Tuesday, May 7, 2019

MAY DAY 2019: KAMI PEKERJA, KAMI BUKAN BUDAK!!!


(feature ini sudah dimuat d Koran Suara Hong Kong 7/5/2019)

Lima perempuan mengenakan pakaian hitam dan matanya ditutup dengan kain kasa putih. Bibirnya dibuat pucat dan ditubuh mereka menggendong sebuah slogan yang keras, “We are workers, Not Slave” (Kami Pekerja, Kami Bukan Budak). Slogan itu ditulis di semacam piring dari styrofoam yang ditempel di kardus dan diikat dengan tali plastik. Tulisan itu menjadi penanda paling keras dalam peringatan hari Buruh Internasional 1 Mei yang dilakukan oleh berbagai kelompok gerakan solidaritas buruh di Hong Kong, Rabu 1 Mei 2019.

Isu Perbudakan Moderen

Lantas mengapa isu tentang “perbudakan” masih begitu kuat disuarakan oleh gerakan buruh migran Indonesia di Hong Kong? Jawabannya ada di belakang kelima perempuan itu. Di belakang punggung mereka tertulis berbagai masalah yang sampai sekarang masih menjerat leher para BMI yaitu: Low Wage, Over Charging, Fee Agency, 6 Months Deduction, High Living Cost in Hong Kong, Must Be Happy Face, Overtime, Not Allowed To Be Tired, Sleep in The Living Room, Sleep in The Toilet, Sleep in The Storage, Sleep in The Cabinet, Sex Abuse, Death Row, Human Trafficking dan lain sebagainya. Isu itu bukanlah bualan, namun realitas keseharian yang masih banyak dialami oleh BMI di Hong Kong.

Ada sebuah Novel yang ditulis ole George Orwell yang berjudul 1984. Novel itu ditulis untuk melawan situasi ketertindasan. Ada satu kutipan yang menarik yang ditulis oleh Winston, tokoh utama dalam novel tersebut demikian,” Sebelum mereka menjadi sadar, mereka tidak akan pernah berontak; dan sebelum mereka berontak mereka tidak pernah menjadi sadar.”

Berbagai slogan yang tertulis, teriakan dan seruan, dan juga berbagai nyanyian yang dilakukan oleh para BMI yang ikut serta dalam peringatan May Day menyiratkan bahwa mereka sudah diambang sadar karena mereka berontak terhadap situasi yang saat ini sedang menjerat mereka sebagai BMI. Kesadaran terhadap sistem yang menindas dan seruan untuk menggalang solidaritas atas sistem tersebut sudah dilakukan oleh gerakan buruh dalam kurun waktu yang lama. Menarik bahwa di zaman ini masih ada seruan tentang  penghapusan perbudakan.

Apa yang dimaksud dengan perbudakan? Konvensi Perbudakan tahun 1926 merumuskan perbudakan adalah sebuah keadaan di mana seseorang menggunakan kekuatan untuk menjadikan seseorang objek pembelian; menggunakan seseorang atau pekerjaannya secara substansial tidak dibatasi; mengontrol atau membatasi pergerakan seseorang; dan menggunakan layanan seseorang tanpa kompensasi yang sepadan.

Rumusan Konvensi Perbudakan tahun 1926 tersebut masih ada sampai dengan sekarang dalam bentuk yang lebih canggih. Kelima gadis berpakaian hitam melukiskan bahwa praktik perbudakan moderen masih terjadi BMI di Hong Kong. Dalam peringatan May Day 2019 seruan untuk mengakhiri praktik perbudakan moderen itu juga menjadi isu utama. Dengan begitu yakin, seorang aktivis PILAR memegang sebuah kertas yang bertuliskan “End Modern Day Slavery in HK!” Slogan ini salah satu kesadaran yang muncul akibat “memberontak” terhadap situasi perbudakan di kalangan buruh migran di zaman sekarang.

Melawan Lewat Lagu

Bentuk perlawanan selalu memunculkan kreatifitas, entah lewat parodi atau mengubah syair lagu. Demikian juga di kalangan aktivis buruh migran di Hong Kong. Salah seorang aktivis yang tergabung dalam JBMI (Jaringan Buruh Migran Indonesia) dengan penuh semangat memimpin kawan-kawannya untuk meneriakan yel-yel dan menyanyikan lagu. Salah satu lagu yang digubah syairnya adalah lagu Kolam Susu menjadi Kolam Susah:

Bukan lautan hanya kolam susah
Buruh migran selalu diupah murah
Tiada jaminan tiada perlindungan
Masuk PT jadi korban pemerasan

Orang bilang kami pahlawan devisa
Tapi nasibnya diabaikan negara
Kami juga disebut sbagai pekerja
Tapi kami tak merasakan merdeka

Bukan lautan hanya Kolam Susah
Upah dirampas tanah juga dijarah
Tuntut hak katanya rusak citra negara
PT, agen jahat pemerintah diam saja

Orang bilang tanah kita tanah surga
Hasil alamnya lari entah ke mana
Buruh Migran ada di mana-mana
Karna kemiskinan semakin marajalela.....Hoiii...!!!

Lagu-lagu perlawanan ini dinyanyikan sepanjang jalan dari Victoria Park menuju Gedung Legislative Council di Central. Selain menyanyikan lagu, kelompok-kelompok organisasi buruh migran juga meneriakan yel-yel yang sama yaitu, “Long Live International Solidarity”. Yel-yel ini diserukan dalam berbagai bahasa, baik bahasa Indonesia, Inggris, Cantonese dan Tagalog. Semuanya seolah disatukan dalam sebuah ikatan yang sama yaitu perjuangan membangun solidaritas.

“Saya ikut aksi May Day ini untuk memperjuangkan nasib saya dan teman-teman. Kita tidak ingin lagi dijerat oleh overcharging dan kasus-kasus pelecehan seksual yang menimpa teman-teman,” demikian tegas Lenny salah satu aktivis PILAR. Solidaritas dalam situasi tertindas adalah kunci untuk memperjuangkan penghapusan praktik-praktik yang tidak adil dalam sistem pengaturan ketenagakerjaan di Hong Kong. Rupanya, situasi ini juga didukung oleh berbagai kalangan. Terbukti bahwa kelompok yang tergabung dalam peringatan May Day di Hong Kong juga didukung oleh kalangan mahasiswa dan juga difabel. Bahkan, ada seorang ibu tua dengan memakai “caping” dengan tenang ikut berjalan dari Victoria Park dengan penuh semangat. Caping itu dituis dengan huruf Cantonese, namun artinya tentu tidak jauh dari seruan tentang membangun solidaritas untuk sebuah sistem yang adil.

