Wednesday, January 2, 2019

PENDIDIKAN DAN LIBERALISASI PASAR



Belum selesai mengurai benang kusut yang membelit pendidikan di Indonesia terkait dengan sistem ujian negara yang banyak menuai protes, guru berhati jujur malah dipecat, kekerasan yang masih terus terjadi di IPDN, dan seterusnya dan sebaginya, bangsa ini akan “menjual” pendidikan kepada investor asing dengan membuka peluang bagi penanaman modal asing di sektor pendidikan. Apa sebenarnya yang menjadi naluri dasar bangsa ini sehingga harus menyerahkan pendidikan warganya kepada orang asing?



Tiga Unsur Dasar Pendidikan
Pendidikan tidak sekedar sebuah sistem yang memproduksi manusia-manusia muda untuk bisa bekerja, namun lebih dari itu, pendidikan adalah tempat di mana manusia-manusia muda digembleng agar memiliki kepedulian terhadap keberadaan dan keberlangsungan masa depan bangsa ini. Tentu saja orang-orang seperti Syahrir, Hatta, Soekarno, Ki Hadjar Dewantoro, adalah orang-orang penting yang meletakan orientasi dasar terhadap pembangunan watak bangsa ini. Mereka adalah orang-orang yang memiliki sebuah visi matang tentang bagaimana negeri ini harus dikelola dan dipertahankan. Selain karena tertempa oleh situasi zaman yang mendorong mereka menjadi orang tangguh perkasa membawa negeri ini menjadi merdeka, mereka adalah orang-orang yang memiliki basis berpikir yang kuat. Pendidikan mereka tidak saja membuat mereka mampu bekerja, namun mereka mau menumpahkan jiwa raga untuk membangun bangsa ini. Pendidikan ikut andil dalam membentuk karakter mereka menjadi orang tangguh perkasa.

Mungkinkah lahir orang-orang seperti itu dengan sistem pendidikan yang ada sekarang? Jawaban atas pertanyaan itu selalu bernada pesimis. Pesimisme itu timbul akibat tuntutan dasar dalam sistem pendidikan kita tidak pernah dipikirkan secara serius. Tiga tuntutan dasar itu adalah humanisasi (humanization), sosialisasi (socialization) dan individualisasi (individualization).

Humanisasi menjadi penting dalam konteks pendidikan, karena dengan humanisasi membuat peserta didik mengerti makna tertinggi akan nilai hidupnya. Ia diajarkan untuk mengerti secara utuh konteks pribadinya. Pertumbuhan itu akan sangat terkait dengan konteks sejarah dan sosio-kultur negara di mana ia hidup. Pertumbuhan itu akan mendorong manusia yang hidup dalam negara tersebut merasa dihargai martabat hidupnya dan dibangun ikatan emosinya dengan seluruh proses sejarah dan sosio-kultur bangsanya. Maka, humanisasi sebenarnya menjadi vital dalam sebuah proses pendidikan, karena di situlah proses pembangunan karakter sebuah bangsa akan ditentukan nasibnya.

Sosialisasi akan sangat terkait dengan konteks hidup peserta didik berelasi dengan seluruh sistem tradisi, adat, pola pikir, lingkungan sosial dan masyarakat di mana ia berada. Di dalam konteks Indonesia, sosialisasi tidak sekedar apakah pribadi itu mampu berinteraksi dalam lingkungan dekatnya, namun ia dituntut memahami dan menjalin ikatan batin dengan kenyataan Indonesia yang multikultur, multietnis, multi bahasa, dan sebagainya. Keberhasilan pendidikan dalam menumbuhkan pribadi yang mampu bersosialisasi dengan identitas bangsanya, akan memampukan terciptanya sebuah rekatan sosial yang akan membuat bangsa itu tidak mudah terfragmentasi oleh berbagai macam konflik dan friksi yang mengatasnamakan kelompok atau sekte tertentu. Justru dengan keberhasilan proses sosialisasi lewat pendidikan, bangsa ini akan didukung untuk diperkuat rekatan kebangsaannya.

Individualisasi adalah proses membentuk karakter pribadi yang kuat. Setiap individu adalah berbeda dan unik. Ia tidak bisa diseragamkan. Namun, individu yang bisa memiliki kepercayaan dan kualitas diri yang kuat, akan menjadi sumbangan berharga bagi seluruh proses interaksi sosial yang diharapkan dalam seluruh komunitas berbangsa. Maka individualisasi bukanlah sebentuk egoisme atau individualisme, namun pembentukan karakter yang memiliki pancaran kuat dan unik, dan ia tetap terbuka terhadap kenyataan di luar dirinya. Ia tanggap dan peduli terhadap persoalan kemanusiaan yang ada, karena ia merasa berharga sebagai pribadi yang utuh dan memiliki martabat. Ia mampu memperjuangkan nilai-nilai hakiki sebagai manusia, karena ia melihat bahwa dirinya adalah menjadi bagian dari sebuah komunitas besar manusia yang martabatnya harus dijunjung tinggi.

