Wednesday, January 2, 2019

GLOBALISASI = HEGEMONI?



Dalam artikel yang berjudul “Menyangsikan Corak Globalisasi” (Kompas, 28/08/2007), Herry Priyono menjelaskan secara terang benderang karakteristik globalisasi bagi bangsa ini. Ada anjuran mendasar yang dituliskan, yaitu agar kita tidak sekedar merayakan eforia globalisasi, namun lebih bersikap kritis akan dampak globalisasi terhadap nasib bangsa ini. Menurutnya bangsa ini menyikapi globalisasi seperti anak kecil yang mendapat mainan baru, dan orang dewasa melihatnya sebagai tontotanan yang memesona.

Namun, justru ironisme itulah yang sedang terjadi di negeri ini. Ibaratnya seperti anak kecil memegang mainan, ia bermain pedang-pedangan. Si anak tidak tahu bahwa pedang yang digunakan itu berbaya dan bisa menyelakai dirinya. Si orang dewasa yang melihatnya berdiam diri, karena permainan itu mengasyikan dan membangkitkan adrenalinnya. Ia tidak hanya terpesona, namun terbius oleh permainan si anak kecil tersebut. Ia tidak sadar bahwa pedang yang ada di tangan anak kecil itu bisa juga menyelakai dirinya. Metafora ini yang sebenarnya mencengkram bangsa Indonesia berhadapan dengan globalisasi yang mengusung ideologi neo-liberalisme.

Bangsa ini terbuai dan terbius bahwa globalisasi yang sebenarnya bisa mencelekai dirinya, namun tetap saja dipandang sebagai permainan yang mengasyikan.

Pertanyaannya adalah mengapa wajah globalisasi bisa menawan dan memesona hati, sehingga apa yang sebenarnya berbahaya tidak lagi tampak berbahaya bagi bangsa ini. Barangkali pendekatan ini akan membantu mencelakan mata kita semua akan bahaya globalisasi. Pendekatan pertama, melihat globalisasi dari arus dasarnya yakni mantra-mantra ekonomi. Di sana terkandung bahaya ekonomisme. Sedangkan kedua adalah dengan melihat pola pikirnya yang mampu membuai orang dengan tawaran nilainya. Di sana akan terlihat bagaimana globalisasi membuat sebuah hegemonisasi.

Ekonomisme
Seperti halnya marxisme klasik telah jatuh dalam ekonomisme, maka demikian juga dengan globalisasi. Keduanya berkubang dalam lubang yang sama. Ekonomisme adalah cara pandang yang melihat bahwa keberhasilan sebuah kekuatan atau dominasi politik akan terwujud kalau didasarkan pada kekuatan dan dominasi ekonomi. Hal inilah yang membuat para pendukung globalisasi sangat terpesona. Karena diyakini bahwa globalisasi akan memberikan tetesan berkah yang melimpah bagi banyak orang, terutama akan merembes kepada mereka yang miskin. Maka seperti sebuah wahyu yang turun dari atas, para pemegang kekuasaan di negeri ini membuka pintu lebar-lebar bagi para investor asing. Sejuta harapan dibangkitkan bahwa mereka akan mendongkrak kekuatan ekonomi negeri ini dan secara niscaya akan menciptakan stabilitas politik.

Logika ini bisa terbaca jelas lewat berbagai macam kebijakan yang secara gamblang melegalkan masuknya investor asing ke negeri ini untuk menggunakan semua sumber daya alam dan manusia untuk mengembangkan usaha mereka, tanpa melihat dampak lebih jauh dari kebijakan tersebut. Isu terakhir yang hangat adalah munculnya “Rancangan Undang-Undang Badang Hukum Pendidikan dan Peraturan Presiden Nomor 76 dan 77 tentang Penanaman Modal Asing dalam Bidang Pendidikan.” Ini adalah salah satu contoh bagaimana motif ekonomi mendesak munculnya produk hukum dan peraturan agar investor asing leluasa melakukan penetrasi ke dalam jantung kekuasaan negeri ini. Dan atas nama negara, para punggawa negeri menyerahkan diri kepada kekuatan modal asing. (Kompas, 28/8/2007)

Kalau dicermati lebih lanjut, maksud dari hukum dan peraturan tersebut tentulah untuk membuka peluang yang sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia agar bisa menikmati pendidikan “global” yang baik, namun negara bisa cuci tangan menyediakan dana bagi pengembangan pendidikan bagi rakyat. Selama ini, pendidikan memang terus menjadi anak tiri dari anggaran negara. Selain itu, investasi akan menambah pemasukan khas negara. Jelas, bahwa motif ekonomi sangat kuat mendorong penguasa negeri ini untuk mendongkrak kekuatan politiknya. Namun, alih-alih bermimpi untuk mendapatkan pendidikan global yang super baik, fakta yang ada sekarang adalah kemampuan masyarakat untuk mendapatkan akses di jenjang perguruan tinggi semakin berkurang. Misalnya saja, di Yogyakarta, hampir semua perguruan tinggi menurun jumlah mahasiswanya di tahun ajaran baru ini. Banyak orang mengatakan, bahwa biaya di perguruan tinggi sudah tidak lagi terjangkau oleh masyarakat. Maka dengan adanya investor asing di bidang pendidikan, perguruan tinggi dan tingkat pendidikan lainnya akan semakin sulit untuk menyediakan pendidikan yang murah. Mereka harus bersaing dengan model pendidikan lain yang bertaraf global, yang mungkin akan lebih mahal dan “profesional”. Sekali lagi, pendidikan untuk rakyat miskin menjadi sebuah mimpi indah di negeri ini.