Sepanjang siang itu, aksi damai peringatan May Day berjalan dengan tertib, dan menarik perhatian banyak orang di sepanjang jalan dari Causeway Bay sampai dengan Central.  Sesampainya di Gedung Legislative Council, sudah ada panggung yang disiapkan dan penampilan musik yang dibuat oleh kelompok pergerakan buruh di Hong Kong.

Satu lagu yang tentu sangat mengena bagi para pejuang gerakan buruh adalah Internationale. Syairnya dibuat dalam bahasa Cantonese, tetapi bagi mereka yang pernah belajar atau paling tidak pernah mendengar lagu ini, pasti tidak asing di telinga. Lagu Internationale adalah lagu bagi kelompok pejuang sosialisme untuk menyerukan solidaritas tanpa henti.

“Hidup internasional solidaritas, berjuang sampai menang”, demikian teriak koordinator lapangan aksi May Day yang menghapus dahaga bagi mereka yang merindukan penghapusan perbudakan moderen di peringatan May Day 2019.*

Tuesday, April 23, 2019

Merah Hijau Kuning tentang Pemilu di Hong Kong

(daur ulang dari status di FB dan perlu dikomprehensifkan..hehe..)
 
1. Pekerja Migran dan Pemilu di HK
 
Tanggal 14 April 2019, WNI di Hong Kong Macau berkesempatan untuk menggunakan Hak Pilih mereka. Sebagian besar konstituen adalah para PMI atau Pekerja Migran Indonesia. Mereka juga sering dipanggil sbg migrant domestic workers. PMI merupakan salah satu penyokong devisa NKRI. Para perempuan luar biasa ini, kemarin begitu antusias ingin menggunakan hak pilih mereka. Sejak pagi mereka sudah mengular di jalan2 protokol Hong Kong. Hujan tdk menyurutkan semangat mereka utk tetap bertahan. Animo politik PMI yg luar biasa. Mereka sadar bhw pilihan mereka akan menentukan nasib mereka dan bangsa mereka. Pesta demokrasi kita lakukan dgn sabar utk antri. Kita jadi paham bhw di antara para PMI, PEMILU kali ini benar2 telah membuka kesadaran politik mereka. Jangan abaikan hak dan kekuatan PMI. Hidup para pekerja migran Indonesia...🙏🙏🙏

2. Menjadi Petugas KPPSLN
 
Kemarin saya diberi kesempatan untuk mjd "petugas" KPPSLN di Hong Kong.   Proses demokrasi memasuki etape akhir dgn pemungutan suara dan kemudian penghitungan suara. Ribuan WNI menggunakan hak pilih mereka. Sebagian besar dari mereka adalah PMI atau pekerja migran Indonesia. Loket coblosan dibuka jam 9 pagi sampai dengan jam 19. Pencoblos tak henti terus berdatangan. Kita tdk sempat berhenti utk makan. Lapar bisa hilang dgn adrenalin utk melayani para pemilih yg ribuan jumlahnya. Tapi kencing memang susah ditahan. Dalam situasi itu gontok2an yg panas di media sosial tentang dua kubu (kampret vs cebong) sirna. Memang kita kan wajib netral...😁 
 
Kesan lain adalah para pemilih yg ingin mencoblos dgn benar agar suaranya sah. Banyak dari PMI yg belum paham, maka sambil membagikan surat suara mulut tak berhenti ngoceh utk menjelaskan prosedur mencoblos yg benar dan sah. Apalagi lembar surat suara anggota DPR yg buanyyaaaakkkk itu. Biyunng. "Bingung Pak...pokoknya tak coblos!", begitu kata seorang pemilih. Asal dicoblos satu sah. Terserah mana yg mau dicoblos asal di dalam kotak. Hadeeuhhh anggota legislatif kok tdk cukup dikenal ya? Begitu pikirku. Padahal mereka kan mesin partai. Tentu lbh mudah menjelaskan paslon presiden dan wakilnya di tengah keriuhan itu. Lihat wajah dan nomernya terus coblos. Coblos wajahnya saja. Ada mbak2 yg tertawa terpingkal2 saat saya jelaskan utk coblos wajahnya. Pasti sah. Debat tentang ekonomi Indonesia yg salah arah kebijakan ekonominya terus menguap. Saya tdk tahu para perempuan PMI dibilik suara mau nguncek2 wajah siapa di bilik suara saking gemesnya, pokoknya kita sdh jelaskan dgn baik. Tenggorokan sampai kering. Bayangpun jam 9 pagi sampai 7 malam, kita gak berhenti ngoceh. Luuaarrr biasa memang animo politik utk mencoblos kali ini, pasti penghitungan suara akan lebih panas. Tapi syukur di Hong Kong diguyur hujan seharian, bagi mbak2 yg masih teriak2 Jokowi dan atau Prabowo masih adem hatinya. Meski kabarnya masih banyak yg belum bisa nyboblos krn TPS sdh ditutup....bisa2 sampai jam 12 belum selesai. Gemporrrr deh....😁😄 Tapi no problemlah demi demokrasi di NkRI...👍🤘

 
3. Bilik Suara Sebagai Ruang Sakral (Politik)
 
Bilik suara di pemilu kali ini ternyata sebuah ruang sakral. Memasukinya bisa bikin gugup. Kemarin saat saya menjadi petugas KPPSLN Hong Kong banyak kejadian "lucu" di antara pemilih yg sebagian besar adalah perempuan PMI. Ada yg setelah dipanggil, tanpa ambil surat suara langsung mau masuk bilik suara. Saya teriaki, "Wueee Mbak...sing arep dicoblos opo? Kok tidak ambil surat suara?" Maka terpingkalah Si Mbak. Para saksi juga tertawa. Kejadian ini tidak satu dua kali. Namun berkali-kali.

