Wednesday, January 2, 2019

PEREMPUAN DALAM MEDIA: POTRET SUBYEKTIVITAS YANG TERENGGUT


Proses majunya peradaban manusia dengan segala produksi modernisasinya, sebenarnya tidak berpihak kepada perempuan. Modernisasi sebagai ciri dari majunya peradaban manusia berjalan paralel dengan munculnya sistem yang semakin menindas peran dan posisi perempuan. Maka, bagi para perempuan, majunya peradaban dengan segala simbol modernisasinya sebenarnya bukan sebuah proses yang beradab namun justru menjadi tanda dari semakin “canggihnya” sistem yang menindas posisi mereka. Karenanya, modernisasi belum bisa diartikan sebagai emansipasi bagi para perempuan. Realitas perempuan yang terenggut oleh modernisasi itu, bisa terlihat dalam berbagai ruang sosial, salah satunya adalah media.

Media menjadi salah satu tempat produk moderen yang secara terang benderang memberikan gambaran bagaimana subyektivitas perempuan yang hilang, karena berbagai macam aspek yang menyebabkannya. Tulisan ini mau mengarahkan bagaimana proses terenggutnya subyektivitas perempuan dalam berbagai macam sudut yang ditampilkan oleh media.



I. Perempuan dalam sebuah snapshot 

Hasil laporan Global Media Monitoring Project (GMMP) yang dibuat hanya dalam satu hari yaitu tanggal 1 Februari 2000 dengan menggerakkan ribuan sukarelawan dari hampir 70 negara, memberi gambaran snapshot tentang kompleksnya persoalan perempuan. Laporan GMMP ini memberikan gambaran posisi dan peran perempuan dalam tiga industri media paling populer yaitu, industri televisi, radio dan koran (media cetak). Data yang ditampilkan oleh GMMP memberikan deskripsi cukup komprehensif tentang peran perempuan dalam media dan bagaimana media memposisikan perempuan dengan seluruh konsep pencitraannya.

Total data yang bisa dikumpulkan dari seluruh partisipan adalah 50, 368 partisipan. Angka itu dikumpulkan dari benua Afrika (11 negara), Asia (14 negara), Karibia (6 negara), Eropa (21 negara), Amerika Latin (8 negara), Timur Tengah (4 negara), Amerika Utara (2 negara) dan Oceania (4 negara).

Tujuan dari media monitoring ini adalah untuk melihat sejauh mana reprentasi perempuan dalam pemberitaan di seluruh dunia dan selain itu juga untuk memberdayakan kelompok lokal, terutama perempuan, untuk terlibat dalam pemantauan media dan diharapkan juga mampu mendorong munculnya kesadaran kolektif dalam proses advokasi terhadap diri mereka sendiri. Oleh karena itu, data yang ditampilkan oleh GMMP terbagi dari beberapa topik yaitu: isu gender dalam tiga industri media (telivisi, radio, dan koran), prosentase laki-laki dan perempuan dalam pilihan topik media, pilihan subyek berita berdasarkan identifikasi status keluarga, penggambaran subyek berita sebagai para korban, penyiar dan reporter, serta pemilihan berita berdasarkan reporter perempuan dan laki-laki.

Dari survei sehari GMPP tersebut bisa dilihat peran dan citra perempuan dalam media, berdasarkan pembagian kategori topik di atas. Namun, saya tidak menampilkan semua hasil survei dari semua kategori tersebut. Yang sangat relevan dari hasil survei untuk melihat subyektivitas perempuan adalah tentang isu gender, prosentase laki-laki dan perempuan dalam topik pemberitaan dan subjek pemberitaan sebagai korban.

Pertama, pilihan subjek berita berdasarkan isu gender dari tiga media (televisi, radio dan koran). Survei dalam topik pilihan berita berdasarkan isu gender, hasil surveinya menyebutkan 18% perempuan menjadi topik berita, sedangkan laki-laki mencapai angka 82%. Angka ini hanya bergeser 1% saja dibandingkan survey yang dilakukan pada tahun 1995 yang menyebutkan bahwa perempuan mendapat angka 17% dari seluruh topik berita dari tiga media, baik televisi, radio dan koran. (Hermano, Teresita, hal. 87-88)

