Wednesday, January 2, 2019

Anak Gunung Krakatau dan Duka Seventeen di Pantai Anyer

Pada hari Sabtu (22/12/2018), status facebook (FB) Wahyu Harjanto diakhiri dengan hashtag atau tagar (#) kawatduka Bani. Status FB teman saya ini menyentak kesadaran saya pada hari Minggu pagi-pagi buta. Rupanya video amatir yang saya tonton semalam saat group musik Seventeen manggung di Pantai Anyer diterjang tsunami telah merenggut nyawa salah satu saudara tema saya. Saya bertanya kepada Wahyu Harjanto, “Korban tsunami Pantai Anyer?” Dia pun menjelaskan bahwa Muhammad Awal Purbani merupakan keponakan dari kakak iparnya yang menjadi salah satu korban tsunami di Pantai Anyer. Muhammad Awal Purbani, lebih dikenal dengan Bani Seventeen, adalah salah satu anggota group musik Seventeen asal Yogyakarta yang saat tsunami menerjang kawasan wisata Anyer sedang manggung dalam acara family gathering yang diadakan oleh keluarga Perusahaan Listrik Negara (PLN) UIP Jawa bagian Barat. Menurut Kompas.Com, sebanyak 7 orang dari peserta family gathering tersebut diberitakan meninggal yang terdiri dari bapak, ibu dan anak.

Tsunami Tanpa Gempa (?)

Tsunami Anyer datang dengan tiba-tiba tanpa dimulai dengan gempa bumi. Bencana ini telah membuat Inara Ashalina Anindri, anak pertama Bani Seventeen, kehilangan ayahnya. Sedihnya lagi, Cindri Wahyuni, istri Bani Seventeen saat ini sedang mengandung anak kedua yang tidak akan melihat ayahnya saat dia lahir nanti. Masih ada ratusan keluarga lagi yang mengalami duka seperti keluarga Bani Seventeen. Menurut BBC News Indonesia, sampai dengan hari Kamis (27/12/2018), tercatat 430 orang tewas dan 150 orang dikabarkan masih hilang. Bencana ini juga telah membuat 16.000 orang mengungsi.

Penyebab tsunami masih simpang siur. Juru bicara BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), Sutopo Purwo Nugroho, lewat akun twitternya sempat menulis bahwa apa yang terjadi di Pantai Anyer adalah sekedar gelombang pasang karena tidak ada terjadi gempa bumi. Namun status itu kemudian dihapusnya sendiri. Dalam situs resmi BNPB pun dikatakan bahwa gelombang air laut yang menerjang Pantai Anyer dan Selatan Lampung bukanlah tsunami.  Bencana itu merupakan gelombang pasang sebagai akibat dari permukaan air laut naik karena bulan purnama yang disertai angin kencang.  Pihak BMKG (Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika) pun sempat ragu untuk menyimpulkan fenomena bencana alam di Pantai Anyer sebagai tsunami. Pada situs resminya BMKG akhirnya menggunakan istilah tsunami dan bukan gelombang tinggi. Hal itu dijelaskan dengan adanya eruspi Anak Gunung Krakatau. Kemungkinan erupsi itu menyebabkan longsoran yang menimbulkan tsunami. Tetapi para ahli masih belum yakin apakah tsunami itu diakibatkan oleh letusan Anak Gunung Krakatau yang terletak di Selat Sunda tersebut.

David Dyle, professor ilmu bumi dari Universitas Oxford, menjelaskan bahwa selalu ada yang baru untuk dipelajari dari gunung api. Menurutnya sudah ada 600 gunung api meletus dalam 200 tahun terakhir dan dalam beberapa waktu ke depan akan ada 1.500 gunung berapi yang akan meletus. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa manusia tidak cukup pandai untuk mengetahui rencana apa yang akan dilakukan oleh gunung api. Namun dari penelitian menunjukkan bahwa letusan gunung api yang paling mematikan adalah gunung api yang sudah lama tidur. Dalam catatan sejarah, Gunung Krakatau meletus dengan sangat dahsyat pada 27 Agustus 1883. Lewat empat dentuman besar yang berlangsung 4,5 jam, yang disertai dengan abu dan asap yang dilontarkan dalam jumlah besar ke atmosfer. Lontaran material itu membuat beberapa wilayah di belahan dunia tidak bisa melihat matahari dan langit berubah menjadi merah. Siangpun tampak seperti malam. Dampaknya sungguh luar biasa, ratusan desa di Pulau Jawa dan Sumatera diterjang tsunami. Puluhan ribu orang tewas akibat letusan Gunung Krakatau yang menimbulkan tsunami tersebut.