Ada yg setelah dipanggil, ambil surat suara langsung mau dimasukan kotak suara. Untung para saksi itu tahu dan kasih peringatan, "Coblos seekkk mbak!". Tertawalah dia. Ada yg setelah keluar dari bilik suara, bingung cari HKIDnya. Rupanya tertinggal. Ada yg dipanggil berkali2 kok tdk nongol2, ke mana orangnya? Rupanya sudah asyik di bilik suara, tanpa dipanggil, Si Doi langsung minta surat suara. Saya juga tidak sadar juga. Rupanya dia main coblos saja...hehe...petugas yg tukang panggil sampai emosi. Lah suaranya sampai serak2 basah je manggil mbaknya....😁 

Ada yang jujur dgn polos bertanya kalau tidak tahu caranya mencoblos. Bertanya sambil wajah gugup. Ada juga yg memakai pakaian wayang, layaknya Gatotkaca.  Dengan gagah datang mau mencoblos. "Welah mabur dari angkasa mau nyoblos nih Mbak?", tanyaku. Mbaknya dgn mantab menjawab iya mas. Demi pasangan paslon pujaan. Mbaknya langsung mau tampil wayang orang rupanya. Ada yg nyoblos pakai pakaian rumbai putih mau pesta. "Wuaaahh...pesta demokrasi nih mbak? Pakai dandan khusus, " saya iseng bertanya. "Iyo tho Pak, 5 tahun sekali" sambil menyembunyikan kalau gugup. Silahkan nyoblos mbak, tidak usah gugup. Teman2 mahasiswa di Hong Kong yg datang nyoblos utk pertama kalinya, juga tdk bisa menutupi kalau gugup. Tidak tahu gimana cara nyoblosnya. Iya kita terangkanlah supaya bisa nyoblos dgn tenang.

Ada yg terima surat suara terus berjalan muter2 tidak masuk ke bilik suara. Dgn wajah tegang membawa surat suara di tangan. Padahal sudah melihat yg lain habis terima surat suara langsung masuk bilik suara. Benar2 tegang wajahnya. Petugas hrs menunjukkan jalan ke bilik suara. Ada juga yg setelah nyoblos pakunya dibawa keluar. Boleh gugup, tapi pakunya jangan dibawa pulang kelesssss....kan yg lain butuh untuk nyoblos...😁

Tidak sedikit yg gugup saat masuk ke bilik suara dgn membawa dua lembar surat suara. Pemilih luar negeri hanya memilih paslon presiden dan wakilnya serta caleg DPR RI. Coba bayang pun...kalau harus bawa 5 surat suara. Gimana simbah2 yang sudah tua harus memilih di lima lembar surat suara, apa tidak gugup? Pemilu kali ini memang sangat emosional. Kampanye yg bertubi2 menghujani media sosial, rupanya membangkitkan perasaan fanatik emosional tertentu. Menjatuhkan pilihan, terutama kepada paslon presiden dan wakilnya, tidak sekedar nyoblos, tetapi dgn segenap hati dan rasa yg membuncah. Gugup deh jadinya...😄

Sebagai petugas TPS, saya memilih nyoblos terakhir, setelah semua pemilih selesai antrian. Selain karena saya sebagai pemilih DPK (harus memilih terakhir), tetapi sebenarnya malu kalau ketahuan gugup juga masuk ke bilik suara.....😂😂😂😂

Bilik suara sudah menjadi ruang sakral (politik)....waduhhhh...

4. Catatan Untuk Pengurus Partai
 
Bagi teman2 para pengurus partai dan juga calon legislatif, selain berkoar2 soal janji, mungkin akan lebih baik juga mendidik konstituen Anda dgn memberikan penjelasan yg baik tentang cara mencoblos dan syarat2nya. KPU sdh memberikan banyak informasi terkait hal2 praktis tentang pemilih (hak dan prosedur) nya utk memilih. Kalau ada pendukung yg sdh demen dgn partai Anda dan Anda sbg calon legislatif, tapi salah coblos di bilik suara.... ya..sia2lah kampanye Anda. Kehilangan satu suara kan lumayan...😁😁😁

 
5. Mental Bipolar dan Hasil PEMILU
 
Beberapa minggu sebelum pemilu 17 April 2019, saya meneruskan ulasan kesehatan tentang penyakit bipolar. Dua gelala bipolar akut adalah halusinasi dan delusi. Sungguh saya sangat khawatir dan berempati bhw gejala ini akan menyerang 45 persen lebih dari para pemilih yg sdh menentukan hak pilihnya. Coba bayangkan dari 190 juta pemilih, 45 persen akan terserang bipolar jika produksi "klaim" kemenangan itu terus dilakukan lewat media sosial. Emangnya yg 54 persen bisa hidup santai dan tenang berdampingan dgn mereka yg terkena bipolar? Tidak mudah tentunya. Pertanyaannya, bagaimana kita harus kendalikan agar bipolar masif ini tdk terjadi? 
 
Dalam bimbingan konseling, kita sering diajari bhw menghadapi mereka yg terkena gejala mental bipolar, para pembimbing harus lebih banyak mendengar, tenang, berempati tetapi tdk larut secara emosional, sabar, memberikan rasa nyaman, dan tentu tetap respek kepada "klien", karena apa pun situasinya "klien" adalah manusia. Harapannya, 54 persen pemilih bisa tetap respek kpd yg 45 persen dan tidak menertawakan gejala mental bipolar itu, karena bisa menambah buruk situasi "klien" agar "klien" bisa kembali sadar dan merasakan kembali fungsi dari akal dan nalarnya utk menyadari situasi diri mereka yg sesungguhnya sebagai manusia.

Catatan kecil di Good Friday.
Sheung Wan, 19 April 2019

SALIB ITU DIPANGGULNYA BERSAMA SIMON


(reportase Ibadat Jumat Agung KKIHK. Dimuat di Koran Suara Hong Kong)

Perayaan Jumat Agung adalah rangkaian Pekan Suci dalam tradisi liturgi Katolik. Peringatan wafat dan kebangkitan Yesus Kristus biasanya dimulai dengan Minggu Palma, saat Yesus memasuki Yerusalem dan disambut bagaikan seorang Raja. Setelahnya, kisah Yesus diingat dalam Tri Hari Suci yaitu Kamis Putih, Jumat Agung, dan Sabtu Suci. Sebelum masuk dalam peringatan kebangkitan pada hari Raya Paskah, salah satu hari kunci untuk mengenang Yesus adalah Ibadat Jumat Agung. Pada Ibadat Jumat Agung biasanya semua simbol di dalam Gereja ditutupi dengan kain ungu. Tidak ada iringan alat musik sebagai untuk mendukung situasi sedih dan duka yang mendalam.