Kedua, prosentase perempuan dan laki-laki dalam berbagai topik pemberitaan. Berdasarkan prosentase dari berbagai jenis topik pemberitaan (seni&entertainment, pendidikan, buruh, politik dan nasional), pemberitaan tentang perempuan tampak signifikan dalam bidang seni&entertainment, namun itu juga belum menjadi mayoritas. Di bidang ini perempuan memperoleh angka 35% dibanding laki-laki yang mencapai angka 65%. Di bidang yang memungkinkan perempuan merebut peran, laki-laki masih juga mendominasi. Dalam topik-topik lain, perempuan semakin tergeser. Dalam topik tentang pendidikan perempuan memperoleh angka 29% dibanding laki-laki yang mendapat angka 71%. Dalam berita soal buruh, perempuan mendapat angka 15% sedangkan laki-laki 71%. Dalam topik politik, perempuan mendapat angka 12% sedangkan laki-laki 88%. Untuk skala nasional, hasilnya tentu saja jauh lebih suram, perempuan hanya mendapat angka 6% sedangkan laki-laki mendapat angka yang sangat spektakuler yaitu 94%. (Hermano, Teresita. hal. 88)

Ketiga, subjek pemberitaan sebagai korban. Dalam pemberitaan sebagai korban, tidaklah mengejutkan bahwa akhirnya semua berita menampilkan kebanyakan korban adalah perempuan. Komposisinya antara laki-laki dan perempuan dalah 19% : 8%. Komposisi itu bisa dipecah dalam berbagai bentuk model korban, yaitu: korban kejahatan (laki-laki 2%, perempuan 7%), korban kecelakaan (laki-laki 5%, perempuan 3%, korban kekerasan seksual (laki-laki 0%, perempuan 2%) dan kategori lainnya (laki-laki 3%, perempuan 4%). Dari survei tersebut, semakin nyata betapa perempuan tetaplah isu yang menarik untuk dilihat dari kelompok yang mudah menjadi korban. (Hermano, Teresita. hal. 89-90)

Snapshot sehari tentang potret perempuan dalam media ini, tentu saja sangat mencengangkan, bukan saja dari sudut pengumpulan data yang hampir di seluruh benua, namun bisa dilihat betapa posisi perempuan dalam segala macam bentuk strata sosial ternyata tetaplah nomer dua dibandingkan laki-laki. Dengan melihat hasil survei ini menjadi jelaslah mengapa para aktivis perempuan begitu geram terhadap persoalan peminggiran kaumnya dalam seluruh kancah dunia ini. Jika, perempuan diciptakan sebagai manusia, dan juga laki-laki disebut sama sebagai manusia, mengapa ketidakadilan itu terjadi hanya pada perempuan. Pernyataan ini sangat fundamental untuk dijadikan wacana, namun tidak bisa tuntas dalam refleksi singkat pada kesempatan ini.

Saya lebih ingin menjawab pertanyaan itu bukan dari segi pendasaran filosofis, namun lebih dari produksi media moderen yang akhirnya memang menempatkan perempuan dalam citra yang selalu nomer dua, bahkan lebih parah dari itu, citranya tidak lagi ditentukan dari subyektivitas perempuan itu sendiri, namun sebuah citra yang ditentukan oleh faktor eksternal dari luar dirinya.



II. Sosok Delimatis Emosional
Perempuan yang lemah dan pantas untuk menjadi korban, sebenarnya tidak hanya terjadi pada sebuah snapshot. Apa yang digambarkan dalam snapshot, adalah representasi real dari dunia perempuan sesungguhnya. Pada situasi sekarang, citra perempuan yang lebih ditempatkan sebagai korban, bisa dilihat misalnya dalam berbagai macam tayangan opera sabun atau sinetron. Di Indonesia, kedua model hiburan itu sangatlah populer. Kita bisa mengambil contoh dari salah satu stasiun TV di Indonesia. Misalnya RCTI, mulai jam enam sore sampai dengan jam sebelas malam, akan diisi dengan sinetron. Jam tayang yang ditempatkan dalam rating paling tinggi. Ada sekitar 3 sampai 4 judul sinetron, yang semuanya memakai judul perempuan: Soleha, Cindy, Cahaya, dan Kasih. Luar biasa penghargaan RCTI terhadap sosok perempuan. Namun apakah demikian penghargaan itu ideal bagi perempuan? Sayangnya tidak, semua kisah dalam sinetron itu selalu menempatkan perempuan sebagai sosok delimatis dan emosional. Mereka digambarkan orang-orang yang dengan kelemahannya bisa mengalahkan berbagai macam persoalan hidup.

