Pada hari Sabtu
(22/12/2018), status facebook (FB) Wahyu Harjanto diakhiri dengan hashtag atau tagar (#) kawatduka Bani.
Status FB teman saya ini menyentak kesadaran saya pada hari Minggu pagi-pagi
buta. Rupanya video amatir yang saya tonton semalam saat group musik Seventeen
manggung di Pantai Anyer diterjang tsunami telah merenggut nyawa salah satu
saudara tema saya. Saya bertanya kepada Wahyu Harjanto, “Korban tsunami Pantai
Anyer?” Dia pun menjelaskan bahwa Muhammad Awal Purbani merupakan keponakan
dari kakak iparnya yang menjadi salah satu korban tsunami di Pantai Anyer.
Muhammad Awal Purbani, lebih dikenal dengan Bani Seventeen, adalah salah satu
anggota group musik Seventeen asal Yogyakarta yang saat tsunami menerjang kawasan
wisata Anyer sedang manggung dalam acara family gathering yang diadakan oleh
keluarga Perusahaan Listrik Negara (PLN) UIP Jawa bagian Barat. Menurut
Kompas.Com, sebanyak 7 orang dari peserta family
gathering tersebut diberitakan meninggal yang terdiri dari bapak, ibu dan
anak.
Tsunami Tanpa Gempa (?)
Tsunami Anyer
datang dengan tiba-tiba tanpa dimulai dengan gempa bumi. Bencana ini telah
membuat Inara Ashalina Anindri, anak pertama Bani Seventeen, kehilangan
ayahnya. Sedihnya lagi, Cindri Wahyuni, istri Bani Seventeen saat ini sedang
mengandung anak kedua yang tidak akan melihat ayahnya saat dia lahir nanti. Masih
ada ratusan keluarga lagi yang mengalami duka seperti keluarga Bani Seventeen.
Menurut BBC News Indonesia, sampai dengan hari Kamis (27/12/2018), tercatat 430
orang tewas dan 150 orang dikabarkan masih hilang. Bencana ini juga telah
membuat 16.000 orang mengungsi.
Penyebab tsunami
masih simpang siur. Juru bicara BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), Sutopo
Purwo Nugroho, lewat akun twitternya sempat menulis bahwa apa yang terjadi di
Pantai Anyer adalah sekedar gelombang pasang karena tidak ada terjadi gempa
bumi. Namun status itu kemudian dihapusnya sendiri. Dalam situs resmi BNPB pun
dikatakan bahwa gelombang air laut yang menerjang Pantai Anyer dan Selatan
Lampung bukanlah tsunami. Bencana itu merupakan
gelombang pasang sebagai akibat dari permukaan air laut naik karena bulan purnama
yang disertai angin kencang. Pihak BMKG
(Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika) pun sempat ragu untuk
menyimpulkan fenomena bencana alam di Pantai Anyer sebagai tsunami. Pada situs
resminya BMKG akhirnya menggunakan istilah tsunami dan bukan gelombang tinggi.
Hal itu dijelaskan dengan adanya eruspi Anak Gunung Krakatau. Kemungkinan
erupsi itu menyebabkan longsoran yang menimbulkan tsunami. Tetapi para ahli
masih belum yakin apakah tsunami itu diakibatkan oleh letusan Anak Gunung
Krakatau yang terletak di Selat Sunda tersebut.
David Dyle,
professor ilmu bumi dari Universitas Oxford, menjelaskan bahwa selalu ada yang
baru untuk dipelajari dari gunung api. Menurutnya sudah ada 600 gunung api
meletus dalam 200 tahun terakhir dan dalam beberapa waktu ke depan akan ada
1.500 gunung berapi yang akan meletus. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa
manusia tidak cukup pandai untuk mengetahui rencana apa yang akan dilakukan
oleh gunung api. Namun dari penelitian menunjukkan bahwa letusan gunung api
yang paling mematikan adalah gunung api yang sudah lama tidur. Dalam catatan
sejarah, Gunung Krakatau meletus dengan sangat dahsyat pada 27 Agustus 1883.
Lewat empat dentuman besar yang berlangsung 4,5 jam, yang disertai dengan abu
dan asap yang dilontarkan dalam jumlah besar ke atmosfer. Lontaran material itu
membuat beberapa wilayah di belahan dunia tidak bisa melihat matahari dan
langit berubah menjadi merah. Siangpun tampak seperti malam. Dampaknya sungguh
luar biasa, ratusan desa di Pulau Jawa dan Sumatera diterjang tsunami. Puluhan
ribu orang tewas akibat letusan Gunung Krakatau yang menimbulkan tsunami
tersebut.