Komunitas Katolik Indonesia di Hong Kong (KKIHK), memperingati Jumat Agung dengan membuat tablo atau dramatisasi kisah sengsara Yesus Kristus. Tablo tersebut dibuat di Sing Yin Secondary School, New Clear Water Bay, Kowloon (Jumat, 19/04/2019). Tablo Jumat Agung dimulai pada pukul 12.30. Cuaca yang sedikit mendung. Menarik bahwa tablo ini hampir semua pemerannya adalah perempuan. Mengapa? Karena KKIHK memang didominasi oleh perempuan yang sebagian besar mereka adalah para pekerja migran di Hong Kong. Peran-peran seperti para murid Yesus, prajurit, Yudas Iskariot, Pontius Pilatus, Simon dari Kirene diperankan oleh perempuan. Hanya peran Yesus dimainkan oleh Romo Heribertus SVD dan Imam Agung diperankan oleh Romo Guntoro SCJ. Tablo yang syarat dengan “mimesis” kisah Yesus kali ini mengambil judul “Berjalan Bersama Yesus Menuju Bukit Golgota.”

Ibadat Jumat Agung sendiri dipimpin oleh Romo Petrus Santosa, SCJ. Dramatisasi kisah sengsara Yesus dibuat sebagai bagian yang tidak terpisah dari proses Ibadat Jumat Agung, yaitu dengan memvisualisasikan bacaan Injil dengan adegan-adegan yang diulang seturut dengan kisah aslinya. Adegan dimulai dengan Yesus yang berdoa di Taman Getzemani. Dalam taman itulah, tampak kemanusiaan Yesus. Dia yang berdoa dengan perasaan sedih dan takut menghadapi kematian. Dia meminta muridnya untuk berjaga, namun semuanya malah tertidur lelap. Saat Yesus sedang berdoa itulah, Yudas Iskariot datang bersama tiga orang prajurit. Dia adalah salah satu murid Yesus. “Saudaraku, untuk itukah kamu datang? Dengan ciuman dan uang kamu menyerahkan Aku kepada mereka?”, tanya Yesus kepada Yudas Iskariot.

Kisah Yesus dijual oleh muridnya sendiri menjadi salah satu narasi penting dalam proses kisah sengsara Yesus. Karena setelah itu Yesus dibawa ke Mahkamah Agama. Dihadapan Mahkamah Agama yang dipimpin oleh Kayafas, Yesus mulai dihujat. Dia mulai dihina serta dipertanyakan apakah Dia sungguh mesias? Namun, Kayafas tidak merasa memiliki hak untuk menghukum Yesus, meskipun orang banyak sudah berteriak, “Dia harus dihukum mati!”. Akhirnya, Kayafas pun mengirim Yesus ke Pontius Pilatus yang waktu itu menjadi wakil dari pemerintah Romawi. Di tengah kerumunan orang banyak yang menggiring Yesus ke Pontius Pilatus masih ada satu adegan yang tidak bisa dilupakan yaitu penyangkalan Petrus sebanyak tiga kali. Penyangkalan yang sudah diramal oleh Yesus sendiri. Petrus sempat menatap wajah Yesus dan lalu menyesal. Petrus lari sambil menangis.

Di hadapan Pontius Pilatus inilah “perdebatan” tentang kekuasaan digambarkan begitu sengit. Pilatus sebagai wakil pemerintah Romawi sudah mendengar tentang “klaim” Yesus sebagai penguasa orang Yahudi. Maka, dari kaca matanya, Pilatus selalu mempersoalkan tentang kekuasaan Yesus itu. Dalam sistem pemerintahan Romawi, Pilatus tahu bahwa ada Raja Romawi yang harus dijunjung, dihormati dan dibela, dan sekarang ada seorang Yesus yang berani mendaku dirinya sebagai seorang raja. Percakapan panjang terjadi dalam adegan ini. Dalam catatan sejarah, adegan Yesus dihadapan Pilatus inilah yang kemudian melahirkan tulisan yang sangat terkenal di salib Yesus, yaitu I N R I. Tulisan itu merupakan kepanjangan dari bahasa Latin: Iesus Nazarenus, Rex Iudaerum (Yesus Orang Nazaret, Raja Orang Yahudi).

Pilatus sebenarnya juga tidak menemukan kesalahan pada diri Yesus, namun atas desakan orang banyak dia menjadi bimbang untuk mengambil keputusan. Claudia, istri Pilatus, bahkan mendorong dia agar tidak mengorbankan Yesus demi jabatan. Dia meminta Pilatus untuk bertobat. Tetapi hal itu justru membuat Pilatus bingung. Di tengah kebingungan itu, Pilatus kemudian menyodorkan solusi kepada tekanan orang banyak yang menuntut Yesus dihukum mati yakni dengan membebaskan seorang tawanan. Dalam tradisi Yahudi, pada masa Paskah biasanya pemerintah Romawi memberikan remisi hukuman kepada salah satu tahanan. Maka Pilatus pun menyodorkan Barabas kepada orang banyak. Dia berkata, “Maukah kalian, supaya aku membebaskan raja orang Yahudi ini bagimu? Atau Barabas, seorang penjahat yang telah banyak menyusahkan kalian semua?” Jawab orang banyak, “Jangan dia, melainkan Barabas. Bebaskan Barabas!!”

Pilatus sebenarnya masih ingin menahan agar Yesus tidak dihukum salib, namun hanya dicambuk saja agar Yesus tidak mati di salib. Namun, tekanan orang banyak semakin menggila dan membuat Pilatus, demi jabatannya, akhirnya cuci tangan di sebuah tempayan sambil berkata, “Lihatlah, aku mencuci tanganku, tanda aku tidak bertanggungjawab atas darah orang ini!” Adegan ditutup dengan Imam Agung, diperankan oleh Romo Guntoro, dengan membanting tempayan. Dan saat itulah, adegan jalan salib dimulai. Yesus yang tidak bersalah harus diolok-olok, diludahi, dicambuk dan akhirnya diberi mahkota duri. Yesus kemudian diminta untuk membawa salib kayu yang berat menuju bukit tengkorak, yang dalam bahasa Ibrani sering disebut Golgota.