Ternyata penggambaran itu sudah menjadi dominan dalam sinetron yang diproduksi oleh berbagai stasiun TV di Indonesia, entah itu TV swasta atau milik pemerintah, tidaklah jauh berbeda. Mereka mereproduksi citra perempuan sebagai sosok yang lemah, selalu didominasi oleh emosinya ketimbang kemampuan lain yang dimilikinya, misalnya kepintaran, ketrampilan dalam memimpin, kekuatan manajerialnya dan lain sebagainya.Yang selalu menjadi tema adalah kelemahan emosional itu, tampil berupa perempuan yang mudah menangis, selalu kalah, tidak berdaya, lemah lembut, penurut dan lain sebagainya, walau akhirnya mereka akhirnya bisa mengatasi segala persoalan.

Realitas citra perempuan yang seperti itu, persis sama dalam studi etnografi yang dilakukan oleh Pam Nilan yang mengambil tempat di Bali. Nilan dalam studinya lebih melihat faktor perempuan sebagai penonton dan bukannya sebagai pelaku dalam berbagai tayangan opera sabun atau sinetron. Itu artinya, perempuan dilihat sebagai aktor yang membaca teks yang disodorkan oleh layar TV. Kesimpulan dari studinya juga tidak jauh berbeda dari penokohan perempuan yang ada dalam sinetron atau opera sabun. Demikian tulis Nilan, “Taking up the insight of Brunsdon (1981) we can argue that the domestic space of the home, and the problems of personal relationships, particularly in the family, are emphasized and validated as female concerns in sinetron and telenovelas. The work needed to keep the home and family going does not enjoy the same formal status of recognition as that performed in the public sphere either in Bali or elsewhere in Indonesia. Soap opera in one of the new formats which acknowledge the overwhelming emotional and practical maintenance work of women in the private sphere and endorse it.” (Pam Nilan, hal. 95)

Pencintraan perempuan sebagai sosok emosional sebenarnya menjadi salah satu tujuan reproduksi sosial yakni menempatkan perempuan dalam ruang privat atau domestik. Emosi dipersepsi sebagai komponen yang lemah dalam manusia. Meskipun sebenarya manusia adalah makhluk emosional, baik laki-laki atau perempuan, namun emosi lebih ditekankan menjadi dominasi perempuan dari pada laki-laki. Karena persepsi kuatnya emosi itu melekat pada diri perempuan, maka tempat yang aman bagi perempuan adalah di rumah. Di dalam rumahlah, segala emosi perempuan teraktualisasikan dalam relasinya dengan keluarga. Realitas perempuan seperti itu, cocok dengan gambaran perempuan yang ditemukan oleh Nilan. Dengan merujuk studi Aripurnami, citra perempuan yang lemah itu semakin kuat dalam konteks Indonesia pada masa Orde Baru. Politik Orde Baru secara jelas ingin memberikan tempat pada perempuan sebagai sosok yang lemah yang mustinya tunduk pada laki-laki. Perempuan yang penurut adalah sosok ideal. Maka, untuk mengesahkan bahwa nilai ideal itu, sosok perempuan selalu digambarkan dalam posisi lemah.

Kelemahan perempuan itu menjadi penegas bahwa sistem patriarki adalah baik bagi perempuan. Karena dengan tetap dilanggengkannya wacana patriarki, maka sosok yang lemah itu patut untuk dilindungi. Hal itu tidak saja terjadi di Indonesia, Antonio C. La Pastina, dalam studinya tentang sebuah serial telenovela yang berjudul The Cattle King, di Macambira sebuah wilayah pinggiran di Brasil, juga menyimpulkan hal yang sama. Ia tidak saja melihat studinya dari sisi perempuan saja, namun dilihat juga bagaimana laki-laki menafsirkan kisah dari cerita The Cattle King. The Cattle King adalah sebuah telenovela yang sangat populer bagi masyarakat Macambira. Mereka tidak mau melewatkan satu seri pun dari rangkaian cerita yang ditayangkan oleh TV di sana. Tidak saja digemari oleh perempuan, namun juga oleh laki-laki. Dari pengamatannya di Macambira itu, Pastina akhirnya menulis demikian, “Their interest in these elements of the narrative seemed to indicate that perceived gender norms and patriarchal values did in fact hinder male viewers’ engagement with more traditional melodramatic elements of class ascension, love, and betrayal. This, however, does not mean that males did not pay attention to those elements or were oblivious to them. It means they look a greater interest in elements associated locally with the male sphere, such as politics and farm techniques, rather than engaging with elements normally associated with the female sphere, such as child rearing and romance.” (La Patisna, hal. 177-178)