Dengan membuka peluang bagi para pemodal asing untuk berinvestasi di bidang pendidikan, seolah-olah negara sedang memenuhi janjinya untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik bagi rakyat. Namun negara tidak sadar bahwa hal itu merenggut hak dasarnya untuk mendidik warganya sendiri. Maka ancamannya adalah warga negara ini semakin sulit punya rasa percaya diri dan kebangsaan yang kuat.

Hegemoni
Tidak pernah ditolak, bahwa segala aspek keputusan manusia lebih didasarkan pada apa yang secara afektif dirasakan dan bukan datang dari ranah nalarnya. Globalisasi sangat piwai membidik kelemahan manusia itu, yaitu dengan menciptakan kebutuhan material. Manusia membutuhkan kepastian akan jaminan material sebagai penguat identitas dirinya. Maka, kebutuhan inilah yang terus menerus dimainkan oleh globalisasi untuk menjerat kesadaran manusia agar mau memeluk nilai-nilainya.

Taktik globalisasi untuk meyakinkan “klien”-nya sungguh sangat lihai. Menggunakan cara berpikir Antonio Gramsci dalam menerangkan fase-fase terbentuknya hegemoni. (Roger Simon, 1999), kita akan melihat bagaimana globalisasi memikat kliennya.

Fase pertama, nilai yang ditawarkan adalah sebentuk ide tentang kesejajaran. Korporasi asing memberikan tawaran apakah klien ingin sejajar dengan dirinya? Maka banyak jargon diciptakan, profesionalisme, kompetitif, deregulasi perusahaan, bertaraf internasional dan sebagainya. Sebuah nilai yang memikat. Pada fase ini, kalau klien terpikat, maka dia akan sadar untuk menerima nilai tersebut sebagai tawaran yang harus diperjuangkan, namun belum ada kebutuhan untuk bergabung di dalam korporasi tersebut.

Fase kedua, dalam fase ini sudah muncul kesadaran bersama dalam diri klien, bahwa nilai itu memang patut dipertahankan dan diperjuangkan, namun ikatan dasarnya masih dalam motif ekonomi. Kepentingan korporasi sudah diperhatikan, namun masih dalam taraf keinginan untuk memperoleh persamaan kepentingan dan hukum di dalam korporasi yang berkuasa. Namun, klien masih mempertahankan nilai-nilai lama sebagai dasar untuk menentukan pilihan atas tingkah lakunya.

Fase ketiga, merupakan fase hegemoni., “ di mana klien menjadi sadar akan kepentingan korporasinya.” Klien menjadi lebih jauh terlibat dengan segala kepentingan korporasi, dan segala motif prilakunya ditentukan oleh korporasi tersebut. Prilaku tersebut menyangkut seluruh tujuan ekonomi, politik, hukum dan moral. Mekera berani berjuang untuk menghadapi seluruh persoalan yang mungkin akan mengancam korporasi yang berkuasa. Maka klien tidak lagi bertindak untuk korporasinya, namun untuk tujuan yang lebih universal, yaitu memperjuangkan segala nilai korporasi agar tetap bisa bertahan dan dihidupi sebagai yang terbaik di seluruh lini kehidupan. Kesadaran terakhir inilah yang menjadikan klien tergerak total untuk memperjuangkan seluruh kepentingan korporasi. Kalau klien itu kita ganti dengan bangsa Indonesia, maka tampak bahwa bangsa ini sudah berada dalam fase ketiga. Bangsa ini tidak sekedar ingin berdiri sejajar atau didorong untuk mencukupi kebutuhan ekonomi materialistiknya, namun lebih jauh lagi meyakini globalisasi sebagai nilai yang harus direalisasikan dalam tataran politik, ekonomi, hukum dan moral. Maka, jangankan memperkokoh nilai kebangsaannya sendiri, ia tidak lagi mempunyai kekuatan dasar untuk “merdeka” di atas tanah sendiri. Mengapa? Karena untuk mendidik warganya sendiri, dia harus menyerahkan kepada investor asing (baca korporasi asing). Maka, sebenarnya globalisasi tidak sekedar kisah asimetri di negeri ini, namun dia juga sebuah hegemonisasi.

No comments:

Post a Comment

MAY DAY 2019: KAMI PEKERJA, KAMI BUKAN BUDAK!!!

(feature ini sudah dimuat d Koran Suara Hong Kong 7/5/2019) Lima perempuan mengenakan pakaian hitam dan matanya ditutup dengan kain ka...