Dalam perjalanan menuju Golgota, Yesus mengalami penyiksaan yang luar biasa sebagai manusia. Beberapa kali Yesus harus jatuh dibawah salib yang dibawanya. Pada adegan Yesus jatuh kedua kalinya, tablo kali ini sangat pas dengan masyarakat di Indonesia, yaitu saat Simon dari Kirene diminta untuk memanggul salib Yesus. Adegan ini seolah mengingatkan kita semua pada situasi masyarakat setelah PEMILU yang harus kembali menanggung situasi masyarakat yang porak-poranda akibat dari hujatan, makian, cemoohan dan saling melempar kebencian di antara saudara sebangsa. Kita seolah diajak untuk kembali memanggul salib “sosial” kita bersama untuk menuju Golgota.

Memang di bukit itu, Yesus akan menemui ajalnya di kayu salib. Namun, setelah ajal menjemput, keteguhan sikapNya untuk membela kedosaan umat manusia akan paripurna sebagai manusia. Setelah tiga hari, sebagai imbalan atas tekad kuat untuk mencintai umatnya, Yesus yang mati itu akan dibangkitkan oleh Allah Bapa. Itulah Paskah bagi umat beriman. Seperti juga Simon dari Kirene yang bersedia memanggul salib Yesus, kita semua diajak untuk memanggul salib “sosial” kita bersama, agar kita bisa bangkit bersama sebagai manusia untuk menatap hari depan penuh harapan dan iman.

PELAYANAN MANUAL TELAH MENYELAMATKAN HAK RIBUAN PEMILIH DI TST DAN YUEN LONG


(reportase pemilu Hong Kong 2019. Dimuat di Koran Suara Hong Kong)

Para pemilih sudah menyemut sejak pagi untuk menggunakan hak pilihnya. Mereka yang sebagian besar adalah para PMI (Pekerja Migran Indonesia) yang berada di Hong Kong ingin menggunakan hak suara sebagai warga negara Indonesia. Pemilu di Hong Kong-Macau dilakukan secara serentak di empat lokasi (Minggu, 14/04/2019) yaitu: Wan Chai, Tsim Sha Tsui (TST), Yuen Long dan Macau. Ada 31 TPS (Tempat Pemungutan Suara) yang tersebar di empat lokasi tersebut yang pembagiannya sebagai berikut: TPS 1 – 16 berada di Queen Elisabeth (Wan Chai), TPS 17 – 22 di Kai Fong (TST), TPS 23 – 30 bertempat di Town Hall  (Yuen Long) dan TPS 31 berada di Kai Tap Shek (Macau).

Hanya dalam hitungan menit, para pemilih sudah mengular di luar lokasi-lokasi pemilihan. Sistem layanan untuk para pemilih memang dibuat berlapis untuk mengecek data para pemilih. Saat masuk ke lokasi tempat pemungutan suara, para pemilih wajib melaporkan datanya ke front desk. Para petugas front desk akan melakukan scanning data. Prioritasnya adalah mereka yang sudah memegang kartu C6. Bagi pemegang kartu C6 akan mendapat giliran untuk melakukan pencoblosan pertama karena sudah terdata sebagai DPTLN (Daftar Pemilih Tetap Luar Negeri). Sebagian dari DPTLN ini juga sudah melakukan pencoblosan surat suara lewat pos. Mereka yang langsung datang ke TPS adalah mereka yang belum melakukan pencoblosan lewat pos. Baru setelah para pemegang kartu C6 selesai melakukan pencoblosan, kesempatan akan diberikan kepada mereka yang mendaftar sebagai DPK (Daftar Pemilih Khusus). Para pemilih DPK ini, mereka yang mendaftar dengan menggunakan paspor atau A5. Prosedur pemilihan, baik yang membawa C6 dan yang DPK harus melalui front desk untuk melewati proses scanning.

Proses scanning ini sebenarnya sudah dibuat dengan menggunakan teknologi yang cukup canggih, yaitu dengan scan QR. Harusnya sistem ini bisa mempercepat proses pendataan di front desk, namun justru sangat menghambat proses. Baik di TST dan Yuen Long, antrian semakin mengular saat para petugas front desk melakukan scanning data para pemilih. Sedangkan mereka yang masuk ke TPS tidak sebanding dengan mereka yang antri. Misalnya saja, para pemilih yang masuk ke bilik suara di setiap TPS di TST, pada saat loket pemungutan suara dibuka memang tidak langsung membludak. Situasi ini memang berlangsung sampai jam 12 siang. “Semua bilik suara harus dipenuhi dengan para pemilih, jangan ada yang kosong,” demikian teriak Nurul Qiriah menginstruksikan kepada petugas di TPS. Teriakan itu membuat kita semua bersemangat untuk mempercepat proses layanan di TPS. Di TST sendiri sudah sibuk melayani para pencoblos sejak pagi. “Saya sarapan pagi, sambil melayani para pencoblos,” demikian kata Ditto petugas KPPSLN di TPS 19.
 
Menjelang tengah hari, antrian semakian “menggila”. Korlap memberi instruksi keras agar semua bilik suara untuk setiap TPS agar diisi oleh para pencoblos. Tidak mungkin situasi ini dibiarkan. Hal yang sama juga terjadi di Yuen Long. Bahkan di TPS 29, Yuen Long, air sempat mengalir ke ruang pencoblosan karena hujan lebat yang mengguyur Hong Kong. Namun seperti antrian di TST, Yuen Long pun dipadati antrian para pemilih yang ribuan jumlahnya. "Ribuan orang memadati lokasi di Yuen Long. Untung bahwa di dekat lokasi itu ada semacam lapangan. Maka sebagian orang yang sudah mulai berjejalan dialihkan ke tanah lapang. Dari sana terus diatur mana yang memegang C6 dan yang tidak memegang C6," demikian cerita Betty seorang petugas Panwaslu.

Situasi TST dan Yuen Long hampir mirip. Serbuan para pemilih nyaris tidak terkendali. Tidak mungkin semua pemilih bisa terlayani jika tidak ada keputusan untuk mengubah sistem pencoblosan. Melihat situasi kritis tersebut, sekitar pukul 12.30, ada keputusan dibukanya layanan tanpa scanning. Koordinator lapangan memberikan pengumuman bahwa antrian sudah terlalu panjang, maka strategi diubah bahwa semua pemilih yang membawa C6 tinggal lapor saja di front desk dan petugas hanya melingkari nomor pada C6 tanpa scanning.