Dari studi La Pastina, menjadi tampak terlihat bahwa wilayah publik identik dengan laki-laki, sedangkan wilayah privat adalah wilayah perempuan. Dari sini menjadi jelaslah mengapa hasil survei GMPP menghasilkan sebuah citra perempuan yang sangat merebut perannya di sektor publik. Sistem patriarkal adalah ideologi yang sebenarnya berada di balik media. Karena itu, ideologi patriaki yang sebenarnya mendominasi bagaimana perempuan harus ditampilkan. Persoalan ini menjadi sangat penting dalam studi media. Maka dari itu, dalam banyak perspektif studi perempuan, media menjadi salah satu aktor yang harus dilihat secara kritis. Karena lewat media, sebenarnya pencintraan perempuan sebagai sosok emosional lemah itu diproduksi terus menerus. Itulah mengapa Leela Rao, memberikan penekanan persoalan gender pada media. Dalam tulisannya yang berjudul Networking for Gender Empowerment: A Case Study of the Asian Network of Women in Communication (ANWIC), ia memberikan beberapa hal penting untuk melihat perempuan dalam media, yaitu: (Rao, Leela, hal. 104).



a. Kritis terhadap isu gender dalam media. Gender haruslah dibedakan dengan sex. Maka dengan menempatkan isu ini dalam media, maka bisa memberikan penyadaran bagi perempuan untuk melihat secara kritis bagaimana media memproduksi teks bagi pencintraan dirinya.

b. Kritis terhadap isi media. Hal itu terlebih harus dilihat bagaimana media dalam berbagai macam modelnya, misalnya iklan, berita, dan terutama berbagai tayangan serial (sinetron, opera sabun, sinetron). Dari isi ini bagaimana media membuat sebuah stereotype terhadap fungsi dan peran perempuan.

c. Kritis terhadap peran perempuan dan laki-laki yang ditampilkan dalam media. Ini terkait dengan isu gender, apakah peran pengambil keputusan di sektor publik diproduksi secara adil atau tidak. Ini penting bagi perubahan stereotype yang dibuat oleh media yang selalu membuat pengambil keputusan di dalam hidup ini adalah laki-laki.

d. Kritis terhadap media dalam fungsinya dalam membangun kontruksi sosial. Penting disadari bahwa media bisa membuat sebuah perubahan sosial, baik itu ke arah negatif atau positif. Karenanya, media bisa menghasilkan sebuah wacana perempuan dalam sisi yang negatif dan positif. Jika perempuan tidak kritis terhadap fungsi media ini, maka bisa jadi konstruksi sosial yang dihasilkan media akan berdampak negatif terhadap sosok perempuan itu sendiri.



Dari apa yang dilihat oleh Leela Rao terhadap peran media, semakin jelas terlihat bahwa ada persoalan besar dalam media dalam menempatkan sosok perempuan. Persoalan itu menjadi mengkrucut bahwa di balik media, ideologi patriarki sangat berperan penting untuk menggambarkan perempuan. Selama ideologi patriarki yang memegang peranan dalam media, maka media tidak pernah bisa lepas dari kecenderungannya untuk menempatkan citra perempuan sebagai sosok emosional dan delimatis.

Tentu saja, hal tersebut haruslah dilihat secara lebih kritis seperti usulan Leela Rao, namun membongkar ideologi patriarki dalam media, tidak cukup dengan melihat secara kritits bagaimana media mereproduksi stereotype citra perempuan. Namun lebih jauh lagi adalah mengapa sosok yang emosional dan delimatis itu harus terjadi dalam diri perempuan dan tidak pada laki-laki. Studi media berhasil menunjukkan bahwa perempuan memang secara stereotype digambarkan sebagai sosok yang lemah, dan itu berarti bahwa dalam ruang publik, perempuan tidak boleh mengambil peran. Ruang privatlah tempat permpuan. Maka, ruang-ruang politik, budaya dan ekonomi yang selama ini direproduksi ulang oleh modernisasi sebenarnya menjadi elemen kuat dalam melanggengkan sistem patriarki.

Temuan studi media terhadap peran perempuan tersebut mendorong untuk melihat secara lebih dalam lagi, mengapa perubahan fundamental terhadap pencintraan perempuan masih sulit dilakukan, bahkan dalam situasi sekarang, di mana modernitas dengan segenap kekuatan rasionnya menguasai segala aspek kehidupan. Problem ini akan dilihat lebih detail dalam persoalan munculnya penggambaran subyek perempuan dalam studi kebudayaan.