Saat ini, menurut Jess Phoenix, ahli vulkanologi asal California, Anak Gunung Krakatau memasuki fase baru yang mematikan. Karenanya, BMKG telah meningkatkan status Anak Gunung Krakatau menjadi Siaga atau level III. Kamis pagi (27/12/2018) Antonius Ratdomopurbo, Sekretaris Badan Geologi yang dilangsir oleh BBC News Indonesia dalam konferensi pers di Gedung Kementerian ESDM menjelaskan demikian, "Sehubungan dengan tingkat aktivitas Level III (Siaga) tersebut, masyarakat tidak diperbolehkan mendekati Gunung Anak Krakatau dalam radius 5 km dari kawah. Saat hujan abu turun, masyarakat diminta untuk mengenakan masker dan kaca mata bila beraktivitas di luar rumah."

Aktivitas Anak Gunung Krakatau semakin meningkat dan erupsinya disertai dengan suara gemuruh yang sangat keras. Erupsi kali ini menimbulkan hujan abu yang tebal dan menutupi Pulau Sebesi. Warga yang tinggal di Pulai Sebesi menjadi takut dan memilih mengungsi. Badarudin, salah satu warga Pulau Sabesi yang tinggal di Pulau Sebesi sejak tahun 1969, menceritakan pengalamannya, "Baru kali ini gunung itu (meletus) kenceng. Biasanya asapnya tipis-tipis, ini kok tebal, saya yang tua ini tidak mau ambil risiko, dan harus mau mengungsi." Mata Badarudin sempat terluka karena hujan abu dan sempat mendapatkan perawatan dari tim medis. Keluarga Badarudin semula tidak mau meninggalkan Pulau Sebesi, namun dia bersikeras mengajak keluarganya mengungsi ke tempat yang aman. "Sempat debat sama keluarga. Mereka masih merasa aman, karena bisa lari ke bukit. Tapi saya yang renta ini tak bisa lari jauh-jauh di pulau itu: mau lari ke mana lagi?" kata Badarudin.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lampung Selatan, saat ini sebanyak 1.386 warga Pulau Sebesi sudah dievakuasi dan mengungsi di Gedung Olah Raga Kota Kalianda. Tetapi, menurut Wasis, pengurus Badan Permusyawaratan Pulau Sebesi, menjelaskan bahwa setidaknya hingga Kamis (27/12) masih ada sekitar 40 kepala keluarga yang bertahan di pulau itu. "Mereka yang masih tinggal (di Pulau Sebesi) sudah dibujuk, belum mau mengungsi. Mereka bilang mau menjaga harta benda, termasuk ternak di sana,” demikian penjelasan Wasis yang dilangsir oleh BBC News Indonesia.
Sampai saat ini suara dentuman “misterius” yang didengar oleh warga yang tinggal di sekitar Pantai Anyer ramai diperbincangkan di dunia maya. Orang-orang pun mulai bersplekulasi apakah duntuman itu memang berasal dari Anak Gunung Krakatau. Tetapi seberapa jauh perbincangan ini bisa dipercaya atau tidak dipercaya kalau hanya berdasarkan “kabar” yang simpang siur. Kita tidak bisa menyandarkan informasi yang simpang siur karena ini menyangkut ratusan ribu nyawa yang perlu dijaga keselamatannya. "Betul, suara dentuman atau gemuruh tersebut berasal dari aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau," ujar Kristianto, Kasubdit Mitigasi Bencana Geologi wilayah Barat Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Kementerian ESDM. Tentunya masyarakat luas, dan terlebih warga yang tinggal tidak jauh dari Anak Gunung Krakatau, memerlukan informasi yang pasti dan tidak simpang siur terkait dengan aktivitas erupsi Anak Gunung Krakatau karena dalam catatan sejarah gunung ini pernah meletus dengan sangat dahsyat.
Selain itu, proses tanggap bencana bagi para penyintas yang selamat akibat tsunami pada Sabtu (22/12/2018) terus berlangsung. Penanganan para pengungsi dan pencarian korban yang diduga masih hilang masih terus dilakukan. Meski cuaca tidak mendukung, relawan dan tim SAR gabungan masih terus mencari korban yang masih belum ditemukan. Belum usai dengan tanggap darurat, seperti dilangsir Kompas.Com, pada hari Rabu (26/12/2018), Pandeglang dilanda banjir bandang. Padahal daerah Pandeglang merupakan daerah paling parah terdampak tsunami yang belum lama berselang. Warga yang mengungsi pun kembali dihadapkan pada ketidakpastian akan situasi yang tiba-tiba beruntun di tengah hidup mereka.
“Off Guard”
RIN News, salah satu situs berita yang fokus pada masalah kemanusiaan, mengulas dalam inside story tentang fenomena Anak Gunung Krakatau dan tsunami yang terjadi di Selat Sunda. IRIN menjelaskan bahwa timbulnya korban, baik tewas dan hilang, dalam bencana ini seolah masyarakat “tidak dijaga” (off guard). Pada tahun 2018, Indonesia mengalami serentetan bencana alam, gempa bumi dan tsunami. Bencana terakhir di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, pada bulan September 2018, telah menewaskan kurang lebih 2.100 orang. Tidak lama berselang, bencana alam kembali terjadi dan korban tewas dan hilang masih juga besar. Tentu saja hal ini menimbulkan banyak pertanyaan, apakah benar selama ini sistem peringatan dini yang dibuat setelah terjadi bencana tsunami besar di Aceh pada tahun 2004, tidak lagi berfungsi?
Video amatir tentang datangnya “air bah” yang menghantam saat group musik Seventeen sedang manggung di acara family gathering PLN UIP Jawa bagian Barat, menunjukkan tidak ada kesiapan sama sekali dari peserta tentang ancaman datangnya tsunami. Video itu menunjukkan betapa orang-orang yang berada di sekitar panggung dan group musik Seventeen sama sekali tidak mengira akan terjadi bencana. Itulah yang disesalkan oleh Ifan Seventeen seusai pemakaman istrinya, Dylan Sahara Puteri. “Semestinya peringatan itu disampaikan BMKG sejak dini. Itu yang kami sesalkan," ujar Ifan saat seperti diberitakan oleh Kompas.com di kediaman mendiang istrinya, di Kota Ponorogo, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Jumat (28/12/2018) malam.