Petugas front desk hanya bertugas mendata yang tidak membawa C6. Keputusan inilah yang membuat antrian di TPS kebanjiran pencoblos. Koordinator lapangan dan relawan yang mengatur antrian lantas berjibaku untuk mengatur barisan agar langsung bisa terseleksi bagi mereka yang membawa C6 dan tidak membawa C6. Namun, itu belum mengatasi antrian yang luar biasa panjangnya, maka ada keputusan lagi bahwa pemilih boleh melakukan pencoblosan dengan menunjukkan HKID dan paspor. Dengan keputusan ini, maka proses di TPS semakin cepat sekali, tidak ada jeda bagi para petugas di TPS untuk berhenti melayani pemilih. Kita bisa “break” karena terpaksa untuk buang air kecil. Para pencoblos tidak lagi menunggu sambil duduk, namun sudah berdiri berdesakan di TPS. Situasi seperti ini tidak berhenti sampai dengan jam 19.00. Para relawan terus mengatur antrian agar semua pemilih bisa masuk ke TPS secara bergantian.

Keputusan untuk meniadakan scanning diganti dengan sistem manual dan diperbolehkannya para pemilih yang tidak membawa C6 untuk memilih dengan menunjukkan HKID dan paspor saja, telah mengurai antrian panjang di TST dan Yuen Long. Ribuan pemilih di Hong Kong sudah diselamatkan hak pilih mereka karena keputusan untuk kembali ke sistem manual.

Thursday, April 4, 2019

WISATA ROHANI DI “KOTA JUDI” MACAU


(Reportase ini dimuat di Koran Suara dan Hong Kong News)
 
Ada ungkapan menarik dari John Green seorang pengarang Belanda demikian tulisnya, “Beberapa turis berpikir Amsterdam adalah sebuah kota dosa, tetapi tepatnya adalah sebuah kota kebebasan. Dan di dalam kebebasan, hampir semua orang menemukan dosa.” Apakah Macau juga bisa disebut sebagai
“kota dosa”-nya Asia? Kebanyakan orang lebih menyamakan Macau dengan “Las Vegas” Asia dan bukan “Amsterdam”, karena orang pergi ke Macau bebas untuk berjudi dan bukan untuk berbuat dosa. Namun, seolah identitas sebagai “Las Vegas” bisa diterima  sebagai kewajaran daripada “Amsterdam” yang disebut sebagai “kota dosa”.  

Macau Kota “Judi”

Tidak tahu mengapa ungkapan John Green itu demikian kuat mengunci pikiran saya saat mengikuti wisata rohani bersama Komunitas Katolik Indonesia Hong Kong (KKIHK). Meskipun konon bahwa perputaran uang sebagai hasil berjudi di Macau tujuh (7) kali lipat besarnya dibandingkan dari Las Vegas sendiri. Mungkin karena sejak Casino dibuka di Macau para penjudi besar senang menaruh uangnya di meja-meja Casino di Macau. Paling tidak ada lima Casino terkenal di Macau, sebutlah Venetian Casino Resort, City of Dreams Macau, The Sands Macau, Wyn Macau dan Grands Lisboa Macau.

Terlepas dari identitas yang mau disematkan kepada Macau, kota ini juga sangat “asyik” untuk berwisata rohani. Sebelum “berziarah rohani” ke Macau ada seoarang teman berseloroh, apakah sebaiknya sebelum kita berdoa di Gereja Katedral, kita mengunjungi salah satu Casino? Saya menjawabnya dengan senyuman, karena seolah di Macau-lah legalitas berjudi bisa hidup bersanding harmonis dengan berdoa. Kegiatan berjudi tentu saja tidak berdiri sendiri, biasanya akan ada pelengkap kenikmatan yang lain, misalnya sex, obat bius dan minuman keras. Macau tampaknya memang  kota yang tepat bagi para pemuja “hidonisme.”

Katedral Macau

Namun di Macau pula masih terselip tempat dengan “aura rohani” yang menarik untuk dikunjungi, baik sebagai turis pribadi atau dalam kelompok. Gereja Katedral Macau adalah salah satunya. Katedral ini lebih dikenal dengan The Cathedral of the Nativity of Our Lady atau Se Catedral da Natividade de Nossa Senhora dalam bahasa Portugis. Gereja Katedral dibangun pada tahun 1576 sebagai salah satu monumen historis peninggalan masa kolonial Portugis. Katedral ini dibangun untuk menggantikan gereja yang lebih tua yaitu Gereja St. Paul yang tinggal puing-puing karena terbakar. Kita juga bisa meihat Gereja St. Paul dan melakukan swafoto di sana.

Bentuk gedung dan ornamen Gereja Katedral Macau mengingatkan kita pada model gereja di Timor-Leste. Kedua wilayah tersebut memang bekas koloni Portugis. Sesuai dengan namanya, Katedral Macau ini dipersembahkan kepada Bunda Maria, Ibunda Yesus Kristus. Ketenangan sangat penting dijaga di dalam Katedral, karena kalau kita ramai atau mau berswafoto di dalam Katedral, kita bisa kena tegur “satpam” dengan memasang wajah serius. Jika Anda seorang penganut Katolik, lebih baik meluangkan waktu untuk berdoa rosario di dalam Katedral atau berdevosi kepada para kudus yang ruangnya terletak di kanan dan kiri Katedral.

Biara Trapistin “Gedono” di Macau

Selesai berdoa atau sekedar menikmati keteduhan Katedral Macau, kita bisa melanjutkan “peziarahan” menuju Komunitas Para Rubiah Trapistin. Waktu tempuh dari Gereja Katedral sekitar lima (5) menit kalau menggunakan kendaraan, namun jika berjalan kaki bisa lebih dari tiga puluh (30) menit. Komunitas Rubiah Trapistin ini merupakan “cabang” dari Rubiah Trapistin Gedono, Salatiga.  Biara Trapistin Macau ini diberinama Our Lady Star of Hope atau Bunda Maria Bintang Pengharapan. Saat rombongan kami sampai di Biara Trapistin, kami langsung disambut oleh para rubiah dengan sangat ramah. Mereka menawarkan kue-kue dalam wadah kecil yang cantik. Kue-kue ini merupakan hasil “kerja” para suster dan kita bisa membelinya. Rasanya sangat enak memakan kue-kue tersebut sambil melihat pemandangan kota Macau dari biara Trapistin.

