Chiapas Meksiko, memasuki ibu kota secara diam-diam dan kemudian menuntut hak-hak mereka dan melakukan perubahan yang mendasar terhadap nasib mereka.

           

No comments:

Post a Comment

MAY DAY 2019: KAMI PEKERJA, KAMI BUKAN BUDAK!!!

(feature ini sudah dimuat d Koran Suara Hong Kong 7/5/2019) Lima perempuan mengenakan pakaian hitam dan matanya ditutup dengan kain ka...