III. Subyektivitas Nir Sadar
Studi etnografi tentang media, baik yang dilakukan oleh Pam Nilan dan La Pastina, menjadi penting untuk melihat bagaimana hasil kontruksi media terhadap pencintraan perempuan. Namun, studi etnografi tidak pernah bisa keluar persoalan mengapa stereotype tentang perempuan terus ada. Selain itu, mengapa ideologi patriarki itu selalu dominan dan perempuan selalu berada dalam bayang-bayang sistem patriarki dalam seluruh aspek hidupnya. Studi Pam Nilan dan La Pastina bisa memberi penegasan bagi Leela Rao untuk secara kritis melihat media. Rao melihat pentingnya isu gender dalam media, namun sikap kritis belumlah cukup, karena sikap kritis yang ada masih berputar pada teks. Itu artinya bahwa perempuan dalam teks media tetaplah sebuah subyek yang nir sadar, atau kehilangan kesadaran. Perempuan tetap sebagai sebuah subyek yang diobyekan oleh kepentingan lain.

Hilangnya subyek dalam perempuan itu, secara radikal dilihat oleh Julia Kristeva. Kristeva dalam pemikirannya ingin membongkar yang namanya tatanan simbolik (symbolic power). Itu berarti bahwa ia ingin mempertanyakan sesuatu yang tidak bisa dipertanyakan. Ia ingin menggugat hukum sang ayah (the-law-of-the-father). Dengan menggunakan teori Lacan, Kristeva ingin mengupas bahwa ada sebuah proses yang secara jelas menguasai tatanan simbolik, sehingga semua usaha untuk mereproduksi simbol-simbol itu akhirnya harus tunduk pada hukum sang ayah. (Haning, Stefani. hal. 2-3)

Bagaimana hukum sang ayah itu mulai muncul? Dalam teori Lacan, pembentukan subyek terjadi pada anak mengalami fase cermin. Itu terjadi pada umur enam sampai delapan bulan. Dalam fase ini, anak sudah mengerti subyektivitas dirinya namun tubuhnya belum terkoordinasi dan terfragmentasi. Subyektivitas dirinya menempel pada gambaran sosok ibunya. Ada sebuah misrecognition yang terjadi dalam pembentukan subyektivitas dirinya. Dalam subyektivitas yang menempel pada diri sang ibu, anak mengalami fase Oedipus Complex, yakni saat diri yang ayah memecah hubungan antara anak dan ibu. Dalam fase ini, anak mulai melihat figur ayah. Maka, pengalamanna mulai distruktur oleh tatanan simbolik yang datang dari sang ayah. Dalam fase inilah mulai berjalannya hukum sang ayah.

Oleh karena itu, Kristeva berpendapat bahwa tatanan simbolik sebenarnya identik dengan laki-laki, sedangkan semiotika akan sejalan dengan perempuan. Pendapatnya itu dia terangkan dalam konsep tentang chora (rahim). Di dalam rahim, sebenarnya belum ada oposisi biner antara laki-laki dan perempuan. Yang ada adalah feminin dan maskulin. Menurutnya, feminin tidak selalu identik dengan perempuan dan maskulin tidak selalu sama dengan laki-laki. Di dalam chora inilah semiotika terbentuk, karena anak lebih dikuasai oleh kesadaran ibu. Jadi, tatanan semiotik dibentuk oleh aspek feminin. Munculnya aspek maskulin dalam diri anak terjadi pada fase Oedipus Kompleks. Dalam fase itulah, maka aspek maskulin memecah aspek feminin dalam relasi anak dan ibu. Maka, hukum sang ayah telah mengambil aspek feminin dalam relasi anak dan ibu dan digantikan aspek maskulin. Terjadilah yang disebut marjinalitas aspek feminin oleh aspek maskulin. Artinya, unsur semiotik telah didominasi oleh apa yang simbolik. (Haning, Stefani. hal. 4-5)

Marjinalitas tatanan semiotik oleh tatanan simbolik itu secara jelas tampil dalam media. Produksi dunia media selalu menampilkan aspek feminin dalam bingkai kepentingan maskulin. Atau menggunakan konsep Kristeva, media selalu mengemas dan memproduksi apa yang semiotis dari sudut pandang yang simbolis. Itu berarti bahwa media sebenarnya selalu mengikuti hukum sang ayah. Menjadi jelaslah di sini mengapa sebuah survei snapshot akhirnya menghasilkan fakta perempuan menjadi korban. Sedangkan dalam studi etnografi tentang media, akhirya perempuan digambarkan sebagai sosok yang emosional dan delimatis. Semua citra yang dibangun dalam media tentang perempuan sebenarnya sebuah citra yang ingin “memuaskan” hukum sang ayah. Itu sama artinya, perempuan adalah sebuah subyek yang tidak pernah boleh memiliki kesadarannya. Dengan kata lain, sebuah subyek yang menjadi obyek oleh dominasi yang lain atau sebuah semiotika atas subyek yang ditentukan oleh tatanan simbolik.