Biara Trapistin ini dibuka bagi para pengunjung dari jam 9 am sampai dengan 6 pm. Jika waktunya tepat, para wisatawan boleh mengikuti Ibadat Harian para rubiah di kapel. Ibadat itu biasa dilakukan selama lima kali, mulai dari pagi sampai dengan sore. Beruntung bahwa kita berkesempatan untuk mengikuti Ibadat Siang. Memasuki kapel yang teduh dan adem memaksa kita untuk duduk diam. Doa-doa para rubiah biasanya dilakukan dengan menyanyikan mazmur diiringi dengan petikan Guzheng atau kecapi tradisional Tiongkok. Pendarasan mazmur dibuat dalam bahasa Mandarin. Meskipun tidak memahami bahasanya, namun perasaan serasa mendapatkan tetes-tetes embun. Pikiran menjadi demikian tenang dan damai dalam alunan suara para rubiah yang mengalun lembut.

Setelah ibadat selesai, Sr. Emanuella OCSO, salah satu rubiah, menceritakan sedikit sejarah keberadaan biara Trapistin di Macau. “Hasil rapat pimpinan OCSO di Itali berkeinginan untuk mengembangkan misi ke Indonesia bagian timur. Kita sudah mengajukan diri kepada Mgr. Suharyo, namun katanya tidak dibutuhkan biara monastik di sana. Lalu kami mencoba untuk menawarkan diri masuk ke Tiongkok. Namun karena tidak mudah masuk ke Tiongkok maka kami menawarkan diri ke Hong Kong, Tanggapan justru datang dari Bapak Uskup Macau. Penyelenggaraan Ilahi kadang tidak bisa diduga,” demikian penjelasan Sr. Emanuella OCSO yang ahli bermain Guzheng tersebut.

“Bapak Uskup Macau (Mgr. Jose Lai), waktu itu bahkan mengatakan agar para suster harus cepat-cepat datang ke Macau,” lanjut Sr. Emanuella dengan wajah gembira. Mgr. Jose Lai berkehendak agar para rubiah Gedono ini bisa ditarik untuk membawa kehidupan monastik ke dalam budaya Macau yang didominasi dengan kasino. Dia begitu yakin bahwa ada banyak makna hidup sebagai manusia dan kebahagiaan yang dapat ditemukan di tengah dunia perjudian dan semua yang menyertainya. Kehadiran para rubiah Trapistin bisa memperkenalkan kehidupan kontemplatif kepada masyarakat Macau yang menjalani hidup sangat materialistis.

Kenyataannya memang banyak wisatawan dan masyarakat Macau yang sering ikut dalam ibadat harian para rubiah. Mereka hanya duduk dan diam saja mengikuti ibadat. “Saya tidak tahu apakah mereka paham atau bisa mengerti kehidupan doa kami, semuanya kami serahkan kepada Tuhan. Biar Tuhan yang akan memberikan pemahaman kepada mereka semua,” tandas Sr. Emanuella meyakinkan kami para peziarah.

Di tengah kehidupan Macau yang sangat materialistik, kita masih menemukan kebeningan rohani dan bukan kebisingan  materialistik. Karenanya, Macau memang belum bisa dijuluki “kota dosa” seperti Amsterdam.


PENGUATAN MENTAL PMI HADAPI “EKSTREMISME” GLOBAL

(Reportase ini sudah dimuat di Koran Suara Hong Kong)

Kantor Equal Opportunities Commission (EOC) di Wong Chuk Hang pada hari Minggu (17/03/2019) tampak ramai didatangi oleh perwakilan organisasi para pekerja mingran Indonesia (PMI) di Hong Kong yang mengikuti seminar tentang “Penguatan Mental PMI/TKI di tempat Kerja”. Apakah mental para PMI belum kuat sehingga perlu dikuatkan? Itulah pertanyaan menariknya. Para PMI perlu dikuatkan dari ancaman ekstremisme global. Dalam sambutannya Agung Wahyudi, selaku Atase Teknis Kepolisian KJRI, mengatakan, “Para PMI harap kembali mengingat tujuan datang ke Hong Kong yaitu untuk mencari penghasilan, untuk menghidupi keluarga, jangan sampai terjerat berbagai kasus yang akan membuat tujuan itu salah arah, misalnya peredaran narkoba,  termasuk pengaruh dari gerakan ekstremisme.”
 
Kegiatan yang diadakan kerjasama antara Equal Opportunities Commission (EOC) Hong Kong, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), UN Women dan Infest (Institute for Education Development, Social, Religious and Cultural Studies) ini menjadi bagian dari upaya untuk mencegah masuknya gerakan “ekstremisme” yang menggunakan alat agama di kalangan para pekerja migran Indonesia di Hong Kong. “Kelompok perempuan sangat rentan untuk dipengaruhi oleh kelompok-kelompok ekstrim,” demikian ditegaskan oleh Agnes Gurning dari UN Women.

Dalam presentasinya, Kolonel Pas. Drs. Sujatmiko, menegaskan bahwa kelompok radikal menyebarkan propaganda dan narasi-narasi kebencian terhadap bangsa dan negara, melakukan perekrutan anggota melalui dunia maya, sehingga diperlukan langkah yang jitu guna menghadang sebaran paham radikal dan ekstrim di dunia maya.  “Saat ini, tidak ada organisasi, lembaga, dan bahkan perseorangan yang tidak terpapar oleh gerakan radikal ini. Salah satu sasaran yang mudah dimasuki paham ini adalah para perempuan. Mereka menyasar kelompok perempuan, selain dipengaruhi untuk menjadi “pengantin”, mereka juga dijadikan sumber pendanaan. PMI sebagian besar adalah perempuan dan memiliki sumber uang. Salah satu kasus pernah juga mengenai salah satu PMI di Hong Kong,” demikian tegas pria yang saat ini menjabat sebagai Kasubdit Kontrapropaganda BNPT.