Tiga unsur fundamental itulah yang lenyap dalam proses pendidikan kita. Maka tak bisa dipungkiri bahwa akhirnya pendidikan kita seperti sebuah mesin pencentak manusia yang tidak lagi punya wawasan luas tentang seluruh kosmologi kehidupan yang penting. Lebih mendasar lagi, hasil dari pendidikan kita tidak membuat manusia-manusia muda yang hidup di bangsa ini memiliki sebuah kepekaan kosmologis terhadap bangsanya sendiri. Jika hal itu terjadi, sebenarnya bukanlah salah manusia-manusia muda dan pelaku pendidikan, ini adalah kesalahan mendasar dari orientasi bangsa ini yang tidak lagi mempunyai arah kuat untuk membentuk karakter manusia-manusia mudanya. Situasi ini semakin diperparah dengan kegemaran bangsa ini untuk mengkomersialisasikan segala yang dimilikinya, termasuk dalam bidang pendidikan.



Ancaman liberalisasi
Pendidikan tidak pernah bisa dikomersialisasikan sebagai sebuah komoditas. Ini yang diserukan oleh World Social Forum (WSF) di Porto Alegre, Brasil 2001. Komersialisasi dan komodifikasi pendidikan tidak lebihnya menjadi perpanjangan tangan globalisasi yang memberikan ruang bebas terhadap liberalisasi pasar untuk menguasai segala aspek kehidupan manusia. Tiga unsur fundamental (humanisasi, sosialisasi dan individualisasi) dalam pendidikan tersebut juga merupakan perhatian utama dari WSF, karena tiga hal tersebut merupakan representasi dari hak-hak dasar manusia universal. Namun ada catatan maha penting terkait dengan hal itu, bahwa hak-hak dasar itu tidak bisa diterapkan begitu saja untuk semua manusia yang hidup di suatu negara. Hak dasar itu akan sangat terkait dengan seluruh proses sejarah dan relasi sosio-kultur yang unik di dalam negara tersebut. Maka, WSF sangat menekankan bahwa kontekstualisasi dari pemenuhan hak dasar itu harus memperhatikan keberbedaan (diversity) yang ada dalam seluruh konteks manusia yang hidup dalam suatu negara.

Berdasarkan alasan-alasan yang mendasar itulah maka WSF menyerukan untuk tidak memberikan ruang bagi proses liberalisasi pasar memasuki dunia pendidikan. Dengan dibukanya ruang itu, maka terbuka pula sebuah proses reduksi besar-besaran terhadap hak-hak dasar manusia dalam mendapatkan pendidikan seturut konteksnya. Jika liberalisasi itu terjadi, maka tidak bisa dihindari bahwa proses homogenisasi manusia akan terjadi. Lebih parah dari itu, homogenisasi itu memandang manusia tidak lagi sebagai sebuah makhluk berakal budi, berperasaan, berkultur yang mempunyai martabat, namun ia adalah sebuah komoditas. Manusia tidak ubahnya sebuah “barang” yang sama nilainya dengan sebuah tv, motor, komputer, dan yang lainnya.

Menurut Bernard Charlot salah satu peserta WSF, jika liberalisasi pasar yang dibawa oleh neoliberalisme memasuki dunia pendidikan, maka negara akan memasuki sebuah dilema yang sangat sulit. Paling tidak ada tiga dilema mendasar yang terkait dengan pembahasan ini, yaitu:

Pertama, liberalisasi pasar yang memasuki dunia pendidikan akan mereduksi tujuan pendidikan itu sendiri karena adanya proses komodifikasi. Negara tidak lagi bisa melindungi kepentingan warganya terkait dengan perbedaan budaya dan pembangunan hak-hak dasarnya.

Kedua, pendidikan adalah sarana negara untuk membangun kontruksi sosial warganya agar memiliki karakter kewargaan yang diinginkan. Jika tugas ini diambil alih oleh pihak lain (asing), maka negara akan kehilangan tempat untuk membangun semangat dasar kewarganegaraan bagi warganya. Memiliki identitas sebagai warga negara dalam sebuah payung negara tertentu adalah salah satu perwujudan hak-hak asasi yang harus dipenuhi oleh negara terhadap warganya.

Ketiga, pendidikan yang akan dimasukan dalam sistem liberalisasi pasar, akan mematikan akses pendidikan bagi warga miskin, penduduk asli, kelompok etnik, penganut religius tertentu, dan sebagainya. Mengapa? Karena pendidikan dalam sistem liberalisasi pasar hanya akan bertumpu pada apakah ada keuntungan dari investasi yang ditanam dalam proses pendidikan itu atau tidak. Pendidikan yang dikonsep berdasarkan untung-rugi sebuah investasi, ia tidak akan pernah memperhatikan kelompok-kelompok miskin dan minoritas.

Melihat semua kenyataan itu, ada sisa pertanyaan gugatan yang patut diajukan: apakah bangsa ini sungguh rela menjadikan manusia-manusia mudanya sekedar sebagai komoditas dan bukannya sebagai pribadi yang memiliki martabat?

No comments:

Post a Comment

MAY DAY 2019: KAMI PEKERJA, KAMI BUKAN BUDAK!!!

(feature ini sudah dimuat d Koran Suara Hong Kong 7/5/2019) Lima perempuan mengenakan pakaian hitam dan matanya ditutup dengan kain ka...