Saat ini,
menurut Jess Phoenix, ahli vulkanologi asal California, Anak Gunung Krakatau
memasuki fase baru yang mematikan. Karenanya, BMKG telah meningkatkan status
Anak Gunung Krakatau menjadi Siaga atau level III. Kamis pagi (27/12/2018)
Antonius Ratdomopurbo, Sekretaris Badan Geologi yang dilangsir oleh BBC News
Indonesia dalam konferensi pers di Gedung Kementerian ESDM menjelaskan demikian,
"Sehubungan
dengan tingkat aktivitas Level III (Siaga) tersebut, masyarakat tidak
diperbolehkan mendekati Gunung Anak Krakatau dalam radius 5 km dari kawah. Saat
hujan abu turun, masyarakat diminta untuk mengenakan masker dan kaca mata bila
beraktivitas di luar rumah."
Aktivitas Anak Gunung Krakatau semakin meningkat dan
erupsinya disertai dengan suara gemuruh yang sangat keras. Erupsi kali ini
menimbulkan hujan abu yang tebal dan menutupi Pulau Sebesi. Warga yang tinggal
di Pulai Sebesi menjadi takut dan memilih mengungsi. Badarudin, salah satu
warga Pulau Sabesi yang tinggal di Pulau Sebesi sejak tahun 1969, menceritakan
pengalamannya, "Baru
kali ini gunung itu (meletus) kenceng. Biasanya asapnya tipis-tipis, ini
kok tebal, saya yang tua ini tidak mau ambil risiko, dan harus mau mengungsi."
Mata Badarudin sempat terluka karena hujan abu dan sempat mendapatkan perawatan
dari tim medis. Keluarga Badarudin semula tidak mau meninggalkan Pulau Sebesi,
namun dia bersikeras mengajak keluarganya mengungsi ke tempat yang aman. "Sempat
debat sama keluarga. Mereka masih merasa aman, karena bisa lari ke bukit. Tapi
saya yang renta ini tak bisa lari jauh-jauh di pulau itu: mau lari ke mana
lagi?" kata Badarudin.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lampung Selatan, saat ini sebanyak 1.386 warga
Pulau Sebesi sudah dievakuasi dan mengungsi di Gedung Olah Raga Kota Kalianda. Tetapi,
menurut Wasis, pengurus Badan Permusyawaratan Pulau Sebesi, menjelaskan bahwa
setidaknya hingga Kamis (27/12) masih ada sekitar 40 kepala keluarga yang
bertahan di pulau itu. "Mereka yang masih tinggal (di Pulau Sebesi) sudah
dibujuk, belum mau mengungsi. Mereka bilang mau menjaga harta benda, termasuk
ternak di sana,” demikian penjelasan Wasis yang dilangsir oleh BBC News
Indonesia.
Sampai saat ini
suara dentuman “misterius” yang didengar oleh warga yang tinggal di sekitar
Pantai Anyer ramai diperbincangkan di dunia maya. Orang-orang pun mulai
bersplekulasi apakah duntuman itu memang berasal dari Anak Gunung Krakatau.
Tetapi seberapa jauh perbincangan ini bisa dipercaya atau tidak dipercaya kalau
hanya berdasarkan “kabar” yang simpang siur. Kita tidak bisa menyandarkan
informasi yang simpang siur karena ini menyangkut ratusan ribu nyawa yang perlu
dijaga keselamatannya. "Betul, suara dentuman atau gemuruh tersebut berasal
dari aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau," ujar Kristianto, Kasubdit
Mitigasi Bencana Geologi wilayah Barat Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi Kementerian ESDM. Tentunya masyarakat luas, dan terlebih warga yang
tinggal tidak jauh dari Anak Gunung Krakatau, memerlukan informasi yang pasti
dan tidak simpang siur terkait dengan aktivitas erupsi Anak Gunung Krakatau
karena dalam catatan sejarah gunung ini pernah meletus dengan sangat dahsyat.Selain itu, proses tanggap bencana bagi para penyintas yang selamat akibat tsunami pada Sabtu (22/12/2018) terus berlangsung. Penanganan para pengungsi dan pencarian korban yang diduga masih hilang masih terus dilakukan. Meski cuaca tidak mendukung, relawan dan tim SAR gabungan masih terus mencari korban yang masih belum ditemukan. Belum usai dengan tanggap darurat, seperti dilangsir Kompas.Com, pada hari Rabu (26/12/2018), Pandeglang dilanda banjir bandang. Padahal daerah Pandeglang merupakan daerah paling parah terdampak tsunami yang belum lama berselang. Warga yang mengungsi pun kembali dihadapkan pada ketidakpastian akan situasi yang tiba-tiba beruntun di tengah hidup mereka.
“Off
Guard”
RIN News, salah satu situs berita yang
fokus pada masalah kemanusiaan, mengulas dalam inside story tentang fenomena Anak Gunung Krakatau dan tsunami yang
terjadi di Selat Sunda. IRIN menjelaskan bahwa timbulnya korban, baik tewas dan
hilang, dalam bencana ini seolah masyarakat “tidak dijaga” (off guard). Pada tahun 2018, Indonesia mengalami serentetan
bencana alam, gempa bumi dan tsunami. Bencana terakhir di Palu dan Donggala,
Sulawesi Tengah, pada bulan September 2018, telah menewaskan kurang lebih 2.100
orang. Tidak lama berselang, bencana alam kembali terjadi dan korban tewas dan
hilang masih juga besar. Tentu saja hal ini menimbulkan banyak pertanyaan,
apakah benar selama ini sistem peringatan dini yang dibuat setelah terjadi
bencana tsunami besar di Aceh pada tahun 2004, tidak lagi berfungsi?
