Thursday, April 4, 2019

PENGUATAN MENTAL PMI HADAPI “EKSTREMISME” GLOBAL

(Reportase ini sudah dimuat di Koran Suara Hong Kong)

Kantor Equal Opportunities Commission (EOC) di Wong Chuk Hang pada hari Minggu (17/03/2019) tampak ramai didatangi oleh perwakilan organisasi para pekerja mingran Indonesia (PMI) di Hong Kong yang mengikuti seminar tentang “Penguatan Mental PMI/TKI di tempat Kerja”. Apakah mental para PMI belum kuat sehingga perlu dikuatkan? Itulah pertanyaan menariknya. Para PMI perlu dikuatkan dari ancaman ekstremisme global. Dalam sambutannya Agung Wahyudi, selaku Atase Teknis Kepolisian KJRI, mengatakan, “Para PMI harap kembali mengingat tujuan datang ke Hong Kong yaitu untuk mencari penghasilan, untuk menghidupi keluarga, jangan sampai terjerat berbagai kasus yang akan membuat tujuan itu salah arah, misalnya peredaran narkoba,  termasuk pengaruh dari gerakan ekstremisme.”
 
Kegiatan yang diadakan kerjasama antara Equal Opportunities Commission (EOC) Hong Kong, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), UN Women dan Infest (Institute for Education Development, Social, Religious and Cultural Studies) ini menjadi bagian dari upaya untuk mencegah masuknya gerakan “ekstremisme” yang menggunakan alat agama di kalangan para pekerja migran Indonesia di Hong Kong. “Kelompok perempuan sangat rentan untuk dipengaruhi oleh kelompok-kelompok ekstrim,” demikian ditegaskan oleh Agnes Gurning dari UN Women.

Dalam presentasinya, Kolonel Pas. Drs. Sujatmiko, menegaskan bahwa kelompok radikal menyebarkan propaganda dan narasi-narasi kebencian terhadap bangsa dan negara, melakukan perekrutan anggota melalui dunia maya, sehingga diperlukan langkah yang jitu guna menghadang sebaran paham radikal dan ekstrim di dunia maya.  “Saat ini, tidak ada organisasi, lembaga, dan bahkan perseorangan yang tidak terpapar oleh gerakan radikal ini. Salah satu sasaran yang mudah dimasuki paham ini adalah para perempuan. Mereka menyasar kelompok perempuan, selain dipengaruhi untuk menjadi “pengantin”, mereka juga dijadikan sumber pendanaan. PMI sebagian besar adalah perempuan dan memiliki sumber uang. Salah satu kasus pernah juga mengenai salah satu PMI di Hong Kong,” demikian tegas pria yang saat ini menjabat sebagai Kasubdit Kontrapropaganda BNPT.

Peserta seminar juga diberikan pemahaman tentang langkah-langkah penanggulangan terorisme, mulai dari pra-teror, aksi terror dan pasca teror. Aksi teror biasanya memanfaatkan momen-momen nasional, misalnya menjelang pemilu. Seperti kejadian yang terakhir di Sibolga, seorang ibu yang meledakan dirinya bersama anaknya. Aksi teror ini dilakukan menjelang kedatangan Presiden Joko Widodo. Rencana ini sebenarnya sudah diketahui sebelumnya dan pihak kepolisian sudah melakukan negosiasi yang cukup panjang, namun ibu yang sudah menyediakan diri sebagai “pengantin” tersebut akhirnya memilih untuk meledakan dirinya. Lebih lanjut Sujatmiko menjelaskan bahwa pengaruh dunia maya, seperti youtube, Facebook (FB), WhatsApp (WA), dan lainnya, menjadi sarana yang paling strategis untuk mempengaruhi orang-orang yang bersedia dijadikan “pengantin”. Mereka yang sudah terpapar oleh paham radikal lewat media sosial, bersedia menjadi “pengantin”  hanya dengan satu “klik” saja mereka akan menjalankan aksi teror. Saat ini ada sekitar 350 WhatsApp Group di dunia yang menjadi media untuk menyebar “virus” radikal. BNPT terus memantau seluruh gerakan tersebut lewat sebaran percakapan yang ada dalam WA group tersebut.

Mengingat besarnya pengaruh media sosial yang digunakan oleh kelompok “ekstremisme” radikal,  seminar ini pun tidak melewatkan materi tentang “Sehat bermedia sosial untuk PMI.” Firdaus Cahyadi sebagai pemateri memberikan tiga hal penting yang perlu diperhatikan oleh para PMI yaitu tentang berita hoax, ujaran kebencian dan pengamanan data pribadi. Pemahaman ini sangat penting bagi PMI karena hampir semua PMI di Hong Kong saat ini menggunakan media sosial untuk berkomunikasi dan mengkomunikasikan dirinya. “Sebaran informasi bermuatan paham ekstremisme kekerasan yang sporadis kini turut pula menjadi penentu keselamatan PMI. Pengaruh kampanye massif kelompok pelaku teror dan kelompok radikal lewat media sosial telah mulai menunjukkan dampak kepada PMI,” demikian penjelasan Ridwan Wahyudi dari Infest. Mengingat ancaman yang serius terhadap penyebaran ini maka Infest sebagai lembaga telah membuat modul pendampingan khusus agar paham radikal dan ekstremisme ini tidak semakin menyebar luas.

“Kegiatan ini sangat penting bagi PMI dengan tujuan agar pimpinan organisasi pekerja migran memiliki kapasitas untuk melakukan pencegahan ekstremisme di kalangan PMI. Maka sebisa mungkin kegiatan ini bisa berkelanjutan,” demikian tegas Ridwan di sela-sela acara seminar.

No comments:

Post a Comment

MAY DAY 2019: KAMI PEKERJA, KAMI BUKAN BUDAK!!!

(feature ini sudah dimuat d Koran Suara Hong Kong 7/5/2019) Lima perempuan mengenakan pakaian hitam dan matanya ditutup dengan kain ka...