Peserta seminar juga diberikan pemahaman tentang langkah-langkah penanggulangan terorisme, mulai dari pra-teror, aksi terror dan pasca teror. Aksi teror biasanya memanfaatkan momen-momen nasional, misalnya menjelang pemilu. Seperti kejadian yang terakhir di Sibolga, seorang ibu yang meledakan dirinya bersama anaknya. Aksi teror ini dilakukan menjelang kedatangan Presiden Joko Widodo. Rencana ini sebenarnya sudah diketahui sebelumnya dan pihak kepolisian sudah melakukan negosiasi yang cukup panjang, namun ibu yang sudah menyediakan diri sebagai “pengantin” tersebut akhirnya memilih untuk meledakan dirinya. Lebih lanjut Sujatmiko menjelaskan bahwa pengaruh dunia maya, seperti youtube, Facebook (FB), WhatsApp (WA), dan lainnya, menjadi sarana yang paling strategis untuk mempengaruhi orang-orang yang bersedia dijadikan “pengantin”. Mereka yang sudah terpapar oleh paham radikal lewat media sosial, bersedia menjadi “pengantin”  hanya dengan satu “klik” saja mereka akan menjalankan aksi teror. Saat ini ada sekitar 350 WhatsApp Group di dunia yang menjadi media untuk menyebar “virus” radikal. BNPT terus memantau seluruh gerakan tersebut lewat sebaran percakapan yang ada dalam WA group tersebut.

Mengingat besarnya pengaruh media sosial yang digunakan oleh kelompok “ekstremisme” radikal,  seminar ini pun tidak melewatkan materi tentang “Sehat bermedia sosial untuk PMI.” Firdaus Cahyadi sebagai pemateri memberikan tiga hal penting yang perlu diperhatikan oleh para PMI yaitu tentang berita hoax, ujaran kebencian dan pengamanan data pribadi. Pemahaman ini sangat penting bagi PMI karena hampir semua PMI di Hong Kong saat ini menggunakan media sosial untuk berkomunikasi dan mengkomunikasikan dirinya. “Sebaran informasi bermuatan paham ekstremisme kekerasan yang sporadis kini turut pula menjadi penentu keselamatan PMI. Pengaruh kampanye massif kelompok pelaku teror dan kelompok radikal lewat media sosial telah mulai menunjukkan dampak kepada PMI,” demikian penjelasan Ridwan Wahyudi dari Infest. Mengingat ancaman yang serius terhadap penyebaran ini maka Infest sebagai lembaga telah membuat modul pendampingan khusus agar paham radikal dan ekstremisme ini tidak semakin menyebar luas.

“Kegiatan ini sangat penting bagi PMI dengan tujuan agar pimpinan organisasi pekerja migran memiliki kapasitas untuk melakukan pencegahan ekstremisme di kalangan PMI. Maka sebisa mungkin kegiatan ini bisa berkelanjutan,” demikian tegas Ridwan di sela-sela acara seminar.

Monday, March 11, 2019

PSI DI MATAKU


PSI adalah partai baru. Partai anak muda yang cukup berani untuk bersuara berbeda. Grace Natalie dan Tsamara Amany menjadi "icon" dari PSI. Sosok perempuan yang tidak sekedar cantik, tapi cerdas dan berani. Dua kali mencoba mengikuti dari dekat Tsamara memaparkan perspektif politiknya. Khas anak muda, tetapi cukup okaylah untuk belantara politik partai Indonesia, yang bagi saya tidak cukup menarik. Karena secara pribadi saya sudah jatuh cinta dgn Partai Komunis Indonesia (PKI), yang dihancurkan oleh rezim Orde Baru. Tidak ada partai yang ideologinya sejelas PKI. Setelah partai itu dilarang (tapi belum dibubarkan). 
 
Identitas PKI akhirnya menjad alat politik bagi kelompok yang merasa perlu untuk menghantam lawan. Sampai pemilu ini pun, reproduksi tentang PKI masih cukup kuwat. Padahal secara real politik PKI sudah tidak ada lagi. Tentu PSI tidak bisa dibandingkan dengan PKI. Walau saya sering berharap bahwa huruf "S" itu bisa diganti sosialis. Tidak sosialisme dalam arti ketat, paling tidak sosialisme a la Sutan Syahrir. Tapi, sekali lagi. Tidak bisa dibandingkan karena situasi dan zaman sudah berubah. Dalam sebuah perubahan itu PSI hadir dan cukup bisa mewakili gaya milenial. Meskipun ini perlu bukti sejauh mana PSI bisa merengkuh hati milenial. Paling tidak PSI bisa hadir dengan gaya lain dibandingkan Partai Berkarya (atau yang sejenis) yang masih rindu Orde Baru. Jika PSI bisa lepas dari cengkraman bayang-bayang Orde Baru, itu sdh lumayanlah, dibanding partai-partai lain yang gaya gubernatio-nya masih menggunakan klan dan darah biru model partai Orde Baru. 
 
PSI juga masuk dalam kategori partai yang mengusung nasionalisme, mencoba menghindar dari aroma agama (yang kanan). Tidak mau terjebak pada kecondongan agama untuk mendulang suara. Dia mau melawan perda-perda berbasis syariah. Sikap politik yang jelas tidak populer di Indonesia yang masyarakatnya sangat agamis. Selain itu ada sedikit perhatian pada kaum "buruh" walau belum cukup bisa mewakili suara mayoritas kaum buruh. Meski saya tahu bahwa salah satu tokoh PSI ada anak muda yang benar-benar2 menguasai isu buruh. Lepas dari semua itu, dalam persepktif gender (maskulin) dalam media massa (sosial) PSI cukup "eye cathing" dengan dua figur perempuan yang bergaya milenial (semoga juga progresif). Gaya komunikasi yang renyah dan mencitrakan diri sebagai partai yang ringan dan happy. 
 
Dunia politik itu tidak harus mewajah dalam dahi yang berkerut dan mulut yang berbusa untuk menyampaikan propagandanya. Tetapi bisa lebih segar dengan gincu dan maskara. Warna merah yang menantang tetapi membuat happy dan bukannya hati ciut. Sungguh berbeda dengan sebuah partai yang diorganisir orang-orang yang bertampang serius dan kalau duduk rapat ruangan penuh asap rokok dan bau kopi...😅 PSI berhasil mematahkan imajinasi tentang partai yang penuh dengan asap rokok. Semoga PSI bisa menghabisi polusi asap rokok di dunia politik Indonesia yang bikin sesak napas. Apakah saya lantas pendukung PSI? Nanti dulu...😀

MAY DAY 2019: KAMI PEKERJA, KAMI BUKAN BUDAK!!!

(feature ini sudah dimuat d Koran Suara Hong Kong 7/5/2019) Lima perempuan mengenakan pakaian hitam dan matanya ditutup dengan kain ka...