Video amatir
tentang datangnya “air bah” yang menghantam saat group musik Seventeen sedang
manggung di acara family gathering PLN
UIP Jawa bagian Barat, menunjukkan tidak ada kesiapan sama sekali dari peserta
tentang ancaman datangnya tsunami. Video itu menunjukkan betapa orang-orang
yang berada di sekitar panggung dan group musik Seventeen sama sekali tidak
mengira akan terjadi bencana. Itulah yang disesalkan oleh Ifan Seventeen seusai
pemakaman istrinya, Dylan Sahara Puteri. “Semestinya peringatan itu
disampaikan BMKG sejak dini. Itu yang kami sesalkan," ujar Ifan saat
seperti diberitakan oleh Kompas.com di kediaman mendiang istrinya, di Kota
Ponorogo, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Jumat (28/12/2018) malam.
Pernyataan itu seperti menandaskan apa yang ditulis oleh
IRIN News dengan amat tajam bahwa selama ini tidak ada penjagaan (off guard) bagi warga yang hidup di
tengah wilayah cincin api dunia (ring of
fire). Pendeteksi peringatan dini jelas sangat diperlukan bagi warga yang
hidup di wilayah rawan bencana seperti Indonesia. Namun, setiap kali terjadi
bencana, selalu saja muncul persoalan bahwa alat pendeksi dini terjadinya
tsunami tidak ada atau rusak. BMKG harusnya lebih cepat berbenah untuk
meningkatkan sistem peringatan dini. Sejak terjadi tsunami Aceh 2004 dan
berbagai bencana gempa bumi yang terjadi beruntun, seharusnya pemerintah
semakin meningkatkan kualitas sistem pendeteksi dini sebagai bagian yang
integral dalam peningkatan kesadaran masyarakat yang hidup di tengah ancaman
bencana alam.
Tentu sebuah pernyataan yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan bahwa terjadinya tsuami di Pantai Anyer tidak terdeteksi
karena tidak adanya sistem penditeksi dini (buoy) khusus untuk Anak Gunung
Krakatau. Kondisi inilah yang menyebabkan Presiden Joko Widodo meradang seperti
dilangsir oleh pemberitaan IRIN news yang mengatakan bahwa masyarakat harusnya
sudah tahu bahwa akan terjadi tsunami sebelum bencana itu datang. Presiden Joko
Widodo dikabarkan sudah memesan sistem pindektsi dini tsunami (buoy) untuk
menggantikan buoy yang dirusak sejak tahun 2012 seperti diberitakan oleh
Tempo.Co.
Tentu saja ke depan kita tidak lagi ingin mendengar kisah
Marzuki, warga Way Muli, Lampung, yang saat terjadi bencana sedang mencari cumi
di tengah laut. Dia tidak mengetahui bahwa bencana tsunami akan segera datang.
Di tengah laut itu, Marzuki melihat letusan Anak Gunung Krakatau. "Seperti melihat kembang api,
bunyinya keras, seperti petasan, thas, thas, thas, ... lalu keluar
asap putih. Sekitar setengah jam kemudian saya ditarik oleh ombak, saya mencoba
menepi," kata Marzuki seperti dituliskan di BBC News Indonesia. Dia
bercerita bahwa dirinya ditarik ombak beberapa kali sebelum akhirnya terpental
di sawah. Dia berusaha lari sekuat tenaga menyelamatkan diri, namun segera
datang gelombang kedua. Dari tengah sawah Marzuki kembali berlari untuk menyelamatkan
diri dan akhirnya menemukan tembok dan memanjat. Turun dari tembok dia melihat
gelombang ketiga datang. Dia pun memanjat pohon. Kehendak untuk selamat begitu
kuat karena ingat orang tuanya beserta anak dan istrinya. Marzuki berusaha
kembali untuk berlari menyelamatkan diri sambil berpasrah kepada Tuhan.
Beruntung, dia masih selamat dan bisa bertemu dengan orang tua, anak dan
istrinya.
Bencana akan
masih akan terus terjadi di Indonesia, karena negeri ini berada pada cincin api
dunia. Masyarakat harus ditingkatkan pengetahuan dan kesadarannya tentang
ancaman hidup di wilayah cincin api. BMKG sebagai lembaga pemerintah yang
bertanggungjawab untuk desiminasi peringatan dini dituntut untuk bekerja keras
memperbaiki sistem peringatan dini, agar Marzuki tidak kehilangan orang tua,
anak dan istrinya seperti yang dialami oleh rekan-rekan group musik Seventeen.
Duka Seventeen di Pantai Anyer menjadi penggugat tanggungjawab kita bersama,
mestikah kita akan mendengar kembali jatuh korban tewas begitu banyak akibat
warga tidak dijaga (off guard)?
No comments:
Post a Comment