Kantor Equal Opportunities Commission (EOC) di Wong Chuk Hang pada hari Minggu (17/03/2019) tampak ramai didatangi oleh perwakilan organisasi para pekerja mingran Indonesia (PMI) di Hong Kong yang mengikuti seminar tentang “Penguatan Mental PMI/TKI di tempat Kerja”. Apakah mental para PMI belum kuat sehingga perlu dikuatkan? Itulah pertanyaan menariknya. Para PMI perlu dikuatkan dari ancaman ekstremisme global. Dalam sambutannya Agung Wahyudi, selaku Atase Teknis Kepolisian KJRI, mengatakan, “Para PMI harap kembali mengingat tujuan datang ke Hong Kong yaitu untuk mencari penghasilan, untuk menghidupi keluarga, jangan sampai terjerat berbagai kasus yang akan membuat tujuan itu salah arah, misalnya peredaran narkoba, termasuk pengaruh dari gerakan ekstremisme.”
Kegiatan yang diadakan kerjasama antara Equal Opportunities
Commission (EOC) Hong Kong, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), UN
Women dan Infest (Institute for Education Development, Social, Religious and
Cultural Studies) ini menjadi bagian dari upaya untuk mencegah masuknya gerakan
“ekstremisme” yang menggunakan alat agama di kalangan para pekerja migran
Indonesia di Hong Kong. “Kelompok perempuan sangat rentan untuk dipengaruhi
oleh kelompok-kelompok ekstrim,” demikian ditegaskan oleh Agnes Gurning dari UN
Women.
Dalam presentasinya, Kolonel Pas. Drs. Sujatmiko, menegaskan bahwa kelompok
radikal menyebarkan propaganda dan narasi-narasi kebencian terhadap bangsa dan
negara, melakukan perekrutan anggota melalui dunia maya, sehingga diperlukan
langkah yang jitu guna menghadang sebaran paham radikal dan ekstrim di dunia
maya. “Saat ini, tidak ada organisasi,
lembaga, dan bahkan perseorangan yang tidak terpapar oleh gerakan radikal ini.
Salah satu sasaran yang mudah dimasuki paham ini adalah para perempuan. Mereka
menyasar kelompok perempuan, selain dipengaruhi untuk menjadi “pengantin”,
mereka juga dijadikan sumber pendanaan. PMI sebagian besar adalah perempuan dan
memiliki sumber uang. Salah satu kasus pernah juga mengenai salah satu PMI di
Hong Kong,” demikian tegas pria yang saat ini menjabat sebagai Kasubdit
Kontrapropaganda BNPT.
Peserta
seminar juga diberikan pemahaman tentang langkah-langkah penanggulangan
terorisme, mulai dari pra-teror, aksi terror dan pasca teror. Aksi teror
biasanya memanfaatkan momen-momen nasional, misalnya menjelang pemilu. Seperti
kejadian yang terakhir di Sibolga, seorang ibu yang meledakan dirinya bersama
anaknya. Aksi teror ini dilakukan menjelang kedatangan Presiden Joko Widodo.
Rencana ini sebenarnya sudah diketahui sebelumnya dan pihak kepolisian sudah
melakukan negosiasi yang cukup panjang, namun ibu yang sudah menyediakan diri
sebagai “pengantin” tersebut akhirnya memilih untuk meledakan dirinya. Lebih
lanjut Sujatmiko menjelaskan bahwa pengaruh dunia maya, seperti youtube, Facebook
(FB), WhatsApp (WA), dan lainnya, menjadi sarana yang paling strategis untuk
mempengaruhi orang-orang yang bersedia dijadikan “pengantin”. Mereka yang sudah
terpapar oleh paham radikal lewat media sosial, bersedia menjadi “pengantin” hanya dengan satu “klik” saja mereka akan menjalankan aksi teror. Saat ini ada
sekitar 350 WhatsApp Group di dunia yang menjadi media untuk menyebar “virus”
radikal. BNPT terus memantau seluruh gerakan tersebut lewat sebaran percakapan
yang ada dalam WA group tersebut.
Mengingat besarnya
pengaruh media sosial yang digunakan oleh kelompok “ekstremisme” radikal, seminar ini pun tidak melewatkan materi tentang “Sehat
bermedia sosial untuk PMI.” Firdaus Cahyadi sebagai pemateri memberikan
tiga hal penting yang perlu diperhatikan oleh para PMI yaitu tentang berita
hoax, ujaran kebencian dan pengamanan data pribadi. Pemahaman ini sangat
penting bagi PMI karena hampir semua PMI di Hong Kong saat ini menggunakan
media sosial untuk berkomunikasi dan mengkomunikasikan dirinya. “Sebaran
informasi bermuatan paham ekstremisme kekerasan yang sporadis kini turut pula
menjadi penentu keselamatan PMI. Pengaruh kampanye massif kelompok pelaku teror
dan kelompok radikal lewat media sosial telah mulai menunjukkan dampak kepada
PMI,” demikian penjelasan Ridwan Wahyudi dari Infest. Mengingat ancaman yang
serius terhadap penyebaran ini maka Infest sebagai lembaga telah membuat modul
pendampingan khusus agar paham radikal dan ekstremisme ini tidak semakin
menyebar luas.
“Kegiatan
ini sangat penting bagi PMI dengan tujuan agar pimpinan organisasi pekerja
migran memiliki kapasitas untuk melakukan pencegahan ekstremisme di kalangan
PMI. Maka sebisa mungkin kegiatan ini bisa berkelanjutan,” demikian tegas
Ridwan di sela-sela acara seminar.
No comments:
Post a Comment