Ada berita menarik
soal petani yang diturunkan Kompas (Sabtu, 10/12/2005). SBY menyatakan bahwa
para petani harus diberi perlindungan. Pemberitaan itu terselip di antara dua
berita besar, yaitu peristiwa kelaparan di Yahukimo, Papua dan foto presiden
yang tengah bercengkrama dengan para pengusaha dan investor asing yang datang
ke Istana Merdeka. Maka menjadi soal di sini, perlindungan macam apa yang akan
diberikan oleh pemerintah SBY terhadap nasib petani?
Mitos Pembangunan
Penderitaan petani menegaskan bahwa
konsep pembangunan selama ini adalah mitos. Fakta ini selalu dialami oleh
negara-negara dunia ketiga yang memasuki era kemerdekaan atau paska kolonial.
Kebanyakan negara ini gagal menggapai mimpi pembangunan justru setelah merdeka.
Termasuk Indonesia. Pemerintahan kolonial dan masa kemerdekaan ternyata sama
saja, yakni menghancurkan kehidupan petani. Di masa kolonial, para petani
dituntut untuk menyediakan tenaga bagi
peningkatan pendapatan nasional, melalui pembayaran pajak yang tinggi dan
penyediaan kubutuhan dasar. Maupun pada masa paska kolonial, para petani
dipaksa untuk memproduksi komoditas dasar untuk kepentingan ekspor. Tujuannya
adalah untuk melayani proyek pembangunan yang prestisius. Maka, pada masa
kolonial dan paska kolonial sebenarnya nasib petani sebenarnya tidak mengalami
perubahan yang signifikan.(Andrea dan Beckman, 1987).
Maka dari itu, bagi para petani
sebenarnya konsep pembangunan bisa diartikan sebagai proses perampasan otonomi dan hak produksi mereka.
Selama ini belum ada sebuah peristiwa sejarah yang mencatat di mana para petani
bisa hidup sejahtera. Yang ada adalah sebuah kenyataan penderitaan sepanjang
waktu yang memilukan. Hal ini bisa dibuktikan bahwa sampai sekarang, masih banyak
petani yang hidup dalam situasi tidak aman secara ekonomis, sistem pasar yang
selalu merugikan mereka, dan tidak adanya pelayanan publik yang memadai bagi
mereka. Inilah mengapa di banyak negara dunia ketiga, nasib petani bagaikan
dalam sebuah proses “pembunuhan massal bisu” (silent genocide). Karena
mereka hidup dalam ancaman kelaparan, kekurangan sarana air bersih dan
pelayananan kesehatan dasar. Hidup para petani di tengah gagasan tentang
pembangunan ibarat orang yang selamanya berdiri terendam dalam air sampai ke
leher, sehingga ombak yang kecil sekalipun sudah cukup untuk menenggelamkan
mereka. (Tawney, 1966).
Situasi
ini sungguh sangat ironis. Hal ini juga terjadi pada nasib para petani di
Indonesia. Tentu saja kita semua terhenyak dan bertanya-tanya mengapa kasus
kelaparan di Yahukimo, Papua dan busung lapar di Nusa Tenggara Barat (NTB) bisa
terjadi. Kedua peristiwa ini tentu saja telah merontokan slogan yang sempat
didengungkan oleh pemerintah Orde Baru yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara
agragris. Dengan mencuatnya dua kasus ini, semakin memperjelas bahwa
pembangunan selama ini sebenarnya tidak menyentuh subtansi pokok klaim sebagai
negara agragris. Nasib para petani sebagai pilar pokok negara agragris tetap
terlupakan dalam proses pembangunan.
Revolusi Bisu
Tahun ini, Kepala
Perwakilan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk kawasan Asia dan Pasifik,
Daniel Citrin, meramalkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya akan
berkisar 5 - 5,5 persen saja. Apakah
petani juga akan menikmati laju pertumbuhan ekonomi yang hanya sekitar 5,5
persen itu? Tentu saja tidak. Mereka tetap harus hidup dalam situasi mencekik
leher mereka. Memperhatikan nasib
petani tentu saja tidak cukup hanya didasarkan pada hitungan angka. Jika
pembangunan hanya dilihat dari angka saja, tetap saja nasib petani tak bisa
dilacak dalam deretan angka tersebut. Misalnya saja, dengan menghitung produk,
konsumsi dan selisih dari keduanya akhirnya masih banyak peluang untuk
meniadakan para petani. Terbukti, kebijakan impor beras pun masih diperlakukan.
Ini adalah hasil dari penghitungan ekonomi. Angka telah meniadakan nasib
petani. Akhirnya mereka pun tetap menanggung penderitaan, harga beras dan gabah
anjlok di pasaran. Hal ini semakin menambah berat beban ekonomi para petani.
Maka menjadi soal besar di sini, di
mana pemerintahan SBY akan melindungi nasib petani? Apakah SBY juga akan
menyampaikan perlindungan soal nasib petani ini kepada presdir HM Sampoerna
Martin King, Presiden dan CEO Exxon Mobile Oil Indonesia Peter Coleman, Kepala
Perwakilan Cemex Indonesia Francisco Noriega, dan lain sebagainya? Kiranya
harapan yang sangat kecil, kalau para investor asing itu akan memperhatikan
nasib petani. Kemungkinan lain justru bisa terjadi, para investor itu yang akan
semakin meminggirkan nasib petani. Maka untuk sementara waktu, kiranya para
petani di Indonesia harus tetap berjuang dalam kebisuan.
Para petani harus tetap
mengorganisir diri untuk melakukan perjuangan subsistensi dari situasi yang
mencekik mereka. Pemerintah tidak bisa diharapkan akan memberikan perlindungan
terhadap diri mereka. Maka yang terbaik adalah petani mulai memikirkan untuk
membuat koalisi perjuangan mereka, bisa dengan kelompok-kelompok pejuang hak
asasi, pejuang lingkungan, para buruh dan sebagainya. Jika peluang
memungkinkan, kiranya baik bahwa para petani di Indonesia belajar dari gerakan
petani di Chiapas Meksiko, memasuki ibu kota secara diam-diam dan kemudian
menuntut hak-hak mereka dan melakukan perubahan yang mendasar terhadap nasib
mereka.
No comments:
Post a Comment