Melihat uraian ini, maka menjadi jelas bahwa sebenarnya persoalan perempuan dalam media sebenarnya adalah persoalan represi kesadaran subyektivitas. Perempuan ditampilkan sebagai tokoh utama, misalnya dalam sinetron, opera sabun, dan telenovela, namun penokohan itu hanyalah sebuah upaya represi kesadaran perempuan untuk tetap tinggal dalam fungsinya, yaitu fungsi semiotik dan bukan fungsi simbolik. Semiotika perempuan yang identik dengan persoalan emosi: menangis, lemah, patuh, dan lain sebagainya, menjadi konsumsi yang paling sedap dan enak bagi tatanan simbolik. Semua ini menyebabkan bahwa produksi media akan selalu mengekploitasi perempuan dari sisi itu, karena penentu dari ideologi media adalah hukum sang ayah.

Sikap kritis yang diinginkan oleh Leela Rao dalam melihat peran media bagi perempuan bisa dicapai kalau terjadi revolusi, yang oleh Kristeva disebut sebagai “Revolusi Semiotika.” Revolusi ini bisa dilakukan kalau semiotika berhasil membuat letupan terhadap bahasa atau teks. Itu artinya bahwa semiotika harus mampu menggoncang posisi simbolik dengan berbagai upaya untuk berdiri di luar aturan. Letupan semiotik ini akan semakin kuat, kalau dunia ini tidak dilihat dari oposisi biner yaitu feminin-maskulin atau laki-laki – perempuan, namun harus kembali pada konsep awal. Konsep awal itu terjadi dalam kehidupan di mana tidak ada identifikasi atas laki-laki dan perempuan. Maka, tidak ada wacana yang membuat dikotomi laki-laki dan perempuan. Kalau media bisa mengambil peran untuk menyuarakan letupan semiotik ini, maka perempuan bisa berperan dalam posisi tatanan simbolik. Ia tidak saja identik sebagai sosok yang delimatis dan emosional, namun juga sosok yang kuat dan rasional. Subyektivitas perempuan pun menjadi utuh tanpa dibayang-bayangi oleh hukum sang ayah.

Maka, kalau modernisasi ingin mendorong munculnya emansipasi kelompok perempuan, modernisasi itu harus berhasil melakukan sebuah rasionalisasi terhadap emosi perempuan. Rasionalisiasi itu berarti mengubah apa yang ada dalam tatanan semiotik sejajar dengan tatanan simbolik dalam pandangan Kristeva. Semoga!



IV. Kepustakaan:



Nilan, Pam, “Gendered Dreams: Women Watching Sinetron (Soap Operas) on Indonesians TV” dalam: Indonesia and Malay World, Vol. 29 (84), 2001, hal. 85-89. (Dibaca berdasarkan diktat kuliah).

La Pastina, Antonio, “Telenovela Reception in Rural Brazil: Gendered Readings and Sexual Mores”, dalam Critical Studies in Media Communication, June, 21 (2) 2004, hal. 162-181. (Dibaca berdasarkan diktat kuliah).

Hermano, Teresita, “Media Monitoring for Gender Advocacy. The GMPP 2000 Experience”, dalam: Pathaways to Critical Media Education and Beyond, CAN Publication, 2003, hal. 85-97. (Dibaca berdasarkan diktat kuliah).

Rao, Leela, “Networking for Gender Empowerment: A Case Study of the Asian Network of Women in Communication (ANWIC)”, CAN Pub., hal. 99-105 (dibaca berdasarkan diktat kuliah).

Haning, Stefani, “Julia Kristeva” (diktat kuliah).



ooOOoo

No comments:

Post a Comment

MAY DAY 2019: KAMI PEKERJA, KAMI BUKAN BUDAK!!!

(feature ini sudah dimuat d Koran Suara Hong Kong 7/5/2019) Lima perempuan mengenakan pakaian hitam dan matanya ditutup dengan kain ka...