Pernyataan itu seperti menandaskan apa yang ditulis oleh IRIN News dengan amat tajam bahwa selama ini tidak ada penjagaan (off guard) bagi warga yang hidup di tengah wilayah cincin api dunia (ring of fire). Pendeteksi peringatan dini jelas sangat diperlukan bagi warga yang hidup di wilayah rawan bencana seperti Indonesia. Namun, setiap kali terjadi bencana, selalu saja muncul persoalan bahwa alat pendeksi dini terjadinya tsunami tidak ada atau rusak. BMKG harusnya lebih cepat berbenah untuk meningkatkan sistem peringatan dini. Sejak terjadi tsunami Aceh 2004 dan berbagai bencana gempa bumi yang terjadi beruntun, seharusnya pemerintah semakin meningkatkan kualitas sistem pendeteksi dini sebagai bagian yang integral dalam peningkatan kesadaran masyarakat yang hidup di tengah ancaman bencana alam.

Tentu sebuah pernyataan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan bahwa terjadinya tsuami di Pantai Anyer tidak terdeteksi karena tidak adanya sistem penditeksi dini (buoy) khusus untuk Anak Gunung Krakatau. Kondisi inilah yang menyebabkan Presiden Joko Widodo meradang seperti dilangsir oleh pemberitaan IRIN news yang mengatakan bahwa masyarakat harusnya sudah tahu bahwa akan terjadi tsunami sebelum bencana itu datang. Presiden Joko Widodo dikabarkan sudah memesan sistem pindektsi dini tsunami (buoy) untuk menggantikan buoy yang dirusak sejak tahun 2012 seperti diberitakan oleh Tempo.Co.

Tentu saja ke depan kita tidak lagi ingin mendengar kisah Marzuki, warga Way Muli, Lampung, yang saat terjadi bencana sedang mencari cumi di tengah laut. Dia tidak mengetahui bahwa bencana tsunami akan segera datang. Di tengah laut itu, Marzuki melihat letusan Anak Gunung Krakatau. "Seperti melihat kembang api, bunyinya keras, seperti petasan, thas, thas, thas, ... lalu keluar asap putih. Sekitar setengah jam kemudian saya ditarik oleh ombak, saya mencoba menepi," kata Marzuki seperti dituliskan di BBC News Indonesia. Dia bercerita bahwa dirinya ditarik ombak beberapa kali sebelum akhirnya terpental di sawah. Dia berusaha lari sekuat tenaga menyelamatkan diri, namun segera datang gelombang kedua. Dari tengah sawah Marzuki kembali berlari untuk menyelamatkan diri dan akhirnya menemukan tembok dan memanjat. Turun dari tembok dia melihat gelombang ketiga datang. Dia pun memanjat pohon. Kehendak untuk selamat begitu kuat karena ingat orang tuanya beserta anak dan istrinya. Marzuki berusaha kembali untuk berlari menyelamatkan diri sambil berpasrah kepada Tuhan. Beruntung, dia masih selamat dan bisa bertemu dengan orang tua, anak dan istrinya.

Bencana akan masih akan terus terjadi di Indonesia, karena negeri ini berada pada cincin api dunia. Masyarakat harus ditingkatkan pengetahuan dan kesadarannya tentang ancaman hidup di wilayah cincin api. BMKG sebagai lembaga pemerintah yang bertanggungjawab untuk desiminasi peringatan dini dituntut untuk bekerja keras memperbaiki sistem peringatan dini, agar Marzuki tidak kehilangan orang tua, anak dan istrinya seperti yang dialami oleh rekan-rekan group musik Seventeen. Duka Seventeen di Pantai Anyer menjadi penggugat tanggungjawab kita bersama, mestikah kita akan mendengar kembali jatuh korban tewas begitu banyak akibat warga tidak dijaga (off guard)?

No comments:

Post a Comment

MAY DAY 2019: KAMI PEKERJA, KAMI BUKAN BUDAK!!!

(feature ini sudah dimuat d Koran Suara Hong Kong 7/5/2019) Lima perempuan mengenakan pakaian hitam dan matanya ditutup dengan kain ka...